Orang-Orang Hebat (Excellent People ~ Anton Chekhov)

Orang-Orang Hebat (Excellent People ~ Anton Chekhov)

Dahulu kala, hiduplah seorang  laki-laki bernama Vladimir Semyonitch Liadovsky di Moskow. Dia meraih gelar sarjana hukum di sebuah universitas dan menjabat sebagai dewan direksi di sebuah perusahaan kereta api; tapi kalau Anda bertanya apa pekerjaannya, dia akan menatap Anda dengan tulus dan terbuka dengan matanya yang besar dan cerah melalui kacamata pince-nez1 emasnya, dan menjawab dengan suara bariton yang lembut, halus, dan cadel:

"Pekerjaan saya adalah sastrawan."

Sesudah menyelesaikan kuliahnya di universitas, Vladimir Semyonitch pernah menulis satu paragraf kritik teater yang diterima sebuah surat kabar. Dari satu paragraf ini dia melanjutkan menulis resensi, dan setahun kemudian dia sudah menulis artikel mingguan tentang sastra untuk surat kabar yang sama. Tapi bukan berarti dia seorang amatir, bahwa karya-karyanya bersifat sementara dan serampangan. Setiap kali saya melihat sosoknya yang ramping dan rapi, dahinya yang tinggi dan rambutnya yang gondrong, ketika saya mendengarkan pidato-pidatonya, saya selalu merasa bahwa tulisannya, terlepas dari apa dan bagaimana dia menulis, merupakan sesuatu yang organik, seperti detak jantungnya, dan bahwa seluruh rencana sastranya pastilah merupakan bagian integral dari otaknya saat dia masih bayi dalam kandungan ibunya. Bahkan dari cara berjalannya, gerak-geriknya, caranya mengibaskan abu rokoknya, saya bisa membaca seluruh rencana ini dari A sampai Z, dengan segala omong kosong, kebosanan, dan sentimen-sentimennya yang mulia. Dia adalah seorang sastrawan sejati ketika dengan wajah penuh inspirasi dia meletakkan karangan bunga di peti jenazah seorang tokoh ternama, atau dengan wajah serius dan khidmat mengumpulkan tanda tangan untuk suatu pidato; hasratnya untuk berkenalan dengan sastrawan ternama, kemampuannya menemukan bakat yang bahkan tidak ada, antusiasmenya yang tidak pernah padam, denyut nadinya yang berdetak seratus dua puluh kali per menit, ketidaktahuannya akan kehidupan, hasratnya yang tulus ketika menghadiri konser dan acara sastra untuk membantu para mahasiswa kurang mampu, caranya tertarik pada anak-anak muda --semua itu akan menciptakan baginya reputasi sebagai seorang penulis bahkan kalau dia tidak menulis artikel-artikelnya.

Dia adalah salah satu penulis yang sangat cocok dengan frasa-frasa seperti, ‘Kita cuma sedikit’, atau ‘Apa jadinya hidup tanpa pertikaian? Maju terus!’, meskipun dia tidak pernah berjuang bersama siapa pun dan tidak pernah maju. Bahkan tidak terdengar cengeng ketika dia mulai mengutarakan cita-citanya. Setiap ulang tahun universitas, pada Hari St. Tatiana2, dia mabuk, melantunkan Gaudeamus3 dengan nada yang tidak selaras, dan wajahnya yang berseri-seri dan berkeringat seakan berkata: "Lihat, aku mabuk; aku akan terus berjuang!" Tapi itu pun cocok saja untuknya.

Vladimir Semyonitch memiliki keyakinan sejati pada panggilan sastranya dan seluruh rencananya. Dia tidak ragu, dan jelas sangat puas dengan dirinya sendiri. Cuma satu hal yang membuatnya sedih —surat kabar tempatnya bekerja memiliki sirkulasi terbatas dan tidak terlalu berpengaruh. Tapi, Vladimir Semyonitch yakin bahwa cepat atau lambat dia akan berhasil masuk ke majalah yang solid tempat dia akan memiliki ruang lingkup dan bisa menampilkan dirinya —dan sedikit tekanan yang dia rasakan dalam hal ini tidak seberapa dibandingkan dengan kecemerlangan harapannya.

Ketika mengunjungi laki-laki memesona ini, saya berkenalan dengan saudara perempuannya, Vera Semyonovna, seorang dokter perempuan. Sekilas, yang membuat saya terkesan adalah penampilannya yang kelelahan dan kesehatannya yang sangat buruk. Dia masih muda, dengan postur tubuh yang bagus dan wajah yang agak besar, tapi dibandingkan dengan saudara laki-lakinya yang lincah, anggun, dan banyak bicara, dia tampak kaku, lesu, jorok, dan cemberut. Ada sesuatu yang tegang, dingin, dan apatis dalam gerakan, senyum, dan kata-katanya; dia tidak disukai, dan dianggap sombong serta tidak terlalu cerdas.

Kenyataannya, menurutku, dia cuma sedang menahan diri.

"Sahabatku tersayang," kakaknya sering berkata kepada saya, sambil mendesah dan mengibaskan rambutnya ke belakang dengan gaya sastrawannya yang menawan, "jangan pernah menilai dari penampilan! Lihat buku ini: sudah lama dibaca. Buku ini kusut, compang-camping, dan tergeletak di tumpukan debu tak terawat; tapi bukalah, dan kau akan menangis dan pucat pasi. Adikku seperti buku itu. Angkat sampulnya dan intip ke dalam jiwanya, dan kau akan terperangah. Vera cuma butuh waktu sekitar tiga bulan pengalaman yang akan cukup untuk seumur hidup!"

Vladimir Semyonitch melihat ke sekelilingnya, menarik lengan baju saya, dan mulai berbisik, "Kau tahu, sesudah lulus kuliah, dia menikah, karena cinta, dengan seorang arsitek. Sungguh tragedi! Mereka baru menikah sebulan ketika —whew— suaminya meninggal karena tifus. Tapi bukan itu saja. Dia tertular tifus dari suaminya, dan ketika, sesudah sembuh, dia mengetahui bahwa Ivan-nya sudah meninggal, dia menenggak morfin dalam dosis tinggi. Kalau bukan karena tindakan cepat yang diambil oleh teman-temannya, Vera-ku pasti sudah berada di surga. Katakan padaku, bukankah ini sebuah tragedi? Dan bukankah adikku seperti seorang ‘perempuan lugu4’, yang sudah memainkan kelima babak dalam hidupnya? Penonton boleh tinggal untuk menonton pertunjukannya, tapi ‘perempuan lugu’ harus pulang untuk beristirahat."

Sesudah tiga bulan menderita sakit, Vera Semyonovna akhirnya tinggal bersama saudara laki-lakinya. Dia tidak cocok untuk praktik kedokteran, yang membuatnya kelelahan dan tidak sehat; dia tidak memberi kesan bahwa dia menguasai bidangnya, dan saya tidak pernah mendengarnya mengatakan apa pun tentang studi kedokterannya.

Dia berhenti berobat, dan, diam dan menganggur, seolah-olah dia seorang tahanan, menghabiskan sisa masa mudanya dalam kepasrahan yang hampa, dengan kepala tertunduk dan tangan terkulai. Satu-satunya hal yang tidak sepenuhnya dia acuhkan, dan yang membawa secercah cahaya di senjakala hidupnya, adalah kehadiran saudara laki-lakinya, yang dia cintai. Dia mencintai saudara laki-lakinya dan rencana-rencananya, dia kagum pada artikel-artikelnya; dan ketika ditanya apa yang sedang dilakukan saudara laki-lakinya, dia akan menjawab dengan suara pelan seolah takut membangunkan atau mengalihkan perhatiannya: "Dia sedang menulis..." Biasanya ketika saudara laki-lakinya sedang bekerja, dia duduk di sampingnya, matanya terpaku pada tulisan saudara laki-lakinya. Pada saat-saat seperti itu, dia terlihat seperti hewan sakit yang sedang menghangatkan diri di bawah sinar matahari.

Pada suatu malam di musim dingin, Vladimir Semyonitch sedang duduk di mejanya menulis artikel kritis untuk surat kabarnya: Vera Semyonovna duduk di sampingnya, seperti biasa menatap tulisannya. Kritikus itu menulis dengan cepat, tanpa coretan atau koreksi. Penanya berderit dan berdecit. Di atas meja, dekat tulisannya, terbentang sebuah buku tebal yang baru terbit, berisi kisah kehidupan petani, ditandatangani dengan dua inisial. Vladimir Semyonitch sangat antusias; dia menganggap penulisnya mengagumkan dalam menangani subjek tersebut, mengingatkannya pada Turgenev5 dalam deskripsi alamnya, jujur, dan memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang kehidupan para petani. Kritikus itu sendiri tidak tahu apa-apa tentang kehidupan petani kecuali dari buku dan kabar burung, tapi perasaan dan keyakinan batinnya memaksanya untuk memercayai cerita tersebut. Dia meramalkan masa depan yang cerah bagi penulis, meyakinkannya bahwa dia harus menunggu akhir cerita dengan sangat tidak sabar, dan seterusnya, dan seterusnya.

"Cerita yang bagus!" katanya, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan mata dengan senang. "Gayanya sangat bagus."

Vera Semyonovna menatapnya, menguap lebar, dan tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang tidak terduga. Setiap malam, dia punya kebiasaan menguap dengan gugup dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat dan tiba-tiba yang tidak selalu relevan.

"Volodya," tanyanya, "apa arti dari tidak melawan kejahatan?"

"Tidak melawan kejahatan!" ulang saudaranya sambil membuka matanya.

"Ya. Apa maksudmu dengan itu?"

"Begini, sayang, bayangkan saja kalau pencuri atau perampok menyerangmu, dan kau, alih-alih..."

"Tidak, berikan aku definisi yang logis."

"Definisi yang logis? Hmm! Yah," Vladimir Semyonitch merenung. "Tidak melawan kejahatan berarti sikap tidak mencampuri segala sesuatu yang dalam ranah kefanaan disebut kejahatan."

Sambil berkata demikian, Vladimir Semyonitch membungkuk di atas meja dan mengambil sebuah novel. Novel yang ditulis oleh seorang perempuan ini mengisahkan kepedihan posisi tidak wajar seorang perempuan kelas atas yang tinggal serumah dengan kekasih dan anak haramnya. Vladimir Semyonitch puas dengan kecenderungan cerita, alur, dan penyajiannya yang luar biasa. Sesudah merangkum novel tersebut secara singkat, dia memilih bagian-bagian terbaik dan menambahkannya dalam catatannya: "Betapa nyata, betapa hidup, betapa indah! Penulis bukan sekadar seniman; dia juga seorang psikolog cerdas yang bisa menembus hati para tokohnya. Contohnya, deskripsi gamblang tentang emosi sang tokoh utama saat bertemu suaminya," dan seterusnya, dan seterusnya.

"Volodya," Vera Semyonovna menyela luapan semangatnya yang kritis, "Aku terus dihantui oleh sebuah ide aneh sejak kemarin. Aku terus bertanya-tanya di mana seharusnya kita semua berada kalau kehidupan manusia diatur atas dasar tidak melawan kejahatan?

“Kemungkinan besar, tidak di mana pun. Tidak melawan kejahatan akan memberikan kendali penuh kepada keinginan jahat, dan, tanpa membicarakan peradaban, ini tidak akan membiarkan satu batu pun berdiri di atas batu lainnya di mana pun di bumi ini.”

"Apa yang tersisa?"

"Bashi-Bazouke6 dan rumah bordil. Mungkin di artikel berikutnya aku akan membahasnya. Terima kasih sudah mengingatkanku."

Dan seminggu kemudian, teman saya menepati janjinya. Tepat pada masa itu —tahun delapan puluhan— ketika orang-orang mulai berbicara dan menulis tentang antiperlawanan, tentang hak untuk menghakimi, menghukum, dan berperang; ketika sebagian orang di kelompok kami mulai hidup tanpa pembantu, pensiun ke pedesaan, bekerja di ladang, dan meninggalkan makanan hewani dan cinta kasih.

Sesudah membaca artikel saudaranya, Vera Semyonovna merenung dan, nyaris tidak terlihat, mengangkat bahunya.

"Bagus sekali!" katanya. "Tapi masih banyak yang belum kumengerti. Misalnya, dalam cerita Leskov7 'Milik Katedral', ada seorang tukang kebun aneh yang menabur demi kebaikan semua orang —untuk pelanggannya, pengemis, dan siapa pun yang ingin mencurinya. Apakah tindakannya bijaksana?"

Dari nada dan ekspresi adiknya, Vladimir Semyonitch menyadari bahwa adiknya tidak menyukai artikelnya, dan, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, harga dirinya sebagai penulis terguncang. Dengan sedikit rasa jengkel, dia menjawab:

"Mencuri itu tidak bermoral. Menabur untuk pencuri sama saja dengan mengakui hak pencuri untuk hidup. Bagaimana pendapatmu kalau aku mendirikan sebuah surat kabar dan, dengan membaginya menjadi beberapa bagian, menyediakan rubrik untuk pemerasan sekaligus ide-ide liberal? Mengikuti contoh tukang kebun itu, secara logis aku seharusnya menyediakan rubrik untuk para pemeras, para bajingan intelektual? Ya."

Vera Semyonovna tidak menjawab. Dia bangkit dari meja, berjalan lesu ke sofa, dan berbaring.

"Entahlah, aku tidak tahu apa-apa tentang itu," katanya sambil merenung. "Kau mungkin benar, tapi menurutku, entah bagaimana aku merasa, ada sesuatu yang salah dalam perlawanan kita terhadap kejahatan, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi atau tidak terucapkan. Tuhan tahu, mungkin metode kita melawan kejahatan termasuk dalam kategori prasangka yang sudah mengakar begitu dalam dalam diri kita, sehingga kita tidak mampu melepaskannya, dan karena itu tidak bisa membentuk penilaian yang tepat tentangnya."

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepadamu. Barangkali manusia keliru berpikir bahwa dia wajib melawan kejahatan dan berhak melakukannya, sama seperti dia keliru berpikir, misalnya, bahwa hati manusia berbentuk seperti hati di kartu. Sangat mungkin dalam melawan kejahatan, kita seharusnya tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan kebalikan dari kekerasan —kalau kau, misalnya, tidak mau lukisan ini dicuri, kau seharusnya memberikannya daripada menyimpannya..."

"Pintar sekali, sangat pintar! Kalau aku ingin menikahi perempuan kaya dan vulgar, seharusnya dia mencegahku melakukan tindakan hina seperti itu dengan segera melamarku!"

Kakak beradik itu mengobrol hingga tengah malam tanpa saling memahami. Kalau ada orang luar yang mendengar mereka, dia pasti akan kesulitan memahami apa yang sedang mereka bicarakan.

Mereka biasanya menghabiskan malam di rumah. Tidak ada rumah teman yang bisa mereka kunjungi, dan mereka tidak merasa membutuhkan teman; mereka cuma pergi ke teater ketika ada drama baru —begitulah kebiasaan di kalangan sastra— mereka tidak pergi ke konser, karena mereka tidak menyukai musik.

"Kau boleh berpikir sesukamu," Vera Semyonovna memulai lagi keesokan harinya, "tapi bagiku, pertanyaan ini sudah hampir selesai. Aku yakin betul bahwa aku tidak punya alasan untuk melawan kejahatan yang ditujukan kepadaku secara pribadi. Kalau mereka ingin membunuhku, biarkan saja. Pembelaanku tidak akan membuat si pembunuh lebih baik. Yang harus kuputuskan sekarang adalah bagian kedua dari pertanyaan ini: bagaimana aku harus bersikap terhadap kejahatan yang ditujukan kepada tetanggaku?"

"Vera, hati-hati jangan sampai jadi gila!" kata Vladimir Semyonitch sambil tertawa. "Aku lihat antiperlawanan sudah menjadi ‘idée fixe8’-mu!"

Dia ingin mengakhiri percakapan yang membosankan ini dengan candaan, tapi entah bagaimana itu lebih dari sekadar candaan; senyumnya dibuat-buat dan masam. Adiknya berhenti duduk di samping mejanya dan menatap penuh kagum ke arah tulisannya, dan setiap malam dia merasa di belakangnya, di sofa, ada orang yang tidak sependapat dengannya. Punggungnya pun terasa kaku dan mati rasa, dan jiwanya pun merinding. Kesombongan seorang penulis itu pendendam, keras kepala, tidak bisa memaafkan, dan adiknya adalah orang pertama dan satu-satunya yang sudah menyingkap dan mengusik perasaan gelisah itu, yang bagaikan kotak besar berisi peralatan makan, mudah dibuka tapi mustahil untuk dikemas kembali seperti semula.

Berminggu-minggu dan berbulan-bulan berlalu, dan adik perempuannya tetap teguh pada pendiriannya, dan tidak mau duduk di meja makan. Suatu malam di musim semi, Vladimir Semyonitch sedang duduk di mejanya menulis sebuah artikel. Dia sedang mengulas sebuah novel yang menggambarkan bagaimana seorang kepala sekolah desa menolak  laki-laki yang dicintainya dan yang mencintainya, seorang  laki-laki kaya sekaligus intelektual, cuma karena pernikahan membuat pekerjaannya sebagai kepala sekolah menjadi mustahil. Vera Semyonovna berbaring di sofa dan merenung.

"Ya Tuhan, betapa lambatnya!" katanya sambil meregangkan badan. "Betapa hambar dan kosongnya hidup ini! Aku tidak tahu harus berbuat apa, dan kau menyia-nyiakan tahun-tahun terbaikmu entah untuk apa. Seperti seorang alkemis, kau mengobrak-abrik sampah tua yang tak diinginkan siapa pun. Ya Tuhan!"

Vladimir Semyonitch menjatuhkan penanya dan perlahan melihat ke arah saudara perempuannya.

"Sungguh menyedihkan melihatmu!" kata adiknya. "Wagner9 di 'Faust' menggali cacing, tapi dia sedang mencari harta karun, dan kau mencari cacing demi cacing itu sendiri."

"Itu masih belum jelas!"

"Ya, Volodya; selama ini aku berpikir, aku sudah berpikir dengan keras untuk waktu yang lama, dan aku sampai pada kesimpulan bahwa kau sangat reaksioner dan konvensional. Ayolah, tanyakan pada dirimu sendiri apa tujuan dari kerja kerasmu yang penuh semangat dan teliti itu? Katakan padaku, apa? Lagipula, segala sesuatu yang bisa diekstraksi dari sampah tempat kau selalu mengais-ngais itu sudah lama diekstraksi. Kau boleh menumbuk air dalam lumpang dan menganalisisnya sesukamu, kau tidak akan menghasilkan apa pun selain yang sudah dibuat oleh para alkemis...."

"Memang!" seru Vladimir Semyonitch sambil berdiri. "Ya, semua ini sampah lama karena ide-ide ini abadi; tapi apa yang kau anggap baru, kalau begitu?"

"Kau bertekad untuk bekerja di bidang pemikiran; tugasmu adalah memikirkan sesuatu yang baru. Bukan tugasku untuk mengajarimu."

"Aku —seorang alkemis!" seru kritikus itu heran sekaligus geram, sambil mengernyitkan matanya dengan ironis. "Seni, kemajuan —semua itu alkimia?"

"Begini, Volodya, menurutku kalau kalian semua pemikir itu bertekad memecahkan masalah-masalah besar, semua pertanyaan kecil yang kalian ributkan sekarang akan terpecahkan dengan sendirinya. Kalau kalian naik balon udara untuk melihat sebuah kota, kalian akan, tanpa perlu bersusah payah, melihat ladang-ladang, desa-desa, dan sungai-sungai juga. Ketika stearin10 diproduksi, kalian akan mendapatkan gliserin11 sebagai produk sampingan. Menurutku, pemikiran kontemporer sudah menetap di satu titik dan terpaku padanya. Dia berprasangka, apatis, malu-malu, takut terbang tinggi, sama seperti kita takut mendaki gunung yang tinggi; dia konservatif."

Percakapan semacam itu tidak bisa tidak akan meninggalkan jejak. Hubungan kakak beradik itu semakin tegang setiap hari. Sang kakak tidak bisa bekerja di hadapan adiknya, dan menjadi mudah tersinggung ketika tahu adiknya berbaring di sofa, memandangi punggungnya; sementara sang adik mengerutkan kening gugup dan menggeliat ketika, mencoba mengingat masa lalu, dia mencoba berbagi antusiasmenya. Setiap malam dia mengeluh bosan, dan berbicara tentang kemandirian berpikir dan mereka yang terjebak dalam rutinitas tradisi. Terhanyut oleh ide-ide barunya, Vera Semyonovna membuktikan bahwa pekerjaan yang begitu asyik dilakukan kakaknya bersifat konvensional, bahwa itu adalah upaya sia-sia dari pikiran-pikiran konservatif untuk melestarikan apa yang sudah mendapat gilirannya dan menghilang dari peredaran. Dia tidak henti-hentinya membandingkan. Dia pernah membandingkan kakaknya dengan seorang alkemis, lalu dengan seorang orang tua yang beriman yang apatis yang lebih suka mati daripada mendengarkan akal sehat. Lambat laun, ada perubahan yang nyata dalam cara hidupnya juga. Dia bisa berbaring di sofa sepanjang hari tanpa melakukan apa pun selain berpikir, sementara wajahnya menampakkan ekspresi dingin dan datar seperti yang biasa terlihat pada orang-orang yang berat sebelah dalam hal kepercayaan. Dia mulai menolak pelayanan para pelayan, menyapu dan merapikan kamarnya sendiri, membersihkan sepatu botnya sendiri, dan menyikat pakaiannya sendiri. Kakaknya tidak kuasa menahan diri untuk menatap wajahnya yang dingin dengan jengkel dan bahkan benci ketika dia melakukan pekerjaan kasarnya. Dalam pekerjaan itu, yang selalu dilakukan dengan kesungguhan tertentu, dia melihat sesuatu yang dipaksakan dan palsu, dia melihat sesuatu yang munafik sekaligus dibuat-buat. Dan tahu dia tidak bisa menyentuhnya dengan persuasi, dia mengomel dan menggoda adiknya seperti anak sekolah.

"Kau tidak melawan kejahatan, tapi kau melawan keinginanku untuk memiliki pelayan!" ejeknya. "Kalau pelayan itu jahat, kenapa kau melawannya? Itu tidak konsisten!"

Dia menderita, marah, dan bahkan malu. Dia merasa malu ketika adiknya mulai melakukan hal-hal aneh di depan orang-orang.

"Mengerikan sekali, Kawan," katanya kepada saya, sambil melambaikan tangannya dengan putus asa. "Sepertinya ‘gadis lugu’ kita merasa masih ada di dalam pertunjukan. Dia sudah gila sampai ke sumsum tulangnya! Aku sudah cuci tangan, biarkan dia berpikir sesuka hatinya; tapi kenapa dia bicara, kenapa dia merecokiku? Seharusnya dia berpikir apa artinya bagiku mendengarkannya. Apa yang kurasakan ketika di hadapanku dia dengan lancang mendukung kesalahannya dengan mengutip ajaran Kristus dengan nada menghujat! Itu membuatku sesak! Aku geram mendengar adikku mengemukakan doktrin-doktrinnya dan mencoba memutarbalikkan Injil demi pendapatnya, padahal dia sengaja menahan diri untuk tidak menyebutkan bagaimana para penukar uang diusir dari Bait Suci. Itulah, Kawan, akibat menjadi setengah terpelajar, tidak berkembang! Itulah akibat studi kedokteran yang tidak mengajarkan norma di masyarakat!"

Suatu hari, sepulang dari kantor, Vladimir Semyonitch mendapati adiknya menangis. Dia duduk di sofa dengan kepala tertunduk, meremas-remas tangannya, dan air mata mengalir deras di pipinya. Hati sang kritikus yang baik berdebar-debar kesakitan. Air mata pun jatuh dari matanya, dan dia ingin sekali memeluk adiknya, memaafkannya, memohon ampun, dan menjalani hidup seperti biasa.... Dia berlutut dan mencium kepala, tangan, dan bahunya.... Adiknya tersenyum, tersenyum dengan getir, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sementara dia melompat dengan teriakan kegirangan, mengambil buku dari meja, dan berkata dengan hangat:

“Hore! Kita akan hidup seperti biasa lagi, Verotchka! Dengan berkat Tuhan! Dan aku punya kejutan untukmu! Daripada merayakannya dengan sampanye, ayo kita membaca bersama! Sungguh luar biasa!”

"Oh, tidak, tidak!" seru Vera Semyonovna, sambil mendorong buku itu dengan cemas. "Aku sudah membacanya! Aku tidak mau, aku tidak mau!"

"Kapan kau membacanya?"

"Setahun... dua tahun yang lalu... aku membacanya dulu sekali, dan aku sudah tahu, aku sudah tahu!"

"Hm! Kau fanatik!" kata kakaknya dingin, sambil melemparkan buku itu ke atas meja.

"Tidak, kau yang fanatik, bukan aku! Kau!" Dan Vera Semyonovna kembali menangis tersedu-sedu. Kakaknya berdiri di hadapannya, memandangi bahunya yang gemetar, dan berpikir. Dia berpikir, bukan tentang penderitaan kesepian yang dialami siapa pun yang mulai berpikir dengan cara barunya sendiri, bukan tentang penderitaan yang tidak terelakkan dari sebuah revolusi spiritual sejati, melainkan tentang kebiadaban rencananya, kebiadaban terhadap kesombongan sebagai seorang penulis.

Sejak saat itu, dia memperlakukan adiknya dengan dingin, dengan ironi yang ceroboh, dan dia menerima kehadiran adiknya di ruangan itu seperti seseorang menerima kehadiran perempuan tua yang bergantung padanya. Sementara itu, adiknya berhenti berdebat dengannya dan menanggapi semua argumen, ejekan, dan serangannya dengan diam yang merendahkan yang membuatnya semakin kesal.

Suatu pagi di musim panas, Vera Semyonovna, yang sudah berpakaian rapi siap bepergian dengan tas selempang di bahunya, menghampiri kakaknya dan dengan dingin mencium keningnya.

"Kau mau pergi ke mana?" tanyanya dengan heran.

"Ke provinsi N untuk melakukan vaksinasi." Kakaknya keluar ke jalan bersamanya.

"Jadi itu keputusanmu, dasar gadis aneh," gumamnya. "Kau tidak butuh uang?"

"Tidak, terima kasih. Selamat tinggal."

Adiknya menjabat tangan kakaknya dan berangkat.

"Kenapa kau tidak naik kereta kuda?" teriak Vladimir Semyonitch.

Dia tidak menjawab. Kakaknya menatapnya, memperhatikan penampilannya yang tampak berkarat, tubuhnya yang bergoyang saat dia membungkuk, membuatnya mendesah, tapi tidak berhasil membangkitkan rasa sesal. Adiknya sudah menjadi orang asing baginya. Dan dia pun menjadi orang asing bagi adiknya. Lagipula, adiknya tidak menoleh sama sekali.

Kembali ke kamarnya, Vladimir Semyonitch segera duduk di meja dan mulai mengerjakan artikelnya.

Saya tidak pernah melihat Vera Semyonovna lagi. Di mana dia sekarang, saya tidak tahu. Dan Vladimir Semyonitch terus menulis artikelnya, meletakkan karangan bunga di peti mati, menyanyikan Gaudeamus, menyibukkan diri dengan Perkumpulan Jurnalis Moskow.

Dia menderita radang paru-paru; dia terbaring sakit di tempat tidur selama tiga bulan —pertama di rumah, lalu di Rumah Sakit Golitsyn. Sebuah benjolan tumbuh di lututnya. Orang-orang mengatakan bahwa dia seharusnya dikirim ke Krimea12, dan mulai mengumpulkan sumbangan untuknya. Tapi dia tidak pergi ke Krimea —dia meninggal dunia. Kami memakamkannya di Pemakaman Vagankovsky, di sisi kiri, tempat para seniman dan sastrawan dimakamkan.

Suatu hari, kami para penulis sedang duduk di restoran Tatar13. Saya bercerita bahwa saya baru saja mengunjungi Pemakaman Vagankovsky dan melihat makam Vladimir Semyonitch di sana. Makam itu benar-benar terbengkalai dan hampir tidak terlihat, salibnya sudah jatuh; perlu mengumpulkan beberapa rubel untuk merapikannya.

Tapi, mereka mendengarkan apa yang saya katakan tanpa peduli, tidak menjawab, dan saya tidak bisa mendapatkan sepeser pun. Tidak seorang pun mengingat Vladimir Semyonitch. Dia benar-benar terlupakan.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Anton Chekhov yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Pince-nez: kacamata tanpa gagang yang populer di abad-19.

2 St.Tatiana Day: Hari St. Tatiana –dinamai menurut Santa Tatiana, seorang martir Kristen di Roma pada abad ke-3 pada masa pemerintahan Kaisar Alexander Severus-- adalah hari libur di Rusia. Gereja Ortodoks Rusia merayakan hari raya Santa Tatiana pada tanggal 12 Januari Julian, yang bertepatan dengan tanggal 25 Januari Gregorian pada abad ke-20 dan ke-21. Di Rusia, hari ini dikenal juga sebagai Hari Pelajar, yang memperingati akhir sesi ujian musim dingin universitas.

3 Gaudeamus: lagu klasik Latin yang sangat populer, terutama di kalangan akademis, dan sering dinyanyikan pada upacara wisuda. Judul lengkapnya adalah Gaudeamus Igitur, yang berarti ‘jadi mari kita bersukacita’. Lagu ini juga dikenal sebagai De Brevitate Vitae yang berarti ‘singkatnya hidup’. Meskipun digunakan sebagai himne kelulusan formal, komposisinya lucu dan ringan yang mengolok-olok kehidupan universitas. Lagu ini diperkirakan berasal dari naskah Latin tahun 1287. Lagu ini ada dalam tradisi carpe diem (‘rebut hari ini’) dengan nasihatnya untuk menikmati hidup. Lagu ini dikenal sebagai lagu minum bir di banyak universitas awal dan menjadi lagu resmi banyak sekolah, perguruan tinggi, universitas, lembaga, perkumpulan mahasiswa dan menjadi lagu kebangsaan Federasi Olahraga Universitas Internasional.

4 Ingénue: karakter perempuan muda yang naif, polos, atau belum berpengalaman, seringkali dalam konteks teater atau film.

5 Ivan Sergeyevich Turgenev (1818–1883): seorang novelis Rusia, penulis cerita pendek, penyair, penulis drama, penerjemah dan orang yang mepopulerkan sastra Rusia di Barat.

6 Bashi-bazouk: secara harfiah berarti 'orang yang kepalanya berubah, kepala yang rusak, kepala gila', secara kasar "tanpa pemimpin" atau "tidak tertib", adalah seorang prajurit tidak tetap dari pasukan Ottoman, yang dibesarkan di masa perang. Bashi-bazouk terkenal karena kebrutalannya dan tidak disiplin, sehingga istilah ini memiliki arti kedua, yaitu "bandit yang tidak disiplin" dalam banyak bahasa. Istilah ini juga sering ditemukan di serial komik Petualangan Tintin, di mana kata tersebut sering digunakan sebagai hinaan oleh Kapten Haddock.

7 Nikolai Semyonovich Leskov (1831–1895): seorang novelis, penulis cerita pendek, pengarang drama, dan jurnalis Rusia, yang juga menulis dengan nama samaran M. Stebnitsky. Dipuji karena gaya penulisannya yang unik dan eksperimen inovatif dalam bentuk, dan sangat dihormati oleh Leo Tolstoy, Anton Chekhov, dan Maxim Gorky, karena Leskov dianggap sudah menciptakan gambaran komprehensif tentang masyarakat Rusia kontemporer menggunakan bentuk-bentuk sastra yang sebagian besar pendek.

8 Idée fixe: istilah bahasa Prancis yang secara harfiah berarti "ide tetap" atau obsesi.

9 Wilhelm Richard Wagner (1813–1883): seorang komponis, sutradara teater, penulis esai, dan konduktor berkebangsaan Jerman, yang paling dikenal karena opera —meskipun karya-karyanya yang matang sering disebut sebagai drama musikal.

10 Stearin: senyawa kimia yang termasuk dalam kelompok trigliserida, terutama terdiri dari campuran asam lemak jenuh seperti asam stearat dan asam palmitat. Biasanya diperoleh dari proses fraksinasi minyak nabati, khususnya minyak sawit, dan sering disebut sebagai stearin sawit atau palm stearin.

11 Gliserin: juga dikenal sebagai gliserol, adalah senyawa alami yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani. Senyawa ini berupa cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, dan memiliki rasa manis. Gliserin banyak digunakan dalam berbagai produk, termasuk produk perawatan kulit, obat-obatan, dan makanan, karena sifatnya yang menghidrasi dan mengentalkan. 

12 Krimea dalam karya-karya Chekhov, khususnya Yalta, digambarkan sebagai tempat wisata rekreasi dan kesehatan, mirip dengan kota-kota spa di Eropa. Ini adalah tempat orang kaya mencari perlindungan dari musim dingin dan penyakit di utara, tapi juga tempat kebosanan dan rasa kehilangan tujuan bisa menyusup.

13 Tatar adalah nama kelompok etnis Turki yang sebagian besar tinggal di wilayah Volga-Ural Rusia. Mereka adalah kelompok etnis terbesar kedua di Rusia, dengan populasi yang signifikan tinggal di Republik Tatarstan. Tatarstan, juga terkadang disebut Tataria, adalah sebuah republik di Rusia, dengan ibu kota sekaligus kota terbesarnya adalah Kazan. Bahasa Tatar termasuk dalam rumpun bahasa Turki, dan mayoritas orang Tatar adalah Muslim Sunni.

Comments

Populer