Epik Gilgamesh: Tablet VII. Kematian Enkidu (Mitologi Babilonia)
Enkidu terbaring sakit di depan Gilgamesh. Air matanya mengalir deras seperti kanal, Gilgamesh berkata, "Wahai saudara, saudaraku terkasih, mengapa mereka membebaskanku dan bukannya saudaraku?"
Enkidu menyapa Gilgamesh, berkata kepada Gilgamesh, temannya, "Jadi
sekarang aku harus menjadi hantu, duduk bersama hantu orang mati, dan tidak
melihat saudaraku terkasih lagi! Di hutan cedar tempat tinggal para dewa agung,
aku tidak mencabut pohon cedar."
Enkidu mengangkat matanya, dan berbicara kepada pintu seolah-olah pintu
itu manusia, "Dasar pintu kayu bodoh, aku memiliki pengertian, sedangkan
kau tidak. Selama dua puluh liga aku mencari kayu terbaik untukmu, sampai di
hutan aku menemukan pohon cedar yang tinggi. Pohonmu tidak ada tandingannya di
hutan cedar, enam batang adalah tinggi badanmu, dua batang adalah lebar
badanmu, dan satu hasta adalah tebal badanmu, tiangmu, poros atasnya, dan poros
bawahnya semuanya merupakan satu kesatuan. Akulah yang menciptakanmu, akulah
yang mengangkatmu, di Nippur aku menggantungmu tegak. Seandainya aku
tahu, wahai pintu, bahwa ini akan menjadi hadiahmu, andai saja aku tahu, wahai
pintu, bahwa ini akan menjadi karuniamu, aku akan mengambil kapak, aku akan menebasmu,
aku akan mengirimmu dengan rakit ke E-babbar. Ke E-babbar, kuil Samash, aku
akan membawamu, aku akan mendirikan pohon cedar di
gerbang E-babbar. Di pintunya aku akan mendirikan burung singa
dan raksasa banteng, karena Samash mendengar apa yang aku katakan, dan
pada saat bahaya dia memberiku senjata. Sekarang, hai pintu, akulah yang
menciptakanmu, akulah yang mengangkatmu! Aku juga bisa mengutukmu, aku juga
bisa menghancurkanmu! Semoga raja setelahku membencimu, atau menggantungmu di
tempat yang tidak bisa dilihat. Semoga dia menghapus namaku dan mendirikan
namanya sendiri!”
Dia menanggalkan pakaiannya, membuang perhiasannya, Ketika dia
mendengarkan kata-katanya, dengan cepat dan segera air matanya mengalir. Ketika
Gilgamesh mendengarkan kata-kata Enkidu, temannya, dengan cepat dan segera air
matanya mengalir. Gilgamesh membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada
Enkidu, “Temanku, para dewa sudah memberimu pikiran yang luas dan pengertian.
Kau seharusnya bersikap bijaksana, tapi kau terus mengucapkan hal-hal yang
tidak pantas! Mimpi itu sangat berharga dan sangat menakutkan, bibirmu yang
panas berdengung seperti lalat, meskipun ada banyak ketakutan, mimpi itu sangat
penting. Bagi mereka yang hidup para dewa meninggalkan kesedihan, bagi mereka
yang ditinggalkan, yang meninggal meninggalkan kesedihan bagi yang hidup. Aku
akan memohon kepada para dewa agung dan memohon kepada mereka. Aku akan mencari
Samash, aku akan memohon kepada dewamu. Di hadapanmu aku akan berdoa
kepada An, ayah para dewa, semoga Enlil, penasihat agung,
mendengarkan doaku di hadapanmu, semoga permohonanku disukai oleh Ea!
Aku akan membuat patungmu dari emas tanpa batas. Kata-kata yang diucapkan Enlil
bukanlah kata-kata yang bisa dibatalkan oleh para dewa, apa yang sudah
diperintahkannya, tidak akan dihapusnya lagi, dia tidak menghapus satu pun
kata-kata yang sudah dia tulis. Temanku, takdir sudah ditetapkan, orang-orang
memang pergi sebelum waktunya menuju takdir mereka.”
Pada saat fajar pertama, Enkidu mengangkat kepalanya, meratap di
hadapan Samash, air matanya mengalir di hadapan sinar matahari, “Aku
memohon kepadamu, wahai Samash, karena hidupku begitu berharga! Adapun dia, si
pemburu, si tukang perangkap, yang tidak membiarkanku menjadi tandingan
temanku, semoga pemburu itu tidak sebanding dengan temannya! Hancurkan
pendapatannya, kurangi penghasilannya! Semoga bagian keuntungannya dipotong di
hadapanmu! Rumah yang dimasukinya, semoga dewanya keluar lewat jendela
seperti uap!”
Setelah dia mengutuk pemburu itu sepuasnya, dia memutuskan untuk mengutuk
pelacur Samhat juga, “Marilah, Samhat, Aku akan menentukan takdir untukmu,
takdir yang tidak akan berakhir selamanya, Aku akan mengutukmu dengan kutukan
yang besar, dan kutukanku akan menimpamu dengan cepat dan segera! Semoga kau
tidak menemukan rumah tangga yang menyenangkan, tidak pernah tinggal di
tengah-tengah sebuah keluarga! Janganlah kau duduk di kursi perempuan muda!
Semoga tanah menajiskan pakaianmu yang indah itu! Semoga si pemabuk
mengotori gaun pestamu dengan debu! Janganlah kau memperoleh rumah
dengan pualam yang mengkilat dan barang-barang yang indah, karena rumahmu
akan berfungsi sebagai lubang tanah liat tukang tembikar! Kau tidak akan
memiliki kamar tidur, kuil keluarga, atau perapian! Tidak akan ada tempat
tidur, kursi atau meja yang dibanggakan orang di dalam kamarmu! Semoga tempat
tidur yang kau senangi menjadi bangku! Semoga persimpangan jalan raya
berada di tempat kau duduk! Semoga rumah-rumah yang hancur berada di tempatmu
tidur! Semoga sisi tembok kota berada di tempatmu berdiri! Semoga duri dan
semak berduri menguliti kakimu! Semoga para pemabuk dan orang yang sadar
menampar pipimu! Semoga tukang bangunan tidak memplester atap rumahmu ! Di
kamarmu akan bertengger seekor burung hantu! Semoga tidak pernah ada pesta di
rumahmu! Karena kau sudah membuatku lemah, aku yang tadinya suci! Dan aku yang
suci, kau membuatku lemah ketika aku di alam liar.”
Samash mendengar apa yang dia katakan, seketika terdengar suara dari
surga yang berseru kepadanya, “Mengapa, wahai Enkidu, kau mengutuk pelacur
Samhat, yang memberimu roti untuk dimakan, yang layak bagi para dewa, memberimu
bir untuk diminum, yang layak untuk seorang raja, yang mengenakan kepadamu
pakaian yang indah, dan membiarkan kau memiliki Gilgamesh yang baik sebagai
kawan? Sekarang Gilgamesh, teman dan saudaramu, akan membaringkanmu di tempat
tidur yang besar. Di ranjang kehormatan dia akan membaringkanmu, dia akan
menempatkanmu di tempat yang nyaman, yaitu tempat di sebelah kirinya, para
pangeran dunia akan mencium kakimu. Dia akan membuat orang-orang Uruk menangis
untukmu, dia akan membuat mereka menangis untukmu, orang-orang yang sangat
rupawan itu akan dipenuhinya dengan kesedihan bagimu. Dan dia, setelah kau
pergi, dia akan membiarkan dirinya sendiri menanggung rambut kusut tanda duka,
dia akan mengenakan kulit singa dan pergi menjelajahi alam liar.”
Enkidu mendengar kata-kata Samash sang pahlawan, hatinya yang marah
menjadi tenang, amarahnya mereda. Enkidu berbicara kepada pelacur itu, dengan
mengatakan, “Marilah, Samhat, aku akan menentukan takdir untukmu, mulutku yang
mengutukmu akan kembali dan memberkatimu, semoga para gubernur dan bangsawan
mencintaimu, semoga dia yang berada satu liga menampar pahanya! Semoga dia yang
berada dua liga mengibaskan rambutnya, semoga tak ada prajurit yang lamban
membuka ikat pinggangnya untukmu! Semoga dia memberimu batu obsidian, lapis
lazuli dan emas, beberapa anting akan menjadi hadiahmu! Kepada seseorang
yang keluarganya sejahtera, yang tempat penyimpanannya ditumpuk tinggi. Semoga
Ishtar, yang paling mampu di antara para dewa, membawamu ke dunia para dewa!
Demi kebaikanmu istri pertamaku yang ditinggalkan, ibu dari tujuh anak!”
Adapun Enkidu, pikirannya kacau. Dia sedang berbaring sendiri berpikir,
apa yang ada dalam pikirannya dia katakan kepada temannya, “Sungguh hebat,
temanku, mimpi yang kulihat malam ini! Langit bergemuruh, bumi menjawab, dan
aku berdiri di sana di antara mereka. Ada seorang laki-laki, ekspresinya muram,
wajahnya seperti burung Anzu, tangannya seperti cakar singa, dan cakar elang,
dia mencengkeram rambutku, dia terlalu kuat bagiku. Aku memukulnya, tapi dia
melompat mundur seperti lompat tali, dia memukulku dan menenggelamkanku seperti
rakit. Seperti seekor banteng liar yang perkasa dia menginjak-injakku,
membasahi tubuhku dengan cairan beracun. 'Tolong aku, sahabatku,' aku menangis,
tapi kau tidak menyelamatkanku, kau takut kepadanya dan tidak menyelamatkanku."
"Lalu dia memukulku dan mengubahku menjadi burung merpati, sehingga
lenganku berbulu seperti burung. Menangkapku, dia membawaku turun ke rumah
kegelapan, tempat tinggal Irkalla, ke rumah tempat orang-orang yang masuk tidak
akan keluar, di sepanjang jalan yang tidak ada jalan kembali, ke rumah tempat
orang-orang yang tinggal, hidup tanpa cahaya, tempat debu adalah minuman
mereka, makanan mereka dari tanah liat. Tempat, seperti burung, mereka
mengenakan pakaian dari bulu, dan cahaya tidak terlihat, mereka tinggal dalam
kegelapan, dan di atas pintu dan bautnya, ada debu tebal bertebaran. Saat
memasuki rumah debu, di mana-mana aku melihat ada mahkota kerajaan yang
terkumpul dalam tumpukan, di mana-mana aku mendengarkan, itu adalah pembawa
mahkota, yang dulunya memerintah negeri ini, tapi sekarang melayani An dan
Enlil memasak daging, menyajikan manisan, dan menuangkan air dingin dari
kantong air.”
“Di rumah debu yang aku masuki, di sana duduk para pendeta en dan
pendeta lagar, di sana duduk para pendeta pemurnian dan
pendeta lumaḫḫu, di sana duduk para gudapsû --
pendeta para dewa besar, di sana duduk Etana, di sana duduk Sumugan, di sana
duduk ratu alam baka, Ereshkigal. Di hadapannya sedang berjongkok Belet-seri,
juru tulis alam baka, memegang tablet dan membaca dengan suara keras di
hadapannya. Dia mengangkat kepalanya, dia melihatku, ‘Siapa yang membawa orang
ini ke sini?’”
Penyakit Enkidu semakin parah dan Enkidu berbaring di tempat tidur. Pada
hari pertama dan kedua Enkidu hanya berbaring di tempat tidurnya. Pada hari
ketiga dan keempat penyakit Enkidu semakin parah. Pada hari kelima, keenam,
ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh penyakit Enkidu semakin parah.
Pada hari kesebelas dan kedua belas, Enkidu bangkit dari tempat tidurnya, dan
memanggil Gilgamesh, "Temanku membenciku. Ketika dia berbicara denganku di
Uruk karena aku takut pada pertempuran dia memberi semangat kepadaku. Temanku
yang menyelamatkanku dalam pertempuran kini sudah meninggalkanku! Aku yang
menanggung semua kesulitan bersamamu, ingatlah aku, temanku, supaya kau tidak
lupa pada semua yang sudah kualami.”
***
Kalau Anda kebetulan 'tersesat' di sini, Anda mungkin ingin membaca kisah Gilgamesh ini dari awal di sini; atau membaca kelanjutannya di sini.
***

Comments
Post a Comment