Kacamata (The Spectacles ~ Edgar Allan Poe)

Kacamata (The Spectacles ~ Edgar Allan Poe)

Bertahun-tahun yang lalu, gagasan ‘cinta pada pandangan pertama’ akan dicemooh; tapi mereka yang mau berpikir, tidak mau kalah dari mereka yang sudah merasakannya secara mendalam, selalu mendukung keberadaannya. Penemuan-penemuan modern, dalam apa yang bisa disebut magnetisme etis atau magnetoestetik1, menunjukkan kemungkinan bahwa kasih sayang manusia yang paling alami, dan, akibatnya, yang paling sejati dan paling intens, adalah kasih sayang yang muncul di hati seolah-olah oleh simpati yang menggetarkan —dengan kata lain, belenggu psikis yang paling terang dan paling abadi adalah yang terpaku oleh pandangan sekilas. Pengakuan yang akan saya buat akan menambah satu lagi contoh kebenaran teori ini yang sudah hampir tidak terhitung jumlahnya.

Kisah saya mengharuskan saya untuk sedikit lebih cermat. Saya masih sangat muda —belum berusia dua puluh dua. Nama saya, saat ini, sangat umum dan agak plebeian2 —Simpson. Saya katakan ‘saat ini’, karena baru-baru ini saja saya dipanggil begitu --setelah secara resmi mengadopsi nama keluarga ini dalam setahun terakhir untuk menerima warisan besar yang ditinggalkan oleh seorang kerabat laki-laki jauh saya, Adolphus Simpson, Esq3. Warisan itu diberikan kepada saya yang mengambil nama pewaris, --nama keluarga, bukan nama Kristen; nama Kristen saya adalah Napoleon Bonaparte-- atau, lebih tepatnya, ini adalah nama pertama dan tengah saya.

Saya memilih nama itu, Simpson, dengan sedikit enggan, seperti nama keluarga saya yang sebenarnya, Froissart, saya merasakan kesombongan yang bisa dimaafkan --percaya bahwa saya bisa melacak garis keturunan saya sampai ke penulis Chronicles4. Kembali ke soal nama, omong-omong, saya bisa menyebutkan kemiripan nama yang aneh yang menyertai nama-nama beberapa leluhur saya. Ayah saya adalah Monsieur Froissart, dari Paris. Istrinya --ibu saya, yang dinikahinya pada usia lima belas-- adalah Mademoiselle Croissart, putri sulung keluarga Croissart, seorang bankir, yang istrinya, lagi-lagi, baru berusia enam belas saat menikah, adalah putri sulung Victor Voissart. Monsieur Voissart, kebetulan, menikahi seorang perempuan dengan nama yang mirip --Mademoiselle Moissart. Dia juga masih anak-anak ketika menikah; dan ibunya, juga, Madame Moissart, baru berusia empat belas ketika dituntun ke altar. Pernikahan dini seperti ini lazim di Prancis. Jadi, di sini ada Moissart, Voissart, Croissart, dan Froissart, semuanya dalam satu garis keturunan. Tapi, nama saya sendiri, seperti yang sudah saya katakan, berubah menjadi Simpson, berdasarkan undang-undang, dan dengan begitu timbul rasa jijik dari keluarga saya, sehingga, pada suatu periode, saya benar-benar ragu untuk menerima warisan itu dengan syarat yang tidak penting dan menjengkelkan.

Mengenai penampilan, saya sama sekali tidak kekurangan. Sebaliknya, saya yakin saya bertubuh sempurna, dan memiliki apa yang sembilan dari sepuluh orang di dunia akan menyebutnya tampan. Tinggi badan saya seratus enam puluh. Rambut hitam dan ikal. Hidung cukup bagus. Mata besar dan abu-abu; dan meskipun sebenarnya penglihatan saya lemah sampai di taraf yang sangat mengganggu, tetap saja tidak ada cacat yang patut dicurigai dari penampilan saya. Kelemahan itu sendiri, bagaimanapun, selalu sangat mengganggu, dan saya sudah mencoba segala cara —kecuali memakai kacamata. Karena masih muda dan tampan, saya tentu saja tidak menyukai kacamata, dan dengan tegas menolak memakainya. Saya tidak tahu apa yang bisa begitu merusak penampilan anak muda, atau memberi kesan sopan di wajah seseorang, kalau bukan  merasa sok suci dan tua. Kacamata, di sisi lain, punya kesan sombong dan kepura-puraan. Sejauh ini saya sudah berhasil sebaik mungkin tanpa keduanya. Tapi ada terlalu banyak detail kecil, yang, bagaimanapun juga, tidaklah penting. Saya akan puas dengan mengatakan, sebagai tambahan, bahwa kepribadian saya sanguin5, ceroboh, bersemangat, antusias --dan sepanjang hidup saya, saya menjadi pemuja setia perempuan.

Suatu malam di musim dingin yang lalu, saya memasuki sebuah tribun di Teater P---, bersama seorang teman, Tuan Talbot. Saat itu sedang berlangsung pertunjukan opera, dan pertunjukan adalah daya tarik yang sangat langka, sehingga tempat itu sangat ramai. Tapi, kami berhasil mendapatkan kursi terdepan yang sudah disediakan untuk kami, dan dengan sedikit usaha, kami berhasil masuk.

Selama dua jam, teman saya, seorang penggemar fanatik musik, mencurahkan perhatiannya sepenuhnya ke panggung; sementara itu, saya menghibur diri dengan mengamati penonton, yang sebagian besar terdiri dari kalangan elit kota. Setelah puas dengan itu, saya hendak mengalihkan pandangan saya kepada sang primadona6, ketika pandangan saya tertahan dan terpaku pada sosok di salah satu tribun pribadi yang luput dari pengamatan saya.

Seandainya saya hidup seribu tahun lagi, saya tidak akan pernah melupakan emosi yang begitu kuat saat saya memandang sosok itu. Sosok itu adalah sosok seorang perempuan, sosok terindah yang pernah saya lihat. Wajahnya begitu jauh menghadap ke panggung sehingga, selama beberapa menit, saya tidak bisa melihatnya —tapi bentuknya begitu istimewa; tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan proporsinya yang luar biasa— bahkan istilah "istimewa" pun terasa begitu lemah saat saya menuliskannya.

Keajaiban sosok perempuan yang menawan —sihir keanggunan perempuan— selalu menjadi kekuatan yang mustahil saya tolak, tapi di sini, keanggunan dipersonifikasi, berinkarnasi, keindahan sempurna dari visi terliar dan paling antusias saya. Sosok itu, yang hampir seluruhnya bisa dilihat dari penampilan luarnya, agak di atas tinggi rata-rata, dan hampir mendekati, tanpa benar-benar mencapai, keagungannya. Bentuk rok dan tournure7-nya  yang sempurna sungguh indah. Kepala yang hanya bagian belakangnya yang terlihat, bentuknya seperti bentuk kepala Dewi Psyche8, dan lebih jelas terlihat alih-alih disembunyikan oleh topi gauze aerienne9-nya yang elegan, yang mengingatkan saya pada istilah ventum textilem10-nya Apuleius11. Lengan kanannya menggantung di atas langkan kotak, dan menggetarkan setiap syaraf tubuh saya dengan simetrinya yang indah. Bagian atasnya terbungkus oleh salah satu lengan baju longgar yang sekarang sedang tren. Lengan ini memanjang sedikit di bawah siku. Di bawahnya diberi manset dalam dengan bahan yang lembut, pas, dan diakhiri dengan manset renda mewah, yang jatuh dengan anggun di atas tangannya, memperlihatkan jari-jarinya yang halus, yang di salah satunya berkilau cincin berlian, yang langsung saya tahu sangat mahal. Pergelangan tangannya yang bulat dan mengagumkan itu dipertegas dengan gelang yang melingkarinya, yang dihiasi dan dijepit aigrette12 permata yang megah yang menunjukkan, dengan kata-kata yang tidak terbantahkan, kekayaan dan ketelitian pemakainya sekaligus.

Saya menatap penampilan seperti ratu itu setidaknya selama setengah jam, seolah-olah saya tiba-tiba berubah menjadi batu; dan, selama itu, saya merasakan kekuatan dan kebenaran dari semua yang sudah dikatakan atau dinyanyikan orang tentang "cinta pada pandangan pertama." Perasaan saya benar-benar berbeda dari apa pun yang pernah saya alami sebelumnya, bahkan di hadapan perempuan cantik yang paling terkenal sekalipun. Sebuah perasaan, yang saya sebut magnetis, dari jiwa ke jiwa yang tidak terjelaskan, tampaknya membekukan, bukan hanya penglihatan saya, tapi seluruh kemampuan berpikir dan perasaan saya, pada objek mengagumkan di hadapan saya. Saya lihat —saya rasa— saya tahu bahwa saya jatuh cinta dengan begitu mendalam, gila, dan tak tergoyahkan —dan ini bahkan sebelum melihat wajah orang yang saya cintai itu. Begitu hebatnya gairah yang menggerogoti saya, sehingga saya benar-benar yakin gairah itu tidak akan berkurang bahkan kalau wajahnya, mengingat sampai sekarang belum terlihat, terbukti biasa saja. Begitu anehnya sifat cinta sejati —cinta pada pandangan pertama— dan begitu kecil kemungkinannya bergantung pada kondisi eksternal yang tampaknya menciptakan dan mengendalikannya.

Sementara saya terhanyut dalam kekaguman akan pemandangan indah itu, tiba-tiba sebuah keributan di antara penonton membuatnya menoleh sedikit ke arah saya, sehingga saya bisa melihat seluruh bentuk wajahnya. Keindahannya bahkan melampaui harapan saya —tapi ada sesuatu yang mengecewakan saya tanpa saya bisa menjelaskannya dengan tepat. Saya mengatakan ‘kecewa’, tapi kata itu tidak sepenuhnya tepat. Perasaan saya langsung tenang dan meninggi. Perasaan itu tidak lagi memancarkan kepasrahan, melainkan lebih merupakan perasaan yang tenang dalam kesunyian. Perasaan itu mungkin muncul dari raut wajah Bunda Maria yang keibuan; tapi saya langsung tahu bahwa perasaan itu tidak mungkin muncul sepenuhnya dari sini. Ada hal lain —suatu misteri yang tidak bisa saya pahami— ekspresi wajahnya sedikit mengganggu saya, tapi itu justru membuat saya semakin tertarik. Sebenarnya, saya sedang berada dalam kondisi pikiran yang mempersiapkan seorang laki-laki muda dan rapuh untuk sebuah tindakan yang berlebihan. Seandainya perempuan itu sendirian, niscaya saya akan masuk ke biliknya dan mendekatinya dengan segala cara; tapi, untungnya, dia ditemani oleh dua orang —seorang laki-laki, dan seorang perempuan yang sangat cantik, yang tampaknya beberapa tahun lebih muda darinya.

Saya memikirkan seribu rencana agar saya bisa, setelah ini, mengenal perempuan yang lebih tua itu, atau, untuk saat ini, setidaknya, melihat kecantikannya dengan lebih jelas. Saya ingin sekali memindahkan posisi saya ke posisi yang lebih dekat dengannya, tapi keramaian teater membuat hal ini mustahil; dan aturan tidak tertulis soal fashion, akhir-akhir ini, secara imperatif melarang penggunaan teropong dalam kasus seperti ini, bahkan seandainya saya cukup beruntung memilikinya —tapi saya tidak memilikinya— dan karena itulah saya merasa putus asa.

Akhirnya saya terpikir untuk bertanya kepada teman saya.

"Talbot," kata saya, "kau punya teropong. Berikan padaku."

"Teropong! Tidak! Menurutmu apa yang sedang kulakukan dengan teropongku?" Dia berbalik dengan tidak sabar ke arah panggung.

"Tapi, Talbot," lanjut saya, menarik bahunya, "dengarkan aku? Kau lihat tribun itu? Di sana! Bukan, yang di sebelah sana. Pernahkah kau melihat perempuan secantik itu?"

"Dia sangat cantik, tidak diragukan lagi," katanya.

"Aku ingin tahu siapa dia?"

"Astaga, demi semua malaikat, kau tidak tahu siapa dia? 'Tidak mengenalnya berarti dirimu kurang gaul.' Dia adalah Madame Lalande yang terkenal --perempuan paling cantik, dan menjadi buah bibir seluruh kota. Sangat kaya juga --seorang janda, dan calon istri yang ideal— yang baru saja datang dari Paris."

"Kau mengenalnya?"

"Ya, aku merasa terhormat."

"Maukah kau mengenalkanku?"

"Tentu saja, dengan senang hati. Kapan?"

"Besok, pukul satu, aku akan mengunjungimu di B--"

"Bagus sekali. Dan sekarang, tahan lidahmu, sebisamu."

Untuk hal terakhir ini, saya terpaksa menuruti nasihat Talbot, karena dia tetap keras kepala dan tidak menanggapi setiap pertanyaan atau saran lebih lanjut, dan sepanjang sisa malam itu cuma menyibukkan diri dengan apa yang terjadi di atas panggung.

Sementara itu, saya terus menatap Madame Lalande, dan akhirnya beruntung bisa melihat wajahnya dari depan secara penuh. Wajahnya sungguh indah —tentu saja, hati saya sudah mengatakan ini sebelumnya, meskipun Talbot belum sepenuhnya meyakinkan saya— tapi tetap saja, sesuatu yang tidak saya pahami akan tetap mengganggu saya. Akhirnya saya menyimpulkan bahwa indra saya terkesan oleh aura kesungguhan, kesedihan, atau, lebih tepatnya, kelelahan, yang mengambil sedikit dari kemudaan dan kesegaran wajah itu, hanya untuk memberinya kelembutan dan keagungan seperti malaikat, dan dengan demikian, tentu saja, bagi sifat antusias dan romantis saya, meningkatkan ketertarikan saya sepuluh kali lipat.

Sementara saya memanjakan mata, akhirnya saya menyadari, dengan penuh rasa gelisah, dengan keterkejutan yang hampir tidak terasa akan perempuan itu, bahwa dia tiba-tiba menyadari intensitas tatapan saya. Tapi, saya benar-benar terpesona, dan tidak bisa menariknya kembali, bahkan sedetik saja. Dia memalingkan wajahnya, dan lagi-lagi saya cuma melihat lekuk pahatan bagian belakang kepalanya. Setelah beberapa menit, seolah didorong rasa ingin tahu untuk melihat apakah saya masih memandangnya, dia perlahan-lahan memutar wajahnya dan kembali menatap saya dengan tatapan tajam. Mata gelapnya yang besar langsung terpejam, dan rona merah tua menyelimuti pipinya. Tapi betapa terkejutnya saya saat menyadari bahwa dia tidak hanya tidak memalingkan kepalanya untuk kedua kalinya, tapi dia justru mengambil kacamata dari ikat pinggangnya —mengangkatnya—membetulkannya— lalu menatap saya melalui kacamata itu, dengan saksama dan penuh perhatian, selama beberapa menit.

Seandainya petir menyambar kaki saya, saya pasti akan lebih tercengang lagi —cuma tercengang— tidak tersinggung atau jijik sedikit pun, meskipun tindakan seberani itu pada perempuan lain mungkin akan menyinggung atau menjijikkan. Tapi, semuanya dilakukan dengan begitu tenang —begitu acuh tak acuh—begitu santai— dengan begitu jelas aura kesopanan yang tinggi, singkatnya —sehingga tidak ada sedikit pun keangkuhan yang terlihat, dan satu-satunya perasaan saya yang timbul adalah kekaguman dan keterkejutan.

Saya mengamati bahwa, saat pertama kali mengangkat gelas, dia terlihat puas dengan pemeriksaan sesaat terhadap diri saya, dan sedang menarik kembali alat itu, ketika, seolah-olah terpikir untuk melakukan untuk kedua kalinya, dia melanjutkannya, dan terus menatap saya dengan penuh perhatian selama beberapa menit —setidaknya lima menit, saya yakin.

Tindakan ini, yang begitu luar biasa di dalam sebuah teater Amerika, menarik perhatian yang sangat umum, dan menimbulkan gerakan yang tidak jelas, atau bisik-bisik, di antara penonton, yang sesaat membuat saya bingung, tapi tidak menghasilkan efek yang terlihat pada wajah Madame Lalande.

Setelah memuaskan rasa ingin tahunya —kalau benar begitu— dia menaruh gelasnya, dan dengan tenang kembali memperhatikan panggung, profil kepalanya sekarang menghadap ke arah saya, seperti sebelumnya. Saya terus memperhatikan. tanpa henti, meskipun saya sepenuhnya menyadari kekasaran saya saat melakukannya. Tidak lama kemudian saya melihat kepala itu perlahan mengubah posisinya, dan segera saya yakin bahwa perempuan itu, sambil berpura-pura melihat panggung, sebenarnya sedang memperhatikan saya dengan penuh perhatian. Tidak perlu dikatakan lagi apa pengaruh tindakan perempuan yang begitu memikat itu terhadap pikiran saya yang mudah terangsang.

Setelah mengamati saya selama mungkin seperempat jam, objek hasrat saya yang cantik itu berbicara kepada laki-laki yang menemaninya, dan sementara dia berbicara, saya melihat dengan jelas, dari tatapan keduanya, bahwa percakapan itu merujuk kepada saya.

Setelah selesai, Madame Lalande kembali berbalik ke arah panggung, dan, selama beberapa menit, tampak asyik dengan pertunjukan. Tapi, di akhir waktu itu, saya diliputi kegelisahan yang ekstrem saat melihatnya membuka, untuk kedua kalinya, kacamata dengan lensa ganda yang tergantung di sampingnya, sepenuhnya menghadap saya seperti sebelumnya, dan, mengabaikan bisik-bisik penonton yang kembali terdengar, mengamati saya, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dengan sihir yang sama. Ketenangan yang sebelumnya begitu menyenangkan sekaligus membingungkan jiwa saya.

Tindakan luar biasa ini, melemparkan saya ke dalam demam kegembiraan yang sempurna —ke dalam kegilaan cinta yang absolut— lebih tepatnya membuat saya menjadi berani alih-alih membuat saya bingung. Dalam intensitas kekaguman saya yang gila, saya melupakan segalanya kecuali kehadiran dan keindahan agung dari pemandangan yang saya hadapi. Sambil menunggu kesempatan, ketika saya pikir penonton sudah sepenuhnya terhanyut dalam opera, akhirnya saya bertatapan dengan Madame Lalande, dan, untuk sekejap, tidak salah lagi, sedikit membungkuk.

Wajahnya memerah —lalu mengalihkan pandangannya— lalu perlahan dan hati-hati melihat sekeliling, tampaknya untuk melihat apakah tindakan sembrono saya diperhatikan orang —lalu mencondongkan tubuh ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya.

Sekarang saya merasakan kepedihan yang membara atas kekurangajaran yang sudah saya lakukan, dan tidak menyangka akan segera terungkap, sementara bayangan pistol yang akan ditembakkan esok hari melayang cepat dan tidak nyaman di benak saya. Tapi, saya langsung merasa sangat lega ketika melihat perempuan itu cuma menyerahkan selembar kertas drama kepada laki-laki itu, tanpa bicara. Pembaca mungkin sedikit membayangkan keheranan saya —keheranan yang mendalam—kebingungan hati dan jiwa saya yang mengigau— ketika, sesaat kemudian, setelah melirik sekilas ke sekeliling, dia membiarkan matanya yang cerah menatap penuh dan mantap ke arah mata saya, lalu, dengan senyum tipis, memperlihatkan deretan gigi mutiaranya yang cemerlang, menganggukkan kepalanya dengan tegas, tajam, dan mantap.

Tidak ada gunanya, tentu saja, untuk berkutat pada kegembiraan saya —pada kebahagiaan saya— pada gairah hati saya yang tidak terbatas. Kalau ada manusia yang tergila-gila dengan kebahagiaan yang berlebihan, itu adalah diri saya sendiri saat ini. Saya jatuh cinta. Inilah cinta pertama saya —begitulah yang saya rasakan. Ini adalah cinta yang agung —tidak terlukiskan. Ini adalah ‘cinta pada pandangan pertama’; dan pada pandangan pertama, cinta itu dihargai dan dibalas.

Ya, dibalas. Bagaimana dan kenapa saya harus meragukannya sedetik pun. Interpretasi apa lagi yang bisa saya berikan pada tindakan seperti itu, dari seorang perempuan yang begitu cantik --begitu kaya--jelas begitu berbakat--dari keturunan yang begitu baik--dari posisi yang begitu tinggi di masyarakat-- dalam segala hal yang begitu terhormat seperti yang saya rasakan dari Madame Lalande? Ya, dia mencintai saya --dia membalas antusiasme cinta saya, dengan antusiasme yang buta--tanpa kompromi--tanpa perhitungan--yang ditinggalkan-- dan sama sekali tidak terbatas seperti cinta saya! Tapi, khayalan dan renungan yang nikmat ini sekarang terganggu oleh jatuhnya tirai penutup. Para hadirin berdiri, dan keributan seperti biasanya segera terjadi. Meninggalkan Talbot dengan segera, saya berusaha sekuat tenaga untuk memaksa masuk lebih dekat dengan Madame Lalande. Karena gagal dalam hal ini, karena kerumunan, akhirnya saya berhenti mengejarnya, dan menyeret kaki saya pulang, menghibur diri dari kekecewaan saya karena tidak sempat menyentuh ujung jubahnya, dengan membayangkan bahwa saya akan diperkenalkan oleh Talbot, dengan cara yang semestinya, besok.

Esok hari akhirnya tiba, artinya, hari itu akhirnya menyingsing dari tengah malam yang panjang dan melelahkan, dan penuh ketidaksabaran, kemudian jam-jam hingga "jam satu" terasa lambat, suram, dan tidak terhitung banyaknya. Tapi, bahkan Stamboul13 pun, konon, ada ujungnya, dan penundaan panjang ini pun berakhir. Jam berdentang. Saat gema terakhir berhenti, saya pergi ke B-- dan menanyakan Talbot.

"Keluar," kata pelayan —pelayan Talbot.

"Keluar!" jawab saya, terhuyung mundur enam langkah— "biar kukatakan kepadamu, kawan baikku, bahwa hal ini sama sekali mustahil dan tidak mungkin, Tuan Talbot tidak keluar. Apa maksudmu?"

"Tidak ada, Tuan. Tuan Talbot tidak ada di rumah, itu saja. Beliau pergi ke S--, segera setelah sarapan, dan meninggalkan pesan bahwa beliau tidak akan berada di kota ini lagi selama seminggu."

Saya berdiri terpaku, gemetar dan marah. Saya berusaha menjawab, tapi lidah saya menolak tugasnya. Akhirnya saya berbalik, murka, dan dalam hati saya menyerahkan Talbot dan seluruh keluarganya ke wilayah terdalam Erebus14. Jelaslah bahwa orang yang saya anggap sebagai teman, il fanatico15, sudah benar-benar melupakan janjinya kepada saya —melupakannya segera setelah dibuat. Dia tidak pernah menepati janjinya. Tidak ada gunanya, maka, sambil sekuat tenaga menahan kesal, saya berjalan dengan murung di jalan, menanyakan pertanyaan-pertanyaan sia-sia tentang Madame Lalande kepada setiap kenalan laki-laki yang saya temui. Dari jawaban-jawaban yang saya dengar, dia dikenal oleh semua orang —secara sekilas saja— tapi dia baru beberapa minggu di kota ini, dan karena itu, sangat sedikit yang mengaku mengenalnya secara pribadi. Beberapa orang ini, karena tidak termasuk teman dekat saya, tidak bisa, atau tidak mau, memperkenalkan saya dengannya melalui kunjungan resmi. Sementara saya berdiri putus asa, berbincang dengan tiga orang teman tentang topik yang sangat menyita perhatian saya, kebetulan topik yang sedang kami bicarakan itu sendiri melintas.

"Demi Tuhan, itu dia!" seru salah satu dari mereka.

"Cantiknya luar biasa!" seru yang kedua.

"Bidadari di bumi!" seru yang ketiga.

Saya menengok, dan di kereta kuda terbuka yang mendekati kami, berjalan perlahan, duduklah sosok opera yang mempesona, ditemani oleh perempuan muda yang menempati sebagian dari tempat duduknya.

"Temannya juga berpakaian sangat bagus," kata salah satu dari tiga teman saya yang berbicara lebih dulu.

"Menakjubkan," kata yang kedua, "masih sangat cantik, sungguh karya seni yang luar biasa. Demi Tuhan, dia terlihat lebih cantik daripada ketika di Paris lima tahun lalu. Masih cantik saja, —bukankah begitu, Froissart?— maksudku, Simpson."

"Tentu saja!" kata saya, "dan kenapa tidak? Tapi dibandingkan dengan temannya, temannya itu bagaikan cahaya kunang-kunang —cahaya bagi bintang senja— kilasan cahaya— dibandingkan dengan cahaya Antares16.

"Ha! ha! ha! Wah, Simpson, kau selalu punya cara yang luar biasa dalam menemukan sesuatu --yang orisinal, maksudku." Dan di sini kami berpisah, sementara salah satu dari trio itu mulai menyenandungkan vaudeville17 riang, yang cuma saya dengar sebagian liriknya --Ninon, Ninon, Ninon a bas --a bas Ninon De L'Enclos18!

Tapi, selama adegan singkat itu, satu hal sangat menghibur saya, dan itu memuaskan hasrat yang menggebu-gebu. Saat kereta Madame Lalande melewati rombongan kami, saya memperhatikan bahwa dia mengenali saya, dan lebih dari itu, dia menyalami saya, dengan senyum seperti malaikat, tanpa usaha untuk menyembunyikannya.

Soal perkenalan kami, saya terpaksa meninggalkan semua harapan sampai Talbot merasa ingin untuk kembali dari desa. Sementara itu, saya dengan tekun mengunjungi setiap tempat hiburan umum yang terhormat, dan, akhirnya, di teater, tempat pertama kali saya melihatnya, saya merasa bahagia luar biasa bertemu dengannya lagi, dan bertukar pandang dengannya sekali lagi. Tapi, hal ini baru terjadi setelah dua minggu berlalu. Setiap hari, selama waktu itu, saya menanyakan Talbot di hotelnya, dan setiap hari saya diliputi amarah yang meluap-luap oleh ucapan ‘Belum pulang’ yang tidak henti-hentinya dari pelayannya.

Oleh karena itu, pada malam yang sudah direncanakan, saya berada dalam kondisi yang nyaris gila. Madame Lalande, kata orang, adalah orang Paris —baru saja tiba dari Paris— mungkinkah dia tiba-tiba kembali? Kembali sebelum Talbot kembali —dan mungkinkah dia akan hilang dari saya selamanya? Pikiran itu terlalu mengerikan untuk ditanggung. Karena kebahagiaan masa depan saya dipertaruhkan, saya memutuskan untuk bertindak dengan keputusan seorang laki-laki jantan. Singkatnya, setelah drama berakhir, saya mengikuti perempuan itu ke kediamannya, mencatat alamatnya, dan keesokan paginya mengirimkan surat yang lengkap dan terperinci kepadanya, yang isinya saya mencurahkan seluruh isi hati saya.

Saya bicara dengan berani, bebas —dengan kata lain, saya bicara dengan penuh semangat. Saya tidak menyembunyikan apa pun —bahkan tidak kelemahan saya. Saya menyinggung suasana romantis pertemuan pertama kami —bahkan saling tatap yang pernah kami lakukan. Saya bahkan mengatakan bahwa saya merasa yakin akan cintanya, sementara saya menawarkan jaminan, dan intensitas pengabdian saya sendiri, sebagai dua alasan atas tindakan saya yang sebenarnya tidak termaafkan. Sebagai alasan ketiga, saya berbicara tentang ketakutan saya bahwa dia mungkin akan meninggalkan kota sebelum saya sempat berkenalan secara resmi. Saya menutup surat paling antusias yang pernah saya tulis, dengan pernyataan jujur tentang keadaan duniawi saya —kemakmuran saya— dan menawarkan hati dan tangan saya.

Dalam penantian yang memilukan, saya menunggu balasannya. Setelah apa yang terasa seperti seabad, surat balasan itu datang.

Ya, benar-benar datang. Betapapun romantisnya semua ini, saya benar-benar menerima surat dari Madame Lalande —Madame Lalande yang cantik, kaya, dan diidolakan semua orang. Matanya —matanya yang indah, tidak mengkhianaai hatinya yang mulia. Seperti perempuan Prancis sejati, dia mengikuti perintah akal sehatnya —dorongan murah hati dari sifat alaminya— membenci kesopanan konvensional dunia. Dia tidak meremehkan usul saya. Dia tidak diam saja. Dia tidak membalas surat saya tanpa membukanya. Dia bahkan mengirimi saya balasan, surat yang ditulis oleh jari-jarinya yang indah. Bunyinya begini:

 

"Monsieur Simpson, mohon maaf kerana aku tidak menulis surat bagus sebaik mungkin. Aku baru tiba terlambat, dan belum punya sempat untuk —l'etudier19."

"Denggan permintaan maaf ini atas sikap aku, sekarang aku mengatakan itu, maaf! Monsieur Simpson sudah tebak, tapi itu terlalu benar. Perlu aku bicara lebih banyak? Maaf! Apa aku belum siap untuk bicara banyak?

"EUGENIE LALAND."

 

Surat yang mulia dan penuh semangat itu saya cium sejuta kali, dan, tidak diragukan lagi, karena itu, saya melakukan ribuan hal sia-sia lain yang sekarang luput dari ingatan saya. Talbot tetap tidak mau kembali. Aduh! Seandainya dia bisa membayangkan penderitaan yang ditimbulkan oleh ketidakhadirannya pada temannya, bukankah sifat simpatiknya akan langsung membuat saya lega? Tapi, dia tetap tidak datang. Saya menulis surat. Dia menjawab. Dia tertahan karena satu urusan mendesak --tapi akan segera kembali. Dia memohon kepada saya untuk tidak terburu-buru --untuk mengendalikan emosi saya--untuk membaca buku-buku yang menenangkan--untuk tidak minum minuman yang lebih keras dari Hock20-- dan untuk mencari penghiburan filsafat untuk membantu saya. Dasar orang bodoh! Kalau dia tidak bisa datang sendiri, kenapa, demi segala hal yang rasional, dia tidak mengirimkan surat pengantar? Saya menulis surat lagi kepadanya, memintanya untuk segera mengirimkannya. Surat saya dikembalikan oleh seorang pelayan, dengan catatan yang ditulis dengan pensil. Bajingan itu sudah bergabung dengan tuannya di desa:

 

"Meninggalkan S --kemarin, entah ke mana--tidak mengatakan ke mana--atau kapan akan kembali-- jadi saya pikir sebaiknya saya kembalikan surat ini, mengingat tulisan tangan Anda, dan mengingat Anda selalu, kurang lebih, terburu-buru.

"Hormat saya,

"STUBBS."

 

Setelah itu, tidak perlu dikatakan lagi, saya langsung mengabdikan diri kepada dewa-dewa neraka, baik tuan maupun pelayannya:  tapi kemarahan tidak ada gunanya, dan keluhan sama sekali tidak menghibur.

Tapi saya masih punya sumber daya tersisa, yaitu keberanian konstitusional saya. Sejauh ini, keberanian itu sangat berguna buat saya, dan sekarang saya bertekad untuk memanfaatkannya sampai akhir. Lagipula, setelah surat-menyurat yang terjadi di antara kami, tindakan informal apa yang bisa saya lakukan, dalam batasan tertentu, yang dianggap tidak senonoh oleh Madame Lalande? Sejak surat itu, saya terbiasa mengawasi rumahnya, kemudian menyadari bahwa, menjelang senja, dia biasa berjalan-jalan, hanya ditemani oleh seorang negro berseragam, di alun-alun yang menghadap ke jendelanya. Di sini, di tengah rerimbunan pohon yang rindang dan teduh, dalam keremangan kelabu di sore pertengahan musim panas yang manis, saya memanfaatkan kesempatan itu dan menyapanya.

Untuk memperdaya pelayannya yang sedang bertugas dengan lebih baik, saya melakukannya dengan sikap percaya diri seorang kenalan lama yang sudah akrab. Dengan sikap yang benar-benar khas Paris, dia langsung memahami isyarat itu, dan, untuk menyambut saya, mengulurkan tangannya yang mungil nan menawan. Pelayan itu langsung mundur ke belakang, dan sekarang, dengan hati yang meluap-luap, kami berbincang panjang lebar tanpa ragu tentang cinta kami.

Karena Madame Lalande berbicara bahasa Inggris lebih lambat daripada ketika dia menulisnya, percakapan kami tentu saja dalam bahasa Prancis. Dengan bahasa yang manis ini, yang begitu cocok untuk melampiaskan hasrat, saya meluapkan perasaan saya yang meluap-luap, dan, dengan segala kefasihan yang saya miliki, memohon kepadanya untuk segera menyetujui pernikahan kami.

Atas ketidaksabaran ini, dia cuma tersenyum. Dia mendesakkan cerita lama soal kesopanan —pengganggu yang menghalangi begitu banyak orang dari kebahagiaan hingga kesempatan untuk kebahagiaan berlalu selamanya. Saya dengan sangat ceroboh sudah memberitahukan kepada teman-teman saya, katanya, bahwa saya ingin berkenalan dengannya —yang mana saya tidak memiliki kesempatan itu— sehingga, sekali lagi, tidak ada kemungkinan untuk menyembunyikan perkenalan pertama kami. Lalu, dengan wajah memerah, dia menyinggung tentang kencan yang sangat baru ini. Langsung menikah akan terasa tidak pantas —tidak senonoh— tidak patut. Semua ini dia katakan dengan nada naif yang menawan, yang memikat sekaligus memilukan dan meyakinkan saya. Dia bahkan sampai menuduh saya, sambil tertawa, gegabah —tidak bijaksana. Dia meminta saya untuk mengingat bahwa saya bahkan tidak kenal siapa dia —bagaimana prospeknya, koneksinya, dan statusnya di masyarakat. Dia memohon kepada saya, dengan desahan, untuk mempertimbangkan kembali lamaran saya, dan menyebut cinta saya sebagai kegilaan —setitik nafsu—khayalan atau fantasi sesaat— sebuah ciptaan imajinasi yang tidak berdasar dan tidak tetap, alih-alih dari hati. Hal itu dia ucapkan saat bayang-bayang senja yang manis berkumpul semakin gelap di sekitar kami —kemudian, dengan tekanan lembut tangannya yang bak bidadari, meruntuhkan, dalam sekejap yang indah, semua argumen yang sudah dia bangun.

Saya menjawab sebaik mungkin —seperti yang cuma bisa dilakukan oleh seorang pencinta sejati. Saya bicara panjang lebar, dan dengan tekun, tentang pemujaan saya, tentang gairah saya —tentang kecantikannya yang luar biasa, dan tentang kekaguman saya yang luar biasa. Sebagai penutup, saya memberi renungan, dengan energi yang meyakinkan, tentang bahaya yang melingkupi perjalanan cinta —perjalanan cinta sejati yang tidak pernah mulus— dan dengan demikian menyimpulkan bahaya nyata dari memperpanjang perjalanan yang tidak diperlukan itu.

Argumen terakhir ini tampaknya akhirnya melunakkan keteguhan tekadnya. Dia mengalah, tapi masih ada rintangan, katanya, yang dia yakini belum saya pertimbangkan dengan baik. Itu adalah poin yang sensitif —buat seorang perempuan yang didesak, yaitu, dia sadar bahwa dia harus mengorbankan perasaannya, tapi, buat saya, setiap pengorbanan harus dilakukan. Dia menyinggung masalah usia. Apakah saya menyadarinya —apakah saya sepenuhnya menyadari perbedaan usia di antara kami? Bahwa usia suami, harus melampaui beberapa tahun —mungkin lima belas atau dua puluh tahun— usia istri, yang dianggap oleh dunia sebagai hal yang bisa diterima, dan, memang, bahkan pantas, dan dia selalu meyakini bahwa usia istri tidak boleh melebihi usia suami. Perbedaan yang tidak wajar ini, sayangnya, terlalu sering menimbulkan kehidupan yang tidak bahagia. Sekarang dia menyadari bahwa usia saya sendiri tidak lebih dari dua puluh dua, dan saya, sebaliknya, mungkin, tidak menyadari bahwa usia Eugenie-saya jauh melampaui itu.

Di balik semua itu terdapat kemuliaan jiwa --kejujuran—yang menyenangkan--yang memikat saya-- yang membelenggu saya selamanya. Saya hampir tidak bisa menahan rasa haru yang meluap-luap.

"Eugenie-ku sayang," kata saya, "apa sebenarnya yang kau bicarakan? Umurmu memang melebihi umurku. Lalu bagaimana? Begitu banyak kebodohan konvensional dari kebiasaan di dunia ini. Bagi mereka yang jatuh cinta seperti diri kita sendiri, apa bedanya satu tahun dengan satu jam? Aku dua puluh dua, katamu, memang benar: memang, kau juga bisa menyebutku, sekarang juga, dua puluh tiga. Sekarang, kau sendiri, Eugenie sayang, tidak boleh menghitung lebih dari --tidak boleh menghitung lebih dari--tidak boleh menghitung lebih dari--tidak boleh menghitung lebih dari—tidak boleh menghitung lebih dari--dari--dari--dari--"

Di sini saya berhenti sejenak, berharap Madame Lalande akan menyela dengan menjelaskan usianya yang sebenarnya. Tapi, seorang perempuan Prancis jarang berterus terang, dan selalu, sebagai jawaban atas pertanyaan yang memalukan, memberikan jawaban praktisnya sendiri. Dalam hal ini, Eugenie, yang beberapa saat lalu tampak mencari sesuatu di dadanya, akhirnya menjatuhkan sebuah benda kecil ke rumput, yang langsung saya pungut dan berikan kepadanya.

"Simpanlah!" katanya, dengan salah satu senyumnya yang paling memikat. "Simpanlah demi aku --demi dia yang diwakilinya dengan begitu tersanjung. Lagipula, di balik perhiasan itu kau mungkin menemukan, mungkin, informasi yang tampaknya begitu kau inginkan. Sekarang, memang, mulai agak gelap --tapi kau bisa memeriksanya di waktu luangmu di pagi hari. Sementara itu, kau akan mengantarku pulang malam ini. Teman-temanku akan mengadakan pesta musik kecil. Aku juga bisa menjanjikanmu nyanyian yang bagus. Kami orang Prancis tidak seteliti kalian orang Amerika, aku tidak akan kesulitan menyelundupkanmu masuk, sebagai seorang kenalan lama."

Setelah berkata begitu, dia menggandeng tangan saya, dan saya mengantarnya pulang. Rumah besar itu cukup bagus, dan, saya kira, diperaboti dengan selera yang baik. Tapi, untuk hal terakhir ini, saya hampir tidak berhak menilai, karena hari masih gelap ketika kami tiba, dan di rumah-rumah besar Amerika yang lebih baik, lampu jarang dinyalakan di waktu yang paling nyaman ini, selama musim panas. Kira-kira satu jam setelah kedatangan saya, sebuah lampu bertudung dinyalakan di ruang tamu utama, dan ruangan ini, saya lihat, ditata dengan selera yang luar biasa baik dan bahkan megah, tapi dua ruangan lain di rumah ini, tempat sebagian besar tamu berkumpul, tetap berada dalam naungan bayangan yang sangat nyaman sepanjang malam. Ini adalah kebiasaan yang dirancang dengan baik, memberi orang-orang setidaknya pilihan cahaya atau bayangan, dan sesuatu yang sangat disukai teman-teman kita di seberang laut untuk menirunya.

Malam yang dihabiskan dengan demikian tidak diragukan lagi merupakan malam terindah dalam hidup saya. Madame Lalande tidak melebih-lebihkan kemampuan musik teman-temannya, dan nyanyian yang saya dengar di sini belum pernah saya dengar yang lebih baik di kalangan pribadi mana pun di luar Wina. Para pemain alat musiknya banyak dan memiliki bakat yang luar biasa. Para vokalisnya sebagian besar adalah perempuan, dan tidak seorang pun bernyanyi dengan buruk. Akhirnya, atas panggilan tegas untuk ‘Madame Lalande’, dia segera bangkit, tanpa pura-pura atau keberatan, dari kursi malas tempat dia duduk di samping saya, dan, ditemani oleh satu atau dua laki-laki dan temannya di opera, menuju piano di ruang tamu utama. Saya ingin sekali mengantarnya sendiri, tapi merasa bahwa, mengingat keadaan perkenalan saya di rumah itu, lebih baik saya tetap tidak diperhatikan. Dengan demikian saya kehilangan kesenangan melihat, meskipun bukan mendengar, nyanyiannya.

Kesan yang dia berikan kepada orang-orang terasa menggetarkan, tapi efeknya pada diri saya sendiri bahkan lebih lagi. Saya tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya dengan tepat. Hal itu sebagian muncul, tidak diragukan lagi, dari perasaan cinta yang merasuki saya, tapi yang terutama dari keyakinan saya akan kepekaan sang penyanyi yang luar biasa. Sungguh di luar jangkauan seni untuk memberikan ekspresi yang lebih berapi-api daripada yang dimilikinya, baik melalui udara maupun resitatif21. Ucapannya tentang romansa dalam Otello22 —nada yang dia gunakan untuk mengucapkan kata-kata ‘Sul mio sasso23, dalam Capuletti24— masih terngiang dalam ingatan saya. Nada rendahnya sungguh menakjubkan. Suaranya mencakup tiga oktaf penuh, membentang dari kontralto25 D hingga soprano26 D atas, dan, meskipun cukup kuat untuk mengisi San Carlos27, dia mengeksekusi, dengan presisi yang sangat halus, setiap kesulitan komposisi vokal —skala naik dan turun, kadensa28, atau fiorituri29. Di bagian akhir Somnambula30, dia menghasilkan efek yang sangat luar biasa pada kata-kata:

 

Ah! non guinge uman pensiero

Al contento ond 'io son piena31.

 

Di sini, meniru Malibran32, dia memodifikasi frasa asli Bellini33, sehingga suaranya turun ke tenor G, ketika, dengan transisi cepat, dia menekan G di atas paranada treble, melompat melewati interval dua oktaf.

Setelah bangkit dari piano setelah keajaiban penampilan vokal itu, dia kembali duduk di samping saya, ketika saya mengungkapkan kepadanya,dengan antusiasme terdalam, kegembiraan saya atas penampilannya. Saya tidak mengatakan apa pun tentang keterkejutan saya, tapi saya benar-benar terkejut, karena kelemahan tertentu, atau lebih tepatnya keraguan dari suara yang bergetar dalam percakapan biasa, yang membuat saya mengantisipasi bahwa, dalam bernyanyi, dia tidak akan menunjukkan kemampuan yang luar biasa.

Percakapan kami sekarang panjang, sungguh-sungguh, tanpa gangguan, dan sama sekali tanpa syarat. Dia membuat saya menceritakan banyak bagian awal hidup saya, dan mendengarkan dengan penuh perhatian setiap kata dari cerita saya. Saya tidak menyembunyikan apa pun —merasa bahwa saya berhak untuk menyembunyikan sesuatu— dari kasih sayangnya yang tulus. Didorong oleh keterusterangannya tentang hal-hal sensitif di usianya, saya masuk, dengan kejujuran yang penuh, tidak hanya ke detail banyak keburukan kecil saya, tapi saya mengakui sepenuhnya kelemahan moral dan bahkan fisik saya, yang pengungkapannya, meskipun menuntut keberanian yang jauh lebih tinggi, merupakan bukti cinta yang jauh lebih pasti. Saya menyinggung tentang kenakalan masa kuliah saya --tentang kemewahan saya--tentang pesta pora saya--tentang utang-utang saya-- tentang godaan saya. Saya bahkan sampai bercerita tentang batuk yang agak parah yang dulu mengganggu saya --tentang rematik kronis--tentang sedikit rasa sakit asam urat turunan-- dan, sebagai penutup, tentang kelemahan mata saya yang tidak menyenangkan dan mengganggu, tapi sampai sekarang tersembunyi dengan baik.

"Mengenai hal terakhir ini," kata Madame Lalande sambil tertawa, "kau sungguh tidak bijaksana datang untuk mengakui semuanya, karena, tanpa pengakuan itu, aku berasumsi bahwa tidak seorang pun akan menuduhmu melakukan kejahatan. Ngomong-ngomong," lanjutnya, "apakah kau ingat," —di sini saya membayangkan rona merah, bahkan di tengah kegelapan ruangan ini, terlihat jelas di pipinya— "apakah kau ingat, mon cher ami34, tentang alat bantu penglihatan kecil ini, yang sekarang tergantung di leherku?"

Sambil berbicara, dia memutar-mutar kacamata lensa ganda yang sama yang sempat membuat saya kebingungan di opera.

"Dengan baik —aduh! Aku masih mengingatnya," seru saya, sambil dengan penuh gairah menekan tangan halus yang menawarkan kacamata itu untuk saya periksa. Kacamata itu membentuk mainan yang rumit dan megah, penuh ukiran dan hiasan, berkilauan dengan permata, yang, bahkan dalam cahaya redup, tidak bisa saya pungkiri bernilai tinggi.

"Eh bien! mon ami35," lanjutnya dengan nada agak memelas yang agak mengejutkan saya —"Eh bien! mon ami, kau sungguh-sungguh memohon kepadaku sesuatu yang kau sebut tidak ternilai harganya. Kau memintaku untuk menikah besok. Kalau aku menuruti permintaanmu —dan, perlu kutambahkan, kemauanku sendiri juga— bukankah aku berhak meminta sedikit —sangat sedikit imbalan darimu?"

“Sebutkan saja!" seru saya dengan energi yang hampir menarik perhatian orang-orang di sekitar kami, dan hanya dengan kehadiran mereka aku menahan diri untuk tidak bersimpuh di kakinya. "Sebutkan saja, kekasihku, Eugenie-ku, milikku! Sebutkan! Tapi, sayangnya! Itu sudah kuberikan bahkan sebelum kau minta."

"Kalau begitu, kau harus patuh, mon ami," katanya, "demi Eugenie yang kau cintai, kelemahan kecil yang akhirnya kau akui —kelemahan itu lebih bersifat moral daripada fisik— dan yang, kuyakin, sangat tidak pantas dengan kemuliaan sifat aslimu —sangat tidak konsisten dengan karakter jujurmu yang asli— dan yang, kalau dibiarkan terus, pasti akan melibatkanmu, cepat atau lambat, dalam kesulitan yang sangat tidak menyenangkan. Demi aku, kau harus menaklukkan kepura-puraan itu yang, seperti yang kau akui sendiri, membawamu pada penyangkalan diam-diam maupun tersirat atas kelemahan penglihatanmu. Sebab, kelemahan itu praktis kau sangkal, dengan menolak menggunakan cara-cara yang lazim untuk menyembuhkannya. Kau mengerti maksudku, bahwa aku ingin kau memakai kacamata --ah, sudahlah!-- kau sudah setuju untuk memakainya, demi aku. Terimalah mainan kecil yang sekarang kupegang, dan yang, meskipun mengagumkan sebagai alat bantu penglihatan, sebenarnya tidak terlalu bagus sebagai perhiasan. Kau tahu bahwa, dengan sedikit modifikasi, begini --atau begini-- benda ini bisa disesuaikan dengan mata menjadi kacamata, atau disimpan di saku rompi menjadi kacamata saku. Sekarang ini masih berbentuk seperti yang kusebut pertama, tapi, kau sudah setuju untuk memakainya demi aku."

Permintaan ini —haruskah saya mengakuinya?— membuat saya sedikit bingung. Tapi, kondisi yang menyertainya tentu saja membuat keraguan menjadi hal yang sama sekali tidak mungkin.

"Baiklah!" seru saya, dengan semua antusiasme yang bisa kukumpulkan saat itu. "Baiklah —dengan sangat gembira disetujui. Aku mengorbankan semua perasaan demi dirimu. Malam ini aku memakai kacamata indah ini, sebagai alat bantu penglihatan, dan hatiku, tapi, begitu fajar menyingsing di pagi hari yang memberiku kesenangan untuk memanggilmu istriku, aku akan memasangnya di —di hidungku— dan memakainya selamanya, dalam bentuk yang kurang romantis, dan kurang modis, tapi tentu saja dalam bentuk yang lebih praktis, sesuai keinginanmu."

Percakapan kami sekarang beralih pada detail rencana kami untuk besok. Talbot, saya dengar dari tunangan saya, baru saja tiba di kota. Saya harus segera menemuinya dan mencari kereta kuda. Pesta dansa belum akan bubar sebelum pukul dua; dan pada saat itu kereta kuda sudah di depan pintu, ketika, di tengah kekacauan akibat kepergian rombongan, Madame L. bisa dengan mudah masuk tanpa diketahui. Kami kemudian harus mengunjungi rumah seorang pendeta yang akan menunggu, di sanalah kami akan menikah, menurunkan Talbot, dan melanjutkan perjalanan singkat ke Timur, meninggalkan dunia gemerlap di rumah untuk memberikan komentar apa pun yang mereka anggap terbaik.

Setelah merencanakan semua itu, saya segera pamit dan pergi mencari Talbot, tapi, ketika sedang melakukan itu, saya tidak kuasa menahan diri untuk melangkah masuk ke hotel, untuk melihat benda kecil yang diberikannya, dan ini saya lakukan berkat bantuan dari kacamata saya. Wajahnya sungguh luar biasa cantik! Mata besar yang bercahaya itu! Hidung Yunani36 yang angkuh itu! Rambut ikal gelap yang lebat itu! "Ah!" kata saya, gembira dalam hati, "inilah sungguh gambaran kekasihku yang asli!" Saya membalik benda itu, dan menemukan kata-kata –‘Eugenie Lalande--berusia dua puluh tujuh tahun tujuh bulan."

Saya menemukan Talbot di rumah, dan segera memberitahunya tentang keberuntungan saya. Tentu saja dia mengaku sangat terkejut, tapi mengucapkan selamat kepada saya dengan sangat hangat, dan menawarkan segala bantuan yang dia bisa. Singkatnya, kami melaksanakan rencana kami dengan saksama, dan, pada pukul dua pagi, tepat sepuluh menit setelah upacara, saya mendapati diri saya berada di kereta kuda yang sempit bersama Madame Lalande --dengan Ny. Simpson, lebih tepatnya-- dan melaju kencang keluar kota, ke arah Timur Laut, agak ke Utara.

Talbot sudah mengatur buat kami bahwa, karena kami akan begadang semalaman, kami harus berhenti pertama kali di C--, sebuah desa sekitar dua puluh mil dari kota, dan di sana kami akan sarapan pagi dan beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan. Tepat pukul empat, kereta kuda berhenti di pintu penginapan utama. Saya mengantar istri tercinta saya keluar, dan segera memesan sarapan. Sementara itu, kami diantar ke sebuah ruang tamu kecil, dan duduk.

Hari sudah hampir terang, kalau tidak sepenuhnya siang, dan, saat saya menatap malaikat di samping saya dengan penuh kekaguman, tiba-tiba terlintas di benak saya bahwa ini benar-benar momen pertama sejak saya mengenal kecantikan Madame Lalande yang tersohor, bahwa saya menikmati pemandangan keindahan itu di siang hari.

"Dan sekarang, mon ami," katanya, sambil memegang tangan saya, dan menyela lamunan saya, "dan sekarang, mon cher ami, karena kita tidak terpisahkan —karena aku sudah menuruti permintaanmu yang penuh gairah, dan melaksanakan bagianku dari perjanjian kita— kukira kau tidak lupa bahwa kau juga punya sedikit kebaikan untuk diberikan —sebuah janji kecil yang ingin kau tepati. Ah! Coba kuperiksa! Coba kuingat! Ya, dengan mudah aku mengingat kata-kata dari janji manis yang kau buat untuk Eugenie tadi malam. Dengarkan! Kau berkata begini: ‘Baiklah —dengan sangat gembira disetujui. Aku mengorbankan semua perasaan demi dirimu. Malam ini aku memakai kacamata indah ini, sebagai alat bantu penglihatan, dan hatiku, tapi, begitu fajar menyingsing di pagi hari yang memberiku kesenangan untuk memanggilmu istriku, aku akan memasangnya di —di hidungku— dan memakainya selamanya, dalam bentuk yang kurang romantis, dan kurang modis, tapi tentu saja dalam bentuk yang lebih praktis, sesuai keinginanmu.' Itulah kata-kata yang tepat, suamiku tercinta, ya kan?"

Memang," kata saya, "kau memiliki ingatan yang luar biasa, dan sungguh, Eugenie-ku yang cantik, aku sama sekali tidak berniat mengelak dari memenuhi janji remeh yang tersirat di dalamnya. Lihat! Lihatlah! Mereka semakin menarik —atau agak menarik— bukan?" Dan di sini, setelah menata kacamata itu dalam bentuk kacamata biasa, saya dengan hati-hati memasangnya pada posisi yang semestinya, sementara Madame Simpson, sambil membetulkan topinya, dan melipat tangannya, duduk tegak di kursinya, dengan sikap agak kaku dan sopan, dan memang, agak tidak terhormat.

"Astaga!" seru saya, tepat saat bingkai kacamata itu hampir menempel di hidung saya— "Astaga! Kenapa, ada apa dengan kacamata ini?" dan segera saya lepas, saya seka dengan sapu tangan sutra, lalu saya perbaiki lagi.

Tapi, kalau pada awalnya terjadi sesuatu yang membuat saya terkejut, pada saat kedua, keterkejutan itu berubah menjadi keheranan, dan keheranan ini begitu dalam –ekstrem-- bahkan bisa saya katakan mengerikan. Apa, demi semua yang mengerikan, arti semua ini? Bisakah saya memercayai mata saya? Bisakah saya? Itulah pertanyaannya. Apakah itu --apakah itu-- apakah itu pemerah pipi? Dan apakah itu --dan apakah itu-- apakah itu kerutan di wajah Eugenie Lalande? Dan oh! Jupiter37, dan semua dewa dan dewi, kecil dan besar! Apa --apa--apa-- apa yang terjadi pada giginya? Saya membanting kacamata itu dengan keras ke tanah, dan, melompat berdiri, berdiri tegak di tengah lantai, menghadapi Nyonya Simpson, dengan tangan terlipat, dan menyeringai dan berbusa, tapi, pada saat yang sama, sama sekali tidak bisa berkata-kata karena ketakutan dan amarah.

Sudah saya katakan bahwa Madame Eugenie Lalande —atau Simpson— berbicara bahasa Inggris, tapi hanya sedikit lebih baik daripada ketika dia menulisnya, dan karena alasan ini, wajar saja kalau dia tidak pernah mencoba berbicara dalam bahasa itu pada kesempatan biasa. Tapi, amarah akan membawa seorang perempuan ke titik ekstrem apa pun, dan dalam situasi ini, amarah membawa Nyonya Simpson ke titik ekstrem yang luar biasa, yaitu mencoba bercakap-cakap dalam bahasa yang sama sekali tidak dia pahami.

"Vaik, Monsieur," katanya, setelah mengamati saya, dengan keheranan yang nyata, untuk beberapa saat. "Vaik, Monsieur? Ada afa? Afa masalahnya sekarang? Afa itu tarian Saint Itusse38? Kalau tidak suka aku, afa membeli kucing dalam karung?"

"Bajingan!" kata saya, sambil mengatur napas. "Kau --kau-- kau nenek sihir tua jahat!"

"Nyinyir? Dua? Aku belum begitu dua, jugha! Aku tidak akan satu hari pun lebih dari delapan puluh doa."

"Delapan puluh dua!" pekik saya, terhuyung ke dinding. Delapan puluh dua ratus ribu babon! Benda itu bilang dua puluh tujuh tahun tujuh bulan!"

"Tentu saja! Emang begitu! Bentul! Tapi portret itu diambil lima puluh lima tahun dulu. Terus aku menikahi misua keduaku, Monsieur Lalande, pas itu aku ambil portret itu untuk putriku dari misua pertamaku, Monsieur Moissart!"

"Moissart!" kata saya.

"Ya, Moissart," katanya, meniru pengucapan saya, yang sejujurnya, bukan yang terbaik, "dan afa? Afa yang kau tahu kentang Moissart?"

"Tidak ada, tua bangka! Aku sama sekali tidak tahu tentang dia, hanya saja aku punya leluhur dengan nama itu, dulu."

"Nama itchu! Dan afa yang kau kata tentang nama itu? Nama itchu bagus; begitu juga Voissart --itchu juga nama bagus. Putriku, Mademoiselle Moissart, dia menikah sama Monsieur Voissart, --dan nama itchu juga nama yang sangat kehormat."

"Moissart?" seru saya, "dan Voissart! Apa maksudmu?"

"Afa aku maksud? Aku maksud Moissart dan Voissart, dan itchu, aku maksud Croissart dan Froissart juga, kalau aku merasa bisa untuk katakan. Putrinya putriku, Mademoiselle Voissart, dia menikah sama Monsieur Croissart, kemudian, cucu perempuan putriku, Mademoiselle Croissart, dia menikah sama Monsieur Froissart, dan kurasa kau bilang itchu bukan nama bagus."

"Froissart!" kata saya, mulai pingsan, "kenapa, kau tidak bilang saja Moissart, dan Voissart, dan Croissart, dan Froissart?"

"Ya," jawabnya, bersandar sepenuhnya di kursinya, dan meregangkan tubuh bawahnya memanjang. "Ya, Moissart, dan Voissart, dan Croissart, dan Froissart. Tapi Monsieur Froissart, dia sangat bodo kayakmu --dia sangat sangat bodo kayakmu-- karena dia tinggal Prancis yang cantik untuk datang ke Amerika yang bodo nih-- dan pas sampai sini, dia pergi dan ada nakanak yang sangat bodo, sangat sangat bodo, gitu yang kudengar, meskipun aku blum ketemu dengannya --baik aku maupun temanku, Madame Stephanie Lalande. Namanya Napoleon Bonaparte Froissart, dan kurasa kau bilang itu bukan nama yang bagus."

Entah karena panjangnya atau isi pidatonya, itu membuat Nyonya Simpson menjadi sangat bersemangat, dan ketika dia mengakhirinya, dengan susah payah, dia bangkit dari kursinya seperti orang yang tersihir, menjatuhkan seluruh dunia ke lantai saat dia bangkit. Begitu berdiri, dia menggertakkan gusinya, mengacungkan lengannya, menggulung lengan bajunya, mengacungkan tinjunya ke wajah saya, dan mengakhiri pertunjukan itu dengan merobek topi dari kepalanya, beserta wig besar yang terbuat dari rambut hitam yang paling mahal dan indah. Seluruh rambut hitam itu dia hempaskan ke tanah sambil berteriak, lalu menginjak-injak dan menari fandango39 di atasnya, dalam ekstasi dan amarah yang luar biasa.

Sementara itu, saya terduduk di kursi yang dia tinggalkan. "Moissart dan Voissart!" ulang saya, sambil berpikir, saat dia memotong salah satu sayap merpati40, dan "Croissart dan Froissart!" Saat dia menyelesaikan gerakannya yang lain. "Moissart dan Voissart dan Croissart dan Napoleon Bonaparte Froissart! Wah, dasar ular tua yang jahanam, itu aku --itu aku-- kau dengar? Itu aku" --di sini saya berteriak sekeras-kerasnya-- "Itu aku-ku-ku-ku! Aku Napoleon Bonaparte Froissart! Dan seandainya aku menikah dengan nenek buyutku, aku berharap aku dikutuk selamanya!"

Madame Eugenie Lalande, alias Simpson -- dulunya Moissart -- sebenarnya adalah nenek buyutku yang masih muda. Di masa mudanya, dia cantik, bahkan di usia delapan puluh dua tahun, dia tetap mempertahankan tinggi badannya yang megah, lekuk kepalanya yang indah, matanya yang indah, dan hidung Yunani khas masa mudanya. Dengan bantuan bedak mutiara, pemerah pipi, rambut palsu, gigi palsu, dan tournure palsu, serta bantuan para ahli mode Paris yang paling terampil, dia berhasil mempertahankan kedudukan terhormat di antara para perempuan cantik en peu passees41 di kota metropolitan Prancis itu. Dalam hal ini, memang, dia mungkin dianggap setara dengan Ninon De L'Enclos yang tersohor.

Dia sangat kaya, dan untuk kedua kalinya ditinggal sebagai janda tanpa anak, dia memikirkan keberadaan saya di Amerika, dan dengan tujuan menjadikan saya ahli warisnya, dia mengunjungi Amerika Serikat, ditemani seorang kerabat jauh yang sangat cantik dari suami keduanya —Madame Stephanie Lalande.

Di opera, perhatian nenek buyut saya teralihkan oleh tatapan saya, dan, saat mengamati saya melalui kacamatanya, dia dikejutkan oleh kemiripan keluarga dengan dirinya. Karena tertarik, dan mengetahui bahwa pewaris yang dicarinya benar-benar ada di kota ini, dia bertanya kepada rombongannya tentang saya. Laki-laki yang melayaninya mengenal saya, dan memberi tahu siapa saya. Informasi yang diperolehnya mendorongnya untuk kembali mengamati, dan pengamatan itulah yang membuat saya begitu berani sehingga saya bertindak dengan cara absurd seperti yang sudah dijelaskan. Tapi, dia membalas anggukan saya, dengan kesan bahwa, melalui suatu kebetulan yang aneh, saya sudah mengetahui identitasnya. Ketika, tertipu oleh kelemahan penglihatan saya, dan keterampilan berdandannya, sehubungan dengan usia dan pesona perempuan asing itu, saya bertanya dengan begitu antusias kepada Talbot tentang siapa dia, dia menyimpulkan bahwa yang saya maksud adalah perempuan muda cantik itu, tentu saja, kemudian memberi tahu saya, dengan jujur, bahwa dia adalah ‘janda ternama, Madame Lalande’.

Di jalan, keesokan paginya, nenek buyut saya bertemu dengan Talbot, seorang kenalan lama dari Paris, dan percakapan mereka, tentu saja, beralih tentang saya. Kekurangan penglihatan saya kemudian dijelaskan, karena sudah diketahui orang, meskipun saya sama sekali tidak tahu tentang itu, dan kerabat saya yang baik hati itu menemukan, dengan sangat kesal, bahwa dia sudah tertipu dengan mengira saya mengetahui identitasnya, dan bahwa saya hanya mempermalukan diri sendiri dengan jatuh  cinta terang-terangan, di sebuah teater, dengan seorang perempuan tua yang tidak dikenal. Sebagai hukuman atas kecerobohan saya ini, dia menyusun rencana dengan Talbot. Dia sengaja menghindar agar saya tidak dikenalkan. Pertanyaan saya di jalan tentang ‘janda cantik, Madame Lalande’, seharusnya merujuk pada perempuan yang lebih muda, tentu saja, dan dengan demikian percakapan dengan tiga laki-laki yang saya temui tidak lama setelah meninggalkan hotel Talbot akan mudah dijelaskan, begitu pula kiasan mereka kepada Ninon De L'Enclos. Saya tidak berkesempatan untuk melihat Madame Lalande dari dekat di siang hari, dan, di pesta musik malamnya, kelemahan saya yang konyol dalam menolak bantuan kacamata secara efektif mencegah saya mengetahui usianya. Ketika ‘Madame Lalande’ dipanggil untuk bernyanyi, perempuan muda itu yang ditunjuk, dan dialah yang bangkit untuk memenuhi panggilan itu, nenek buyut saya, untuk melanjutkan tipu daya itu, bangkit pada saat yang sama dan menemaninya ke piano di ruang tamu utama. Seandainya saya memutuskan untuk mengantarnya ke sana, itu memang rencananya untuk menunjukkan bahwa saya pantas tetap di sana, tapi pertimbangan saya sendiri yang bijaksana merasa kalau hal itu tidak perlu. Lagu-lagu yang sangat saya kagumi, dan yang begitu menguatkan kesan saya tentang masa muda kekasih saya itu, dibawakan oleh Madame Stephanie Lalande. Kacamata itu diberikan sebagai tambahan terhadap tipuan itu --sebuah sengatan pada epigram42 tipu daya itu. Penyajiannya memberikan kesempatan untuk ceramah tentang kepura-puraan yang sangat saya hargai. Hampir tidak perlu menambahkan bahwa kacamata itu, seperti yang dikenakan oleh perempuan tua itu, sudah ditukar olehnya dengan sepasang yang lebih cocok untuk usia saya. Mereka benar-benar cocok untuk saya.

Sang pendeta, yang cuma berpura-pura mengikat simpul ikatan itu, adalah teman baik Talbot, dan bukan pendeta sama sekali. Tapi, dia adalah ‘gong’ yang bagus, dan setelah menanggalkan jubahnya untuk mengenakan mantel panjang, dia mengendarai kereta kuda yang membawa ‘pasangan bahagia’ itu keluar kota. Talbot duduk di sampingnya. Kedua bajingan itu dengan demikian adalah puncaknya, dan melalui jendela yang setengah terbuka di ruang tamu belakang penginapan, mereka tertawa terbahak-bahak melihat akhir drama itu. Saya rasa saya terpaksa memuji mereka berdua.

Begitupun, saya bukanlah suami dari nenek buyut saya, dan ini adalah pikiran yang memberi saya kelegaan tidak terhingga, --tapi saya adalah suami Madame Lalande--Madame Stephanie Lalande-- yang dengannya kerabat saya yang baik hati itu, selain menjadikan saya ahli warisnya satu-satunya kalau dia meninggal –kalau dia meninggal nanti-- sudah bersusah payah mencarikan jodoh untuk saya. Kesimpulannya: saya sudah insaf selamanya dengan billets doux43 dan tidak akan pernah ditemui tanpa KACAMATA.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Magnetoestetik: Poe menciptakan kata ini. Dalam konteksnya, kata ini mungkin berarti studi tentang ketertarikan atau "magnetisme hewani" antara laki-laki dan perempuan.

2 Plebeian: rakyat jelata; Di Roma kuno, kaum plebeian atau plebs adalah kelompok umum warga negara Romawi yang bebas yang bukan bangsawan, sebagaimana ditentukan oleh sensus, atau dengan kata lain " rakyat jelata".

3 Esq: Esquire, gelar kehormatan di Inggris yang secara historis merujuk pada bangsawan di antara gelar Sir dan Knight yang bertugas sebagai pembawa perisai bagi seorang ksatria. Di Amerika Serikat, gelar ini digunakan untuk pengacara sebagai bentuk penghormatan, menunjukkan bahwa orang tersebut adalah anggota profesi hukum, meskipun gelar ini bukan gelar akademik.

4 Chronicles: atau Chroniques; sejarah prosa Perang Seratus Tahun yang ditulis pada abad ke-14 oleh Jean Froissart. Chronicles dibuka dengan peristiwa-peristiwa menjelang penggulingan Edward II pada tahun 1327, dan mencakup periode hingga tahun 1400, menceritakan peristiwa-peristiwa di Eropa Barat, terutama di Inggris, Prancis, Skotlandia, Negeri-Negeri Dataran Rendah, dan Semenanjung Iberia, meskipun terkadang juga menyebutkan negara dan wilayah lain seperti Italia, Jerman, Irlandia, Balkan, Siprus, Turki, dan Afrika Utara.

5 Sanguin: salah satu dari empat tipe kepribadian klasik, yang ditandai dengan sifat ceria, optimis, mudah bergaul, dan penuh energi, serta menyukai petualangan dan ekspresi emosi.

6 Prima donna: bahasa Italia untuk "perempuan utama". Bintang perempuan utama sebuah opera. Padanan terbaik dalam bahasa Indonesia adalah ‘sripanggung’.

7 Tournure: penyangga rok perempuan supaya berbentuk bulat sempurna. 

8 Psyche: istri Cupid, dewa cinta dan hasrat erotis Romawi. Dia sering digambarkan sebagai perempuan cantik bersayap kupu-kupu.

9 Topi gauze aerienne: topi dengan kasa tipis.

10 Ventum textilem: rajutan angin, pakaian yang sangat tipis.

11 Lucius Apuleius Madaurensis (124–170): seorang penulis prosa berbahasa Latin Numidia, filsuf Platonis dan ahli retorika. Dia lahir di provinsi Romawi Numidia, di kota Berber Madauros, M'Daourouch modern, Aljazair. Insiden paling terkenal dalam hidupnya adalah ketika dia dituduh menggunakan sihir untuk mendapatkan perhatian (dan kekayaan) seorang janda kaya. Dia kemudian menyampaikan pembelaannya sendiri di hadapan prokonsul dan pengadilan magistrat yang bersidang di Sabratha, dekat Oea (Tripoli modern, Libya). Pembelaan ini dikenal sebagai Apologia. Karyanya yang paling terkenal adalah novel cabulnya, Metamorphoses, atau dikenal juga sebagai The Golden Ass. Novel ini merupakan satu-satunya novel Latin yang masih utuh.

12 Aigrette: perhiasan berbentuk bulu yang dikenakan di rambut atau topi. Berasal dari kata Prancis "egret", seekor bangau putih yang digemari karena bulunya.

13 Stamboul: Istambul.

14 Erebus: dalam mitologi Yunani adalah personifikasi kegelapan. Dalam Theogony karya Hesiod, dia  adalah keturunan Chaos, dan ayah Aether dan Hemera (Siang) dengan Nyx (Malam); dalam kosmogoni Yunani lainnya, dia adalah ayah Aether, Eros, dan Metis, atau penguasa pertama para dewa. Dalam silsilah yang diberikan oleh penulis Romawi, dia melahirkan banyak keturunan personifikasi pada Nox (padanan Romawi untuk Nyx), sementara dalam teogoni Orfik, dia adalah keturunan Chronos (Waktu).  Erebus juga digunakan untuk merujuk pada kegelapan Dunia Bawah, Dunia Bawah itu sendiri, atau wilayah yang dilalui jiwa untuk mencapai Hades, dan terkadang digunakan sebagai sinonim untuk Tartarus atau Hades.

15 Il fanatico: orang yang fanatik (Italia).

16 Antares (Alpha Scorpii): bintang paling terang di rasi bintang Scorpius dan salah satu bintang paling terang di langit malam.

17 Vaudeville: sebuah bagian teater ringan yang seringkali bersifat komedi, sering kali menggabungkan pantomim, dialog, tarian, dan lagu. Hiburan panggung yang terdiri dari berbagai pertunjukan (seperti hewan pertunjukan, akrobat, komedian, penari, atau penyanyi).

18 Ninon, Ninon, Ninon a bas --a bas Ninon De L'Enclos: Ninon, Ninon, Ninon turunlah –turunlah Ninon De L'Enclos (Prancis). Anne "Ninon" de l'Enclos (1620–1705), juga dieja Ninon de Lenclos dan Ninon de Lanclos, adalah seorang penulis Prancis, pelacur dan patron seni.

19 L'etudier: mempelajarinya (Prancis).

20 Hock: istilah Inggris untuk anggur putih Jerman. Istilah ini terkadang merujuk pada anggur putih dari wilayah Rhine (khususnya Riesling) dan terkadang juga merujuk pada semua jenis anggur putih Jerman. Kata hock merupakan kependekan dari kata hockamore yang sudah usang, sebuah modifikasi dari "Hochheimer",  yang berasal dari nama kota Hochheim am Main di Jerman.

21 Resitatif: gaya musik vokal, sering ditemukan dalam opera dan oratorio, di mana penyanyi menyanyikan dialog atau narasi dengan ritme dan intonasi yang mirip dengan percakapan biasa, berbeda dengan melodi yang lebih terstruktur pada aria.

22 Otello: opera tiga babak karya Gioachino Rossini, yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1822. Karya ini didasarkan pada adaptasi cerita dalam bahasa Prancis (Othello, ou le More de Venise karya Jean-François Ducis, 1792), bukan drama Othello karya Shakespeare.

23 Sul mio sasso: di atas batu karangku (Italia).

24 I Capuleti: I Capuleti e i Montecchi (Keluarga Capulet dan Keluarga Montague) adalah opera Italia dua babak karya Vincenzo Bellini. Libreto karya Felice Romani merupakan penggarapan ulang kisah Romeo dan Juliet untuk opera karya Nicola Vaccai berjudul Giulietta e Romeo dan berdasarkan drama dengan judul yang sama karya Luigi Scevola yang ditulis pada tahun 1818, sehingga bersumber dari Italia, bukan diambil langsung dari William Shakespeare.

25 Kontralto: jenis suara nyanyian klasik perempuan yang memiliki jangkauan vokal terendah di antara semua jenis suara perempuan. 

26 Soprano: jenis suara nyanyian klasik dan memiliki jangkauan vokal tertinggi dari semua jenis suara.

27 San Carlo Opera Company: nama dua perusahaan opera berbeda yang aktif di Amerika Serikat selama paruh pertama abad kedua puluh.

28 Kadensa: rangkaian akor pendek yang menandai akhir frasa, bagian, atau karya musik, yang memberikan kesan penyelesaian atau ketegangan. Kadensa berfungsi seperti tanda baca dalam musik, yang menyelesaikan ketegangan harmoni dan menentukan kunci atau tonalitas.

29 Fiorituri: diambil dari kata "fior" yang berarti "bunga" dalam bahasa Italia, biblioteca merujuk pada garis vokal yang berbunga-bunga dan penuh hiasan dalam sebuah aria.

30 La sonnambula (The Sleepwalker): opera semi-seri dalam dua babak oleh Vincenzo Bellini yang diatur ke libretto Italia oleh Felice Romani.

31 Ah! non guinge uman pensiero. Al contento ond 'io son piena: Ah! tidak ada pikiran manusia yang bisa membawa kepada rasa puas yang memenuhi diriku (Italia).

32 Maria Felicia Malibran (1808–1836): seorang penyanyi Spanyol yang umumnya menyanyikan bagian kontralto dan sopran, dan merupakan salah satu penyanyi opera paling terkenal pada abad ke-19. Malibran dikenal karena kepribadiannya yang penuh badai dan intensitas dramatis, menjadi tokoh legendaris setelah kematiannya di Manchester, Inggris, pada usia 28 tahun. Catatan kontemporer tentang suaranya menggambarkan jangkauan, kekuatan, dan fleksibilitasnya sebagai luar biasa.

33 Vincenzo Salvatore Carmelo Francesco Bellini (1801–1835): seorang komponis opera Italia yang terkenal karena melodinya yang panjang dan anggun serta pengaturan musiknya. Sebagai tokoh sentral era bel canto, dia dikagumi tidak hanya oleh publik tapi juga oleh banyak komponis yang terpengaruh oleh karyanya. Lagu-lagunya menyeimbangkan hiasan dengan pendekatan yang tampak sederhana terhadap pengaturan lirik.

34 Mon cher ami: teman baikku (Prancis).

35 Eh bien! Mon ami: baiklah! Temanku (Prancis).

36 Hidung Yunani: (atau hidung lurus) adalah bentuk hidung yang ditandai dengan batang hidung yang lurus, sempit, dan konsisten dari pangkal hingga ujung, tanpa punuk atau lekukan, dan biasanya memiliki ujung yang sedikit meruncing ke atas. Bentuk ini dianggap klasik dan elegan karena sering muncul pada seni dan patung Yunani kuno, serta dikaitkan dengan kecantikan dan kekaguman. 

37 Jupiter: dewa langit dan guntur, raja para dewa, dalam agama dan mitologi Romawi kuno.

38 Tarian Santo Vitus: dinamai menurut Santo Vitus,  yang namanya kadang-kadang disebut Guy atau Guido, seorang martir Kristen dari Sisilia, adalah wabah menari (koreomania), sebuah fenomena yang mungkin memiliki penyebab biologis, yang terjadi terutama di daratan Eropa antara abad ke-14 dan ke-17. Satu wabah yang sangat terkenal terjadi di Strasbourg pada tahun 1518 di Alsace, juga di Kekaisaran Romawi Suci (sekarang di Prancis modern).

39 Fandango: tarian berpasangan yang meriah dan berasal dari Portugal dan Spanyol, biasanya dalam tiga metre, dan secara tradisional diiringi gitar, kastanyet, rebana, atau tepukan tangan.

40 Memotong sayap merpati: memamerkan keterampilan dalam menari.

41 En peu passees: dalam beberapa langkah (Prancis).

42 Epigram: pernyataan singkat, menarik, dan seringkali jenaka atau satir yang menyampaikan satu ide atau pemikiran dengan cara yang cerdas dan mudah diingat.

43 Billets doux: surat cinta (Prancis).

Comments

Populer