Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan (Boys And Girls ~ Alice Munro)

Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan (Boys And Girls ~ Alice Munro)

Ayah saya adalah seorang peternak rubah. Artinya, dia memelihara rubah perak di kandang; dan di musim gugur dan awal musim dingin, ketika bulu mereka sedang lebat-lebatnya, dia membunuh, menguliti, dan menjual bulunya kepada Hudson's Bay Company1 atau Montreal Fur Traders2. Perusahaan-perusahaan ini memberi kami kalender heroik untuk digantung, satu di setiap sisi pintu dapur. Dengan latar belakang langit biru yang dingin, hutan pinus hitam, dan sungai-sungai utara yang berbahaya, para petualang berbulu menancapkan bendera Inggris dan atau Prancis; para petualang liar yang gagah berani membungkukkan punggung mereka di portage3.

Selama beberapa minggu sebelum natal, ayah saya bekerja setelah makan malam di ruang bawah tanah rumah kami. Ruang bawah tanah itu berwarna putih, dan diterangi oleh bohlam seratus watt di atas meja kerja. Kakak saya, Laird, dan saya duduk di anak tangga teratas dan memperhatikan. Ayah saya melepaskan bulu dari tubuh rubah, yang anehnya terlihat kecil, galak, dan mirip tikus, tanpa bulu yang membuatnya tampak gagah. Tubuh-tubuh yang telanjang dan licin itu dikumpulkan dalam karung dan dikubur di tempat pembuangan sampah. Suatu kali, seorang pekerja bayaran, Henry Bailey, pernah menyerang saya dengan karung itu, sambil berkata, "Hadiah Natal!" Ibu saya menganggap itu tidak lucu. Bahkan, dia tidak menyukai seluruh proses merelas —itulah sebutan untuk membunuh, menguliti, dan melepaskan bulu— dan berharap hal itu tidak perlu dilakukan di rumah. Baunya menyebar. Setelah kulit rubah direntangkan di atas papan panjang, ayah saya mengikisnya dengan hati-hati, menghilangkan gumpalan kecil pembuluh darah, gelembung-gelembung lemak; bau darah dan lemak hewan, dengan bau asli rubah yang kuat, menyebar ke seluruh rumah. Saya merasa aromanya terasa menenangkan, seperti aroma jeruk dan daun pinus.

Henry Bailey punya gangguan saluran bronkial. Dia batuk dan batuk terus sampai wajahnya yang tirus memerah, dan matanya yang biru muda dan sinis dipenuhi air mata; lalu dia membuka tutup kompor, dan, berdiri agak jauh, meludahkan gumpalan dahak yang besar –hss– langsung ke tengah api. Kami mengagumi penampilannya ini dan kemampuannya membuat perutnya berbunyi sesuka hati, dan juga tawanya yang penuh siulan dan gelak keras yang melibatkan seluruh mesin dadanya yang bermasalah. Terkadang sulit untuk mengetahui apa yang dia tertawakan, dan selalu ada kemungkinan bahwa itu adalah kami.

Setelah kami tidur, kami masih bisa mencium bau rubah dan masih mendengar tawa Henry, tapi hal-hal itu, pengingat akan dunia ruang bawah tanah yang hangat, aman, dan cerah, mulai hilang dan berkurang, mengambang di udara dingin yang pengap di lantai atas. Kami takut pada malam hari di musim dingin. Kami tidak takut pada dunia luar meskipun saat itu adalah waktu tahun ketika tumpukan salju melingkari rumah kami seperti paus yang sedang tidur dan angin mengganggu kami sepanjang malam, datang dari ladang yang terkubur, rawa yang membeku, dengan paduan suara ancaman dan kesengsaraan purba yang menakutkan. Kami takut pada dunia dalam, kamar tempat kami tidur. Saat itu lantai atas rumah kami belum selesai. Sebuah cerobong asap bata naik ke salah satu dinding. Di tengah lantai ada lubang persegi, dengan pagar kayu di sekelilingnya; di situlah anak tangga mulai naik. Di sisi lain tangga terdapat barang-barang yang tidak terpakai lagi –gulungan linoleum4 bermotif tentara yang berdiri tegak, kereta kuda anyaman, keranjang tanaman pakis, kendi dan baskom porselen yang retak, gambar Pertempuran Balaklava5, sangat menyedihkan untuk dilihat. Saya pernah berkata kepada Laird, begitu dia cukup dewasa untuk memahami hal-hal seperti itu, bahwa kelelawar dan tengkorak hidup di sana; setiap kali seseorang melarikan diri dari penjara, sejauh dua puluh mil, aku membayangkan orang itu entah bagaimana masuk ke jendela dan bersembunyi di balik linoleum itu. Tapi kami punya aturan untuk membuat kami tetap aman. Saat lampu menyala, kami aman selama kami tidak melangkah keluar dari karpet usang persegi yang membatasi ruang kamar tidur kami; saat lampu mati, tidak ada tempat yang aman selain tempat tidur. Saya harus mematikan lampu sambil berlutut di ujung tempat tidur saya, dan merentangkan tubuh sejauh mungkin untuk meraih kabelnya.

Dalam kegelapan, kami berbaring di tempat tidur masing-masing, rakit penyelamat kami yang sempit, dan menatap cahaya redup yang naik dari tangga, sambil bernyanyi. Laird menyanyikan "Jingle Bells6", yang akan dinyanyikannya kapan saja, tidak peduli natal atau tidak, dan saya menyanyikan "Danny Boy7". Saya menyukai suara saya sendiri, pelan dan memelas, mengalun dalam kegelapan. Sekarang kami bisa melihat bentuk jendela yang tinggi dan berembun, suram dan putih. Ketika saya sampai pada bagian, ‘kalau aku mati, seperti yang pasti terjadi’ –semacam gigil yang bukan disebabkan oleh seprai dingin tapi oleh emosi yang menyenangkan hampir membungkam saya. ‘Kau akan berlutut dan mengucapkan Ave di atasku’ —apa itu Ave? Setiap hari saya lupa untuk mencari tahu.

Laird langsung tertidur setelah bernyanyi; saya bisa mendengar napasnya yang panjang, puas, dan berbusa. Sekarang, selama waktu yang tersisa buat saya, waktu yang paling pribadi dan mungkin waktu terbaik sepanjang hari, saya merapatkan diri di balik selimut dan melanjutkan salah satu cerita yang  saya ceritakan kepada diri saya sendiri setiap malam. Cerita-cerita ini tentang diri saya sendiri, ketika saya beranjak dewasa; cerita-cerita ini berlatar di dunia yang jelas-jelas milik saya, dunia yang memberikan kesempatan untuk keberanian, ketegasan, dan pengorbanan diri, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan. Saya menyelamatkan orang-orang dari gedung yang dibom (saya berkecil hati karena perang yang sebenarnya berlangsung begitu jauh dari Jubilee). Saya menembak dua serigala ganas yang mengancam halaman sekolah (para guru meringkuk ketakutan di belakang saya). Menunggang kuda yang gagah dengan penuh semangat menyusuri jalan utama Jubilee, menerima rasa terima kasih penduduk kota atas suatu tindakan heroik yang belum dilakukan (tidak seorang pun pernah menunggang kuda di sana, kecuali Raja Billy8 dalam parade Hari Orangemen9). Selalu ada adegan menunggang kuda dan menembak dalam cerita-cerita ini, meskipun saya baru dua kali menunggang kuda —yang pertama karena kami tidak punya pelana— dan yang kedua, saya terpeleset dan jatuh tepat di bawah kaki kuda; kuda itu melangkah dengan tenang melewati saya. Saya benar-benar belajar menembak, tapi belum bisa mengenai apa pun, bahkan kaleng-kaleng di tiang pagar sekalipun.

Waktu masih hidup, rubah-rubah itu menghuni dunia yang diciptakan ayah saya untuk mereka. Dunia itu dikelilingi pagar tinggi, layaknya kota abad pertengahan, dengan gerbang yang digembok di malam hari. Di sepanjang jalan kota terdapat kandang-kandang besar yang kokoh. Masing-masing kandang memiliki pintu yang bisa dilewati orang, rampa10 kayu di sepanjang kawat, tempat rubah-rubah berlarian naik turun, dan sebuah kandang yang lebih kecil —terkadang seperti peti pakaian dengan lubang udara— tempat mereka tidur dan tinggal di musim dingin serta merawat anak-anak mereka. Ada wadah makanan dan minuman yang diikatkan pada kawat sedemikian rupa sehingga bisa dikosongkan dan dibersihkan dari luar. Wadah-wadah itu terbuat dari kaleng bekas, dan rampa serta kandangnya terbuat dari potongan-potongan kayu tua. Semuanya rapi dan dibuat dengan cerdik; ayah saya tidak kenal lelah berkreasi dan buku favoritnya adalah Robinson Crusoe11. Dia memasang drum timah pada gerobak dorong untuk membawa air ke kandang-kandang. Itulah pekerjaan saya di musim panas, ketika rubah-rubah harus minum dua kali sehari. Antara pukul sembilan dan sepuluh pagi, dan sekali lagi setelah makan malam, saya mengisi drum di pompa dan mendorongnya menuruni halaman kandang, tempat saya memarkirnya, dan mengisi kaleng penyiram saya dan menyusuri jalan-jalan itu. Laird juga ikut, dengan kaleng penyiram kecilnya yang berwarna krem dan hijau, yang terisi terlalu penuh hingga membentur kakinya dan menumpahkan air ke sepatu kanvasnya. Saya punya penyiram tanaman asli, milik ayah saya, meskipun saya hanya bisa mengisinya tiga perempat.

Semua rubah diberi nama, yang dicetak di atas pelat timah dan digantung di samping pintu mereka. Mereka tidak diberi nama saat lahir, melainkan setelah mereka selamat dari dikuliti pada tahun pertama dan dimasukkan ke dalam stok pembiakan. Rubah-rubah yang diberi nama oleh ayah saya bernama Prince, Bob, Wally, dan Betty. Rubah-rubah yang saya beri nama bernama Star atau Turk, atau Maureen atau Diana. Laird menamai satu rubah dengan nama Maude, diambil dari nama gadis pekerja kami saat dia masih kecil, satu lagi dinamai Harold, diambil dari nama anak laki-laki di sekolah, dan satu lagi dinamai Mexico, dia tidak menjelaskan alasannya.

Memberi mereka nama tidak menjadikan mereka hewan peliharaan, atau semacamnya. Tidak seorang pun kecuali ayah saya yang pernah masuk ke kandang, dan dia dua kali mengalami keracunan darah akibat digigit. Ketika aku membawakan mereka air, mereka mondar-mandir di jalan setapak yang mereka buat di dalam kandang, jarang menggonggong —mereka menyimpannya untuk malam hari, ketika mereka mungkin melakukan paduan suara— tapi selalu memperhatikan saya, mata mereka menyala, berkilau keemasan jernih, di wajah mereka yang runcing dan jahat. Mereka cantik karena kaki mereka yang ramping dan ekor yang indah seperti bangsawan serta bulu cerah yang ditaburi bulu gelap di punggung mereka —yang menjadi asal nama mereka— tapi terutama karena wajah mereka, yang tertarik dengan tajam dalam permusuhan murni, dan mata emas mereka.

Selain membawa air, saya membantu ayah saya memotong rumput panjang, tanaman lamb quarter, dan bunga money-musk yang tumbuh di antara kandang. Dia memotong dengan sabit, sementara saya menyapu hingga membentuk tumpukan. Kemudian, dia mengambil garpu rumput dan menaburkan rumput yang baru dipotong di atas kandang untuk menjaga rubah-rubah tetap sejuk dan menaungi bulu mereka yang sudah berubah kecokelatan karena terlalu banyak terkena sinar matahari. Ayah saya tidak berbicara kepada saya kecuali tentang pekerjaan yang sedang kami lakukan. Dalam hal ini, dia sangat berbeda dari ibu saya, yang, kalau sedang senang, akan menceritakan berbagai hal kepada saya –nama anjing yang dia pelihara waktu kecil, nama-nama anak laki-laki yang pernah dia kencani setelah dewasa, dan seperti apa gaun-gaunnya– dia tidak bisa membayangkan seperti apa mereka sekarang. Pikiran dan cerita apa pun yang dimiliki ayah saya bersifat pribadi, dan saya selalu malu kepadanya serta tidak pernah bertanya apa-apa. Meskipun demikian, saya bekerja dengan sukarela di bawah pengawasannya, dan dengan rasa bangga. Suatu kali, seorang penjual pakan ternak datang ke kandang untuk berbicara dengannya, dan ayah saya berkata, "Sepertinya kau sudah bertemu dengan karyawan baruku." Saya berbalik dan menyapu dengan penuh semangat, wajah saya memerah karena senang.

"Sepertinya aku tertipu," kata si penjual. "Kukira itu anak perempuan."

Setelah rumput dipangkas, tiba-tiba rasanya waktu sudah jauh berlalu. Saya berjalan di atas sisa-sisa batang-batang rumput di sore hari yang datang lebih awal, menyadari langit yang memerah, keheningan yang mulai menyelimuti dari musim gugur. Ketika saya mendorong tangki keluar dari gerbang dan memasang gembok, hari sudah hampir gelap. Suatu malam, saya melihat ibu dan ayah saya sedang mengobrol di sebuah bukit kecil yang kami sebut gangway, di depan gudang. Ayah saya baru saja pulang dari tempat penyembelihan; dia mengenakan celemeknya yang kaku dan berlumuran darah, dan seember potongan daging di tangannya.

Rasanya aneh melihat ibu saya di gudang. Dia jarang keluar rumah kecuali untuk melakukan sesuatu —menjemur pakaian atau mengambil kentang di kebun. Dia terlihat canggung, dengan kaki-kakinya yang telanjang dan bergelambir, tidak tersentuh sinar matahari, celemeknya masih terpasang dan perutnya basah karena piring makan malam. Rambutnya diikat dengan sapu tangan, satu demi satu mulai rontok. Dia akan mengikat rambutnya seperti itu di pagi hari, sambil berkata bahwa dia tidak punya waktu untuk melakukannya dengan benar, dan akan tetap terikat sepanjang hari. Benar juga; dia benar-benar tidak punya waktu. Akhir-akhir ini, beranda belakang rumah kami dipenuhi tumpukan keranjang buah persik, anggur, dan pir, yang dibeli di kota, serta bawang, tomat, dan mentimun yang ditanam di rumah, semuanya menunggu untuk dibuat menjadi jeli, selai, manisan, acar, dan saus sambal. Di dapur, api di kompor menyala sepanjang hari, stoples-toples berdenting di dalam air mendidih, terkadang kantong kain kasa digantung di tiang di antara dua kursi, menyaring bubur anggur biru untuk dijadikan jeli. Saya diberi pekerjaan, dan saya akan duduk di meja mengupas buah persik yang sudah direndam air panas, atau memotong bawang, mata saya perih dan berair. Begitu selesai, saya langsung lari keluar rumah, berusaha menghindar dari jangkauan pendengaran sebelum ibu saya menemukan apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Saya benci dapur yang gelap dan panas di musim panas, tirai hijau dan kertas anti-lalat, taplak meja yang sama, cermin bergelombang, dan linoleum yang bergelombang. Ibu saya terlalu lelah dan sibuk untuk berbicara dengan saya, dia tidak tega bercerita tentang Pesta Kelulusan Sekolah; keringat bercucuran di wajahnya, dan dia selalu menghitung dalam hati, menunjuk stoples, menumpahkan gula dalam cangkir. Pekerjaan di rumah terasa tidak ada habisnya, suram, dan sangat menyedihkan; pekerjaan yang dilakukan di luar ruangan, untuk membantu ayah saya, memiliki arti penting secara ritual.

Saya mendorong tangki ke gudang, tempat tangki itu disimpan, dan saya mendengar ibu saya berkata, "Tunggu sampai Laird agak besar, nanti kau bisa dibantu."

Apa yang dikatakan ayah saya tidak saya dengar. Saya senang melihat caranya berdiri mendengarkan, sopan seperti yang biasa dilakukannya kepada seorang penjual atau orang asing, tapi dengan nada ingin melanjutkan pekerjaannya yang sebenarnya. Saya merasa ibu saya tidak perlu mengatakan hal itu dan saya ingin dia merasakan hal yang sama. Apa maksudnya tentang Laird? Dia tidak membantu siapa-siapa. Di mana dia sekarang? Berayun-ayun sampai mual di ayunan, berputar-putar, atau mencoba menangkap ulat. Dia tidak pernah menemani saya sampai selesai.

"Lalu kau bisa lebih membantuku di rumah," saya mendengar ibu saya berkata. Cara bicaranya yang sangat pelan dan penuh penyesalan selalu membuat saya gelisah. "Aku cuma berpaling sebentar dan kau langsung kabur. Rasanya seperti aku tidak punya anak perempuan."

Saya pergi dan duduk di atas karung pakan di sudut gudang, tidak ingin muncul saat percakapan itu berlangsung. Saya merasa, ibu saya tidak bisa dipercaya. Hatinya lebih baik daripada ayah saya dan lebih mudah ditipu, tapi kau tidak bisa bergantung kepadanya, dan alasan sebenarnya di balik semua perkataan dan perbuatannya tidak diketahui. Dia menyayangi saya, dan dia begadang hingga larut malam membuat gaun dengan gaya rumit yang saya inginkan, untuk saya pakai saat sekolah dimulai, tapi dia juga musuh saya. Dia selalu punya rencana. Dia sekarang sedang merencanakan supaya saya tinggal di rumah lebih lama, meskipun dia tahu saya membencinya (karena dia tahu saya membencinya) dan mencegah saya bekerja untuk ayah saya. Rasanya dia melakukan itu hanya karena iseng saja, dan untuk menguji kekuatannya. Tak terpikir olehku bahwa ia mungkin kesepian, atau cemburu. Tak ada orang dewasa yang bisa; mereka terlalu beruntung. Saya duduk dan menendang-nendangkan tumit dengan monoton ke karung pakan, menimbulkan debu, dan tidak keluar sampai dia pergi.

Saya tidak pernah menyangka ayah saya akan memperhatikan apa yang dikatakannya. Siapa yang bisa membayangkan Laird mengerjakan pekerjaan saya –Laird mengingat gembok dan membersihkan tempat penyiram tanaman dengan daun di ujung ranting, atau bahkan mendorong tangki air tanpa membuatnya terguling? Itu menunjukkan betapa sedikitnya pengetahuan ibu saya tentang hal-hal ini.

Saya lupa memberi tahu rubah-rubah itu diberi makan apa. Celemek ayah saya yang berdarah mengingatkan saya. Mereka diberi makan daging kuda. Saat itu, sebagian besar petani masih memelihara kuda, dan ketika seekor kuda terlalu tua untuk bekerja, atau patah kakinya, atau jatuh dan tidak mau bangun, seperti yang kadang-kadang terjadi, pemiliknya akan memanggil ayah saya, lalu dia dan Henry pergi ke peternakan dengan truk. Biasanya mereka menembak dan menyembelih kuda di sana, membayar petani itu antara lima hingga dua belas dolar. Kalau mereka sudah memiliki terlalu banyak daging, mereka akan membawa kuda itu kembali hidup-hidup, dan menyimpannya selama beberapa hari atau minggu di kandang kami, sampai dagingnya dibutuhkan. Setelah perang, para petani membeli traktor dan secara bertahap menyingkirkan kuda-kuda, sehingga tidak ada gunanya lagi. Kalau ini terjadi di musim dingin, kami mungkin akan menyimpan kuda di kandang kami sampai musim semi, karena kami punya banyak jerami dan kalau ada banyak salju –dan bajak tidak bisa membersihkan jalan kami– akan lebih mudah untuk pergi ke kota dengan kuda dan kereta salju.

Musim dingin saat saya berumur sebelas tahun, kami punya dua ekor kuda di kandang. Kami tidak tahu nama mereka sebelumnya, jadi kami memanggil mereka Mack dan Flora. Mack adalah kuda pekerja hitam tua, berjelaga, dan acuh tak acuh. Flora adalah kuda betina berwarna coklat kemerahan, seekor kuda penarik kereta. Kami membawa mereka berdua keluar dengan kereta salju. Mack lambat dan mudah ditangani. Flora sering mudah panik, berbelok ke arah mobil dan bahkan kuda lain, tapi kami menyukai kecepatan dan langkahnya yang tinggi, auranya yang gagah berani dan bebas. Pada hari Sabtu kami pergi ke kandang dan segera setelah kami membuka pintu di kegelapan yang nyaman dan berbau binatang, Flora mengangkat kepalanya, memutar matanya, meringkik putus asa, dan menenangkan diri dari kepanikannya saat itu juga. Tidak aman untuk masuk ke kandangnya, dia akan menendang.

Musim dingin ini juga, saya mulai mendengar lebih banyak tentang masalah yang dibicarakan ibu saya ketika dia berbicara di depan gudang. Saya tidak lagi merasa aman. Sepertinya di benak orang-orang di sekitar saya ada arus bawah pikiran yang terus-menerus, yang tidak bisa dielakkan, tentang satu hal ini. Kata gadis sebelumnya terasa polos dan tak terbebani seperti kata anak; sekarang tampaknya itu tidak demikian. Seorang ‘anak perempuan’ bukanlah, seperti yang saya duga, sekadar diri saya; melainkan apa yang harus saya capai. Itu adalah sebuah definisi, selalu ditekankan, dengan celaan dan kekecewaan. Itu juga menjadi lelucon bagi saya. Suatu kali, Laird dan saya bertengkar, dan untuk pertama kalinya saya harus mengerahkan seluruh kekuatan saya untuk melawannya; meskipun begitu, dia menangkap dan menjepit lengan saya sejenak, benar-benar melukai saya. Henry melihat ini, dan tertawa, berkata, "Oh, Laird akan menunjukkannya kepadamu, suatu hari nanti!" Laird semakin besar. Tapi saya juga semakin besar.

Nenek saya datang untuk tinggal bersama kami selama beberapa minggu dan saya mendengar hal-hal lain. ‘Anak perempuan tidak membanting pintu seperti itu.’ ‘Anak perempuan menjaga lututnya tetap rapat saat duduk.’ Dan yang lebih parah lagi, ketika saya bertanya, ‘Itu bukan urusan anak perempuan.’ Saya tetap membanting pintu dan duduk seaneh mungkin, berpikir bahwa dengan cara seperti itu saya bisa tetap bebas.

Ketika musim semi tiba, kuda-kuda dibiarkan keluar di halaman kandang. Mack berdiri bersandar di dinding kandang, berusaha menggaruk leher dan pahanya, tapi Flora berlari-lari kecil ke sana kemari dan merentangkan kaki di pagar, menghentakkan kukunya di pagar. Tumpukan salju menyusut dengan cepat, memperlihatkan tanah keras berwarna abu-abu dan cokelat, permukaan tanah yang naik turun, polos dan gersang setelah pemandangan musim dingin yang fantastis. Ada perasaan terbuka yang luar biasa, perasaan lepas. Kami sekarang hanya mengenakan pelindung karet, di atas sepatu kami; kaki kami terasa sangat ringan. Suatu Sabtu, kami pergi ke kandang dan mendapati semua pintu terbuka, membiarkan sinar matahari yang tidak biasa dan udara segar masuk. Henry ada di sana, hanya bermalas-malasan melihat koleksi kalendernya yang dipaku di belakang kandang di bagian yang mungkin belum pernah dilihat ibu saya.

"Mau pamit sama teman lamamu, Mack?" tanya Henry. "Ini, beri dia sedikit oat." Dia menuangkan oat ke tangan Laird yang ditangkupkan, lalu Laird menyuapi Mack. Gigi Mack sangat jelek. Dia makan dengan sangat pelan, dengan sabar menggeser-geser oat di dalam mulutnya, mencoba mencari sisa geraham untuk digiling. "Kasihan Mack," kata Henry dengan sedih. "Kalau gigi kuda copot, tidak akan tumbuh lagi. Memang begitu."

"Kau mau menembaknya hari ini?" tanya saya. Mack dan Flora sudah lama berada di kandang sampai-sampai saya hampir lupa kalau mereka akan ditembak.

Henry tidak menjawab saya. Dia malah mulai bernyanyi dengan suara tinggi, gemetar, dan penuh ejekan. Oh, tidak ada lagi pekerjaan, untuk Paman Ned yang malang, dia sudah pergi ke tempat para orang kulit hitam baik hati pergi12. Lidah Mack yang tebal dan kehitaman dengan tekun menjilati tangan Laird. Saya keluar sebelum lagu itu berakhir dan duduk di gangway.

Saya belum pernah melihat mereka menembak kuda, tapi saya tahu tempat mereka melakukannya. Musim panas lalu, Laird dan saya menemukan isi perut kuda sebelum dikubur. Kami mengira itu ular hitam besar, melingkar di bawah sinar matahari. Ular itu ada di sekitar ladang yang membentang di samping gudang. Saya pikir kalau kami masuk ke dalam gudang dan menemukan celah lebar atau lubang kecil untuk mengintip, kami akan bisa melihat mereka melakukannya. Itu bukan sesuatu yang ingin saya lihat; tetap saja, kalau ada sesuatu yang terjadi, lebih baik melihat dan mengetahuinya.

Ayah saya turun dari rumah sambil membawa pistol.

"Apa yang kau lakukan di sini?" katanya.

"Tidak apa-apa."

"Pergilah ke atas dan bermainlah di rumah."

Dia menyuruh Laird keluar dari kandang. Saya berkata kepada Laird, "Kau mau melihat mereka menembak Mack?" dan tanpa menunggu jawaban, saya membawanya ke pintu depan kandang, membukanya dengan hati-hati, lalu masuk. "Diam, atau mereka akan mendengar kita," kata saya. Kami bisa mendengar Henry dan ayah saya berbicara di kandang; lalu langkah berat Mack yang ditarik keluar dari kandangnya.

Di loteng, dingin dan gelap. Sinar matahari yang tipis dan bersilangan jatuh melalui celah-celah. Tumpukan jerami rendah. Daerah itu bergelombang, berbukit-bukit dan cekungan, terhampar di bawah kaki kami. Sekitar satu meter di atas, ada balok yang melingkari dinding. Kami menumpuk jerami di satu sudut dan saya membantu Laird berdiri. Balok itu tidak terlalu lebar; kami merayap di sepanjang balok itu dengan tangan kami menempel di dinding gudang. Ada banyak lubang kayu, dan saya menemukan satu yang memberi saya pemandangan yang saya inginkan –sudut halaman gudang, gerbang, sebagian ladang. Laird tidak menemukan lubang kayu dan mulai mengeluh.

Saya menunjukkan celah yang melebar di antara dua papan. "Diam dan tunggu. Kalau mereka dengar, kita bisa kena masalah."

Ayah saya muncul sambil membawa pistol. Henry menuntun Mack dengan tali kekang. Dia menjatuhkannya dan mengeluarkan kertas rokok serta tembakaunya; dia melinting rokok untuk ayah saya dan dirinya sendiri. Sementara itu, Mack mengendus-endus rumput tua yang mati di sepanjang pagar. Kemudian ayah saya membuka gerbang dan mereka membawa Mack masuk. Henry menuntun Mack menjauh dari jalan setapak menuju sepetak tanah dan mereka mengobrol, tidak cukup keras untuk kami dengar. Mack kembali mencari segenggam rumput segar, yang tidak ditemukannya. Ayah saya berjalan lurus, dan berhenti sejenak pada jarak yang sepertinya cocok untuknya. Henry juga berjalan menjauh dari Mack, tapi menyamping, masih dengan acuh tak acuh memegang tali kekang. Ayah saya mengangkat pistol dan Mack mendongak seolah-olah dia menyadari sesuatu dan ayah saya menembaknya.

Mack tidak langsung roboh, melainkan terhuyung-huyung, terhuyung ke samping, dan jatuh, pertama miring; lalu berguling telentang dan, luar biasanya, menendang-nendangkan kakinya selama beberapa detik di udara. Mendengar itu, Henry tertawa, seolah Mack sedang mempermainkannya. Laird, yang sudah menarik napas panjang dan mengerang karena terkejut ketika tembakan dilepaskan, berseru lantang, "Dia belum mati." Dan menurut saya itu mungkin benar. Tapi kakinya terhenti, dia berguling miring lagi, otot-ototnya gemetar dan lemas. Kedua orang itu berjalan mendekat dan menatapnya dengan tatapan serius; mereka membungkuk dan memeriksa dahinya di tempat peluru itu masuk, dan sekarang saya melihat darahnya di rumput cokelat.

"Sekarang mereka tinggal menguliti dan memotong-motongnya," kata saya. "Ayo pergi." Kaki saya agak gemetar dan saya melompat dengan lega ke dalam tumpukan jerami. "Sekarang kau lihat bagaimana mereka menembak kuda," kata saya memberi selamat, seolah-olah saya sudah sering melihatnya. "Mari kita lihat apakah ada kucing gudang yang punya anak kucing di dalam jerami." Laird melompat. Dia kembali terlihat muda dan penurut. Tiba-tiba saya teringat, waktu dia masih kecil, saya membawanya ke gudang dan menyuruhnya memanjat tangga ke balok paling atas. Itu juga di musim semi, ketika jerami menipis. Saya melakukannya karena ingin bersenang-senang, ingin sesuatu terjadi agar saya bisa menceritakannya. Dia mengenakan mantel kotak-kotak cokelat putih yang agak tebal, terbuat dari salah satu mantel saya. Dia naik tepat seperti yang saya katakan, dan duduk di balok dengan jerami jauh di bawahnya di satu sisi, dan lantai gudang serta beberapa mesin tua di sisi lainnya. Lalu saya berlari sambil berteriak ke ayah saya. "Laird ada di balok paling atas!" Ayah saya datang, ibu saya datang, ayah saya naik tangga sambil berbicara pelan dan menggendong Laird. Mendengar itu, ibu saya bersandar di tangga dan mulai menangis. Mereka bertanya kepada saya, "Kenapa kau tidak mengawasinya?" tapi tidak seorang pun pernah tahu kejadian yang sebenarnya. Laird tidak cukup tahu untuk mengatakannya. Tapi setiap kali saya melihat mantel kotak-kotak cokelat putih itu tergantung di lemari, atau di dasar tas kain, tempat mantel itu berakhir, saya merasakan beban di perut saya, kesedihan karena rasa bersalah yang tidak terobati.

Saya menatap Laird, yang bahkan tidak mengingat hal itu, dan saya tidak suka ekspresinya, wajahnya yang pucat pasi karena musim dingin. Ekspresinya tidak takut atau kesal, melainkan acuh tak acuh, berkonsentrasi. "Dengar," kata saya dengan suara yang luar biasa ceria dan ramah, "kau tidak akan memberi tahu siapa-siapa, kan?"

"Tidak," katanya cepat.

"Janji."

"Janji," katanya. Saya memegang tangannya di belakang punggungnya untuk memastikan dia tidak menyilangkan jari. Meski begitu, dia mungkin akan bermimpi buruk; mungkin saja akan berakhir seperti itu. Saya memutuskan untuk bekerja keras menyingkirkan semua pikiran tentang apa yang sudah dilihatnya dari benaknya –yang, menurut saya, tidak bisa menampung banyak hal sekaligus. Saya mengambil sejumlah uang tabungan saya dan sore itu kami pergi ke Jubilee dan menonton pertunjukan, bersama Judy Canova, di mana kami berdua tertawa terbahak-bahak. Setelah itu, saya pikir semuanya akan baik-baik saja.

Dua minggu kemudian, saya tahu mereka akan menembak Flora. Saya sudah tahu sejak malam sebelumnya, ketika saya mendengar ibu saya bertanya apakah jeraminya masih cukup, dan ayah saya berkata, "Yah, lusa sudah tinggal sapinya saja, dan kita seharusnya bisa menggembalakannya seminggu lagi." Jadi, saya tahu giliran Flora besok pagi.

Kali ini saya tidak terpikir untuk menontonnya. Itu sesuatu yang hanya bisa saya tonton sekali saja. Saya tidak terlalu sering memikirkannya sejak itu, tapi terkadang ketika saya sibuk, bekerja di sekolah, atau berdiri di depan cermin menyisir rambut dan bertanya-tanya apakah saya akan cantik saat besar nanti, seluruh adegan itu akan terlintas di benak saya: saya akan melihat cara ayah saya mengangkat pistol dengan mudah dan terlatih, dan mendengar Henry tertawa ketika Mack menendang-nendangkan kakinya ke udara. Saya tidak merasakan perasaan takut dan penolakan yang hebat, seperti yang mungkin dirasakan anak-anak kota; saya terlalu terbiasa melihat kematian hewan sebagai keharusan dalam hidup kami. Tapi saya merasa sedikit malu, dan ada kewaspadaan baru, rasa menahan diri, dalam sikap saya terhadap ayah saya dan pekerjaannya.

Hari itu cuaca cerah, dan kami berkeliling halaman memunguti ranting-ranting pohon yang patah akibat badai musim dingin. Itu memang tugas kami, dan kami juga ingin menggunakannya untuk membuat tenda teepee13. Kami mendengar Flora meringkik, lalu suara ayah saya dan teriakan Henry, dan kami berlari ke halaman gudang untuk melihat apa yang terjadi.

Pintu kandang kuda terbuka. Henry baru saja membawa Flora keluar, dan Flora sudah melepaskan diri darinya. Dia berlari bebas di halaman kandang, dari ujung ke ujung. Kami memanjat pagar. Sungguh menyenangkan melihatnya berlari, meringkik, berdiri dengan kaki belakangnya, berjingkrak-jingkrak dan mengancam seperti kuda di film-film koboi, kuda peternakan yang belum terlatih, meskipun dia hanyalah seekor kuda tua penarik kereta, seekor kuda betina tua berwarna coklat kemerahan. Ayah saya dan Henry mengejarnya dan mencoba meraih tali kekang yang menggantung. Mereka mencoba memojokkannya, dan mereka hampir berhasil ketika Flora berlari di antara mereka, dengan mata liar, dan menghilang di sudut kandang. Kami mendengar pagar berderak saat dia melewati pagar, dan Henry berteriak. "Dia sudah masuk ke lapangan sekarang!"

Itu berarti dia berada di lapangan panjang berbentuk L yang membentang di dekat rumah. Kalau dia memutari bagian tengah, menuju jalan kecil, gerbangnya terbuka; truknya sudah dipindah ke lapangan pagi ini. Ayah saya berteriak kepada saya, karena saya berada di sisi lain pagar, paling dekat dengan jalan kecil, "Tutup gerbangnya!"

Saya bisa berlari sangat cepat. Saya berlari melintasi taman, melewati pohon tempat ayunan kami digantung, dan melompati parit ke jalan kecil. Di sana ada gerbang yang terbuka. Dia belum keluar, saya tidak bisa melihatnya di jalan; dia pasti berlari ke ujung lain lapangan. Gerbang itu berat. Saya mengangkatnya dari batu dan membawanya menyeberangi jalan. Saya sudah setengah jalan ketika dia terlihat, berlari kencang ke arah saya. Masih ada waktu untuk memasang rantai. Laird bergegas melewati parit untuk membantu saya.

Alih-alih menutup gerbang, saya membukanya selebar mungkin. Saya tidak memikirkan apa pun untuk melakukan hal itu; saya melakukannya begitu saja. Flora tidak melambat; dia berlari cepat melewati saya, dan Laird melompat-lompat, berteriak, "Tutup, tutup!" bahkan setelah terlambat. Ayah saya dan Henry muncul di lapangan beberapa saat kemudian untuk melihat apa yang sudah saya lakukan. Mereka hanya melihat Flora menuju jalan kota. Mereka pasti mengira saya tidak sampai di sana tepat waktu.

Mereka tidak membuang waktu untuk bertanya. Mereka kembali ke gudang dan mengambil senapan serta pisau yang mereka gunakan, lalu memasukkannya ke dalam truk. Lalu mereka memutar balik truk dan berlari kencang menuju kami di ladang. Laird memanggil mereka, "Aku ikut, aku ikut!" dan Henry menghentikan truk dan mereka membawanya masuk. Saya menutup gerbang setelah mereka semua pergi.

Saya kira Laird akan memberi tahu. Saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi kepada saya. Saya belum pernah melawan ayah saya sebelumnya, dan saya tidak mengerti mengapa saya melakukannya. Flora tidak akan benar-benar lolos. Mereka akan menyusulnya dengan truk. Atau kalau mereka tidak menangkapnya pagi ini, seseorang akan melihatnya dan menelepon kami sore ini atau besok. Tidak ada alam liar di sini untuknya, kami butuh daging untuk memberi makan rubah, kami butuh rubah untuk mencari nafkah. Yang saya lakukan hanyalah menambah pekerjaan untuk ayah saya yang sudah bekerja cukup keras. Dan ketika ayah saya tahu tentang itu, dia tidak akan mempercayai saya lagi; dia akan tahu bahwa saya tidak sepenuhnya berpihak padanya. Saya berpihak pada Flora, dan itu membuat saya tidak berguna bagi siapa pun, bahkan bagi kuda itu. Meski begitu, saya tidak menyesalinya; ketika dia berlari ke arah saya, saya menahan gerbangnya agar tetap terbuka, hanya itu yang bisa saya lakukan.

Saya kembali ke rumah, dan ibu saya bertanya, "Ada keributan apa ini?" Saya katakan kepadanya bahwa Flora merobohkan pagar dan kabur. "Kasihan ayahmu," katanya, "sekarang dia harus berburu di pedesaan. Yah, percuma saja merencanakan makan malam sebelum jam satu." Dia memasang papan setrika. Saya ingin memberitahunya, tapi saya mengurungkan niat saya dan naik ke atas, lalu duduk di tempat tidur saya.

Belakangan ini saya mencoba membuat bagian kamar saya lebih mewah, membentangkan tirai renda tua di atas tempat tidur, dan membuat meja rias dengan sisa-sisa kain cretonne untuk rok. Saya berencana membuat semacam penghalang antara tempat tidur saya dan tempat tidur Laird, agar bagian saya terpisah dari bagiannya. Di bawah sinar matahari, tirai renda itu hanya terlihat seperti kain lap berdebu. Kami tidak lagi bernyanyi di malam hari. Suatu malam ketika saya sedang bernyanyi, Laird berkata, "Kau terdengar konyol," dan saya langsung melanjutkannya, tapi malam berikutnya saya tidak bernanyi lagi. Lagipula, tidak perlu, kami tidak lagi takut. Kami tahu itu hanyalah perabot tua, tumpukan barang rongsokan dan kekacauan. Kami tidak menaati aturan. Saya tetap menjauh setelah Laird tidur dan bercerita pada diri saya sendiri, tapi bahkan dalam cerita-cerita itu, sesuatu yang berbeda terjadi, perubahan-perubahan misterius terjadi. Sebuah cerita mungkin dimulai dengan cara lama, dengan bahaya yang dahsyat, kebakaran atau binatang buas, dan untuk sementara saya mungkin menyelamatkan orang; kemudian keadaan akan berubah, dan sebagai gantinya, seseorang akan menyelamatkan saya. Mungkin itu anak laki-laki dari kelas kami di sekolah, atau bahkan Pak Campbell, guru kami, yang suka menggelitik ketiak anak perempuan. Dan di titik ini, ceritanya cukup panjang tentang penampilan saya –seberapa panjang rambut saya, dan jenis gaun apa yang saya kenakan; setelah detail-detail itu jelas, daya tarik cerita yang sebenarnya sudah hilang.

Truk itu kembali setelah lewat pukul satu. Terpalnya menutupi bagian belakang, yang berarti ada daging di dalamnya. Ibu saya harus memanaskan makan malam lagi. Henry dan ayah saya sudah berganti dari baju kerja berlumuran darah menjadi baju kerja biasa di gudang, dan mereka mencuci lengan, leher, dan wajah di wastafel, lalu memercikkan air ke rambut dan menyisirnya. Laird mengangkat lengannya untuk memamerkan bercak darah. "Kami menembak Flora tua," katanya, "dan memotongnya menjadi lima puluh bagian."

"Yah, aku tidak mau mendengar itu," kata ibu saya. "Dan jangan datang ke mejaku seperti itu."

Ayah saya menyuruh Laird mencuci noda darah itu.

Kami duduk, lalu ayah saya berdoa dan Henry menempelkan permen karetnya di ujung garpu, seperti biasa; ketika dia melepasnya, dia akan meminta kami mengagumi polanya. Kami mulai mengoper mangkuk-mangkuk sayuran yang mengepul dan terlalu matang. Laird menatap saya dari seberang meja dan berkata dengan bangga, "Lagipula, itu salahnya Flora lolos."

"Apa?" kata ayah saya.

"Dia bisa saja menutup gerbangnya, tapi dia tidak melakukannya. Dia membukanya dan Flora berlari keluar."

"Benarkah?" kata ayah saya.

Semua orang di meja itu menatap saya. Saya mengangguk, menelan makanan dengan susah payah. Air mata saya pun mulai membanjiri mata saya, malu rasanya.

Ayah saya mendengus kesal. "Kenapa kau lakukan itu?"

Saya tidak menjawab. Saya meletakkan garpu saya dan menunggu untuk disuruh meninggalkan meja, masih tanpa mendongak.

Tapi itu tidak terjadi. Untuk beberapa saat tidak seorang pun berkata apa-apa, lalu Laird berkata dengan nada datar, "Dia menangis."

"Sudahlah," kata ayah saya. Dia berbicara dengan pasrah, bahkan dengan nada riang, kata-kata yang membebaskan dan mengusir saya untuk selamanya. "Dia cuma anak perempuan," katanya.

Saya tidak memprotes, bahkan dalam di hati saya. Mungkin itu memang benar.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Hudson's Bay Company: grup perusahaan Kanada yang bergerak di bidang pertokoan dan properti komersial. Perusahaan ini merupakan perusahaan tertua di Amerika Utara, didirikan pada tahun 1670 dan saat ini sedang dilikuidasi. Kantor pusatnya berada di Simpson Tower di Toronto.

2 Montreal Fur Traders: para pedagang dan penjelajah yang berpusat di Montreal, Kanada, dan menjadi pemain utama dalam perdagangan bulu Amerika Utara dari abad ke-17 hingga awal abad ke-19. Mereka mendirikan North West Company yang sangat sukses pada tahun 1783, sebuah perusahaan pesaing Hudson's Bay Company, yang membangun jaringan pos perdagangan yang luas dan dikenal dengan para pedagang Skotlandia dan penjelajah Prancis-Kanada.

3 Portage: praktik membawa perahu atau kargo melalui darat, baik melewati rintangan di sungai, maupun di antara dua perairan. Jalur tempat barang-barang secara teratur diangkut antar perairan juga disebut portage. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, porter yang berarti "membawa", seperti dalam "portabel".

4 Linoleum: bahan penutup lantai yang terbuat dari bahan-bahan seperti minyak biji rami yang dipadatkan (linoxyn), resin pinus, debu gabus yang digiling, serbuk gergaji , dan pengisi mineral seperti kalsium karbonat, paling umum digunakan pada alas goni atau kanvas . Pigmen sering ditambahkan ke bahan-bahan tersebut untuk menciptakan hasil akhir warna yang diinginkan.

5 Pertempuran Balaklava: terjadi pada tanggal 25 Oktober 1854 selama Perang Krimea, adalah bagian dari Pengepungan Sevastopol (1854–1855), upaya Sekutu untuk merebut pelabuhan dan benteng Sevastopol, pangkalan angkatan laut utama Rusia di Laut Hitam.

6 Jingle Bells: lagu Amerika dan salah satu lagu natal yang paling sering dinyanyikan di dunia. Lagu ini ditulis oleh James Lord Pierpont.

7 Danny Boy: lagu rakyat Irlandia dengan lirik yang ditulis oleh pengacara Inggris Frederic Weatherly pada tahun 1910, dan diiringi melodi tradisional Irlandia "Londonderry Air" pada tahun 1913.

8 William III ​​(1650–1702): dikenal juga sebagai William of Orange, Pangeran Orange yang berdaulat sejak lahir, Stadtholder Holland, Zeeland, Utrecht, Guelders, dan Overijssel di Republik Belanda sejak 1672, dan Raja Inggris, Irlandia, dan Skotlandia sejak 1689 hingga kematiannya pada 1702. Dia memerintah Inggris, Skotlandia, dan Irlandia bersama istrinya, Ratu Mary II, dan pemerintahan bersama mereka dikenal sebagai pemerintahan William dan Mary.

9 Hari Orangemen: perayaan Protestan Ulster yang diadakan pada tanggal 12 Juli. Perayaan ini merayakan Revolusi Mulia dan kemenangan raja Protestan William dari Orange atas raja Katolik James II di Pertempuran Boyne, yang memastikan Ascendancy Protestan Anglikan dan pengesahan Hukum Pidana, yang membatasi umat Katolik.

10 Rampa: jalan yang landai, ramp.

11 Robinson Crusoe: novel petualangan Inggris karya Daniel Defoe, yang pertama kali diterbitkan pada 25 April 1719. Novel ini sering dianggap sebagai penanda awal fiksi realistis sebagai genre sastra, dan digambarkan sebagai novel pertama, atau setidaknya novel Inggris pertama –meskipun label-label ini masih diperdebatkan.

12 Old Uncle Ned:  lagu rakyat Amerika yang ditulis pada tahun 1848 oleh Stephen Foster.

13 Tepee: tenda berbentuk kerucut yang dibedakan dari tenda kerucut lainnya dengan penutup asap di bagian atas strukturnya, dan secara historis terbuat dari kulit atau bulu binatang atau, pada generasi yang lebih baru, dari kanvas yang direntangkan pada rangka tiang kayu.

Comments

Populer