Gimpel Si Bodoh (Gimpel The Fool ~ Isaac Bashevis Singer)
Aku
pulang sekolah dan mendengar gonggongan anjing. Aku tidak takut anjing, tapi
tentu saja aku tidak mau mencari masalah dengan mereka. Salah satu dari mereka
mungkin gila, dan kalau dia menggigit, tidak ada satu pun orang Tartar1
di dunia ini yang bisa menolongmu. Jadi aku membuat jejak. Lalu aku melihat
sekeliling dan melihat seluruh pasar tertawa terbahak-bahak. Itu bukan anjing
sama sekali, melainkan Wolf-Leib si pencuri. Bagaimana aku bisa tahu kalau itu
dia? Suaranya seperti lolongan anjing betina.
Ketika
orang-orang iseng dan para pengganggu itu menyadari betapa mudahnya aku dibodohi,
mereka semua mencoba peruntungannya. ‘Gimpel sang Czar2 akan datang
ke Frampol; Gimpel, bulan jatuh di Turbeen; Gimpel, Hodel Furpiece kecil
menemukan harta karun di belakang pemandian.’ Dan aku, seperti golem3,
percaya pada semua orang. Pertama, segalanya mungkin, seperti tertulis dalam
Kitab Kebijaksanaan Para Bapa4. Aku lupa persisnya bunyinya. Kedua,
aku harus percaya ketika seluruh kota menyerangku! Kalau aku berani berkata, ‘Ah,
kau bercanda!’ maka akan ada masalah. Orang-orang marah. ‘Apa maksudmu!’, ‘Kau
ingin menyebut semua orang pembohong?’ Apa yang harus kulakukan? Aku percaya
pada mereka, dan kuharap setidaknya itu bermanfaat buat mereka.
Aku
yatim piatu. Kakekku yang membesarkanku sudah membungkuk ke arah liang kubur.
Jadi mereka menyerahkanku kepada seorang tukang roti, dan betapa senangnya
mereka menempatkanku di sana! Setiap perempuan atau gadis yang datang untuk
membuat setumpuk mi pernah membodohiku minimal satu kali. ‘Gimpel, ada pekan
raya di surga; Gimpel, sang rabi melahirkan anak sapi di bulan ketujuh; Gimpel,
seekor sapi terbang di atas atap dan bertelur kuningan.’
Seorang
murid dari yeshiva5 datang untuk membeli roti gulung, dan dia
berkata, "Kau, Gimpel, sementara kau berdiri di sini mengais dengan sekop rotimu,
Sang Mesias sudah datang. Orang mati sudah bangkit."
"Apa
maksudmu?" tanyaku. "Aku tidak mendengar siapa pun meniup sangkakala!"
Dia
berkata, "Apakah kau tuli?"
Dan
semua orang mulai berteriak, "Kami mendengarnya, kami mendengarnya!"
Kemudian
Rietze si pencelup lilin masuk dan berseru dengan suara seraknya, "Gimpel,
ayah dan ibumu sudah bangkit dari kubur. Mereka mencarimu."
Sejujurnya,
aku tahu betul bahwa tidak ada hal yang seperti itu, tapi tetap saja, sementara
orang-orang membicarakannya, aku mengenakan rompi wolku dan pergi keluar.
Mungkin ada sesuatu yang terjadi. Apa ruginya kalau aku melihat? Yah, seperti musik
suara kucing yang diputar! Lalu aku bersumpah untuk tidak percaya apa-apa lagi.
Tapi itu juga tidak berhasil. Mereka membuatku bingung sehingga aku tidak tahu
mana yang benar dan mana yang tidak.
Aku
pergi menemui rabi untuk meminta nasihat. Dia berkata, "Ada tertulis,
lebih baik menjadi orang bodoh sepanjang hari daripada satu jam menjadi orang jahat.
Kau bukan orang bodoh. Merekalah orang bodoh itu. Karena orang yang membuat
sesamanya malu, kehilangan Surganya."
Tapi,
putri rabi itu mengerjaiku. Saat aku meninggalkan ruang sang rabi, dia berkata,
"Sudahkah kau mencium dinding?"
Aku
berkata, "Tidak, untuk apa?"
Dia
menjawab, "Itu aturannya; kau harus melakukannya setiap kali selesai
berkunjung."
Yah,
sepertinya tidak ada salahnya. Dan dia tertawa terbahak-bahak. Itu tipuan yang
bagus. Dia berhasil membodohiku, baiklah.
Aku
ingin pergi ke kota lain, tapi kemudian semua orang sibuk menjodoh-jodohkan,
dan mereka mengejarku sampai hampir merobek ujung mantelku. Mereka terus
mengoceh sampai telingaku seperti kemasukan air. Dia bukan gadis suci, tapi
mereka bilang dia masih perawan. Dia pincang, dan mereka bilang itu disengaja,
karena malu. Dia punya anak haram, dan mereka bilang anak itu adik
laki-lakinya.
Aku berteriak, "Kalian membuang-buang
waktu. Aku tidak akan pernah menikahi pelacur itu."
Tapi
mereka berkata dengan marah. "Cara bicaramu itu! Apa kau tidak malu pada
dirimu sendiri? Kami bisa membawamu kepada rabi dan mendendamu karena
mencemarkan nama baiknya."
Aku
menyadari bahwa aku tidak akan lolos begitu saja dari mereka dan aku berpikir: mereka
bertekad menjadikanku bahan olok-olok mereka. Tapi ketika kau sudah menikah,
suami adalah tuannya, dan kalau itu tidak masalah buat perempuan itu, aku juga
akan senang. Lagipula, kau tidak bisa menjalani hidup tanpa kekurangan, atau mengharapkannya
begitu.
Aku
pergi ke rumah tanah liatnya, yang dibangun di atas pasir, dan seluruh
gerombolan itu, sambil berteriak dan bersorak, mengejarku. Mereka bertingkah
seperti pemancing beruang6. Ketika kami sampai di sumur, mereka berhenti
serempak. Mereka takut memulai apa pun dengan Elka. Mulutnya terbuka
seolah-olah direntangkan dari dinding ke dinding dan pakaian sedang dijemur.
Tanpa alas kaki, dia berdiri di dekat bak mandi, mencuci pakaian. Dia
mengenakan gaun usang pemberian orang. Rambutnya dikepang dan dijepit di
kepalanya. Aku terkesima. Hampir, semua bau menyengat itu.
Rupanya
dia tahu siapa aku. Dia menatapku dan berkata, "Lihat siapa yang datang!
Dia sudah datang, si bebal. Duduklah."
Aku
menceritakan semuanya; aku tidak menyangkal apa pun. "Katakan yang
sebenarnya," kataku, "apa kau benar-benar perawan, dan apakah Yechiel
yang nakal itu benar-benar adikmu? Jangan menipuku, karena aku yatim
piatu."
"Aku
juga yatim piatu," jawabnya, "dan siapa pun yang mencoba memutar-mutarmu,
biarlah ujung hidungnya ikut terpelintir. Tapi jangan biarkan mereka berpikir
bisa memanfaatkanku. Aku ingin mas kawin lima puluh gulden, dan biarkan mereka
mengumpulkan sumbangan juga. Kalau tidak, mereka bisa mencium kau-tahu-apa-ku." Dia sangat blak-blakan.
Aku
berkata, "Pengantin perempuan, bukan pengantin laki-laki, yang memberi mas
kawin."
Lalu
dia berkata, "Jangan tawar-menawar denganku. 'Ya' atau 'Tidak' —Kembalilah
ke tempat asalmu."
Aku
berpikir: tidak akan pernah ada roti yang dipanggang dari adonan ini7.
Tapi kota ini bukanlah kota yang miskin. Mereka menyetujui segalanya dan
melanjutkan pernikahan. Kebetulan saat itu sedang terjadi wabah disentri.
Upacara pernikahan diadakan di gerbang pemakaman, dekat gubuk kecil untuk
memandikan jenazah. Para laki-laki bermabuk-mabukan. Sementara kontrak
pernikahan sedang disusun, aku mendengar seorang rabi agung yang paling saleh
bertanya, ‘Apakah pengantin perempuan seorang janda atau seorang perempuan yang
sudah bercerai?’ Dan istri pengurus sinagoga menjawab untuknya, ‘Keduanya,
seorang janda dan bercerai.’ Itu adalah momen yang kelam buatku. Tapi apa yang
harus kulakukan, melarikan diri dari bawah kanopi pernikahan?
Ada
nyanyian dan tarian. Seorang nenek tua menari di hadapanku, memeluk chalah8
putih yang dikepang. Sang pembawa acara memanjatkan doa "Rahmat
Tuhan" untuk mengenang orang tua mempelai perempuan. Para siswa melempar
duri, seperti pada hari puasa Tishe b'Av9. Ada banyak hadiah setelah
khotbah: alas mi, wadah adonan, ember, sapu, sendok sayur, dan berbagai macam
perlengkapan rumah tangga. Lalu aku melihat dua pemuda tegap membawa tempat
tidur bayi. "Untuk apa kami membutuhkan ini?" tanyaku.
Lalu
mereka berkata, "Jangan dipikirkan. Tidak apa-apa, ini akan berguna."
Aku
sadar aku akan ditipu lagi. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, apa ruginya? Aku
merenung: kita lihat saja nanti. Seluruh kota tidak bisa semuanya gila.
Malam
harinya aku datang ke tempat istriku berbaring, tapi dia tidak mengizinkanku
masuk. "Hei, lihat, apakah ini alasan mereka menikahkan kita?"
tanyaku.
Dan
dia berkata, "Aku sedang haid."
"Tapi
kemarin mereka membawamu ke pemandian ritual10, dan itu setelahnya,
bukankah seharusnya begitu?"
"Hari
ini bukan kemarin," katanya, "dan kemarin bukan hari ini. Kau bisa pergi
kalau kau tidak suka."
Singkat
kata, aku menunggu.
Tidak
sampai empat bulan kemudian, dia sudah melahirkan. Penduduk kota menyembunyikan
tawa mereka dengan buku-buku jari mereka. Tapi apa yang bisa kulakukan? Dia
menahan sakit yang tidak tertahankan dan mencakar-cakar dinding.
"Gimpel," serunya, "Aku pergi. Maafkan aku." Rumah itu
penuh dengan perempuan. Mereka memanaskan panci-panci air mendidih. Jeritan menggema
di seluruh ruangan.
Hal
yang harus dilakukan adalah pergi ke Rumah Doa untuk mengulang Mazmur, dan
itulah yang kulakukan.
Penduduk
kota menyukainya. Aku berdiri di pojok sambil melantunkan Mazmur dan doa, dan
mereka menggelengkan kepala. "Berdoa, berdoa!" kata mereka, "Doa
tidak pernah membuat perempuan hamil." Salah satu jemaat menyumpal mulut
saya dengan sedotan dan berkata, "Jerami untuk sapi." Ada benarnya
juga, ya Tuhan!
Dia
melahirkan seorang anak laki-laki. Hari Jumat di sinagoga, sang pengurus
berdiri di depan Tabut, mengetuk meja baca, dan mengumumkan, "Reb11
Gimpel yang kaya mengundang jemaat ke pesta untuk merayakan kelahiran seorang
putra." Seluruh Rumah Doa tertawa terbahak-bahak. Wajahku memerah. Tapi aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Lagipula, akulah yang bertanggung jawab atas
penghormatan dan ritual sunat.
Separuh
penduduk kota berdatangan. Penuh sesak. Para perempuan membawakan kacang arab
berbumbu, dan ada satu tong bir dari kedai. Aku makan dan minum sepuasnya, dan
mereka semua memberiku ucapan selamat. Lalu acara sunatan, dan aku menamai anak
laki-laki itu dengan nama ayahku, semoga dia beristirahat dalam damai. Ketika
semua orang sudah pergi dan aku tinggal berdua dengan istriku, dia menyembulkan
kepalanya melalui tirai tempat tidur dan memanggilku.
"Gimpel,"
katanya, "Mengapa kau diam saja? Apa kapalmu tenggelam12?"
"Apa
yang harus kukatakan?" jawabku. "Sungguh perbuatan yang hebat yang
kau lakukan kepadaku! Kalau ibuku tahu, dia pasti sudah mati untuk kedua
kalinya."
Dia
berkata, "Kau gila atau apa?"
"Bagaimana
bisa kau mempermalukan seseorang yang seharusnya menjadi tuan dan majikanmu?"
kataku.
"Ada
apa denganmu?" tanyanya. "Apa yang kau bayangkan?"
Aku
sadar aku harus bicara terus terang dan terbuka. "Kau pikir begini cara
memanfaatkan anak yatim?" tanyaku. "Kau melahirkan anak haram."
Dia
menjawab, "Singkirkan semua kebodohan ini dari pikiranmu. Anak ini anakmu."
"Bagaimana
mungkin dia anakku?" bantahku. "Dia lahir tujuh belas minggu setelah
pernikahan."
Dia
kemudian memberi tahuku bahwa anak itu terlahir prematur. Aku berkata,
"Bukankah dia terlalu prematur?" Katanya, dia punya nenek yang
melahirkan dalam waktu sesingkat itu dan dia mirip neneknya ini seperti setetes
air yang mirip dengan tetesan air lainnya. Dia bersumpah dengan sumpah yang
begitu lantang sehingga kau akan percaya pada seorang petani di pekan raya kalau
dia mengucapkan sumpah yang sama. Sejujurnya, aku tidak mempercayainya; tapi
ketika aku membicarakannya keesokan harinya dengan kepala sekolah, dia memberi
tahuku bahwa hal yang sama terjadi pada Adam dan Hawa. Dua kali mereka naik ke
tempat tidur dan empat kali Hawa melahirkan13.
"Tidak
ada seorang pun perempuan di dunia ini yang bukan cucu Hawa," katanya.
Begitulah
adanya; mereka bilang aku bodoh. Tapi, siapa yang benar-benar tahu bagaimana
hal-hal seperti itu bisa terjadi?
Aku
mulai melupakan kesedihanku. Aku mencintai anak itu dengan gila, dan dia juga
mencintaiku. Begitu dia melihatku, dia akan melambaikan tangan kecilnya dan
ingin aku menggendongnya, dan ketika dia kolik14, cuma aku yang bisa
menenangkannya. Aku membelikannya cincin tumbuh gigi dari tulang kecil dan topi
kecil berlapis emas. Dia selalu diberi tatapan jahat oleh orang-orang, kemudian
aku harus berlari untuk mendapatkan salah satu abrakadabra15 untuknya
agar dia bebas dari pengaruhnya. Aku bekerja keras seperti kuda. Kau tahu
bagaimana pengeluaran meningkat ketika ada bayi di rumah. Aku tidak ingin
berbohong tentang itu; aku juga tidak membenci Elka. Dia memaki dan
mengumpatku, dan tetap aku tidak bisa pergi darinya. Betapa kuatnya dia! Salah
satu tatapannya bisa merampas kekuatan bicaramu. Dan pidatonya! Ter dan
belerang, itulah semua isinya, tapi entah bagaimana juga penuh pesona. Aku
mengagumi setiap katanya. Tapi, dia memberiku luka juga.
Malam
harinya, aku membawakannya roti putih dan roti hitam, juga roti gulung biji
poppy yang kubuat sendiri. Aku mencuri demi dia dan mencuri semua yang bisa
kudapatkan: makaroni, kismis, almon, kue. Kuharap aku dimaafkan karena mencuri
dari panci-panci Sabat yang dibiarkan para perempuan untuk dihangatkan di oven
tukang roti. Aku akan mengambil potongan daging, sepotong puding, kaki atau
kepala ayam, sepotong babat, apa pun yang bisa kugigit dengan cepat. Dia makan
dan menjadi gemuk dan cantik.
Aku
harus tidur jauh dari rumah sepanjang minggu, di toko roti. Setiap Jumat malam
saat aku pulang, dia selalu mencari-cari alasan. Entah dia sedang sakit maag,
atau sakit perut, atau cegukan, atau sakit kepala. Kau tahu semua alasan perempuan.
Aku mengalami masa-masa sulit. Berat. Ditambah lagi, adik laki-lakinya, si
bajingan itu, semakin besar. Dia membuat benjolan di tubuhku, dan ketika aku
ingin membalas, dia akan membuka mulutnya dan mengumpat dengan sangat keras
hingga aku melihat kabut hijau melayang di depan mataku. Sepuluh kali sehari
dia mengancam akan menceraikanku. Laki-laki lain di tempatku pasti sudah kabur
dan menghilang. Tapi aku tipe yang menanggungnya dan tidak mengatakan apa-apa.
Apa yang bisa kulakukan? Bahu berasal dari Tuhan, begitu juga beban.
Suatu
malam terjadi musibah di toko roti; ovennya meledak, dan kami hampir saja
mengalami kebakaran. Tidak ada yang bisa dilakukan selain pulang, jadi aku
pulang. Biarlah aku, pikirku, ikut merasakan nikmatnya tidur di tempat tidur di
tengah minggu. Aku tidak ingin membangunkan si kecil yang sedang tidur dan
berjingkat-jingkat masuk ke dalam rumah. Saat masuk, rasanya aku tidak
mendengar satu dengkuran, melainkan dua dengkuran, yang satu dengkuran yang
cukup tipis dan yang lainnya seperti dengkuran lembu yang disembelih. Oh, aku tidak
suka itu! Aku sama sekali tidak suka. Aku naik ke tempat tidur, dan tiba-tiba
semuanya menjadi gelap. Di sebelah Elka terbaring sesosok laki-laki. Orang lain
di posisiku, pasti akan membuat keributan, dan suaranya cukup keras untuk
membangunkan seluruh kota, tapi terlintas dalam pikiranku aku bisa membangunkan
anak kami. Hal kecil seperti itu —untuk apa menakuti burung layang-layang
kecil, pikirku. Baiklah kalau begitu, aku kembali ke toko roti dan berbaring di
atas sekarung tepung, dan sampai pagi mataku tidak terpejam. Aku menggigil
seolah-olah terkena malaria. "Cukup sudah jadi keledai," kataku dalam
hati. "Gimpel tidak akan jadi orang bodoh seumur hidupnya. Kebodohan orang
bodoh seperti Gimpel pun ada batasnya."
Pagi
harinya aku pergi ke rabi untuk meminta nasihat, dan itu membuat keributan
besar di kota. Mereka langsung mengirim petugas untuk memanggil Elka. Dia
datang, sambil menggendong bayi itu. Dan menurutmu apa yang dia lakukan? Dia
menyangkalnya, menyangkal segalanya, tulang dan batu16! "Dia
sudah gila," katanya. Aku tidak tahu apa-apa tentang mimpi atau ramalan.
Mereka berteriak padanya, memperingatkannya, menghantam meja, tapi dia tetap
pada pendiriannya: itu tuduhan palsu, katanya.
Para
tukang jagal dan pedagang kuda mendukungnya. Salah satu pemuda dari rumah jagal
datang dan berkata kepadaku, "Kami mengawasimu, kau sudah ditandai."
Sementara itu, anak itu mulai mengejan dan mengotori dirinya sendiri. Di ruang sidang
rabi ada Tabut Perjanjian, dan mereka tidak bisa membiarkan hal itu terjadi,
jadi mereka mengusir Elka.
Aku
bertanya pada rabi itu, "Apa yang harus kulakukan?"
"Kau
harus menceraikannya sekarang juga," katanya.
"Dan
bagaimana kalau dia menolak?" tanyaku.
Dia
berkata, "Kau harus mengurus perceraian itu. Hanya itu yang harus kau
lakukan."
Aku
berkata, "Baiklah, Rabi. Biarkan aku memikirkannya."
"Tidak
ada yang perlu dipikirkan," katanya. "Kau tidak boleh tinggal serumah
dengannya."
"Dan
bagaimana kalau dia menolak?" tanyaku.
"Biarkan
dia pergi, perempuan jalang itu," katanya, "dan anak-anak haramnya harus
ikut bersamanya."
Keputusan
yang diberikannya adalah bahwa aku tidak boleh melewati ambang pintunya --tidak
boleh, seumur hidup.
Sepanjang
hari itu hal itu tidak terlalu menggangguku. Kupikir: pasti terjadi, absesnya
pasti pecah. Tapi malam harinya, ketika aku berbaring di atas karung, aku
merasakan semuanya dengan sangat getir. Sebuah kerinduan menguasaiku, kepadanya
dan kepada anak kami. Aku ingin marah, tapi itulah kemalanganku, aku tidak
punya kemampuan untuk benar-benar marah. Pertama-tama —begitulah pikiranku— kadang-kadang
pasti ada kesalahan. Kau tidak bisa hidup tanpa kesalahan. Mungkin laki-laki
yang bersamanya itu menipunya dan memberinya hadiah dan sebagainya, dan
perempuan seringkali berambut panjang tapi tidak panjang akal, jadi dia
mendekatinya. Lalu karena dia menyangkalnya, mungkin aku hanya berhalusinasi?
Halusinasi bisa terjadi. Kau melihat sosok atau manekin atau semacamnya, tapi
ketika kau mendekat, itu bukan apa-apa, tidak ada apa-apa di sana. Dan kalau
begitu, aku sudah berbuat tidak adil padanya. Dan ketika aku begitu jauh dalam
pikiranku, aku mulai menangis. Aku terisak-isak hingga tepung di tempatku
berbaring basah. Pagi harinya aku pergi menemui rabi dan mengatakan kepadanya
bahwa aku sudah melakukan kesalahan. Sang rabi terus menulis dengan pena
bulunya, dan dia berkata bahwa kalau memang demikian, dia harus
mempertimbangkan kembali seluruh kasusnya. Sampai dia selesai, aku tidak boleh
mendekati istriku, tapi aku boleh mengirimkan roti dan uang kepadanya melalui
kurir.
Sembilan
bulan berlalu sebelum semua rabi bisa mencapai kesepakatan. Surat-surat
berbalasan. Aku tidak menyangka ada begitu banyak soal yang dibahas dalam
masalah seperti ini.
Sementara
itu, Elka melahirkan seorang anak lagi, kali ini perempuan. Pada hari Sabat, aku
pergi ke sinagoga dan memohon berkat untuknya. Mereka memanggilku untuk membaca
Taurat, dan aku menamai anak itu dengan nama ibu mertuaku —semoga dia
beristirahat dalam damai. Para bajingan dan orang-orang bermulut besar di kota
yang datang ke toko roti memeriksaku. Seluruh Frampol merasa segar kembali
karena kesusahan dan kesedihanku. Tapi, aku memutuskan untuk selalu memercayai
apa yang dikatakan kepadaku. Apa gunanya tidak percaya? Hari ini istrimu yang
tidak kau percayai; besok Tuhan yang tidak kau percayai.
Melalui
seorang murid magang yang merupakan tetangganya, aku mengiriminya setiap hari
roti jagung atau roti gandum, atau sepotong kue kering, roti gulung, atau
bagel, atau, ketika aku punya kesempatan, sepotong puding, sepotong kue madu,
atau strudel pernikahan —apa pun yang bisa kudapatkan. Murid magang itu baik
hati, dan lebih dari sekali dia menambahkan sesuatu sendiri. Sebelumnya dia
sering menggangguku, mencungkil hidung dan menusuk tulang rusukku, tapi ketika dia
mulai berkunjung ke rumahku, dia menjadi baik dan ramah.
"Hei,
kau, Gimpel," katanya kepadaku, "kau punya istri yang sangat baik dan
dua anak yang sangat manis. Kau tidak pantas memiliki mereka."
"Tapi
hal-hal yang orang katakan tentangnya," kataku.
"Yah,
mereka punya lidah yang panjang," katanya, "dan mereka cuma ngomong
doang. Abaikan saja seperti kau mengabaikan dinginnya musim dingin
lalu."
Suatu
hari sang rabi memanggilku dan berkata, "Apakah kamu yakin, Gimpel, bahwa
kau salah tentang istrimu?"
Aku
bilang, "Aku yakin."
"Ya,
tapi coba pikirkan! Kau melihatnya sendiri."
"Itu
pasti bayangan," kataku.
"Bayangan
apa itu?"
"Hanya
salah satu balok, menurutku."
"Kalau
begitu, kau boleh pulang. Kau berutang budi pada rabi Yanover. Dia menemukan
referensi samar dalam Maimonides17 yang mendukungmu."
Aku
meraih tangan sang rabi dan menciumnya.
Aku
ingin segera pulang. Bukan hal yang sepele berpisah begitu lama dengan istri
dan anak. Lalu aku merenung: sebaiknya aku kembali bekerja sekarang, dan pulang
nanti malam. Aku tidak mengatakan apa pun kepada siapa pun, meskipun bagiku itu
seperti salah satu Hari Raya. Para perempuan menggoda dan mengejekku seperti
yang mereka lakukan setiap hari, tapi yang ada di pikiranku adalah: teruskan
saja omong kosong kalian itu. Kebenaran sudah terungkap, seperti minyak di atas
air. Maimonides mengatakan itu benar, dan karenanya itu benar!
Malam
harinya, setelah adonan ditutup agar mengembang, aku mengambil roti bagianku
dan sekarung kecil tepung, lalu bergegas pulang. Bulan purnama dan
bintang-bintang berkilauan, sesuatu yang menakutkan jiwa. Aku bergegas maju,
dan di hadapanku mulai muncul bayangan panjang. Saat itu musim dingin, dan
salju baru turun. Aku ingin bernyanyi, tapi hari sudah mulai larut dan aku tidak
ingin membangunkan para penghuni rumah. Lalu aku ingin bersiul, tapi aku ingat
bahwa bersiul di malam hari tidak boleh dilakukan karena itu akan mengundang
setan. Maka aku pun diam dan berjalan secepat mungkin.
Anjing-anjing
di halaman rumah orang Kristen menggonggong ketika aku lewat, tapi aku
berpikir: gonggong saja! Kalian ini cuma anjing? Sementara aku seorang laki-laki,
suami dari istri yang baik, ayah dari anak-anak yang menjanjikan.
Saat
mendekati rumah, jantungku mulai berdebar kencang seperti jantung penjahat. Aku
tidak merasa takut, tapi jantungku berdebar kencang! Berdebar! Yah, tidak ada
yang bisa ditarik kembali. Aku diam-diam mengangkat gerendel pintu dan masuk.
Elka sedang tidur. Aku melihat ke arah tempat tidur bayi. Jendelanya tertutup,
tapi cahaya bulan menerobos masuk melalui celah-celah. Aku melihat wajah bayi
yang baru lahir itu dan langsung menyukainya begitu melihatnya —seketika— setiap
tulang kecilnya.
Lalu
aku mendekat ke tempat tidur. Dan apa yang kulihat tidak lain tidak bukan
adalah murid magang yang berbaring di samping Elka. Bulan tiba-tiba menghilang.
Kegelapannya pekat, dan aku gemetar. Gigiku gemeletuk. Roti jatuh dari tanganku
dan istriku terbangun dan berkata, "Siapa itu, ah?"
Aku
bergumam, "Ini aku."
"Gimpel?"
tanyanya. "Kenapa kau ada di sini? Kukira itu terlarang."
"Kata
rabi," jawabku gemetar seperti orang demam.
"Dengarkan
aku, Gimpel," katanya, "pergilah ke kandang dan lihat apakah kambing
itu baik-baik saja. Sepertinya dia sakit." Aku lupa bilang kalau kami
punya seekor kambing. Ketika aku mendengar dia sakit, aku langsung pergi ke
halaman. Kambing betina itu makhluk kecil yang baik. Aku punya perasaan yang
hampir seperti manusia kepadanya.
Dengan
langkah ragu-ragu, aku berjalan ke kandang dan membuka pintunya. Kambing itu
berdiri di sana dengan keempat kakinya. Aku merabanya di mana-mana, menarik
tanduknya, memeriksa ambingnya, dan tidak menemukan sesuatu yang salah. Mungkin
dia terlalu banyak makan kulit kayu. "Selamat malam, kambing kecil,"
kataku. "Semoga sehat selalu." Dan kambing kecil itu menjawab dengan ‘Mbeek’
seolah-olah berterima kasih atas kebaikanku.
Aku
kembali. Murid magang itu sudah menghilang.
"Di
mana," tanyaku, "anak itu?"
"Anak
siapa?" jawab istriku.
"Apa
maksudmu?" tanyaku. "Si anak magang. Kau tidur dengannya."
"Hal-hal
yang sudah kumimpikan malam ini dan malam sebelumnya," katanya,
"semoga menjadi kenyataan dan membuatmu tidak berdaya, jiwa dan raga! Roh
jahat sudah mengakar dalam dirimu dan membutakan penglihatanmu." Dia
berteriak, "Makhluk menjijikkan! Sapi goblok! Dasar setan! Laki-laki bebal!
Keluar, atau aku akan berteriak membangunkan semua orang Frampol!"
Sebelum
aku sempat bergerak, adiknya melompat keluar dari balik oven dan memukul bagian
belakang kepalaku. Kupikir dia sudah mematahkan leherku. Aku merasa ada yang
salah denganku, dan aku berkata, "Jangan membuat skandal. Yang kurang
sekarang cuma orang-orang menuduhku memanggil setan dan dybbuk18."
Karena itulah sebenarnya maksud istrinya. "Tidak seorang pun akan
menyentuh roti buatanku."
Singkat
cerita, entah bagaimana aku berhasil menenangkannya.
"Baiklah,"
katanya, "sudah cukup. Berbaringlah, dan semoga tubuhmu digilas roda19."
Keesokan
paginya, aku memanggil murid magang itu. "Begini, Bro!"
kataku. Dan seterusnya, dan seterusnya.
"Apa
katamu?" Dia menatapku seolah aku baru saja jatuh dari atap atau
semacamnya.
"Sumpah,"
katanya, "lebih baik kau pergi ke dukun atau tabib. Aku khawatir kau salah
paham, tapi aku akan tutup mulut."
Dan
begitulah ceritanya.
Singkat
cerita, aku tinggal bersama istriku selama dua puluh tahun. Dia melahirkan enam
orang anak, empat putri dan dua putra. Berbagai macam hal terjadi, tapi aku
tidak melihat atau mendengar apa-apa. Aku percaya, sudah begitu saja. Rabi
baru-baru ini berkata kepadaku, "Keyakinan itu sendiri bermanfaat. Ada
tertulis bahwa orang baik hidup dengan imannya."
Tiba-tiba
istriku jatuh sakit. Awalnya hanya benjolan kecil di payudara. Tapi ternyata
dia tidak ditakdirkan untuk hidup lama; usianya sudah tidak muda lagi. Aku
menghabiskan banyak uang untuknya. Aku lupa mengatakan bahwa saat itu aku sudah
punya toko roti sendiri dan di Frampol dianggap orang kaya. Setiap hari dukun
datang, dan setiap dukun di lingkungan itu didatangkan. Mereka memutuskan untuk
menggunakan lintah, dan setelah itu mencoba bekam. Mereka bahkan memanggil
dokter dari Lublin, tapi sudah terlambat. Sebelum meninggal, dia memanggilku ke
tempat tidurnya dan berkata, "Maafkan aku, Gimpel."
Aku
berkata, "Apa yang perlu dimaafkan? Kau sudah menjadi istri yang baik dan
setia."
"Maafkan,
Gimpel!" katanya. "Sungguh buruk aku menipumu selama ini. Aku ingin
bertobat kepada Sang Pencipta, jadi aku harus mengatakan kepadamu bahwa
anak-anak itu bukan anakmu."
Kalau
saja kepalaku dipukul dengan sepotong kayu, aku pasti lebih bingung lagi.
"Anak
siapa mereka semua?" tanyaku.
"Entahlah,"
katanya. "Banyak... tapi bukan anakmu." Dan sambil bicara, dia
menengadahkan kepalanya, matanya berkaca-kaca, dan Elka sudah tahu. Di bibirnya
yang memutih, masih tersungging senyum.
Aku
membayangkan, meskipun sudah meninggal, dia berkata, "Aku menipu Gimpel.
Itulah arti hidupku yang singkat ini."
Suatu
malam, ketika masa berkabung sudah usai, ketika aku berbaring sambil bermimpi
di atas karung-karung tepung, datanglah Roh Jahat dan berkata kepadaku,
"Gimpel, mengapa engkau tidur?"
Aku
berkata, "Apa yang harus kulakukan? Makan kreplach20?"
"Seluruh
dunia menipumu," katanya, "dan kau seharusnya menipu dunia untuk
membalasnya."
"Bagaimana
aku bisa menipu seluruh dunia?" tanyaku kepadanya.
Dia
menjawab, "Kau bisa mengumpulkan seember air kencing setiap hari dan
menuangkannya ke dalam adonan roti pada malam hari. Biarlah orang-orang bijak di
Frampol memakan kotoran."
"Bagaimana
dengan penghakiman di dunia yang akan datang?" tanyaku.
"Tidak
ada dunia yang akan datang," katanya. "Mereka membohongimu dan membuatmu
percaya bahwa kau menyimpan kucing di dalam perutmu. Omong kosong!"
"Baiklah
kalau begitu," kataku, "apakah ada Tuhan?"
Dia
menjawab, "Tuhan juga tidak ada."
"Apa,"
kataku, "lalu apa yang ada di sana?"
"Lumpur
yang tebal."
Dia
berdiri di depan mataku dengan janggut dan tanduk seperti kambing, bergigi
panjang, dan berekor. Mendengar kata-kata itu, aku ingin sekali menyambar
ekornya, tapi aku terjatuh dari karung tepung dan hampir mematahkan tulang
rusukku. Lalu tiba-tiba aku harus menjawab panggilan alam, dan ketika lewat,
aku melihat adonan yang mengembang, yang seolah berkata kepadaku,
"Lakukan!" Singkatnya, aku membiarkan diriku terbujuk.
Saat
fajar, si anak magang datang. Kami menguleni roti, menaburkan biji jintan di
atasnya, dan memanggangnya. Kemudian anak magang itu pergi, dan aku
ditinggalkan duduk di parit kecil oven, di atas tumpukan kain. Nah, Gimpel,
pikirku, kau sudah membalas dendam pada mereka atas semua rasa malu yang sudah
mereka berikan padamu. Di luar, embun beku berkilauan, tapi di samping oven
terasa hangat. Api membakar wajahku. Aku menundukkan kepala dan tertidur.
Aku
langsung melihat dalam mimpi, Elka dalam balutan kafannya. Dia memanggilku,
"Apa yang sudah kau lakukan, Gimpel?"
Aku
berkata kepadanya, "Ini semua salahmu," dan mulai menangis.
"Bodoh!"
katanya. "Bodoh! Karena aku berbohong, berarti semua orang juga berbohong?
Aku tidak pernah menipu siapa pun kecuali diriku sendiri. Aku yang menanggung
semuanya, Gimpel. Mereka tidak akan mengampunimu."
Aku
menatap wajahnya. Wajahnya hitam; aku terkejut dan terbangun, lalu duduk
membisu. Aku merasa segalanya tergantung pada satu titik keseimbangan. Satu
langkah saja yang salah, aku akan kehilangan Hidup Kekal. Tapi Tuhan memberiku
pertolonganNya. Aku mengambil sekop panjang dan mengambil roti-roti itu,
membawanya ke halaman, lalu mulai menggali lubang di tanah yang beku.
Anak
magang itu kembali saat aku sedang mengerjakannya. "Apa yang kau lakukan,
Bos?" tanyanya, lalu wajahnya pucat pasi.
"Aku
tahu apa yang kulakukan," kataku, dan kusembunyikan semua itu di depan
matanya.
Lalu
aku pulang, mengambil tumpukan hartaku dari tempat persembunyiannya, dan
membaginya kepada anak-anakku. "Aku melihat ibumu malam ini," kataku.
"Kasihan dia, wajahnya menghitam."
Mereka
begitu tercengang hingga tidak bisa berbicara sepatah kata pun.
"Semoga
sehat selalu," kataku, "dan lupakan bahwa ada orang seperti
Gimpel." Aku mengenakan mantel pendekku, sepasang sepatu bot, mengambil
tas yang berisi selendang doaku21 di satu tangan, dan stokku di
tangan lainnya, lalu mencium mezzuzah22. Ketika orang-orang
melihatku di jalan, mereka sangat terkejut.
"Kau
mau pergi ke mana?" kata mereka.
Aku
menjawab, "Ke dunia." Lalu aku pun pergi dari Frampol.
Aku
mengembara di negeri ini, dan orang-orang baik tidak pernah mengabaikanku.
Setelah bertahun-tahun, aku menjadi tua dan beruban; aku mendengar banyak
kebohongan dan kepalsuan, tapi semakin lama aku hidup, semakin aku mengerti
bahwa sesungguhnya tidak ada kebohongan. Apa pun yang tidak benar-benar terjadi
hanyalah mimpi di malam hari. Itu akan terjadi pada seseorang kalau tidak
terjadi pada orang yang lain lagi, besok kalau bukan hari ini, atau seabad
kemudian kalau bukan tahun depan. Apa bedanya? Sering kali aku mendengar kisah
yang kemudian kukatakan, "Itu tidak mungkin terjadi." Tapi, sebelum
setahun berlalu, aku mendengar bahwa hal itu benar-benar sudah terjadi di suatu
tempat.
Berpindah-pindah
tempat, makan di meja-meja yang asing, sering kali aku mengarang cerita —hal-hal
mustahil yang tidak mungkin terjadi— tentang setan, penyihir, kincir angin, dan
sebagainya. Anak-anak berlarian mengejarku, memanggil, "Kakek, ceritakan
pada kami sebuah kisah." Terkadang mereka meminta cerita tertentu, dan aku
berusaha menyenangkan mereka. Seorang anak laki-laki gemuk pernah berkata
kepadaku, "Kakek, ini cerita yang sama seperti yang pernah Kakek ceritakan
kepada kami." Anak kecil nakal itu, benar.
Begitu
pula dengan mimpi. Sudah bertahun-tahun sejak aku meninggalkan Frampol, tapi
begitu aku menutup mata, aku kembali ke sana. Dan menurutmu siapa yang kulihat?
Elka. Dia berdiri di dekat bak mandi, seperti saat pertama kali kami bertemu, tapi
dia mengucapkan kata-kata yang aneh kepadaku, hal-hal yang ganjil. Ketika aku
bangun, aku melupakan semuanya. Tapi, selama mimpi itu berlangsung, aku
terhibur. Dia menjawab semua pertanyaanku, dan yang kudengar adalah bahwa
semuanya baik-baik saja. Aku menangis dan memohon, "Izinkan aku
bersamamu." Dan dia menghiburku dan memintaku untuk bersabar. Waktunya sudah
dekat, tidak sejauh yang kubayangkan. Terkadang dia membelai, menciumku, dan
menangis di wajahku. Ketika aku bangun, aku merasakan bibirnya dan merasakan
asinnya air matanya.
Tidak
diragukan lagi dunia ini sepenuhnya dunia imajiner, tapi hanya satu tingkat
terpisah dari dunia nyata. Di pintu hotel tempatku berbaring, berdiri papan
tempat jenazah dibawa pergi. Si Yahudi penggali kubur sudah menyiapkan
sekopnya. Kuburan menanti dan cacing-cacing kelaparan; kain kafan sudah
disiapkan --kubawa dalam karung pengemisku. Seorang pendengkur lain sedang
menunggu untuk mewarisi ranjang jeramiku. Ketika saatnya tiba, aku akan pergi
dengan gembira. Apa pun yang ada di sana, itu akan nyata, tanpa kerumitan,
tanpa ejekan, tanpa tipu daya. Puji Tuhan: di sana bahkan Gimpel pun tidak bisa
ditipu.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Isaac Bashevis Singer yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1
Tartar: atau Tatar; etnis bangsa Turkik dari Asia Tengah. Awalnya,
etnonim Tatar kemungkinan merujuk pada konfederasi Tatar. Konfederasi tersebut
akhirnya dimasukkan ke dalam Kekaisaran Mongol ketika Genghis Khan menyatukan
berbagai suku stepa. Secara historis, istilah Tartar diterapkan oleh para
kartografer Barat kepada siapa pun dari daratan luas Asia Utara dan Tengah yang
saat itu dikenal sebagai Tartar, sebuah istilah yang secara keliru disamakan
dengan Kekaisaran Mongol. Baru-baru ini, istilah tersebut merujuk secara lebih
sempit kepada kelompok etnis terkait yang menyebut diri mereka Tartar atau Tatar.
2
Czar: ejaan Latin dari "tsar" yang berarti gelar
penguasa tertinggi yang berasal dari "Caesar", gelar yang
secara historis digunakan oleh raja-raja Slavia. Gelar ini diciptakan dan
pertama kali digunakan oleh Kekaisaran Bulgaria Pertama, kemudian diadopsi dan
digunakan oleh Kekaisaran Serbia dan Ketsaran Rusia. Bentuk feminin dari gelar
historis ini adalah czarina.
3
Golem: makhluk buatan manusia dalam cerita rakyat Yahudi yang diciptakan
dari benda mati, biasanya tanah liat atau lumpur. Narasi golem yang paling
terkenal melibatkan Judah Loew ben Bezalel rabi Praha pada akhir abad ke-16.
Dalam budaya populer modern, kata ini sudah menjadi umum, dan setiap robot
kasar yang dibuat oleh seorang penyihir bisa disebut sebagai "golem".
4
Kitab Kebijaksanaan Para Bapa: Pirkei Avot; kompilasi ajaran dan
pepatah teologis dan etika Yahudi dari tradisi Yahudi Rabbinik.
5
Yeshiva: lembaga pendidikan Yahudi tradisional yang berfokus pada studi
literatur Rabbinik, terutama Talmud dan halacha (hukum Yahudi),
sementara Taurat dan filsafat Yahudi dipelajari secara paralel. Pembelajaran
biasanya dilakukan melalui shiurim (kuliah atau kelas) harian serta
dalam pasangan belajar yang disebut chavrusa (bahasa Aram untuk
'persahabatan' atau 'pertemanan').
6
Pemancing beruang: bear-baiting; olahraga berdarah historis di
mana seekor beruang yang dirantai dan satu atau lebih anjing dipaksa untuk
bertarung dengannya. Terkadang mengadu beruang dengan hewan lain juga. Hingga
abad ke-19, olahraga ini umum dilakukan di Britania Raya, Swedia, India,
Pakistan, dan Meksiko. Sekarang menajdi ungkapan untuk menyebut 'pengganggu'.
7
Idiom untuk menyatakan bahwa tidak ada hal baik dari situasi tersebut.
8
Challah atau hallah: juga dikenal sebagai berches di Eropa
Tengah, adalah roti khusus dalam masakan Yahudi, biasanya dikepang dan dimakan
pada acara-acara seremonial seperti Shabbat dan hari raya besar Yahudi (selain
Paskah).
9
Tisha b'Av: ta'anit (hari puasa) tahunan dalam Yudaisme Rabinik
(Puasa Yudaisme Qaraite pada tanggal 7 dan 10 Av). Ini adalah peringatan
sejumlah bencana dalam sejarah Yahudi, terutama penghancuran Kuil Sulaiman oleh
Kekaisaran Neo-Babilonia dan Kuil Kedua oleh Kekaisaran Romawi di Yerusalem.
10
Mikveh atau Mikvah: pemandian yang digunakan untuk ritual
pencelupan dalam Yudaisme untuk mencapai kemurnian ritual.
11
Reb: gelar kehormatan Yiddish atau Ibrani yang secara tradisional
digunakan untuk laki-laki Yahudi Ortodoks. Gelar ini umumnya hanya digunakan
untuk laki-laki yang sudah menikah, setara dengan "tuan."
12
Idiom untuk menyatakan seseorang sedang kecewa.
13
Lelucon khas Yahudi tentang pasangan suami-istri yang punya banyak anak.
14
Kolik: kolik bayi, juga dikenal sebagai kolik infantil; episode menangis
selama lebih dari tiga jam sehari, selama lebih dari tiga hari seminggu, selama
tiga minggu pada anak yang sehat.
15
Abrakadabra: kata ajaib yang secara historis digunakan sebagai mantra
apotropaik pada amulet pelindung dari sihir dan umum digunakan saat ini dalam
sulap panggung. Asal usulnya tidak diketahui, tapi salah satu kemunculan
pertama kata tersebut adalah dalam sebuah karya dokter Romawi Serenus
Sammonicus pada abad kedua yang berhubungan dengan obat demam.
16
Idiom untuk menyatakan menyangkal dengan keras.
17
Moses ben Maimon (1138–1204): dikenal sebagai Maimonides dan juga
disebut dengan akronim Ibrani Rambam; seorang rabi dan filsuf Sephardi
yang menjadi salah satu sarjana Taurat paling produktif dan berpengaruh di Abad
Pertengahan. Pada masanya, dia juga seorang astronom dan dokter terkemuka, yang
menjabat sebagai dokter pribadi Saladin.
18
Dybbuk: roh jahat yang diyakini sebagai jiwa orang yang sudah mati dalam
mitologi Yahudi. Roh tersebut konon meninggalkan tubuh inangnya setelah
mencapai tujuannya, terkadang setelah diusir. Dari kata kerja Ibrani dabaq,
yang berarti 'menempel'.
19
Roda penggilas: juga dikenal sebagai roda eksekusi, Roda Catherine
atau Roda (Santa) Catherine, adalah metode penyiksaan yang digunakan
untuk eksekusi publik terutama di Eropa dari zaman kuno hingga Abad Pertengahan
hingga abad ke-19 dengan mematahkan tulang penjahat atau memukulinya hingga
mati.
20
Kreplach: pangsit kecil dalam masakan Yahudi Ashkenazi yang diisi dengan
daging giling, kentang tumbuk atau isian lainnya, biasanya direbus dan
disajikan dalam sup ayam, meskipun bisajuga disajikan digoreng.
21
Tallit: atau taleth, atau tallis; pakaian berumbai yang
dikenakan sebagai selendang doa oleh penganut agama Yahudi. Tallit memiliki
rumbai-rumbai khusus yang dijalin dan diikat, yang dikenal sebagai tzitzit,
yang terpasang di keempat sudutnya. Bagian kainnya dikenal sebagai beged
("pakaian") dan biasanya terbuat dari wol atau katun, meskipun sutra
terkadang digunakan untuk tallit gadol.
22
Mezuzah: sepotong perkamen yang bertuliskan ayat-ayat Ibrani tertentu
dari Taurat, yang ditempelkan orang Yahudi dalam kotak kecil di tiang pintu
rumah mereka.

Comments
Post a Comment