Horus Sang Pembalas Dendam (Mitologi Mesir)
Isis
tahu betul bahaya yang mengancam Horus, tapi awalnya dia tampak tidak kuasa
untuk melindunginya. Meskipun dia menjaga bayi itu siang dan malam, Seth
menemukan tempat persembunyiannya dan pergi ke pulau itu ketika pulau itu sudah
bersandar di tepi barat Sungai Nil.
Ketika
malam tiba, Seth berubah wujud menjadi kalajengking dan merayap mendekati
buaian tempat Horus tertidur di sebuah gubuk sederhana di antara rumpun-rumpun
papirus yang tinggi. Ketika bulan terbit, Isis keluar dari gubuk untuk
memanjatkan doa kepada Khonsu, dewa bulan, agar dia menjaga putranya.
Saat
dia berdoa, kalajengking yang merupakan jelamaan Seth merayap ke dalam buaian
dan menyengat Horus. Mendengar jeritan bayi itu, Isis bergegas kembali ke gubuk
dan menggendongnya sementara Seth menyelinap ke dalam kegelapan tanpa terlihat,
dan meninggalkan Pulau Chemmis jauh sebelum pulau itu hanyut dari pantai
keesokan paginya.
Sepanjang
malam Isis mencoba segala mantra yang dia ketahui untuk menyembuhkan Horus dari
racun kalajengking. Tapi semuanya sia-sia, dan ketika matahari terbit, anak itu
terbaring tidak bernyawa dalam pelukannya.
Kemudian
dalam keputusasaannya Isis berteriak keras kepada Thoth untuk meminta
pertolongan, dan dengan cepat sang dewa yang maha perkasa dan maha bijaksana
itu berdiri di hadapannya.
"Lihat!"
ratapnya. "Seth sudah membunuh putraku sebagaimana dia membunuh ayahnya!
Padahal Horus dilahirkan untuk menjadi Pembalas Osiris, katakanlah, Thoth yang
bijak, bagaimana ini bisa terjadi?"
Lalu
Thoth menjawab, “Horus akan hidup kembali. Rohnya baru saja meninggalkannya
sebentar untuk mengunjungi roh Osiris di Duat. Roh itu akan kembali dalam wujud
burung Bennu –dan di hari-hari mendatang, Bennu akan mati dalam sorotan mata Ra
yang terang saat bertengger di obelisk besar di Heliopolis, dan dari abunya
akan muncul Bennu yang baru, dan ketenarannya akan dikenal di seluruh dunia. Tapi,
sebelum Horus kembali ke bumi dan sementara rohnya bersemayam dengan aman di
Duat bersama Osiris, aku akan memanggil dewan para dewa untuk memutuskan siapa
yang akan memerintah di Mesir.”
Dewan
para dewa diadakan di Heliopolis di tepi timur Sungai Nil di tempat sungai itu
terbagi menjadi banyak aliran di Delta –tempat yang membagi Mesir Hulu dan
Hilir.
Ketika
semuanya sudah berkumpul di hadapan Amun-Ra, bapak para dewa dan manusia, Seth
menyampaikan pendapatnya dengan mengatakan bahwa sebagai saudara Osiris, dialah
yang seharusnya menjadi Firaun berikutnya –“Dan aku sudah menjadi penguasa
Mesir,” dia mengakhiri dengan sengit, “karena para pengikutku menguasai seluruh
negeri, dan siapa pun yang mencoba mengambilnya dariku, aku akan
menghancurkannya dengan api dan air.”
Tapi
Thoth yang bijak berbicara atas nama Horus, katanya, “Seperti halnya Osiris,
anak sulung, adalah raja Mesir yang sejati, maka putra sulungnya, Horus, harus
menjadi raja yang menggantikannya.”
"Kau tidak akan menunjuk bayi untuk memerintah Mesir!" teriak Seth. "Dan apa buktinya bahwa bocah Horus itu, kalau masih hidup, memang putra Osiris –karena Osiris meninggal jauh sebelum dia lahir!"
Lalu
Isis melompat maju dan berbicara dengan sangat baik dan meyakinkan sehingga Seth
melihat bahwa para dewa pasti akan terpikat oleh kata-katanya.
"Jadi
kau akan membiarkan Mesir diperintah oleh seorang perempuan!" teriaknya
tiba-tiba. "Usir Isis, jangan biarkan dia ikut serta dalam dewan ini –dia
hanya memohon untuk putranya agar dia sendiri yang bisa memerintah segalanya!
Ingat bagaimana dia memenangkan tanah Mesir untuk suaminya ketika dia
mempelajari nama rahasia Ra! Usir dia, atau aku akan mendatangkan perang bahkan
di antara para dewa dan membunuh kalian yang berdiri di sini satu per satu
sampai semua tinggal bersama Osiris di Duat."
Sesudah
Seth selesai berbicara, Ra membubarkan rapat hari itu, dengan berkata,
"Besok pagi kita akan bertemu lagi untuk memutuskan masalah ini. Tempat
pertemuan kita adalah di Pulau Tengah di sini, tempat Sungai Nil bercabang –dan
hendaknya tukang perahu berhati-hati agar Isis tidak menyeberangi sungai ke
sana."
Maka
para dewa dan dewi pun pindah ke pulau itu. Tapi, Isis, sesudah berunding
dengan Thoth, mencari saudara perempuannya, Nephthys, istri Seth yang sudah
meninggalkan suaminya sesudah pembunuhan Osiris, dan bergabung dengan Isis,
membawa serta putranya, Anubis.
Nephthys
tidak hadir dalam pertemuan para dewa, karena dia takut mereka akan memaksanya
kembali kepada suaminya, Seth, yang kini dia benci dan takuti. Dia dengan
senang hati bersedia membantu Isis dalam rencananya melawan Seth, menyamar
sebagai saudara perempuannya, dan meminjamkan Isis hiasan kepala berbentuk
keranjang yang biasa dia kenakan.
Dengan
bantuan sihirnya, Isis membuat dirinya menyerupai Nephthys, baik dari wajah,
suara, maupun pakaiannya. Lalu, begitu bulan purnama bersinar di atas sungai, dia
turun ke tepi sungai dan meminta tukang perahu untuk mengantarnya ke pulau.
Awalnya
dia takut melakukannya karena khawatir kehadirannya akan membuat Ra dan Seth
marah, hampir sama besarnya dengan kehadiran saudara perempuannya. Tapi, Isis
berbicara kepadanya dengan lembut dan menawarkan hadiah yang mewah.
“Adikku
dilarang duduk dalam dewan para dewa,” katanya, “tapi aku, Nephthys, hak-hakku
tidak ditolak, dan aku datang untuk berbicara atas nama Horus, putra Isis dan
Osiris.”
Maka,
tukang perahu itu mendayung perahunya menyeberang ke pulau itu, tanpa pernah
menduga bahwa dia berbeda dari yang terlihat. Dan ketika dia bertemu Seth, Seth
juga tertipu dan berseru, “Nephthys, ratuku! Aku akan mengirim utusan untuk
mencari dan membawamu kembali kepadaku keesokan hari sesudah aku dinyatakan
sebagai firaun Mesir oleh semua dewa yang sedang berunding. Aku senang kau sudah
kembali kepadaku atas kemauanmu sendiri.”
"Bagaimana
mungkin aku bisa menjauh darimu padahal aku bebas datang?" gumam Isis
dengan suara Nephthys. "Ah, tuanku, tidakkah kau tahu bahwa aku sudah
dijauhkan oleh sihir jahat adikku, Isis?"
Seth
tahu betul bahwa Nephthys meninggalkannya atas keinginannya sendiri, dan dia tidak
percaya pada alasan-alasannya. Tapi, saat Nephthys berdiri di sana di bawah
sinar rembulan, begitu ramping dan cantik, dengan mata indahnya yang bersinar
penuh cinta, Seth melupakan semua kelicikannya dan hanya ingin memiliki
Nephthys sebagai istrinya sekali lagi.
“Kembalilah
kepadaku,” katanya, “dan aku akan memaafkanmu atas semua masa lalu, dan
menjadikanmu ratuku.”
“Pertama,”
kata yang diduga Nephthys, “kau harus bersumpah di hadapan semua dewa dalam
sidang bahwa putraku akan menjadi firaun Mesir segera sesudah tiba saatnya
baginya untuk memerintah negeri ini –dan bahwa kalian tidak akan menyakitinya
atau merencanakan apa pun terhadapnya kecuali dia sendiri yang menyerang
kalian.”
“Ya,
ya, aku berjanji bahwa Anubis akan menggantikanku sebagai Firaun,” seru Seth
dengan tidak sabar, sambil bergerak untuk memeluknya.
“Jangan
sentuh aku,” katanya sambil mundur, “sebelum kau mengucapkan sumpahmu.”
Dia
pun tidak membiarkan Seth memeluknya, meski dia duduk di sisinya hingga fajar
tiba, menyesap anggur merah Delta yang nikmat –atau memperhatikan Seth
meminumnya– dan menyanyikan lagu-lagu cinta yang merdu untuknya.
Pagi
harinya, dia membiarkan laki-laki itu memegang lengannya untuk menopang
langkahnya yang mabuk menuju tempat di pulau tempat dewan para dewa akan
diadakan. Dan atas dorongannya, dia bersumpah kepadanya di hadapan mereka semua,
“Aku bersumpah demi dia yang terbaring di Philae bahwa putramu akan menjadi firaun
Mesir segera sesudah tiba saatnya baginya untuk memerintah negeri ini, dan
bahwa aku tidak akan menyakitinya atau merencanakan apa pun terhadapnya kecuali
kalau dia sendiri menyerangku atau mencoba merebut takhtaku.”
Begitu
sumpah diucapkan, Isis tertawa dengan tawa manis dan keperakan, bagaikan
denting lonceng di sistrum yang biasa dibawanya. Dan saat dia tertawa, wajahnya
berubah seiring suaranya, dia menanggalkan penutup kepala Nephthys, dan semua
orang bisa melihat bahwa memang Isis yang kepadanya Seth yang mabuk sudah
bersumpah.
"Apa
lagi yang perlu dinyatakan para dewa dalam sidang, selain bahwa Seth harus
menepati sumpahnya yang sudah bersumpah demi dia yang terbaring di
Philae?" serunya. "Akulah Isis, dan dia sudah bersumpah bahwa
putraku, putra tunggalku, Horus, adalah firaun Mesir yang sah!"
Lalu
semua dewa menertawakan tipu daya Isis, dan bahkan alis Ra pun berseri-seri
–karena sejak Seth bersumpah, tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Dan semua
dewa tahu dalam hati mereka bahwa Horus adalah raja yang sah.
Tapi
Seth meraung murka bagaikan kuda nil gila, dan berseru dengan suara yang
menggetarkan bukit-bukit bagaikan guntur, “Tidak semudah itu Horus merebut
kerajaanku! Sesudah dewasa, biarkan dia melawanku, dan aku akan membunuhnya,
menyantap dagingnya, dan menjadi raja sejati!”
Kemudian
dia pergi ke padang pasir di selatan di atas air terjun pertama bersama seluruh
pengikutnya, dan terjadilah kedamaian di Mesir untuk sementara waktu.
Tapi
semua orang tahu bahwa perang besar akan segera terjadi. Dan, baik di Duat
maupun sesudah rohnya kembali ke tubuhnya di Pulau Chemmis, Horus dilatih
setiap hari untuk menjadi pembalas Osiris.
Berkali-kali
Osiris sendiri datang dari Duat untuk mengajari putranya. Dan suatu hari dia
berkata kepada Horus, "Katakan kepadaku, anakku, apa hal paling mulia yang
bisa dilakukan manusia?"
“Membalaskan
dendam ayah dan ibunya atas kejahatan yang dilakukan kepada mereka,” jawab
Horus.
“Dan
makhluk apa yang menurutmu paling berguna untuk dibawa berperang bersamamu?”
“Seekor
kuda,” jawabnya segera.
“Bukankah
seekor singa akan lebih membantu?” tanya Osiris.
"Benar,
kalau orang membutuhkan bantuan," jawab Horus. "Tapi kuda akan
jauh lebih berguna untuk menghentikan pelarian musuh dan membunuhnya."
“Sekarang,
anakku,” kata Osiris dengan sungguh-sungguh, “aku melihat bahwa pelatihanmu sudah
selesai dan waktunya sudah tiba bagimu untuk memimpin pengikutmu berperang
melawan Seth.”
Kemudian
Osiris kembali ke Duat, karena di dunia yang hidup dia belum mampu melawan Seth.
Tapi Horus mempersenjatai diri untuk pertempuran itu, mengumpulkan para
pengikutnya, dan meminta bantuan Harmakhis, dewa matahari terbit, saudara
Osiris dan Set, yang sejauh ini belum berperan dalam perebutan kekuasaan Mesir.
Tapi
Seth memperhatikan semua yang dilakukan Horus, dan dia tahu bahwa waktunya sudah
tiba ketika sumpahnya kepada Isis tidak lagi mengikatnya. Maka dia pun menjelma
menjadi seekor babi hitam –hitam seperti awan petir, ganas dipandang, dengan
gading yang menebarkan teror ke dalam hati yang paling berani sekalipun. Dia
bersembunyi di antara alang-alang tempat Pulau Chemmis berlabuh di Delta, dekat
tempat di kemudian hari kota Buto akan muncul untuk menghormati dewi yang sudah
melindungi bayi Horus.
Harmakhis
dan Horus bertemu di sana berdua untuk menyusun rencana, dan Harmakhis berkata,
"Izinkan aku mengucapkan mantra agung dan menatap matamu yang seterang
matahari tengah hari. Di sana aku bisa melihat semua yang direncanakan Seth
untuk melawan kita, dan di mana para pengikutnya bersembunyi untuk menyerang
kita."
Maka
dia mengucapkan mantra-mantra itu dan mata Horus mulai bersinar bagai matahari
di siang hari, dan Harmakhis dari matahari terbit menatap ke dalamnya. Awalnya,
mata mereka bagaikan laut hijau luas, diselimuti awan bagai lapis lazuli; tapi
tidak lama kemudian, mata mereka mulai jernih bagai kaca, dan Harmakhis tahu
bahwa sebentar lagi dia akan bisa melihat menembus hingga ke ujung bumi.
Tapi
tiba-tiba babi hitam besar menyerbu sambil menjerit keluar dari alang-alang.
"Waspadalah
terhadap babi hitam!" seru Harmakhis. "Belum pernah kulihat babi
sebesar atau seganas ini!"
Horus
berbalik dan melihat, karena kedua dewa itu lengah dan tidak menyadari bahwa
yang datang bukanlah babi biasa melainkan Seth, dan mereka tidak siap
menghadapi sihirnya.
Lalu
Seth mengarahkan semburan api bagaikan kilat ke mata Horus. Horus pun menutup
matanya dengan tangannya sambil berteriak, “Seth! Dan dia sudah menghajar
mataku dengan api!”
Tapi
saat Harmakhis berbalik, Seth si babi hitam sudah pergi, dan dia tidak bisa
berbuat apa-apa selain mengucapkan kutukan yang akan menimpa semua babi
selamanya dan siapa pun yang menyentuhnya –kecuali pada malam bulan purnama
ketika babi hitam dikorbankan untuk Horus.
Sementara
itu, mata Horus sempat gelap sesaat, bagaikan matahari yang menggelap ketika
awan badai melesat di atas Delta saat hujan. Tapi, tidak lama kemudian, mata
Horus kembali cerah dan dia berlayar dengan perahu Harmakhis menyusuri Sungai
Nil menuju negeri Mesir Hulu, tempat langit selalu biru.
Dalam
perjalanan, mereka bertempur beberapa kali melawan pasukan Seth, orang-orang
jahat yang menyembahnya dan tidak mengikuti ajaran Osiris yang baik. Pos
terdepan pertama mereka berada di dekat Memphis, tempat Delta berakhir. Di
sana, Horus mengubah dirinya menjadi cakram bersayap besar yang bersinar
seperti bola api, dengan sayap di kedua sisinya bagaikan warna langit saat
matahari terbenam.
"Mata
kalian tidak akan melihat, dan pikiran kalian pun akan menjadi gelap!"
serunya. Dan seketika, ketika setiap orang memandang rekan di sebelahnya, dia
melihat seorang asing; dan ketika salah satu dari mereka berbicara, dia seolah
mendengar bahasa asing.
Lalu
pasukan pertama Seth berteriak, “Musuh sudah datang di antara kita dengan
menyamar!” dan mereka saling menyerang dan membunuh terus sampai tidak ada
seorang pun yang tersisa.
Horus
terbang kembali ke Harmakhis, dan ketika dia sudah mengambil wujudnya sendiri
sekali lagi, Harmakhis memeluknya dan memberinya seteguk anggur yang dicampur
dengan air –dan sebagai kenangan akan pertempuran itu, persembahan anggur dan
air dituangkan kepada Horus sejak saat itu.
Perahu
Harmakhis berlayar menyusuri sungai, dan tidak lama kemudian gelombang musuh
berikutnya datang menyerang mereka, berwujud buaya dan kuda nil –siap menyerang
baik di tepi Sungai Nil maupun di dalam air.
Tapi
Horus sudah bersiap menghadapi mereka. Di antara para pengikutnya terdapat banyak
pandai besi dan pekerja logam yang terampil, dan Horus sudah mengajari mereka
cara membuat senjata dari besi yang ditempa dengan berbagai mantra. Saat buaya
dan kuda nil mendekat dengan mulut menganga, para pandai besi melemparkan
rantai ke dalam air agar kaki binatang buas itu terlilit rantai dan bisa
diseret ke arah perahu-perahu yang mengikuti perahu Harmakhis. Dan ketika
mereka sudah cukup dekat, para pandai besi membunuh mereka dengan tombak
mereka, yang ujung besinya bisa menembus kulit yang paling tebal sekalipun.
Lalu
Horus dan Harmakhis mengubah diri mereka menjadi elang-elang besar yang menukik
ke bawah, satu di tepi kiri sungai, dan satu di kanan, dan mencabik-cabik
dengan cakar mereka yang kuat semua pengikut Seth, baik yang berwujud manusia
maupun yang menyamar sebagai kuda nil atau buaya.
Maka,
perang berkecamuk di sepanjang Sungai Nil, dan banyak pertempuran terjadi di
mana Horus dan sekutunya menang. Akhirnya, Seth sendiri keluar melawan perahu Harmakhis,
Seth mengenakan wujud monster berkepala binatang yang mengerikan –kepala yang
tampaknya setengah membusuk, sehingga catatan pertempuran itu menyebut Seth “Si
Kepala Bau”.
Pertarungan
itu berlangsung lama dan mengerikan, tapi pada akhirnya Harmakhis melemparkan
Seth ke tanah, menghancurkan wajahnya dengan tongkat besinya, membelenggunya
dengan rantai, dan membawanya ke hadapan para dewa untuk bermusyawarah.
Lalu
Ra berkata, “Serahkan dia kepada Horus, putra Isis, untuk dihukum, dan biarkan
mereka memperlakukannya sebagaimana dia memperlakukan Osiris.”
Semua
dewa berseru, "Ya!".
Horus
pun menghunus pedangnya dan memenggal Si Kepala Bau. Kemudian dia menyeret
tubuh Seth ke seluruh Mesir, dan akhirnya memotongnya menjadi empat belas
bagian, persis seperti Seth yang sudah mencabik-cabik tubuh Osiris.
Tapi,
Seth tidak bisa dibunuh semudah itu. Sebelum pedang Horus jatuh, roh jahatnya sudah
keluar dari tubuhnya, memenjarakan roh salah satu pengikut pilihannya. Dan roh
Seth pun merasuki seekor ular hitam berbisa yang merayap masuk ke dalam lubang
di tepi sungai.
Sementara
itu, Harmakhis menjelma menjadi singa perkasa berkepala manusia, kepala firaun
Mesir yang agung. Wajahnya diukir di batu di Giza, dan orang Yunani, ketika
mereka datang ke Mesir ribuan tahun kemudian, menyebutnya Sphinx. Dalam wujud itu,
dia mengamuk di seluruh negeri, mencari para pengikut Seth dan membantai mereka
dengan cakarnya yang perkasa, apa pun penyamaran yang mereka kenakan.
Untuk
sesaat, perang sepertinya sudah usai. Tapi, Thoth yang bijaksana, memandang ke
kejauhan semampunya, berkata kepada Horus, "Putra Isis, pertempuran
terakhir masih harus diperjuangkan, bahkan dalam hidup ini. Karena Seth belum
mati. Rohnya sudah pergi sebelum kau menghancurkan Si Kepala Bau, dan merasuki
seekor ular. Sekarang reptil terkutuk itu sudah merayap pergi ke gurun jauh di
selatan, dan Seth sedang mengumpulkan sekutu dan berbaris menyusuri sungai
untuk menyerang Mesir sekali lagi. Tapi, berbesarlah hati, karena pertempuran
terakhir ini akan terjadi di Edfu, dan di sana sebuah kuil akan dibangun untuk
menghormati kemenanganmu yang tak akan pernah hancur oleh waktu."
Kemudian
Horus mengumpulkan pasukannya sekali lagi dan berlayar menyusuri Sungai Nil
melewati Thebes, melewati Edfu, hingga tiba di Pulau Elephantine. Di pulau itu,
Seth berdiri dalam wujud seekor kuda nil merah raksasa. Sambil membuka
mulutnya, dia mengucapkan kutukan yang mengerikan, “Datanglah badai yang
dahsyat dan banjir besar menimpa musuh-musuhku!” teriaknya, dan suaranya
menggelegar seperti guntur di lembah Sungai Nil.
Kemudian
kegelapan menyelimuti daratan, dan ombak besar menderu turun dari air terjun
pertama. Ombak itu menangkap armada Horus dan menyapunya kembali ke sungai. Tapi,
perahu tempat Horus berdiri bersinar terang menembus kegelapan, dan kandas di
Edfu, tak jauh di bawah Elephantine.
Seth
sudah mengikutinya, dan sekarang dia berhenti, seekor kuda nil merah raksasa
mengangkangi seluruh aliran Sungai Nil. Horus datang berlayar di atas perahu
emasnya, mengenakan rupa seorang pemuda tampan setinggi dua belas kaki dan
memegang tombak sepanjang tiga puluh kaki.
Seth
membuka rahangnya yang perkasa untuk menghancurkan Horus dan perahunya. Tapi,
Horus melemparkan tombaknya dengan bidikan yang begitu kuat dan mematikan
hingga menembus langit-langit mulut Seth dan menembus jauh ke dalam otaknya.
Dan satu hantaman itu membunuh Seth, musuh para dewa dan manusia –dan kuda nil
merah itu pun tenggelam mati ke Sungai Nil di Edfu.
Dengan
tewasnya Seth, kegelapan lenyap dari bumi, dan penduduk Edfu keluar untuk
menyambut Horus sang pembalas dendam dan membawanya ke kuilnya di mana kuil
agung itu sekarang berdiri. Mereka pun menyanyikan lagu pujian yang akan
dilantunkan para pendeta bertahun-tahun kemudian, ketika Festival Horus yang
agung diadakan setiap tahun di Edfu.
“Bergembiralah,
penghuni Edfu! Dewa agung Horus, penguasa surga, sudah mengalahkan musuh
Osiris, dia sudah membalas kematian ayahnya! Makanlah daging orang yang kalah,
minumlah darah kuda nil merah, bakarlah tulang-tulangnya dengan api! Biarlah ia
dipotong-potong, dan sisa-sisanya diberikan kepada kucing, dan isi perutnya
dibuang kepada reptil!”
“Kemuliaan
bagi Horus atas pukulan dahsyatnya, sang pemegang tombak, sang pemberani,
pembunuh Seth, putra tunggal Osiris, Horus dari Edfu, Horus sang Penuntut
Balas!”
Maka
terciptalah perdamaian di Mesir, dan Horus memerintah sebagai firaun selama
ratusan tahun, hingga berakhirlah masa-masa para dewa besar berdiam di bumi. Tapi,
setiap firaun yang datang sesudahnya, meskipun bertubuh manusia dan berumur
panjang, memiliki roh dewa dan disembah sebagai dewa oleh rakyatnya. Bangsa
Mesir membalsem jenazah raja-raja mereka yang sudah wafat dan menyembunyikannya
di piramida-piramida megah dan makam-makam yang dalam di bawah lembah para raja
di Thebes Barat. Karena mereka tahu bahwa akan tiba saatnya Osiris dan Horus
kembali ke bumi dan bertempur dalam pertempuran terakhir dan terhebat melawan
Seth, serta mengalahkannya selamanya. Dan kemudian semua orang mati yang sudah
menjalani kehidupan berbudi luhur dan selamat melalui Duat, akan kembali ke
bumi bersama Osiris, dan menghuni kembali tubuh mereka, serta tinggal selamanya
di Mesir yang sudah dibersihkan dari segala kejahatan –rumah yang layak bagi
mereka yang diberkati.
***
Kalau Anda menyukai kisah mitologi ini, Anda mungkin ingin membaca membaca kisah mitologi lain dari Mesir di sini.
***
Sumber:
1. Tales of Ancient Egypt ~ Roger Lancelyn Green.

Comments
Post a Comment