Tembok (The Wall ~ Jean-Paul Sartre)
Itu
terjadi sekitar tiga jam: saya pusing dan kepala saya kosong; tapi ruangan itu
cukup hangat dan saya merasa itu cukup menyenangkan: selama 24 jam sebelumnya
kami terus menggigil. Para penjaga membawa para tahanan ke meja, satu per satu.
Keempat laki-laki itu menanyakan nama dan pekerjaan setiap orang. Sering kali
mereka tidak bertanya lebih jauh —atau mereka cuma bertanya sesekali:
"Apakah kau terlibat dengan sabotase amunisi?" atau "Di mana kau
pada pagi hari tanggal 9 dan apa yang kau lakukan?" Mereka tidak
mendengarkan jawabannya atau setidaknya terlihat tidak mendengarkan. Mereka diam
sejenak, lalu menatap lurus ke depan dan mulai menulis. Mereka bertanya kepada
Tom apakah benar dia anggota Brigade Internasional: Tom tidak bisa memastikan
karena kertas-kertas yang mereka temukan di mantelnya. Mereka tidak bertanya
apa-apa kepada Juan, tapi mereka menulis cukup lama sesudah dia menyebutkan
namanya.
"Saudaraku
Jose itu anarkis," kata Juan. "Anda tahu dia sudah tidak di sini. Saya
tidak tergabung dalam partai mana pun. Saya tidak pernah terlibat dalam
politik."
Mereka
tidak menjawab. Juan melanjutkan, "Saya tidak melakukan apa-apa. Saya
tidak ingin menanggung perbuatan orang lain."
Bibirnya
bergetar. Seorang penjaga membungkamnya dan membawanya pergi. Giliran saya.
"Namamu
Pablo Ibbieta?"
"Ya."
Laki-laki
itu melihat kertas-kertas itu dan bertanya kepada saya, "Di mana Ramon
Gris?"
"Saya
tidak tahu."
"Kau
menyembunyikannya di rumahmu dari tanggal 6 sampai tanggal 19."
"Tidak."
Mereka
menulis sebentar, lalu para penjaga membawa saya keluar. Di koridor, Tom dan
Juan menunggu di antara dua penjaga. Kami mulai berjalan. Tom bertanya kepada
salah satu penjaga, "Jadi?"
"Jadi
apa?" tanya penjaga itu.
"Apakah
itu pemeriksaan awal atau langsung putusan?"
"Putusan,"
kata penjaga itu.
"Apa
yang akan mereka lakukan kepada kami?"
Penjaga
itu menjawab dengan datar, "Hukuman akan dibacakan di selmu."
Sebenarnya,
sel kami adalah salah satu ruang bawah tanah rumah sakit. Di sana sangat dingin
karena angin. Kami menggigil sepanjang malam dan tidak jauh lebih baik di siang
hari. Saya sudah menghabiskan lima hari sebelumnya di sel di sebuah biara,
semacam lubang di dinding yang pasti berasal dari abad pertengahan: karena ada
banyak tahanan dan tidak banyak ruang, mereka mengurung kami di mana saja. Saya
tidak merindukan sel saya; saya tidak terlalu merasa kedinginan, tapi saya
sendirian; sesudah waktu yang lama, itu jadi menjengkelkan. Di ruang bawah
tanah saya punya teman. Juan nyaris tidak pernah bicara: dia takut dan dia
terlalu muda untuk bicara soal apa pun. Tapi Tom pandai bicara dan dia fasih
berbahasa Spanyol.
Ada
bangku di ruang bawah tanah dan empat lembar tikar. Ketika mereka membawa kami
kembali, kami duduk dan menunggu dalam diam. Sesudah beberapa saat, Tom
berkata, "Celakalah kita."
"Aku
juga berpikir begitu," kata saya, "tapi aku tidak yakin mereka akan
melakukan apa pun kepada anak itu."
"Mereka
tidak punya masalah dengannya," kata Tom. "Dia saudara seorang
milisi, cuma itu."
Saya menatap Juan: dia sepertinya tidak mendengar. Tom melanjutkan, "Tahukah kau apa yang mereka lakukan di Zaragoza? Mereka membaringkan orang-orang di jalan dan melindas mereka dengan truk. Seorang desertir Maroko memberi tahu kami. Mereka bilang itu untuk menghemat amunisi."
"Tapi itu boros bensin," kata saya.
Saya
kesal pada Tom: dia seharusnya tidak mengatakan itu.
"Lalu
ada petugas yang berjalan di sepanjang jalan," lanjutnya, "mengawasi
semuanya. Mereka memasukkan tangan ke saku dan merokok. Kau pikir mereka menghabisi
orang-orang itu? Tentu saja tidak. Mereka membiarkan mereka menjerit. Terkadang
sampai satu jam. Orang Maroko itu bilang dia hampir muntah saat melihatnya pertama
kali."
"Aku
rasa mereka tidak akan melakukan itu di sini," kata saya. "Kecuali
mereka benar-benar kekurangan amunisi."
Cahaya
matahari masuk melalui empat lubang udara dan sebuah lubang bundar yang mereka
buat di langit-langit sebelah kiri, dan langit pun terlihat. Melalui lubang itu,
yang biasanya ditutup dengan perangkap, mereka menurunkan batu bara ke ruang
bawah tanah. Tepat di bawah lubang terdapat tumpukan besar debu batu bara: debu
tersebut digunakan untuk memanaskan rumah sakit, tapi sejak awal perang para
pasien sudah dievakuasi dan batu bara tersebut tetap di sana, tidak terpakai;
terkadang bahkan terkena hujan karena mereka lupa menutup perangkapnya.
Tom
mulai menggigil. "Ya Tuhan Yesus, aku kedinginan," katanya. "Ini
terjadi lagi."
Dia
bangkit dan mulai beraktivitas. Setiap kali bergerak, bajunya terbuka di
dadanya, putih dan berbulu. Dia berbaring telentang, mengangkat kakinya ke
udara, dan seolah-olah mengayuh sepeda. Saya melihat bokongnya yang besar
bergetar. Tom memang kekar, tapi lemaknya terlalu banyak. Saya membayangkan
bagaimana peluru senapan atau ujung tajam bayonet akan segera menancap di
bongkahan daging empuk itu seperti bongkahan mentega. Saya tidak akan berpikir
seperti itu seandainya dia kurus.
Saya
tidak terlalu kedinginan, tapi saya tidak bisa merasakan lengan dan bahu saya
lagi. Kadang-kadang saya merasa ada yang kurang dan mulai mencari-cari mantel,
lalu tiba-tiba teringat bahwa mereka tidak memberi saya mantel. Rasanya agak
tidak nyaman. Mereka mengambil pakaian kami dan memberikannya kepada anggota
mereka, meninggalkan kami hanya kemeja —dan celana kanvas yang dikenakan pasien
rumah sakit di tengah musim panas. Sesudah beberapa saat, Tom bangkit dan duduk
di sebelah saya, terengah-engah.
"Lebih
hangat?"
"Ya
Tuhan Yesus, tidak. Tapi aku kehabisan napas."
Sekitar
pukul delapan malam, seorang mayor datang membawa dua orang falangista1.
Dia memegang selembar kertas. Dia bertanya kepada penjaga, "Siapa nama
ketiga orang ini?"
"Steinbock,
Ibbieta dan Mirbal," kata sang penjaga.
Sang
mayor mengenakan kacamatanya dan membaca sekilas daftar itu: "Steinbock...
Steinbock... oh ya... kau dijatuhi hukuman mati. Kau akan ditembak besok
pagi." Dia terus melihat daftar itu. "Dua orang lainnya juga."
"Itu
tidak mungkin," kata Juan. "Bukan saya."
Sang
mayor menatapnya dengan heran. "Siapa namamu?"
"Juan
Mirbal," katanya.
"Namamu
ada di sini," kata sang mayor. "Kau dihukum."
"Saya
tidak melakukan apa-apa," kata Juan.
Sang
mayor mengangkat bahunya dan menoleh ke arah Tom dan saya.
"Kau
orang Basque2?"
"Tidak
ada seorang pun yang orang Basque."
Dia
terlihat kesal. "Mereka bilang ada tiga orang Basque. Aku tidak mau
buang-buang waktu mengejar mereka. Jadi mestinya kalian tidak butuh pendeta,
kan?"
Kami
bahkan tidak menjawab.
Dia
berkata, "Seorang dokter Belgia akan segera datang. Dia diizinkan menginap
bersama kalian." Dia memberi hormat militer dan pergi.
"Apa
yang sudah kukatakan?" kata Tom. "Kita mendapatkannya."
"Ya,"
kata saya, "itu adalah keputusan yang buruk buat anak itu."
Saya
mengatakan itu agar terlihat baik, tapi saya tidak menyukai anak itu. Wajahnya
terlalu kurus, dan ketakutan serta penderitaan sudah merusaknya, membuat semua
raut wajahnya berubah. Tiga hari sebelumnya dia anak yang cerdas, tidak terlalu
buruk; tapi sekarang dia terlihat seperti peri tua dan saya berpikir bagaimana
dia tidak akan pernah kembali muda lagi, bahkan kalau mereka melepaskannya.
Tidak akan terlalu sulit untuk sedikit mengasihaninya, tapi rasa kasihan itu membuat
saya jijik, atau lebih tepatnya membuat saya takut. Dia tidak mengatakan
apa-apa lagi, tapi wajahnya memucat; wajah dan tangannya memucat. Dia duduk
lagi dan menatap tanah dengan mata bulat. Tom baik hati, dia ingin meraih
lengannya, tapi anak itu melepaskan diri dengan kasar dan meringis.
"Biarkan
saja dia," kata saya dengan suara pelan, "kau bisa lihat dia akan
menangis tersedu-sedu."
Tom
menurut dengan penuh penyesalan: dia ingin menghibur anak itu, itu akan
menghabiskan waktunya dan dia tidak akan tergoda untuk memikirkan dirinya
sendiri. Tapi itu mengganggu saya: saya tidak pernah memikirkan kematian karena
saya tidak pernah punya alasan untuk itu, tapi sekarang alasannya ada di sini
dan tidak ada yang bisa saya lakukan selain memikirkannya.
Tom
mulai bicara. "Jadi, kau pikir kau sudah mengalahkan orang-orang,
ya?" tanyanya kepada saya. Saya tidak menjawab. Dia mulai menjelaskan
kepad saya bahwa dia sudah mengalahkan enam orang sejak awal Agustus; dia tidak
menyadari situasinya dan saya tahu dia tidak ingin menyadarinya. Saya
sendiri tidak sepenuhnya menyadarinya, saya bertanya-tanya apakah itu menyakitkan,
saya membayangkan peluru, saya membayangkan hujan es yang membakar menembus
tubuh saya. Semua itu di luar pertanyaan yang sebenarnya; tapi saya tenang:
kami punya waktu semalaman untuk mengerti. Sesudah beberapa saat, Tom berhenti
bicara dan saya memperhatikannya dari sudut matak; saya melihat dia juga sudah
berubah menjadi abu-abu dan membusuk; saya berkata kepada diri sendiri,
"Sekarang semuanya dimulai." Hari sudah hampir gelap, cahaya redup
menembus lubang-lubang udara dan tumpukan batu bara dan membentuk noda besar di
bawah titik langit; saya bisa melihat bintang melalui lubang di langit-langit:
malam akan terasa sempurna dan dingin.
Pintu
terbuka dan dua penjaga masuk, diikuti seorang laki-laki berambut pirang
berseragam cokelat. Dia memberi hormat kepada kami. "Saya dokter,"
katanya. "Saya bertugas untuk membantu Anda di saat-saat sulit ini."
Suaranya
terdengar ramah dan penuh wibawa. Saya bertanya, "Apa yang kau inginkan?"
"Saya
siap membantu Anda. Saya akan melakukan apa pun yang saya bisa untuk membuat
saat-saat terakhir Anda tidak terlalu sulit."
"Buat
apa kau ke sini? Masih ada orang lain yang lebih membutuhkan, rumah sakit
penuh."
"Saya
dikirim ke sini," jawabnya dengan tatapan samar. "Ah! Mau
merokok?" tambahnya cepat, "Saya punya rokok, bahkan cerutu."
Dia
menawari kami rokok Inggris dan puros3, tapi kami menolak.
Saya menatap matanya dan dia terlihat kesal. Saya berkata kepadanya, "Kau
ke di sini bukan untuk memintakan pengampunan. Lagipula, aku mengenalmu. Aku
melihatmu bersama kaum fasis di halaman barak pada hari aku ditangkap."
Saya
hendak melanjutkan, tapi sesuatu yang mengejutkan tiba-tiba terjadi kepada saya;
kehadiran dokter itu tidak lagi menarik buat saya. Biasanya, saat saya bersama
seseorang, saya tidak akan melepaskannya. Tapi, hasrat untuk bicara saya lenyap
sepenuhnya; saya mengangkat bahu dan mengalihkan pandangan. Tidak lama kemudian
saya mengangkat kepala; dia menatap saya dengan rasa ingin tahu. Para penjaga
duduk di atas tikar. Pedro, yang tinggi kurus, memainkan ibu jarinya, sementara
yang satunya menggelengkan kepala sesekali agar tidak tertidur.
"Anda
butuh lampu?" Pedro tiba-tiba bertanya kepada dokter itu. Dokter yang
satunya mengangguk, "Ya": saya pikir dia sepintar keledai, tapi jelas
tidak buruk. Menatap mata birunya yang dingin, saya merasa satu-satunya dosanya
adalah kurangnya imajinasi. Pedro keluar dan kembali dengan lampu minyak yang dia
letakkan di sudut bangku. Lampu itu memang kurang terang, tapi lebih baik
daripada tidak sama sekali: mereka meninggalkan kami dalam kegelapan malam.
Lama sekali saya memperhatikan lingkaran cahaya yang dihasilkan lampu di
langit-langit. Saya terpesona. Lalu tiba-tiba saya terbangun, lingkaran cahaya
itu menghilang dan saya merasa diri saya terhimpit beban yang sangat berat. Itu
bukan pikiran tentang kematian, atau ketakutan; itu tidak bisa dijelaskan. Pipi
saya terasa panas dan kepala saya sakit.
Saya
menggeleng dan menatap kedua teman saya. Tom menyembunyikan wajahnya di balik
telapak tangannya. Saya cuma bisa melihat tengkuknya yang putih dan gemuk. Juan
kecil yang paling parah, mulutnya terbuka dan lubang hidungnya bergetar. Dokter
menghampirinya dan meletakkan tangannya di bahu Juan untuk menghiburnya: tapi
tatapannya tetap dingin. Lalu saya melihat tangan orang Belgia itu diam-diam
merayap di sepanjang lengan Juan, hingga ke pergelangan tangan. Juan tidak
menghiraukannya. Orang Belgia itu memegang pergelangan tangannya dengan tiga
jari, dengan linglung, sambil menariknya sedikit ke belakang dan membelakangi
saya. Tapi saya mencondongkan tubuh ke belakang dan melihatnya mengambil arloji
dari sakunya dan memandanginya sejenak, dia tidak pernah melepaskan pergelangan
tangannya. Semenit kemudian, dia membiarkan arloji itu terkulai tidak bergerak
dan pergi menyandarkan punggungnya ke dinding. Lalu, seolah tiba-tiba teringat
sesuatu yang sangat penting yang harus segera dicatat, dia mengambil buku
catatan dari sakunya dan menulis beberapa baris. "Bajingan," pikir
saya dengan marah, "coba dia datang dan memeriksa denyut nadiku. Akan kuhantamkan
tinjuku ke wajah busuknya."
Dia
tidak datang, tapi saya merasakannya sedang memperhatikan saya. Saya mendongak
dan membalas tatapannya. Dengan acuh tak acuh, dia berkata kepada saya,
"Tidakkah Anda merasa dingin di sini?" Dia terlihat kedinginan,
wajahnya membiru.
"Aku
tidak kedinginan," kata saya kepadanya.
Dia
tidak pernah mengalihkan tatapan tajamnya dari saya. Tiba-tiba saya mengerti
dan tangan saya menyentuh wajah saya: saya basah kuyup oleh keringat. Di ruang
bawah tanah ini, di tengah musim dingin, di tengah hembusan angin, saya
berkeringat. Saya menyisir rambut dengan tangan, yang lengket karena keringat:
pada saat yang sama saya melihat kemeja saya basah dan lengket di kulit: saya
sudah berkeringat selama satu jam dan tidak merasakannya. Tapi babi Belgia itu
tidak melewatkan apa pun; dia melihat tetesan air mengalir di pipi saya dan
berpikir: inilah manifestasi dari keadaan teror yang patologis; dan dia merasa wajar
dan sombong karena karena dia masih hidup karena merasakan kedinginan. Saya
ingin berdiri dan menghancurkan wajahnya tapi begitu saya membuat gerakan kecil
saja, amarah dan rasa malu saya terhapus; saya duduk kembali ke bangku dengan
acuh tak acuh.
Saya
memuaskan diri dengan mengusap leher dengan sapu tangan karena sekarang saya
merasakan keringat menetes dari rambut ke leher, dan rasanya tidak nyaman. Saya
segera berhenti menggosok, percuma saja; sapu tangan saya sudah basah kuyup dan
saya masih berkeringat. Bokong saya juga berkeringat dan celana saya yang basah
menempel di bangku.
Tiba-tiba
Juan bicara. "Kau dokter?"
"Ya,"
kata orang Belgia itu.
"Apakah
rasa sakitnya... akan sangat lama?"
"Hah?
Kalau apa...? Oh, tidak," kata orang Belgia itu kebapakan. "Tidak
sama sekali. Cepat." Dia bertingkah seolah sedang menenangkan seorang
pasien yang membayar tunai.
"Tapi
aku... mereka bilang... terkadang mereka harus menembak dua kali."
"Kadang-kadang,"
kata orang Belgia itu sambil mengangguk. "Mungkin saja tembakan pertama
tidak mengenai organ vital."
"Lalu
mereka harus mengisi ulang senapan mereka dan membidik lagi?" Dia berpikir
sejenak, lalu menambahkan dengan suara serak, "Itu butuh waktu!"
Dia
sangat takut akan penderitaan, cuma itu yang ada di pikirannya: sesuai dengan
umurnya. Saya tidak pernah terlalu memikirkannya, dan bukan rasa takut akan
penderitaan yang membuat saya berkeringat.
Saya
bangkit dan berjalan menuju tumpukan debu batu bara. Tom melompat dan
melemparkan tatapan penuh kebencian kepada saya: saya membuatnya kesal karena
sepatu saya berdecit. Saya bertanya-tanya apakah wajah saya terlihat setakut
wajahnya: saya lihat dia juga berkeringat. Langit terlihat luar biasa, tidak
ada cahaya yang masuk ke sudut gelap dan saya cuma perlu mengangkat kepala
untuk melihat bintang biduk. Tapi ternyata tidak seperti dulu: malam sebelumnya
saya bisa melihat sepetak langit yang luas dari sel biara dan setiap jam di
siang hari membawakan saya kenangan yang berbeda. Pagi hari, ketika langit
berwarna biru muda yang tegas, saya teringat pantai-pantai di Atlantik: siang
hari saya melihat matahari dan saya teringat sebuah bar di Seville tempat saya
minum manzanilla4 dan makan zaitun dan ikan teri: sore
hari saya berada di tempat teduh dan saya teringat bayangan gelap yang menyebar
di atas separuh arena adu banteng, meninggalkan separuh lainnya berkilauan di
bawah sinar matahari: sungguh sulit untuk melihat seluruh dunia terpantul di
langit seperti itu. Tapi sekarang saya bisa memandangi langit sesuka hati,
langit tidak lagi membangkitkan apa pun di dalam diri saya. Saya lebih
menyukainya begitu. Saya kembali dan duduk di dekat Tom. Satu momen panjang
berlalu.
Tom
mulai bicara dengan suara pelan. Dia harus bicara, tanpanya dia tak akan bisa
mengenali dirinya sendiri dalam pikirannya sendiri. Saya pikir dia sedang
bicara kepada saya, tapi dia tidak menatap saya. Dia pasti takut melihat saya
apa adanya, pucat dan berkeringat: kami begitu mirip dan cermin yang buruk
untuk satu sama lain. Dia memperhatikan orang Belgia itu, yang masih hidup.
"Kau
mengerti?" tanyanya. "Aku tidak mengerti."
Saya
pun mulai bicara dengan suara pelan. Saya memperhatikan orang Belgia itu.
"Kenapa? Ada apa?"
"Sesuatu
akan terjadi pada kita, sesuatu yang tidak bisa aku mengerti."
Ada
bau aneh pada Tom. Sepertinya saya lebih sensitif terhadap bau daripada
biasanya. Saya menyeringai. "Kau akan mengerti nanti."
"Tidak
jelas," katanya dengan keras kepala. "Aku ingin berani, tapi
pertama-tama aku harus tahu... Dengar, mereka akan membawa kita ke halaman. Tidak
apa-apa. Mereka akan berdiri di depan kita. Berapa orang?"
"Entahlah.
Lima atau delapan. Tidak lebih."
"Baiklah.
Akan ada delapan orang. Seseorang akan berteriak 'bidik!' dan aku akan melihat
delapan senapan menatapku. Aku akan membayangkan betapa aku ingin masuk ke
dalam tembok, aku akan mendorongnya dengan punggungku... sekuat tenaga, tapi
tembok itu akan tetap berdiri, seperti dalam mimpi buruk. Aku bisa membayangkan
semua itu. Seandainya kau tahu betapa hebatnya aku membayangkannya."
"Baiklah,
baiklah!" kata saya. "Aku juga bisa membayangkannya."
"Pasti
sakit sekali. Kau tahu mereka mengincar mata dan mulut untuk membuatmu jadi
jelak," tambahnya otomatis. "Aku sudah bisa merasakan lukanya. Kepala
dan leherku akan sakit sekali selama satu jam terakhir. Bukan sakit sungguhan.
Lebih parah. Itu yang akan kurasakan besok pagi. Lalu apa?"
Saya
mengerti betul maksudnya, tapi saya tidak mau berpura-pura mengerti. Saya juga
merasakan sakit, nyeri di sekujur tubuh seperti sekumpulan bekas luka kecil. Saya
tidak bisa terbiasa. Tapi saya seperti dia. Saya tidak menganggapnya penting.
"Sesudah itu," kata saya, "kau akan menumbuhkan bunga
aster."
Dia
mulai bicara kepada dirinya sendiri: dia tidak henti-hentinya memperhatikan si orang
Belgia. Orang Belgia itu tampaknya tidak mendengarkan. Saya tahu apa yang ingin
dia lakukan; dia tidak tertarik dengan apa yang kami pikirkan; dia datang untuk
memperhatikan tubuh kami, tubuh yang sekarat dalam penderitaan, meski masih
hidup.
"Ini
seperti mimpi buruk," kata Tom. "Kau ingin memikirkan sesuatu, kau
selalu merasa semuanya baik-baik saja, bahwa kau akan mengerti, lalu dia
terlepas, lenyap, dan menghilang. Kukatakan kepada diriku sendiri bahwa tidak
akan ada apa-apa sesudahnya. Tapi aku tidak mengerti apa artinya. Terkadang aku
hampir bisa.... lalu dia menghilang dan aku mulai memikirkan rasa sakit itu
lagi, peluru, ledakan. Aku seorang materialis, aku bersumpah; aku tidak akan
gila. Tapi ada sesuatu yang terjadi. Aku melihat mayatku; itu tidak sulit, tapi
akulah yang melihatnya, dengan mataku sendiri. Aku harus
berpikir... berpikir bahwa aku tidak akan melihat apa pun lagi dan dunia akan
terus berjalan untuk yang lain. Kita tidak dipaksa berpikir seperti itu, Pablo.
Percayalah: aku sudah begadang semalaman menunggu sesuatu. Tapi ini berbeda:
ini akan mengejar kita, Pablo, dan kita tak akan bisa mempersiapkannya."
"Diam,"
kata saya. "Apakah kau ingin aku memanggil pendeta?"
Dia
tidak menjawab. Saya sudah menyadari dia punya kecenderungan untuk bersikap
seperti nabi dan memanggil saya Pablo, berbicara dengan nada datar. Saya tidak
suka itu: tapi sepertinya semua orang Irlandia memang begitu. Saya punya kesan
samar dia berbau pesing. Pada dasarnya, saya tidak terlalu bersimpati pada Tom
dan saya tidak mengerti mengapa, dengan alasan akan mati bersama, saya seharusnya
lebih bersimpati. Akan berbeda dengan orang lain. Dengan Ramon Gris, misalnya.
Tapi saya merasa sendirian di antara Tom dan Juan. Lagipula, saya lebih suka
itu: dengan Ramon saya mungkin akan lebih tersentuh. Tapi saya sedang sangat
keras saat itu dan saya ingin tetap keras.
Dia
terus mengunyah kata-katanya, dengan sesuatu seperti pengalihan. Dia jelas bicara
untuk menahan diri agar tidak berpikir. Dia berbau pesing seperti penyakit
prostat lama. Tentu saja, saya setuju dengannya. Saya bisa saja mengatakan
semua yang dia katakan: mati itu tidak alami. Dan karena saya akan mati,
tidak ada yang terasa alami buat saya, baik tumpukan debu batu bara ini, bangku
ini, maupun wajah buruk Pedro. Hanya saja, saya tidak suka memikirkan hal yang
sama dengan Tom. Dan saya tahu, sepanjang malam, setiap lima menit, kami akan
terus memikirkan banyak hal pada saat yang sama. Saya menatapnya sinis dan
untuk pertama kalinya dia tampak aneh buat saya: dia memasang kematian di wajahnya.
Harga diri saya terluka: selama 24 jam terakhir saya diam di samping Tom, saya
mendengarkannya. Saya sudah bicara dengannya dan saya tahu kami tidak memiliki
kesamaan apa pun. Dan sekarang kami terlihat seperti saudara kembar, cuma
karena kami akan mati bersama. Tom menggenggam tangan saya tanpa menatap saya.
"Pablo.
Aku penasaran... Aku penasaran apakah benar semuanya akan berakhir."
Saya
menarik tangan saya dan berkata, "Lihat di antara kakimu, babi."
Ada
genangan air besar di antara kedua kakinya dan tetesan air jatuh dari kaki
celananya.
"Ada
apa?" tanyanya ketakutan.
"Kau
kencing di celana," kata saya kepadanya.
"Itu
tidak benar," katanya dengan marah. "Aku tidak kencing. Aku tidak
merasakan apa-apa."
Orang
Belgia itu menghampiri kami. Dia bertanya dengan nada khawatir yang palsu.
"Apakah Anda merasa sakit?"
Tom
tidak menjawab. Si Belgia menatap genangan air dan tidak berkata apa-apa.
"Aku
tidak tahu apa itu," kata Tom dengan galak. "Tapi aku tidak takut.
Aku bersumpah aku tidak takut."
Orang
Belgia itu tidak menjawab. Tom bangkit dan kencing di pojokan. Dia kembali
sambil mengancingkan ritsletingnya, lalu duduk tanpa sepatah kata pun. Orang
Belgia itu mencatat.
Kami
bertiga mengawasinya karena dia masih hidup. Dia bergerak layaknya manusia
hidup, kepedulian layaknya manusia hidup; dia menggigil di ruang bawah tanah
sebagaimana seharusnya makhluk hidup menggigil; dia memiliki tubuh yang teratur
dan cukup makan. Kami nyaris tidak bisa merasakan tubuh kami —setidaknya tidak
dengan cara yang sama. Saya ingin merasakan celana saya di antara kedua kaki saya,
tapi saya tidak berani; saya memperhatikan orang Belgia itu, yang
menyeimbangkan diri di atas kakinya, menguasai otot-ototnya, seseorang yang
bisa memikirkan hari esok. Di sanalah kami, tiga bayangan tidak berdarah; kami
mengawasinya dan kami menghisap nyawanya seperti vampir.
Akhirnya
dia menghampiri Juan kecil. Apakah dia ingin meraba lehernya karena alasan
profesional atau dia menuruti dorongan hatinya? Kalau dia bertindak karena
alasan hati, ini adalah satu-satunya yang dia lakukan sepanjang malam ini.
Dia
membelai kepala dan leher Juan. Anak itu membiarkan dirinya disentuh, tatapannya
tidak pernah lepas dari orang Belgia itu, lalu tiba-tiba dia meraih tangannya
dan menatapnya dengan aneh. Dia menggenggam tangan orang Belgia itu di antara
kedua tangannya sendiri dan tidak ada yang menyenangkan darinya, dua capit
abu-abu mencengkeram tangan gemuk dan kemerahan itu. Saya menduga apa yang akan
terjadi dan Tom pasti juga menduganya: tapi orang Belgia itu tidak memikirkan
apa-apa, dia tersenyum kebapakan. Sesaat kemudian, anak itu mendekatkan tangan
merah gemuk itu ke mulutnya dan mencoba menggigitnya. Orang Belgia itu segera
menarik diri dan terhuyung mundur ke dinding. Sesaat dia menatap kami dengan
ngeri, dia pasti tiba-tiba menyadari bahwa kami bukan manusia sepertinya. Saya
mulai tertawa dan salah satu penjaga melompat. Yang satunya tertidur, matanya terbuka
lebar kosong.
Saya
merasa tenang sekaligus girang. Saya tidak ingin lagi memikirkan apa yang akan
terjadi saat fajar, saat kematian. Rasanya tidak masuk akal. Yang saya temukan
hanyalah kata-kata atau kekosongan. Tapi, begitu saya mencoba memikirkan hal
lain, saya melihat laras senapan mengarah kepada saya. Mungkin saya sudah
menjalani eksekusi dua puluh kali; satu kali saya bahkan berpikir bahwa itu
untuk selamanya: saya pasti tertidur sebentar. Mereka menyeret saya ke dinding
dan saya meronta; saya memohon ampun. Saya terbangun kaget dan menatap orang
Belgia itu: saya takut saya mungkin sudah berteriak di dalam tidur. Tapi dia
mengelus kumisnya, dia tidak menyadari apa pun. Kalau saya mau, saya rasa saya
bisa tidur lebih lama; saya sudah terjaga selama 48 jam. Saya sudah putus asa. Tapi
saya tidak ingin kehilangan dua jam kehidupan; mereka akan datang membangunkan
saya saat fajar. Saya akan mengikuti mereka, terbius oleh kantuk dan saya akan
bersuara serak tanpa sepatah kata pun kecuali "Oof!"; saya tidak
menginginkan itu. Saya tidak ingin mati seperti binatang, saya ingin mengerti.
Lalu saya takut mengalami mimpi buruk. Saya bangun, berjalan bolak-balik, dan,
untuk mengalihkan pikiran saya, saya mulai memikirkan kehidupan masa lalu saya.
Sekelompok kenangan kembali kepada saya bertubi-tubi. Ada yang baik dan yang
buruk --atau setidaknya saya menyebutnya begitu sebelumnya. Ada banyak wajah
dan kejadian. Saya melihat wajah seorang novillero5 kecil
yang ditanduk di Valencia selama Feria6, wajah salah satu
pamanku, wajah Ramon Gris. Saya mengingat seluruh hidup saya: bagaimana saya
tidak bekerja selama tiga bulan pada tahun 1926, bagaimana saya hampir mati
kelaparan. Saya ingat suatu malam yang saya habiskan di bangku di Granada: saya
belum makan selama tiga hari. Saya marah, saya tidak ingin mati. Itu membuat
saya tersenyum. Betapa gilanya saya mengejar kebahagiaan, mengejar perempuan,
mengejar kebebasan. Mengapa? Saya ingin memerdekakan Spanyol, saya mengagumi Piy Margall7, saya bergabung dengan gerakan anarkis, saya berbicara di
pertemuan umum: saya melakukan semuanya dengan serius seolah-olah saya tidak
akan mati.
Saat
itu saya merasa seluruh hidup saya ada di hadapan saya dan saya berpikir,
"Ini semua cuma kebohongan." Semua itu tidak berarti apa-apa karena
sudah berakhir. Saya bertanya-tanya bagaimana saya bisa berjalan, tertawa
bersama gadis-gadis: saya tidak akan bergerak sedikit pun kalau saya membayangkan
akan mati seperti ini. Hidup saya ada di hadapan saya, tertutup rapat, seperti
tas, tapi semua isinya belum selesai. Sesaat saya mencoba menilainya. Saya
ingin berkata kepada diri sendiri, inilah hidup yang indah. Tapi saya tidak
bisa menghakiminya; itu cuma sketsa; saya sudah menghabiskan waktu memalsukan
keabadian, saya tidak mengerti apa-apa. Tidak ada yang terlewatkan oleh saya:
begitu banyak hal yang bisa saya lewatkan, rasa manzanilla atau mandi
yang saya lakukan di musim panas di sungai kecil dekat Cadiz; tapi kematian sudah
melunturkan segalanya.
Orang
Belgia itu tiba-tiba mendapat ide cemerlang. "Teman-teman," katanya
kepada kami, "saya berjanji —kalau petugas militer mengizinkannya— untuk
mengirimkan pesan untuk kalian, sebuah kenang-kenangan buat mereka yang
mencintai kalian..."
Tom
bergumam, "Aku tidak punya siapa-siapa."
Saya
diam saja. Tom menunggu sejenak lalu menatap saya dengan rasa ingin tahu.
"Kau tidak punya sesuatu untuk dikatakan pada Concha?"
"Tidak."
Saya
benci keterlibatan yang menyakitkan ini: ini salah saya sendiri, saya bicara
tentang Concha malam sebelumnya. Seharusnya saya mengendalikan diri. Saya
bersamanya selama setahun. Tadi malam saya akan mengorbankan satu lengan demi
bisa bertemu dengannya lagi selama lima menit. Itulah mengapa saya
membicarakannya, itu lebih kuat dari sebelumnya. Sekarang saya tidak lagi
berhasrat untuk melihatnya, saya tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan
kepadanya. Saya bahkan tidak ingin memeluknya: tubuh saya memenuhi saya dengan
rasa takut karena kelabu dan berkeringat --dan saya tidak yakin tubuhnya tidak akan
memenuhi saya dengan rasa takut. Concha akan menangis ketika dia tahu saya sudah
mati, dia tidak akan memiliki keinginanan untuk hidup selama berbulan-bulan sesudahnya.
Tapi saya tetaplah orang yang akan mati. Saya memikirkan matanya yang lembut
dan indah. Ketika dia menatap saya, sesuatu berpindah darinya kepada saya. Tapi
saya tahu itu sudah berakhir: kalau dia menatap saya sekarang, tatapan
itu akan tetap ada di matanya, tidak akan sampai kepada saya. Saya sendirian.
Tom
juga sendirian, tapi tidak dengan cara yang sama. Duduk bersila, dia mulai
menatap bangku dengan semacam senyum, dia terlihat takjub. Dia mengulurkan
tangan dan menyentuh kayu dengan hati-hati seolah-olah takut merusak sesuatu,
lalu menarik tangannya kembali dengan cepat dan bergidik. Seandainya saya Tom, saya
tidak akan menghibur diri dengan menyentuh bangku; itu takhayul Irlandia, tapi saya
juga mendapati benda-benda itu terlihat aneh: mereka terlihat hancur, kurang
padat dari biasanya. Cukup buat saya untuk melihat bangku, lampu, tumpukan debu
batu bara, untuk merasakan bahwa saya akan mati. Tentu saja saya tidak bisa
berpikir jernih tentang kematian saya, tapi saya melihatnya di mana-mana, pada
benda-benda, dalam cara benda-benda itu mundur dan menjaga jarak, diam-diam,
seperti orang-orang yang berbicara pelan di samping tempat tidur orang yang
sekarat. Kematiannya sendirilah yang baru saja disentuh Tom di
bangku itu.
Dalam
keadaan saya saat itu, kalau seseorang datang dan mengatakan saya boleh pulang
dengan tenang, bahwa mereka akan meninggalkan saya dengan utuh, itu akan
membuat saya kedinginan: menunggu beberapa jam atau beberapa tahun sama saja
ketika Anda sudah kehilangan ilusi tentang keabadian. Saya tidak berpegangan
pada apa pun, dalam arti tertentu saya sangat tenang. Tapi itu adalah
ketenangan yang mengerikan --karena tubuh saya; tubuh saya, saya lihat dengan
matanya, saya dengar dengan telinganya, tapi itu bukan saya lagi; dia
berkeringat dan gemetar sendiri dan saya tidak mengenalinya lagi. Saya harus
menyentuhnya dan melihatnya untuk mencari tahu apa yang terjadi, seolah-olah
itu adalah tubuh orang lain. Kadang-kadang saya masih bisa merasakannya, saya
merasa tenggelam, dan jatuh, seperti saat Anda berada di pesawat yang menukik
tajam, atau saya merasakan jantung saya berdetak. Tapi itu tidak meyakinkan
saya. Semua yang keluar dari tubuh saya semuanya aneh. Sebagian besar waktu itu
sunyi dan saya merasakan semacam beban, kehadiran yang kotor terhadap saya; saya
merasa seperti diikat oleh hama raksasa. Satu kali saya meraba celana saya dan
merasa basah; saya tidak tahu apakah itu keringat atau air seni, tapi saya
pergi untuk buang air kecil di tumpukan batu bara sebagai tindakan pencegahan.
Orang
Belgia itu mengeluarkan arlojinya, melihatnya, dan berkata, "Sekarang
pukul tiga tiga puluh."
Brengsek!
Dia pasti melakukannya dengan sengaja. Tom terlonjak; kami tidak menyadari
waktu hampir habis; malam menyelimuti kami seperti gumpalan tidak berbentuk dan
muram. Saya bahkan tidak ingat lagi kapan semua ini dimulai.
Juan
kecil mulai menangis. Dia meremas-remas tangannya, memohon, "Aku tidak
ingin mati. Aku tidak ingin mati."
Dia
berlari melintasi seluruh ruang bawah tanah sambil melambaikan tangan di udara,
lalu terisak-isak di salah satu tikar. Tom menatapnya dengan mata sendu, tanpa
sedikit pun keinginan untuk menghiburnya. Karena itu tidak sepadan dengan
masalahnya: anak itu memang lebih berisik daripada kami, tapi dia tidak terlalu
tersentuh: dia seperti orang sakit yang melawan penyakitnya dengan demam. Jauh
lebih serius kalau tidak ada demam.
Dia
menangis: saya bisa melihat dengan jelas dia mengasihani dirinya sendiri; dia
tidak memikirkan kematian. Sedetik saja, untuk sedetik saja, saya ingin
menangis, menangis karena mengasihani diri saya sendiri. Tapi yang terjadi
justru sebaliknya: saya melirik anak itu, saya melihat bahunya yang kurus dan
terisak-isak, dan saya merasa tidak manusiawi: saya tidak bisa mengasihani
orang lain maupun diri saya sendiri. Saya berkata pada diri saya sendiri,
"Aku ingin mati dengan bersih."
Tom
sudah bangun, dia menempatkan dirinya tepat di bawah lubang bundar itu dan
mulai mengamati cahaya siang. Saya bertekad untuk mati dengan bersih dan saya
cuma memikirkan hal itu. Tapi karena dokter itu memberi tahu kami soal waktu, saya
merasa waktu berlalu begitu cepat, mengalir setetes demi setetes.
Masih
gelap ketika saya mendengar suara Tom: "Apakah kau mendengar mereka?"
Orang-orang
berbaris di halaman.
"Ya."
"Apa-apaan
mereka? Mereka tidak boleh menembak dalam kegelapan."
Sesudah
beberapa saat, kami tidak mendengar apa-apa lagi. Saya berkata kepada Tom,
"Sudah siang."
Pedro
bangkit, menguap, dan datang untuk mematikan lampu. Dia berkata kepada
temannya, "Dingin sekali."
Ruang
bawah tanah semua kelabu. Kami mendengar suara tembakan di kejauhan.
"Sudah
mulai," kata saya kepada Tom. "Mereka pasti melakukannya di halaman
belakang."
Tom
meminta rokok kepada dokter itu. Saya tidak mau; saya tidak menginginkan rokok
atau alkohol. Sejak saat itu, mereka tidak berhenti menembak.
"Apakah
kau menyadari apa yang sedang terjadi?" kata Tom.
Dia
ingin menambahkan sesuatu, tapi tetap diam, memperhatikan pintu. Pintu terbuka
dan seorang letnan masuk bersama empat prajurit. Tom menjatuhkan rokoknya.
"Steinbock?"
Tom
tidak menjawab. Pedro menunjuknya.
"Juan
Mirbal?"
"Di
atas matras."
"Bangun,"
kata letnan itu.
Juan
tidak bergerak. Dua tentara mencengkeram lengannya dan menegakkannya. Tapi dia
terjatuh begitu mereka melepaskannya.
Para
prajurit ragu-ragu.
"Dia
bukan orang sakit pertama," kata letnan itu. "Kalian berdua gendong
dia: mereka akan mengobatinya di sana."
Dia
menoleh ke Tom. "Ayo pergi."
Tom
keluar diapit dua tentara. Dua tentara lainnya menyusul, menggendong anak itu
di ketiak mereka. Dia tidak pingsan; matanya terbuka lebar dan air mata
mengalir di pipinya. Ketika saya ingin keluar, letnan itu menghentikan saya.
"Kau
Ibbieta?"
"Ya."
"Kau
tunggu di sini: mereka akan datang menjemputmu nanti."
Mereka
pergi. Orang Belgia dan kedua sipir penjara juga pergi, saya sendirian. Saya
tidak mengerti apa yang terjadi kepada saya, tapi saya akan lebih senang kalau
mereka segera menyelesaikannya. Saya mendengar tembakan hampir secara berkala; saya
gemetar setiap kali tembakan terdengar. Saya ingin berteriak dan menjambak
rambut saya. Alih-alih, saya menggertakkan gigi dan memasukkan tangan ke dalam
saku karena saya ingin tetap bersih.
Sesudah
satu jam, mereka datang menjemput saya dan membawa saya ke lantai satu, ke
sebuah ruangan kecil yang berbau cerutu dan panasnya menyesakkan. Ada dua
petugas duduk merokok di kursi berlengan, kertas-kertas di pangkuan mereka.
"Kau
Ibbieta?"
"Ya."
"Di
mana Ramon Gris?"
"Saya
tidak tahu."
Orang
yang menanyai saya pendek dan gemuk. Matanya tajam di balik kacamatanya. Dia
berkata kepada saya, "Kemarilah."
Saya
menghampirinya. Dia bangkit dan meraih lengan saya, menatap saya dengan tatapan
yang seharusnya membuat saya terbanting ke tanah. Pada saat yang sama, dia
mencubit bisep saya sekuat tenaga. Bukan untuk menyakiti saya, itu cuma
permainan: dia ingin mendominasi. Dia juga merasa harus meniupkan napasnya yang
bau tepat di wajah saya. Kami terdiam sejenak seperti itu, dan saya hampir tertawa.
Butuh banyak hal untuk mengintimidasi seseorang yang akan mati; itu tidak
berhasil. Dia mendorong saya dengan keras dan kembali duduk. Dia berkata,
"Nyawanya atau nyawamu. Kau bisa menyelamatkan nyawamu kalau kau memberi
tahu kami di mana dia berada."
Orang-orang
yang mengenakan cambuk dan sepatu bot berkuda mereka tetap akan mati. Sedikit
lebih lambat dari pada saya, tapi tidak terlalu lama lagi. Mereka sibuk mencari
nama-nama di kertas-kertas kusut mereka, mereka mengejar orang-orang untuk
memenjarakan atau menekan mereka: mereka punya pendapat tentang masa depan
Spanyol dan tentang hal-hal lain. Kegiatan-kegiatan kecil mereka terlihat
mengejutkan dan menggelikan buat saya; saya tidak bisa menempatkan diri saya di
tempat mereka. Saya pikir mereka sudah gila. Laki-laki kecil itu masih menatap
saya, mencambuk sepatu botnya dengan cambuk kuda. Semua gesturnya dirancang
untuk membuatnya terlihat seperti binatang buas yang asli.
"Jadi?
Kau mengerti?"
"Saya
tidak tahu di mana Gris," jawab saya. "Saya kira dia ada di
Madrid."
Petugas
lain mengangkat tangannya yang pucat dengan malas. Kemalasan ini juga
disengaja. Saya melihat semua rencana kecil mereka dan saya tercengang
menemukan ada orang-orang yang menghibur diri dengan cara seperti itu.
"Kau
punya waktu seperempat jam untuk memikirkannya," katanya perlahan.
"Bawa dia ke tempat cucian, dan kembalikan lima belas menit lagi. Kalau
dia masih menolak, dia akan dieksekusi di tempat."
Mereka
tahu apa yang mereka lakukan: saya menghabiskan malam dengan menunggu; lalu
mereka menyuruh saya menunggu satu jam di ruang bawah tanah sementara mereka
menembak Tom dan Juan, dan sekarang mereka mengurung saya di tempat cucian;
mereka pasti sudah mempersiapkan permainan mereka malam sebelumnya. Mereka
meyakinkan diri sendiri bahwa rasa gugup pada akhirnya akan hilang dan mereka
berharap bisa mendapatkan saya dengan cara itu.
Mereka
salah besar. Di ruang cuci, saya duduk di bangku karena merasa sangat lemah dan
mulai berpikir. Tapi bukan tentang usulan mereka. Tentu saja saya tahu di mana
Gris berada; dia bersembunyi bersama sepupu-sepupunya, empat kilometer dari
kota. Saya juga tahu bahwa saya tidak akan mengungkapkan tempat
persembunyiannya kecuali mereka menyiksa saya (tapi mereka sepertinya tidak
memikirkan hal itu). Semua itu diatur dengan sempurna, pasti, dan sama sekali
tidak menarik minat saya. Hanya saja saya ingin memahami alasan di balik
tindakan saya. Saya lebih baik mati daripada meninggalkan Gris. Mengapa? Saya
tidak menyukai Ramon Gris lagi. Persahabatan saya dengannya sudah luntur sesaat
sebelum fajar, bersamaan dengan cinta saya kepada Concha, bersamaan dengan
keinginan saya untuk hidup. Tidak diragukan lagi saya sangat mengaguminya: dia
tangguh. Tapi bukan karena alasan itu saya rela mati menggantikannya; hidupnya
tidak lebih berharga daripada hidup saya; tidak ada kehidupan yang berharga.
Mereka akan menampar seseorang ke dinding dan menembaknya sampai mati, entah
itu saya, Gris, atau siapa pun, tidak ada bedanya. Saya tahu dia lebih berguna
daripada saya untuk Spanyol, tapi saya pikir persetan dengan Spanyol dan
anarki; tidak ada yang penting. Padahal saya di sana, saya bisa menyelamatkan
diri dan menyerahkan Gris, dan saya menolak melakukannya. Entah kenapa, saya
merasa itu lucu; itu keras kepala. Saya pikir, "Aku pasti keras
kepala!" Dan rasa riang yang lucu pun menyelimuti saya.
Mereka
datang menjemput saya dan membawa saya kembali ke dua petugas itu. Seekor tikus
berlari keluar dari bawah kaki saya dan itu membuat saya geli. Saya menoleh ke
salah satu falangista dan berkata, "Kau lihat tikus itu?"
Dia
tidak menjawab. Dia sangat sadar, dia menganggap dirinya serius. Saya ingin
tertawa, tapi saya menahan diri karena takut begitu saya mulai tertawa, saya
tidak akan bisa berhenti. Falangista itu berkumis. Saya berkata
lagi kepadanya, "Kau harus mencukur kumismu, bodoh." Saya pikir lucu
dia membiarkan rambut-rambutnya menjalar ke wajahnya. Dia menendang saya tanpa
keyakinan yang kuat dan saya tetap diam.
"Baiklah,"
kata perwira gemuk itu, "apa kau sudah memikirkannya?"
Saya
memandang mereka dengan rasa ingin tahu, seperti serangga dari spesies yang
sangat langka. Saya berkata kepada mereka, "Saya tahu di mana dia. Dia
bersembunyi di kuburan. Di dalam peti mati atau di gubuk penggali kubur."
Itu
lelucon. Saya ingin melihat mereka berdiri, mengencangkan ikat pinggang, dan
memberi perintah dengan keras.
Mereka
melompat berdiri. "Ayo pergi. Molés, panggil lima belas orang anggota
Letnan Lopez. Kau," kata laki-laki gemuk itu, "aku akan melepaskanmu
kalau kau berkata jujur, tapi kau akan rugi besar kalau kau mempermainkan
kami."
Mereka
pergi dengan gaduh dan saya menunggu dengan tenang di bawah pengawalan para falangista.
Sesekali saya tersenyum, membayangkan tontonan yang akan mereka buat. Saya tertegun
dan merasa jahat. Saya membayangkan mereka mengangkat batu nisan, membuka peti
mati satu per satu. Saya membayangkan situasi ini seolah-olah saya adalah orang
lain: tahanan yang keras kepala ini berperan sebagai pahlawan, para falangista
yang muram dengan kumis dan orang-orang berseragam mereka berlarian
di tengah kuburan; sungguh lucu. Sesudah setengah jam, laki-laki gemuk kecil
itu kembali sendirian. Saya pikir dia datang untuk memberi perintah untuk mengeksekusi
saya. Yang lainnya pasti masih tinggal di kuburan.
Petugas
itu menatap saya. Dia sama sekali tidak terlihat bodoh. "Bawa dia ke
halaman besar bersama yang lain," katanya. "Sesudah operasi militer
selesai, pengadilan biasa akan memutuskan apa yang akan terjadi padanya."
"Jadi
mereka tidak... tidak akan menembak saya?"
"Tidak
sekarang, sih. Apa pun yang terjadi sesudahnya bukan urusanku."
Saya
masih tidak mengerti. Saya bertanya, "Tapi mengapa...?"
Dia
mengangkat bahu tanpa menjawab, dan para prajurit membawa saya pergi. Di
halaman yang luas, ada sekitar seratus tahanan, perempuan, anak-anak, dan
beberapa laki-laki tua. Saya mulai berjalan di sekeliling halaman rumput di
tengah, saya tercengang. Siang harinya, mereka mengizinkan kami makan di ruang
makan. Dua atau tiga orang menanyai saya. Saya pasti mengenal mereka, tapi saya
tidak menjawab: saya bahkan tidak tahu di mana saya berada.
Menjelang
sore, mereka mendorong sekitar sepuluh tahanan baru ke pengadilan. Saya
mengenali Garcia, si tukang roti. Dia berkata, "Kau sungguh beruntung! Aku
tidak menyangka akan melihatmu hidup-hidup."
"Mereka
menjatuhkan hukuman mati kepadaku," kata saya, "lalu mereka berubah
pikiran. Aku tidak tahu kenapa."
"Mereka
menangkap saya pukul dua," kata Garcia.
"Mengapa?"
Garcia tidak ada hubungannya dengan politik.
"Entahlah,"
katanya. "Mereka menangkap semua orang yang tidak sepaham dengan
mereka." Dia merendahkan suaranya. "Mereka menangkap Gris."
Saya
mulai gemetar. "Kapan?"
Pagi
ini. Dia mengacaukannya. Dia meninggalkan rumah sepupunya hari Selasa karena
mereka bertengkar. Ada banyak orang yang menyembunyikannya, tapi dia tidak
ingin berutang apa-apa kepada siapa pun. Dia bilang, 'Aku akan pergi
bersembunyi di tempat Ibbieta, tapi mereka menangkapnya, jadi aku akan
bersembunyi di kuburan.'"
"Di
kuburan?"
"Ya.
Dasar bodoh. Tentu saja mereka lewat sana pagi ini, itu pasti terjadi. Mereka
menemukannya di gubuk penggali kubur. Dia menembak mereka dan mereka
menangkapnya."
"Di
kuburan!"
Segalanya
mulai berputar dan saya mendapati diri saya terduduk di tanah: saya tertawa
terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Falangista: anggota partai
politik fasis yang memerintah Spanyol setelah perang saudara tahun 1936–1939.
2 Basque: kelompok etnolinguistik
pribumi yang unik dari Negara Basque, wilayah yang membentang di antara Spanyol
timur laut dan Prancis barat daya. Mereka dikenal karena bahasanya yang unik
dan tidak tertulis, Euskara, sebuah bahasa terisolasi yang tidak berhubungan
dengan bahasa Indo-Eropa mana pun. Orang Basque juga dibedakan berdasarkan
kesamaan budaya, garis keturunan genetik dengan suku Aquitaine kuno, dan ikatan
yang erat dengan tanah air mereka.
3 Puros: cerutu
(Spanyol).
4 Manzanilla: bunga kamomil (Spanyol); manzanilla adalah sebutan
untuk minuman teh dengan cita rasa kamomil.
5 Novillero: istilah Spanyol untuk
matador pemula atau calon matador yang bertarung melawan banteng yang lebih
muda dan tidak terlalu berbahaya (novillo) sebelum memenuhi syarat untuk
bertarung melawan banteng dewasa sebagai matador.
6 Feria: festival lokal tahunan di
Spanyol dan Prancis selatan, yang ditandai dengan adu banteng, adu banteng di
jalanan, bodega (bar atau ruang bawah tanah terbuka dengan musik
meriah), dan banda.
7 Francisco Pi y Margall (1824–1901): seorang politikus dan ahli teori federalis dan republikan Spanyol yang menjabat sebagai presiden Republik Spanyol Pertama yang berumur pendek pada tahun 1873. Dia juga seorang sejarawan, filsuf, penulis romantis, dan juga pemimpin Partai Republik Demokratik Federal dan Partai Demokrat. Pi diubah menjadi semacam santo sekuler pada masanya.

Comments
Post a Comment