Erra dan Ishum (Mitologi Babilonia)
Dan
dia berkata kepadamu, Ishum berkata kepadamu, “Aku akan menuju medan
pertempuran! Kaulah obornya, cahayamulah yang mereka lihat! Kaulah pahlawannya,
para dewa berbaris di belakangmu! Kaulah pedangnya, sang tukang jagal mengandalkanmu!
Kalau Erra bangkit, kalau dia menghancurkan negeri, pikiranmu tidak akan
gembira, hatimu tidak akan gembira. Erra, seperti orang yang tidak pernah
tidur, anggota tubuhnya lelah, dalam hatinya dia berkata, ‘Haruskah aku bangkit?
Atau haruskah aku tetap tidur?’” Kepada senjatanya dia berkata, “Tetaplah
bersandar di sudut!” Kepada Sang Tujuh, prajurit yang tidak tertandingi dia
berkata, “Kembalilah ke tempat asalmu!” Sampai kau membangunkannya, dia
tertidur di tempat tidurnya, bersama Mami, istrinya, da bersenang-senang.
O,
Engidudu, tuan yang mengembara di malam hari, yang menuntun para pangeran, siapakah
yang menuntun dengan aman, anak laki-laki dan perempuan, menerangi mereka
seperti cahaya siang! Keilahian dari Sang Tujuh, prajurit yang tidak
tertandingi, adalah hal yang berbeda. Asal usul mereka aneh, mereka dituduh menyebarkan
ketakutan, siapa pun yang melihat mereka akan lumpuh karena takut, nafas mereka
adalah kematian. Orang-orang ketakutan dan tidak berani mendekati mereka. Ishum
adalah sebuah pintu, di hadapan mereka pintu itu terkunci.
An,
raja para dewa, menghamili Bumi, dia melahirkan tujuh dewa, yang diberinya nama
“Sang Tujuh”. Mereka berdiri di hadapannya sesuai dengan tugas yang diberikan
kepada mereka. Dia memanggil yang pertama dan berkata, “Ke mana pun kau pergi
saat marah —kau tidak akan punya lawan!” Kepada yang kedua dia berkata,
“Bakarlah seperti api dan berkobarlah seperti nyala api!” Kepada yang ketiga
dia berkata, “Jadikanlah wajahmu seperti wajah singa, sehingga siapa pun yang
melihatmu akan hancur!” Kepada yang keempat dia berkata, “Semoga gunung ini
hancur oleh serangan senjatamu yang ganas!” Kepada yang kelima dia berkata,
“Bertiuplah seperti angin dan hancurkan dunia!” Kepada yang keenam dia berkata,
“Sapulah semua ke atas dan ke bawah, jangan biarkan seorang pun hidup!” Yang
ketujuh diisinya dengan bisa ular, “Lenyapkan semua kehidupan!”
Setelah
Anu menetapkan takdir untuk Sang Tujuh, dia menyerahkan mereka kepada Erra,
sang prajurit para dewa, sambil berkata, “Biarkan mereka berbaris di sisimu! Ketika
kebisingan manusia menjadi tidak tertahankan bagimu, dan amarahmu mendorongmu
untuk menghancurkan mereka --untuk menghancurkan binatang berkepala hitam dan
binatang buas-- biarlah mereka menjadi senjata amarahmu, yang berbaris
bersamamu di sisimu!”
Mereka
marah, senjata mereka terangkat, mereka memalingkan wajah kepada Erra, "Bangkitlah!
Berdirilah! Mengapa kau tinggal di kota seperti orang tua yang sudah renta? Mengapa
kau tinggal di rumah seperti anak kecil yang tidak berdaya? Apakah kita akan menghabiskan
roti para perempuan seperti orang yang tidak mengenal medan perang? Apakah kita
harus gemetar dan takut seperti kita tidak tahu cara bertempur? Pergilah ke
medan perang untuk menjadi laki-laki, seperti menyambut pesta besar! Bangsawan
di kota, sekalipun dia seorang pangeran, roti tidak bisa mengenyangkannya. Rakyatnya
akan memandang rendah dirinya, dia tidak akan dihormati, bagaimana mungkin dia
mengalahkan prajurit yang paling lemah? Penduduk kota, betapapun kuatnya mereka,
bagaimana mungkin dia mengalahkan prajurit yang paling lemah? Roti yang
berlimpah di kota tidak bisa dibandingkan dengan roti yang dipanggang dalam
bara api unggun! Bir yang nikmat dan manis tidak bisa dibandingkan dengan air
dari kantong kulit! Istana bertingkat di benteng tidak bisa dibandingkan dengan
gubuk para gembala di pinggir jalan!”
“Prajurit
Erra, keluarlah ke medan perang, buatlah senjatamu berderak! Berteriaklah
keras, sehingga gemetarlah mereka yang di atas dan yang di bawah! Biarlah para Igigi
mendengarnya dan memuji namamu! Biarlah para Anunnaki mendengarnya dan takut saat
menyebut namamu! Biarlah para dewa mendengarnya dan tunduk pada kukmu! Biarlah
raja-raja mendengarnya dan berlutut di hadapanmu! Biarlah neger-negeri asing
mendengarnya dan mempersembahkan upeti kepadamu! Biarlah para iblis
mendengarnya dan binasa dengan sendirinya! Biarlah orang yang perkasa
mendengarnya dan kekuatannya melemah! Biarlah gunung-gunung yang tinggi
mendengarnya hancur dan puncak-puncaknya diratakan! Biarlah lautan yang
bergelombang mendengarnya bergelora dan memusnahkan segala isinya! Di hutan
yang paling lebat sekalipun, biarlah batang-batang pohonnya tercabut! Di
hamparan alang-alang yang tidak tertembus, biarlah alang-alang itu patah! Biarlah
bangsa-bangsa asing takut dan kebisingan mereka ditenangkan! Biarlah binatang-binatang
buas gemetar dan menjadi debu! Semoga para dewa leluhurmu memperhatikan dan
memuji kepahlawananmu!”
“Prajurit
Erra, mengapa kau meninggalkan medan perang dan tinggal di kota? Para bangsawan
dan makhluk-makhluk itu memandang rendah kami. Wahai prajurit, kepadamulah kami
berbicara, meskipun apa yang kami katakan menyinggungmu! Sebelum seluruh negeri
meremehkan kita, kau harus mendengarkan saran kami! Berbuat baiklah kepada
Anunnaki, yang menyukai keheningan, Anunnaki, yang karena kebisingan manusia,
tidak bisa tidur. Padang rumput –sumber kehidupan negeri ini– diinjak-injak
oleh binatang liar. Para petani menangis tersedu-sedu atas tanahnya. Singa
dan serigala menghabisi hewan ternak. Para gembala, yang tidak tidur siang dan
malam demi hewan ternaknya, memohon kepadamu. Dan kami yang dulu mengenal
setiap celah gunung, sekarang sudah lupa segalanya. Di atas perlengkapan perang
kami ada jaring laba-laba yang dipintal, busur berharga kami memberikan
perlawanan dan sudah menjadi terlalu kaku untuk kami, ujung anak panah kami
yang tajam sudah tumpul, pedang kami, karena kurangnya pertumpahan darah,
tertutup karat.”
Sang
prajurit Erra mendengar mereka, perkataan Sang Tujuh itu menyenangkannya bagai
minyak yang paling murni. Dia bersiap untuk bicara dan berkata kepada Ishum, “Mengapa
kau tetap duduk diam setelah mendengar hal itu? Buka jalannya, aku akan turun memulai
kampanyeku! Biarlah Sang Tujuh, prajurit yang tidak tertandingi, berperang! Buatlah
senjata-senjataku yang ganas itu berbaris di sisiku! Dan kau, pahlawanku, kaulah
yang akan berada di paling depan!”
Ketika Ishum mendengar kata-kata ini, dia merasa rasa iba dan berkata kepada sang prajurit Erra, “Ya, Prajurit Erra, mengapa kau merencanakan kejahatan terhadap para dewa? Kau ingin menghancurkan dunia dan memusnahkan penduduknya, tidakkah kau akan berhenti?”
Erra
bersiap untuk bicara dan berkata kepada Ishum, pahlawannya, dengan kata-kata
berikut, “Ishum, perhatikan, dengarkan kata-kataku! Mengenai orang-orang di bumi,
yang kau mintakan pengampunan. O, pahlawan para dewa, Ishum yang bijaksana,
yang nasihatnya manis! Di surga aku adalah seekor banteng liar, di bumi aku adalah
seekor singa, di negeri ini aku adalah raja, di antara para dewa aku adalah
amarah, di antara para Igigi aku adalah seorang pahlawan, di antara para
Anunnaki aku adalah seorang pahlawan, di antara binatang buas aku adalah
seorang pemburu dengan panah, di gunung aku adalah seorang pemburu dengan
jebakan, di hamparan alang-alang aku adalah api, di hutan aku adalah kapak, dalam
kampanye saya adalah standarnya. Seperti angin aku berhembus, seperti Adad aku
mengguntur, seperti dewa matahari, aku mengawasi seluruh dunia. Ketika aku
pergi ke padang, aku menjadi seekor kambing liar, ketika aku memasuki padang
rumput, aku tinggal sebagai Nergal. Semua dewa takut akan namaku. Tapi,
orang-orang berkepala hitam itu membenciku. Aku —karena mereka tidak takut akan
namaku-- dan aku sudah mengabaikan perintah Marduk, aku akan melakukan apa pun
yang kuinginkan. Aku akan membuat Marduk marah, aku akan mengangkatnya dari
tahtanya dan menghancurkan umat manusia.”
Prajurit
Erra berangkat ke Suanna-Babylonia, kota raja para dewa, dia memasuki Esagil,
istana langit dan bumi, lalu memperkenalkan dirinya di hadapan raja para dewa. Dia
bersiap untuk bicara dan berkata kepada raja para dewa, “Patung itu, perhiasan
Tuanku, yang bagaikan bintang-bintang di langit, penuh kemegahan, mengapa
ditutupi dengan kotoran? Mahkota milikmu yang dahulu membuat Ehalanki bersinar
seperti Etemenanki, mengapa kini redup?
Raja
para dewa bersiap untuk bicara, kepada Erra, sang prajurit para dewa, dia
sampaikan ucapannya, "Prajurit Erra! Mengenai perbuatan yang kau sarankan,
dulu, dalam kemarahanku, aku bangkit dari singgasanaku, dan mendatangkan banjir.
Aku bangkit dari singgasanaku, dan langit dan bumi terbelah. Langit berguncang,
dan karena itu benda-benda langit berubah posisinya, dan aku tidak
mengembalikannya ke tempatnya. Dunia bawah bergetar, karena itu produksi pertanian
menurun sehingga selamanya sulit untuk memungut pajak atasnya. Langit dan bumi terbelah,
mata air menyusut dan banjir surut. Ketika aku melihat lagi, itu tidak cukup. Makhluk
hidup yang tersisa sedikit jumlahnya, tapi aku tidak memulihkan keadaannya. Seperti
seorang petani, aku mengambil benih di tanganku. Aku membangun rumah lain dan tinggal
di sana.”
“Patungku
yang berharga, yang disapu oleh air bah, dan yang rusak rupanya, aku
memerintahkan dewa api untuk memoles wajahku dan membersihkan pakaianku. Setelah
dia sudah memoles patungku dan melaksanakan perintahku, aku mengenakan mahkotaku
dan kembali ke tempatku. Wajahku sombong, pandanganku menakutkan! Orang-orang
yang selamat dari banjir melihat yang sudah terjadi. Kalau sekarang aku
mengangkat senjataku, aku akan menghancurkan sisanya. Para pengrajin kubawa ke
Apsu, dan aku belum memerintahkan mereka untuk kembali. Aku mengubah letak
pohon mēsu dan batu permata, dan tidak menunjukannya kepada
siapa pun.”
“Sekarang
tentang perbuatan yang kau sarankan, prajurit Erra! Di manakah pohon mēsu,
daging para dewa, yang cocok untuk penguasa alam semesta? Di manakah pohon suci,
pohon yang indah, yang layak untuk berkuasa, yang akarnya sampai seratus liga
menembus perairan lautan sampai ke kedalaman dunia bawah, yang puncaknya di
ketinggian menyentuh singgasana An? Di manakah batu permata bening yang dibuat seindah
sebagai lapis lazuli? Di manakah Ninildu, tukang kayu utama di wilayah
kekuasaanku, pembawa kapak emas murni, terampil dalam mengukir pohon itu dan
menguasai ilmu tentang pohon mēsu? Siapakah yang membuatnya
bersinar seperti siang hari dan meletakkannya di kakiku? Di manakah Kusibanda,
sang pencipta gambar dewa dan manusia, yang tangannya adalah tangan pilihan? Di
manakah Ninagal, pembawa batu kilangan atas dan batu kilangan bawah, siapa yang
membentuk tembaga kuat semudah membuat kulit, menciptakan perkakas? Di
manakah mutiara pilihan, hasil dari lautan luas, yang cocok untuk menghiasi
mahkotaku? Di manakah tujuh orang bijak Apsu, ikan mas suci, yang seperti Ea
tuan mereka sempurna dalam kebijaksanaan agung mereka, yang akan menyucikan
tubuhku?
Marduk,
meneruskan, bicara kepada sang prajurit Erra dan berkata padanya, “Kalau aku
bangkit dari singgasanaku, langit dan bumi akan hancur berkeping-keping, air
akan naik dan menyapu daratan, mereka akan mengubah hari yang cerah menjadi
kegelapan, badai akan muncul dan menutupi bintang-bintang di langit,
angin jahat akan muncul dan menghalangi pandangan semua makhluk
hidup, iblis Gallu akan muncul dan menangkap manusia, para Anunnaki
akan bangkit ke dunia dan menghancurkan makhluk hidup. Siapa yang akan menahan
mereka sampai aku mengenakan senjataku?”
Erra, mendengar ini, dia bersiap untuk bicara dan berkata kepada Marduk, “O Marduk yang mulia, sampai kau memasuki rumah itu dan dewa api menyucikan pakaianmu dan kembali ke kuilmu, sampai saat itu tiba, aku akan memerintah dan menguatkan sendi-sendi langit dan bumi. Aku akan naik ke langit untuk memberi perintah kepada para Igigi, aku akan pergi ke Apsu untuk memerintah para Anunnaki. Iblis-iblis jahat itu akan kuusir ke dunia bawah, aku akan melawan mereka dengan senjata-senjata kemarahanku. Dan angin jahat –seperti burung, aku akan mengikat sayapnya. Ketika kau memasuki rumah itu, wahai Tuanku Marduk, di sebelah kanan dan kiri pintumu aku akan menempatkan An dan Enlil seperti banteng.”
Marduk mendengarnya, kata-kata yang diucapkan Erra menyenangkannya.
***
Kalau Anda menyukai kisah mitologi ini, Anda mungkin ingin membaca kisah mitologi Babilonia lainnya di sini.
***

Comments
Post a Comment