Menara Babel (Tower of Babylon ~ Ted Chiang)

Menara Babel (Tower of Babylon ~ Ted Chiang)

Seandainya menara itu dibangun di dataran Sinear, akan butuh waktu dua hari berjalan kaki dari ujung ke ujungnya. Sementara karena menara itu berdiri, dibutuhkan waktu satu setengah bulan penuh untuk mendaki dari dasar sampai ke puncaknya, kalau seseorang berjalan tanpa membawa beban. Tapi, cuma sedikit orang yang naik menara itu dengan tangan kosong; langkah kebanyakan orang terhambat oleh gerobak batu bata yang mereka tarik di belakang mereka. Empat bulan selisih waktunya antara hari ketika sebuah batu bata dimuat ke gerobak, dan hari ketika batu bata tersebut diangkat untuk dijadikan bagian dari menara.

***

Hillalum menghabiskan seluruh hidupnya di Elam, dan dikenal di Babilonia cuma sebagai pembeli tembaga Elam. Batangan tembaga diangkut dengan perahu yang berlayar menyusuri Karun menuju Laut Hilir, sampai ke Sungai Efrat. Hillalum dan para penambang lainnya melakukan perjalanan darat, bersama karavan para pedagang dengan keledai pembawa barang mereka. Mereka berjalan di sepanjang jalanan berdebu yang menurun dari dataran tinggi, melintasi dataran, menuju ladang hijau yang dipisahkan oleh kanal dan tanggul.

Tidak seorang pun dari mereka pernah melihat menara itu sebelumnya. Menara itu mulai terlihat ketika mereka masih bermil-mil jauhnya: garis setipis helai rami, menjulang di langit yang berkilauan, berdiri tegak dari kerak lumpur yang merupakan Babilonia itu sendiri. Semakin mereka dekat, kerak itu tumbuh menjadi tembok kota yang megah, tapi yang mereka lihat cuma menara itu. Ketika mereka menurunkan pandangan ke dataran sungai, mereka melihat jejak yang dibuat menara itu di luar kota: Sungai Efrat yang mengalir di dasar cekungan yang lebar, yang digali untuk menyediakan tanah liat bahan batu bata. Di selatan kota, terlihat deretan tungku pembakaran, tidak lagi menyala.

Saat mereka mendekati gerbang kota, menara itu tampak lebih besar dari apa pun yang pernah dibayangkan Hillalum: sebuah kolom tunggal yang pastinya keseluruhan kuil, menjulang begitu tinggi dan menyusut hingga tak terlihat lagi. Mereka semua berjalan dengan kepala tertunduk, memicingkan mata di bawah sinar matahari.

Teman Hillalum, Nanni, menyikutnya, takjub. "Kita akan menaikinya? Sampai ke puncak?"

“Naik untuk menggali. Rasanya… tidak wajar.”

Para penambang mencapai gerbang utama di tembok barat, tempat karavan lain pergi. Sementara mereka berdesakan maju ke jalur sempit yang teduh yang disediakan oleh tembok itu, pemimpin mereka Beli berteriak kepada para penjaga gerbang yang berdiri di atas menara gerbang. “Kami adalah para penambang yang dipanggil dari tanah Elam.”

Para penjaga gerbang senang. Salah satunya berteriak membalas, “Kalian adalah orang-orang yang akan menggali menembus kubah surga?”

“Benar.”

***

Seluruh kota sedang berpesta. Festival sudah dimulai delapan hari yang lalu, ketika batu bata terakhir dikirim, dan akan bertahan dua hari lagi. Sepanjang siang dan malam, kota itu bergembira, menari, berpesta.

Bersama para pembuat batu bata, ada para penarik gerobak, para laki-laki yang kakinya dihiasi otot karena naik-turun menara. Setiap pagi, satu kelompok memulai pendakian; mereka naik selama empat hari, memindahkan muatan mereka ke kelompok penarik berikutnya, dan kembali ke kota dengan gerobak kosong pada hari kelima. Rantai kelompok-kelompok seperti itu berjalan sampai ke puncak menara, dan cuma kelompok paling bawah yang berpesta bersama kota. Buat mereka yang tinggal di menara, anggur dan daging yang cukup sudah dikirim sebelumnya agar pesta bisa berlangsung sampai di seluruh menara.

Malamnya, Hillalum dan penambang Elam lainnya duduk di bangku tanah liat di depan meja panjang yang penuh dengan makanan, satu di antara banyak meja yang tersedia di alun-alun kota. Para penambang berbicara dengan para penarik gerobak, menanyakan tentang menara itu.

Nanni berkata, "Seseorang memberi tahuku bahwa tukang batu yang bekerja di puncak menara meratakan dan merobek rambut mereka ketika sebuah batu bata dijatuhkan, karena butuh waktu empat bulan untuk menggantinya, tapi tidak ada yang memperhatikan ketika seseorang jatuh sampai mati. Apa benar seperti itu?"

Salah satu penarik gerobak yang banyak bicara, Lugatum, menegakkan kepalanya. "Oh tidak, itu cuma cerita. Ada karavan batu bata yang terus-menerus naik ke menara; ribuan batu bata sampai ke puncak setiap hari. Hilangnya satu batu bata tidak berarti apa-apa bagi para tukang batu." Dia mencondongkan tubuh ke arah mereka. “Tapi, ada sesuatu yang mereka hargai lebih dari nyawa manusia: trowel.”

“Kenapa trowel?”

"Kalau seorang tukang batu menjatuhkan trowelnya, dia tidak bisa bekerja sampai trowel baru dibawa. Selama berbulan-bulan dia tidak bisa memperoleh makanan, jadi dia harus berhutang. Hilangnya trowel adalah penyebab banyak ratapan. Tapi kalau seseorang jatuh, dan trowelnya tetap ada, orang-orang diam-diam merasa senang. Orang yang nanti menjatuhkan trowel bisa mendapat trowel tambahan dan tetap terus bekerja, tanpa berhutang."

Hillalum terkejut, dan untuk satu saat yang canggung dia mencoba menghitung berapa banyak beliung yang dibawa para penambang. Kemudian dia sadar. "Itu tidak mungkin. Kenapa tidak membawa trowel cadangan sendiri? Beratnya tidak seberapa dibandingkan dengan semua batu bata yang dipasang di sana. Sementara kehilangan satu orang berarti keterlambatan, kecuali mereka punya orang tambahan di atas yang ahli memasang batu bata. Tanpa orang seperti itu, mereka harus menunggu orang lain naik dari bawah."

Semua penarik gerobak tertawa terbahak-bahak. “Kita tidak bisa menipu orang ini,” kata Lugatum dengan penuh geli. Dia menoleh ke Hillalum. “Jadi, kau akan mulai naik menara setelah festival selesai?”

Hillalum minum dari mangkuk bir. “Ya. Kudengar kita akan bergabung dengan para penambang dari negeri barat, tapi aku belum melihat mereka. Apa kau kenal mereka?”

“Ya, mereka berasal dari negeri bernama Mesir, tapi mereka tidak menambang ore sepertimu. Mereka menambang batu.”

“Kami juga menggali batu di Elam,” kata Nanni, mulutnya penuh daging babi.

“Tidak seperti mereka. Mereka memotong granit.”

“Granit?” Batu kapur dan pualam digali di Elam, tapi granit tidak. "Apa kau yakin?"

“Para pedagang yang pernah ke Mesir mengatakan bahwa orang Mesir memiliki ziggurat dan kuil batu, yang dibangun dengan batu kapur dan granit, blok-blok yang besar. Dan mereka memahat patung-patung raksasa dari granit.”

“Tapi granit sangat sulit diolah.”

Lugatum mengangkat bahu. "Tidak buat mereka. Para arsitek kerajaan percaya bahwa para tukang batu seperti itu mungkin berguna saat kau mencapai kubah surga."

Hillalum mengangguk. Itu mungkin benar. Siapa yang tahu pasti apa yang mereka butuhkan? “Apa kau sudah melihat mereka?”

"Belum, mereka belum tiba, tapi mereka diperkirakan akan datang dalam beberapa hari. Mereka mungkin belum akan datang sampai festival berakhir; jadi kalian orang Elam akan naik ke puncak menara sendirian."

“Kalian akan menemani kami, kan?”

"Ya, tapi cuma untuk empat hari pertama. Kemudian kami harus kembali, sementara kalian beruntung melanjutkan perjalanan."

“Kenapa kalian menganggap kami beruntung?”

"Aku ingin sekali naik ke puncak. Aku pernah menarik gerobak dengan kelompok yang lebih tinggi, dan mencapai ketinggian pendakian dua belas hari, tapi itu adalah ketinggian tertinggi yang pernah kucapai. Kalian akan mendaki jauh lebih tinggi." Lugatum tersenyum kecut. 

"Aku iri padamu, kau akan menyentuh kubah surga."

Menyentuh kubah surga. Mendobraknya dengan beliung. Hillalum merasa tidak nyaman dengan gagasan itu. "Tidak ada alasan untuk iri—" katanya.

"Baiklah," kata Nanni. "Setelah kita selesai, semua orang akan menyentuh kubah surga."

Keesokan paginya, Hillalum pergi melihat menara itu. Dia berdiri di halaman raksasa yang mengelilinginya. Ada sebuah kuil di satu sisi yang akan mengesankan kalau berdiri sendiri, tapi kuil itu berdiri tak terlihat di samping menara.

Dia bisa merasakan kekokohan kuil itu. Menurut cerita, menara itu dibangun untuk memiliki kekuatan luar biasa yang tidak dimiliki ziggurat mana pun; menara itu terbuat dari batu bata bakar seluruhnya, sementara ziggurat biasa cuma batu bata lumpur yang dijemur, batu bata bakar cuma di bagian permukaannya. Batu bata-batu bata itu dipasang dengan adukan bitumen, yang meresap ke dalam tanah liat yang dibakar, membentuk ikatan batu bata itu sendiri.

Dasar menara menyerupai dua panggung pertama sebuah ziggurat biasa. Di sana berdiri sebuah panggung persegi raksasa dengan sisi sekitar dua ratus hasta dan tinggi empat puluh hasta, dengan tangga tiga di sisi selatannya. Di atas panggung pertama itu terdapat satu tingkat lagi, panggung yang lebih kecil yang cuma bisa dicapai melalui tangga tengah. Di atas panggung kedua inilah menara itu sendiri mulai berdiri.

Panjangnya enam puluh hasta di setiap sisinya, dan menjulang seperti pilar persegi yang menahan beban langit. Di sekelilingnya terdapat ramp yang landai, menempel di sisinya, yang melilit menara itu seperti kulit yang dililitkan pada gagang cambuk. Tidak; ketika melihat lagi, Hillalum melihat ada dua buah ramp, dan keduanya saling bertautan. Tepi luar setiap ramp itu dipenuhi pilar-pilar, tidak tebal tapi lebar, untuk memberi sedikit keteduhan di belakangnya. Saat dia mengamati menara itu, dia melihat barisan pilar yang berselang-seling, ramp, bata, ramp, bata, sampai tidak terlihat lagi. Dan menara itu tetap menjulang tinggi, lebih jauh dari yang bisa dilihat mata; Hillalum mengerjap, memicingkan mata, dan merasa pusing. Dia terhuyung mundur beberapa langkah, lalu berbalik dengan gemetar.

Hillalum mengisahkan cerita yang diceritakan padanya di masa kecil, kisah setelah Banjir Besar. Kisah itu menceritakan bagaimana manusia sekali lagi menghuni seluruh penjuru bumi, menghuni lebih banyak daratan dari sebelumnya. Bagaimana manusia mengarungi ujung-ujung dunia, dan menyaksikan samudra menghilang ke dalam kabut, menyatu dengan udara hitam jurang yang jauh di bawah. Bagaimana manusia menyadari luasnya bumi ini, dan merasa kecil, serta ingin melihat apa yang terbentang di baliknya, seluruh ciptaan Yahweh yang lain. Bagaimana mereka memandang ke langit, dan bertanya-tanya tentang tempat tinggal Yahweh, di atas bendungan yang menampung air surga. Dan bagaimana, berabad-abad yang lalu, dimulailah pembangunan menara, sebuah pilar menuju surga, sebuah tangga yang bisa dinaiki manusia untuk melihat karya-karya Yahweh, dan agar Yahweh bisa turun untuk melihat karya-karya manusia.

Kisah itu selalu terasa menginspirasi bagi Hillalum, sebuah kisah tentang ribuan orang yang bekerja keras tanpa henti, tapi dengan kegembiraan, karena mereka berusaha untuk mengenal Yahweh dengan lebih baik. Dia merasa gembira ketika orang Babilonia datang ke Elam mencari penambang. Tapi sekarang, setelah dia berdiri di dasar menara, akal sehatnya memberontak, bersumpah bahwa tidak ada yang boleh berdiri setinggi itu. Dia tidak merasa seolah-olah dia berada di bumi ketika dia melihat ke atas di sepanjang menara itu.

Apakah dia akan menaiki benda seperti itu?

***

Pada pagi pendakian, panggung kedua tertutup, dari ujung ke ujung, dengan gerobak roda dua kokoh yang berbaris. Kebanyakan dimuati dengan makanan dari segala jenis: karung berisi jelai, gandum, lentil, bawang, kurma, mentimun, roti, ikan kering. Ada banyak sekali guci tanah liat raksasa berisi air, anggur kurma, bir, susu kambing, minyak sawit. Gerobak lain dimuat dengan barang-barang yang banyak dijual di pasar: bejana perunggu, keranjang buluh, gulungan linen, bangku dan meja kayu. Ada juga seekor lembu yang digemukkan dan seekor kambing yang oleh beberapa pendeta dipasangi tudung sehingga mereka tidak bisa melihat ke kedua sisi, dan tidak akan takut saat mendaki. Mereka akan dikorbankan ketika mereka sampai di puncak.

Lalu ada gerobak-gerobak berisi beliung dan palu penambang, serta bahan-bahan untuk bengkel kecil. Pemimpin mereka juga sudah memerintahkan agar sejumlah gerobak diisi dengan kayu dan berkas-berkas buluh.

Lugatum berdiri di samping sebuah gerobak, memeriksa tali-tali yang mengikat kayu. Hillalum mendekatinya. "Dari mana kayu-kayu ini berasal? Aku tidak melihat hutan setelah kami meninggalkan Elam."

"Ada hutan di utara, yang ditanam saat menara ini mulai dibangun. Kayu yang ditebang diapungkan melewati Sungai Efrat."

"Kau menanam semua pohon di hutan?"

"Saat mereka mulai membangun menara, para arsitek tahu bahwa kayu yang dibutuhkan untuk bahan bakar tungku pembakaran jauh lebih banyak daripada yang bisa ditemukan di dataran, jadi mereka menanam hutan. Ada kelompok yang bertugas menyediakan air, dan menanam satu pohon baru untuk setiap pohon yang ditebang."

Hillalum tercengang. "Dan itu menyediakan semua kayu yang dibutuhkan?"

"Sebagian besar. Banyak hutan lain di utara juga sudah ditebang, dan kayunya dibawa ke sungai." Dia memeriksa roda gerobak, membuka botol kulit yang dibawanya, dan menuangkan sedikit oli di antara roda dan as roda.

Nanni berjalan mendekati mereka, menatap jalanan Babilonia yang terbentang di hadapan mereka. "Aku belum pernah mencapai titik ini, sampai bisa memandang kota dari bawah."

“Aku juga belum pernah,” kata Hillalum, tapi Lugatum hanya tertawa.

"Ayo. Semua gerobak sudah siap."

Tidak lama kemudian, semua laki-laki berpasangan dan dipasangkan dengan sebuah gerobak. Mereka berdiri di antara dua batang penarik gerobak, yang dilengkapi tali pengikat. Gerobak yang ditarik para penambang digabung dengan gerobak penarik biasa, untuk memastikan mereka menjaga kecepatan yang tepat. Gerobak Lugatum dan penarik gerobak lain berada tepat di belakang Hillalum dan Nanni.

"Ingat," kata Lugatum, "jagalah jarak sekitar sepuluh hasta di belakang kereta di depanmu. Orang yang berada di sebelah kanan yang menarik gerobak saat berbelok, dan kalian akan bergantian setiap jam."

Para penarik gerobak mulai menarik gerobak mereka menaiki ramp. Hillalum dan Nanni membungkuk dan menyampirkan tali gerobak mereka di bahu yang berseberangan. Mereka berdiri bersama, mengangkat ujung depan gerobak dari jalan.

“Sekarang tarik,” seru Lugatum.

Mereka mencondongkan tubuh ke depan ke arah tali, dan gerobak itu mulai berputar. Sekali bergerak, menariknya menjadi terasa lebih mudah, dan mereka pun berkelok-kelok di panggung itu. Kemudian mereka sampai di ramp, dan sekali lagi mereka harus mencondongkan tubuh dalam-dalam.

“Ini gerobak ringan?” gumam Hillalum.

Ramp itu cukup lebar untuk seseorang berjalan di samping gerobak kalau dia harus lewat. Permukaannya dilapisi batu bata, dengan dua alur yang aus digilas roda selama berabad-abad. Di atas kepala mereka, langit-langit menjulang seperti kubah penopang, dengan batu bata persegi lebar tersusun dalam lapisan yang tumpang tindih hingga bertemu di tengah. Pilar-pilar di sebelah kanan cukup lebar untuk membuat ramp itu tampak seperti terowongan. Kalau seseorang tidak melihat ke samping, hampir tidak ada kesan berada di atas menara.

“Apa kau bernyanyi saat menambang?” tanya Lugatum.

"Kalau batunya empuk," kata Nanni.

"Nyanyikanlah salah satu lagu kalau begitu."

Tantangan itu sampai ke penambang lain, dan tak lama kemudian semua penambang bernyanyi.

***

Saat bayangan memendek, mereka naik semakin tinggi. Terlindung dari matahari, cuma bersama udara segar di sekitar mereka, itu jauh lebih dingin daripada di gang-gang sempit kota di bawah, di mana panas di tengah hari bisa membunuh kadal saat mereka berlari di jalanan. Melirik ke samping, para penambang bisa melihat Sungai Efrat yang gelap, dan padang-padang hijau yang membentang bermil-mil jauhnya, dilintasi kanal-kanal yang berkilauan di bawah sinar matahari. Kota Babilonia adalah pola rumit jalan-jalan dan bangunan-bangunan yang rapat, berkilauan dengan kapur gipsum; semakin samar terlihat, karena tampaknya seperti semakin mendekati dasar menara.

Hillalum kembali menarik tali di sebelah kanan, lebih dekat ke tepi, ketika dia mendengar teriakan dari ramp satu tingkat di bawahnya. Dia berpikir untuk berhenti dan melihat ke bawah, tapi dia tidak ingin mengganggu langkah mereka, lagipula dia tidak akan bisa melihat ramp bawah dengan jelas. "Apa yang terjadi di bawah sana?" teriaknya kepada Lugatum di belakangnya.

"Salah satu teman penambangmu takut ketinggian. Terkadang ada orang seperti itu di antara mereka yang mendaki untuk pertama kalinya. Orang seperti itu meringkuk di lantai, dan tidak bisa naik lebih jauh. Beberapa orang akan segera merasakannya."

 Hillalum mengerti. "Kami tahu ketakutan serupa juga terjadi di antara mereka yang akan menjadi penambang. Beberapa orang tidak tahan memasuki tambang, karena takut akan kematian."

"Benarkah?" seru Lugatum. "Aku belum pernah mendengarnya. Bagaimana perasaanmu sendiri tentang ketinggian ini?"

"Aku tidak merasakan apa-apa." Tapi dia melirik Nanni, dan mereka berdua tahu yang sebenarnya.

"Kau merasa gugup dan telapak tanganmu basah, kan?" bisik Nanni.

Hillalum menggosokkan tangan pada serat-serat tali yang kasar, lalu mengangguk.

"Aku juga merasakannya tadi, saat aku lebih dekat ke tepi."

“Mungkin sebaiknya kita pergi bertudung, seperti lembu dan kambing,” gumam Hillalum bercanda.

"Apa kau pikir kita juga akan takut ketinggian, saat kita mendaki lebih tinggi?"

Hillalum berpikir sebentar. Bahwa salah satu rekan mereka merasakan ketakutan secepat ini, itu bukanlah pertanda baik. Dia menepisnya; ribuan orang berkumpul tanpa rasa takut, dan akan bodoh kalau membiarkan rasa takut seorang penambang menulari mereka semua. "Kita cuma belum terbiasa. Kita akan punya waktu berbulan-bulan untuk terbiasa dengan ketinggian ini. Saat kita mencapai puncak menara, kita akan berharap menara ini lebih tinggi."

“Tidak,” kata Nanni. “Kurasa aku tidak ingin menarik gerobak ini lebih jauh.” Mereka berdua tertawa.

***

Malamnya mereka makan jelai, bawang, dan lentil, lalu tidur di dalam koridor sempit yang menembus badan menara. Ketika mereka bangun keesokan paginya, para penambang hampir tidak bisa berjalan, kaki mereka begitu sakit. Para penarik gerobak tertawa, lalu memberi mereka salep untuk dioleskan ke otot-otot mereka, dan memindahkan beberapa muatan di gerobak mereka untuk mengurangi beban para penambang.

Sekarang, melihat ke bawah membuat lutut Hillalum basah oleh keringat. Angin berhembus kencang di ketinggian ini, dan dia memperkirakan angin akan semakin kencang saat mereka semakin tinggi. Dia bertanya-tanya apakah ada yang pernah tertiup angin dari menara karena kecerobohan sesaat. Dan saat jatuh; seseorang akan punya waktu untuk berdoa sebelum menyentuh tanah. Hillalum bergidik membayangkannya.

Selain dari rasa sakit di kaki para penambang, hari kedua sama dengan hari pertama. Mereka sekarang bisa melihat lebih jauh, dan luasnya daratan yang terlihat sungguh menakjubkan; gurun di balik ladang-ladang terlihat jelas, dan karavan-karavan tampak tidak lebih seperti barisan serangga. Tidak ada penambang lain yang takut ketinggian sehingga dia tidak bisa melanjutkan, dan pendakian mereka berlangsung sepanjang hari tanpa kejadian apa pun.

Pada hari ketiga, kaki para penambang belum membaik, dan Hillalum merasa seperti orang tua yang lumpuh. Baru pada hari keempat kaki mereka terasa lebih baik, dan mereka kembali menarik beban seperti semula. Pendakian mereka berlanjut hingga sore hari, ketika mereka bertemu kelompok penarik kedua yang menarik gerobak kosong dengan cepat sepanjang ramp turun. Ramp naik dan turun berkelok-kelok tanpa bertabrakan, tapi dihubungkan oleh sebuah koridor di badan menara. Ketika para penarik gerobak sudah saling bertemu sepenuhnya di dua ramp itu, mereka berpindah jalur untuk mengganti gerobak.

Para penambang diperkenalkan kepada kelompok penarik gerobak kedua, dan mereka semua berbicara dan makan bersama malam itu. Pagi berikutnya, kelompok pertama menyiapkan gerobak kosong untuk kembali ke Babilonia, dan Lugatum mengucapkan selamat tinggal kepada Hillalum dan Nanni.

"Jaga gerobakmu. Dia sudah menjelajahi seluruh menara ini, lebih tinggi dari siapa pun."

“Apa kau juga iri pada gerobak itu?” tanya Nanni.

“Tidak, karena setiap kali sampai di puncak, dia harus turun kembali. Aku tidak akan melakukan itu."

***

Ketika kelompok kedua berhenti di penghujung hari, penarik gerobak di belakang Hillalum dan Nanni datang untuk menunjukkan sesuatu kepada mereka. Namanya Kudda.

"Kau belum pernah melihat matahari terbenam setinggi ini. Ayo, lihat." Penarik gerobak itu pergi ke tepi menara dan duduk, kakinya menggantung di sisi menara. Dia melihat mereka ragu-ragu. "Ayo. Kau bisa berbaring dan mengintip dari tepi, kalau mau." Hillalum tidak ingin terlihat seperti anak kecil yang penakut, tapi dia tidak sanggup duduk di tepi menara yang berjarak ribuan hasta di bawah kakinya. Dia berbaring tengkurap, cuma kepalanya yang keluar di tepi. Nanni menyusulnya.

"Saat matahari hampir terbenam, lihatlah ke sisi menara." Hillalum melirik ke bawah, lalu cepat-cepat menatap cakrawala.

“Apa bedanya matahari terbenam di sini?”

“Coba pikir, saat matahari terbenam di balik puncak-puncak gunung di barat, dataran Sinear menjadi gelap. Tapi di sini, kita lebih tinggi dari puncak gunung, jadi kita masih bisa melihat matahari. Matahari harus turun lebih jauh agar kita bisa melihat malam."

Rahang Hillalum ternganga saat dia mengerti. "Bayang-bayang pegunungan menandai awal malam. Malam turun ke bumi sebelum tiba di sini."

Kudda mengangguk. "Kau bisa menyaksikan malam merambat naik ke menara, dari tanah sampai ke langit. Dia bergerak cepat, tapi kau seharusnya bisa melihatnya."

Dia mengamati bola merah matahari sejenak, lalu melihat ke bawah dan menunjuk. "Sekarang!"

Hillalum dan Nanni melihat ke bawah. Di dasar pilar raksasa itu, Babilonia mungil tampak dalam bayangan. Kemudian kegelapan menyelimuti menara, seperti kanopi yang membentang ke atas. Pergerakannya cukup lambat sehingga Hillalum merasa dia bisa menghitung detik-detik yang berlalu, tapi kemudian kegelapan itu semakin cepat saat mendekat, hingga melesat melewati mereka lebih cepat daripada kedipan mata, dan mereka pun berada dalam dekapan senja.

Hillalum berguling dan melihat ke atas, tepat pada waktunya untuk melihat kegelapan dengan cepat naik ke seluruh menara. Perlahan-lahan, langit semakin redup saat matahari terbenam di tepi dunia, jauh di sana.

“Pemandangan yang indah, bukan?” kata Kudda.

Hillalum tidak berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, dia tahu malam apa adanya: bayangan bumi itu sendiri, yang terpantul di langit.

***

Setelah mendaki selama dua hari lagi, Hillalum semakin terbiasa dengan ketinggian. Meskipun tingginya hampir satu liga, dia sudah bisa berdiri di tepi ramp dan mengamati menara di bawah. Dia berpegangan pada salah satu pilar di tepi jalan, dan dengan hati-hati mencondongkan tubuh untuk memandang ke atas. Dia menyadari bahwa menara itu tidak lagi tampak seperti pilar yang halus.

Dia bertanya pada Kudda, “Menara itu tampaknya semakin melebar ke atas. Bagaimana mungkin?”

"Lihat lebih dekat. Ada balkon kayu yang menjorok keluar dari samping. Balkon-balkon itu terbuat dari kayu cemara, dan digantung dengan tali rami."

Hillalum memicingkan mata. "Balkon? Untuk apa?"

"Mereka dihampari tanah, jadi orang-orang bisa menanam sayuran. Di ketinggian ini, air langka, jadi bawang yang paling umum ditanam. Lebih tinggi lagi, di tempat yang curah hujannya lebih tinggi, kau akan melihat kacang-kacangan."

Nanni bertanya, “Bagaimana mungkin ada hujan di atas yang tidak langsung jatuh ke sini?”

Kudda terkejut melihatnya. “Hujan mengering di udara saat musim gugur, tentu saja.”

“Oh, tentu saja.” Nanni mengangkat bahu.

Menjelang sore berikutnya, mereka sampai di balkon. Balkon-balkon itu berupa panggung datar, dipenuhi bawang, ditopang oleh tali-tali berat dari dinding menara di atas, tepat di bawah deretan balkon berikutnya. Di setiap lantai, bagian dalam menara memiliki beberapa ruangan sempit di dalamnya, tempat tinggal keluarga para penarik gerobak. Para perempuan terlihat duduk di ambang pintu menjahit tunik, atau di kebun menggali umbi-umbian. Anak-anak saling kejar-kejaran di ramp, menyelinap di antara gerobak-gerobak, berlarian di sepanjang tepi balkon tanpa rasa takut. Para penghuni menara bisa dengan mudah mengenali para penambang, dan mereka semua tersenyum dan melambaikan tangan.

Ketika tiba saat makan malam, semua gerobak diturunkan dan makanan serta barang-barang lainnya diangkut untuk dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Para penarik gerobak disambut keluarga mereka, dan mengundang para penambang untuk bergabung makan malam dengan mereka. Hillalum dan Nanni makan bersama keluarga Kudda, dan mereka menikmati hidangan lezat berupa ikan kering, roti, anggur kurma, dan buah.

Hillalum melihat bahwa bagian menara ini membentuk semacam kota kecil, yang terbentang di antara dua ramp, ramp naik dan turun. Ada sebuah kuil, tempat ritual dilakukan; ada para hakim, yang menyelesaikan perselisihan; ada toko-toko, yang diisi oleh pedagang. Tentu saja, kota tidak bisa dipisahkan dari pedagang: keduanya tidak bisa hidup tanpa yang lain. Tapi, setiap perdagangan pada dasarnya adalah sebuah perjalanan, sesuatu yang dimulai di satu tempat dan berakhir di tempat lain. Kota ini tidak pernah dimaksudkan sebagai tempat permanen, melainkan cuma bagian dari sebuah perjalanan selama berabad-abad.

Setelah makan malam, dia bertanya kepada Kudda dan keluarganya, "Apakah ada di antara kalian yang pernah mengunjungi Babilonia?"

Istri Kudda, Alitum, menjawab, "Tidak, untuk apa? Pendakiannya panjang, dan kami punya semua yang kami butuhkan di sini."

"Kau tidak ingin benar-benar berjalan di bumi?"

Kudda mengangkat bahu. “Kami tinggal di jalan menuju surga; semua pekerjaan yang kami lakukan hanyalah untuk memperpanjangnya. Kalau kami meninggalkan menara, kami akan mengambil jalan mendaki, bukan jalan menurun.”

***

Saat para penambang mendaki, seiring berjalannya waktu, tibalah saatnya menara itu tampak sama ketika seseorang melihat ke atas atau ke bawah dari tepi ramp. Di bawah, menara itu tampak menyusut hingga tak terlihat jauh sebelum sampai di daratan di bawahnya. Padahal, para penambang masih jauh dari sekadar bisa melihat puncaknya. Yang terlihat hanyalah sebagian kecil menara. Melihat ke atas atau ke bawah terasa menakutkan, karena kepastian ikatan mereka sudah hilang; mereka bukan lagi bagian dari tanah. Menara itu mungkin cuma seutas benang yang menggantung di udara, terlepas dari bumi maupun surga.

Ada saat-saat selama pendakian ini ketika Hillalum putus asa, merasa diusir dan diasingkan dari dunia; seolah-olah bumi sudah menolaknya karena ketidakpercayaannya, sementara surga masih enggan menerimanya. Dia berharap Yahweh memberi tanda, untuk memberi tahu manusia bahwa usaha mereka direstui; kalau tidak, bagaimana mereka bisa tinggal di tempat yang memberikan begitu sedikit sambutan kepada roh?

Para penghuni menara di ketinggian ini tidak pernah merasa tidak nyaman dengan posisi mereka; mereka selalu menyapa para penambang dengan hangat dan mendoakan mereka berhasil dengan tugas mereka di kubah. Mereka tinggal di dalam kabut awan yang lembap, mereka melihat badai dari bawah dan dari atas, mereka mengumpulkan tanaman dari udara, dan mereka tidak pernah takut bahwa ini adalah tempat yang tidak pantas bagi manusia. Tidak ada jaminan atau dorongan ilahi yang bisa didapat, tapi orang-orang itu tidak pernah ragu sedikit pun.

Dengan berlalunya minggu-minggu, matahari dan bulan semakin rendah dalam perjalanan harian mereka. Bulan membanjiri sisi menara selatan dengan cahaya keperakannya, bersinar seperti mata Yahweh yang menatap mereka. Tidak lama kemudian, mereka berada tepat di ketinggian yang sama dengan bulan ketika melintas; mereka sudah mencapai ketinggian benda langit pertama. Mereka memicingkan mata ke arah wajah bulan yang berbintik-bintik, menyaksikan gerakannya yang megah yang seolah-olah mengejek tiang-tiang penyangga.

Kemudian mereka mendekati matahari. Saat itu musim panas, ketika matahari muncul hampir di atas kepala Babilonia, membuatnya lewat dekat menara pada ketinggian ini. Tidak ada keluarga yang tinggal di bagian menara ini, juga tidak ada balkon, karena panasnya cukup untuk memanggang jelai. Mortar di antara batu bata menara bukan lagi bitumen, yang pasti akan mendidih dan meleleh, melainkan tanah liat, yang dibakar oleh panas ini. Sebagai perlindungan terhadap suhu siang hari, pilar-pilar diperlebar hingga membentuk dinding yang hampir menyatu, melingkupi ramp menjadi terowongan dengan celah-celah sempit yang memungkinkan angin mendesis dan bilah-bilah cahaya keemasan masuk.

Para penarik gerobak sudah ditempatkan secara teratur sampai titik ini, tapi di sini diperlukan penyesuaian lagi. Mereka berangkat lebih awal dan semakin awal setiap pagi, untuk mendapatkan lebih banyak kegelapan saat mereka menarik gerobak. Ketika mereka berada di ketinggian matahari, mereka melakukan perjalanan sepenuhnya di malam hari. Pada siang hari, mereka mencoba tidur, telanjang dan berkeringat di bawah terpaan angin panas. Para penambang khawatir kalau mereka sampai tertidur, mereka akan terpanggang sampai mati sebelum mereka bangun. Tapi para penarik gerobak sudah melakukan perjalanan berkali-kali, dan tidak pernah kehilangan seorang pun, dan akhirnya mereka melewati posisi matahari, tempat segalanya berada di bawah.

Sekarang cahaya siang bersinar ke atas, yang terasa sangat tidak wajar. Balkon-balkon dilepas papan-papannya sehingga sinar matahari bisa masuk, dengan tanah di jalan setapak yang tersisa; tanaman tumbuh menyamping dan ke bawah, membungkuk untuk menangkap sinar matahari.

Kemudian mereka mendekati ketinggian bintang-bintang, bola-bola api kecil menyebar ke seluruh sisi. Hillalum mengira mereka akan terlihat lebih rapat, tapi meskipun ditambah bintang-bintang kecil yang tidak terlihat dari bumi, mereka masih tampak terlalu menyebar. Tidak semuanya berada pada ketinggian yang sama, melainkan beberapa liga di atasnya. Sulit untuk menentukan seberapa jauh jaraknya, karena tidak ada indikasi ukurannya, tapi kadang-kadang mereka akan mendekat, membuktikan kecepatannya yang mencengangkan. Hillalum menyadari bahwa semua benda di langit melesat dengan kecepatan yang sama, untuk menjelajahi dunia dari ujung ke ujung dalam sehari.

Pada siang hari, langit berwarna biru lebih pucat daripada yang terlihat dari bumi, pertanda mereka mendekati kubah. Saat mengamati langit, Hillalum terkejut melihat ada bintang yang terlihat pada siang hari. Mereka tidak bisa dilihat dari bumi di tengah silau matahari, tapi dari ketinggian ini mereka terlihat sangat jelas.

Suatu hari Nanni datang kepadanya dengan tergesa-gesa dan berkata, "Sebuah bintang menabrak menara!"

"Apa!" Hillalum melihat sekelilingnya, panik, merasa seperti baru saja terkena pukulan.

"Tidak, tidak sekarang. Itu sudah lama sekali, lebih dari seabad yang lalu. Salah satu penghuni menara menceritakan kisahnya; kakeknya ada di sana."

Mereka masuk ke koridor dan beberapa melihat penambang duduk mengelilingi seorang laki-laki tua keriput. “—menempel di batu bata sekitar setengah liga di atas sini. Kau masih bisa melihat bekas luka yang ditinggalkannya; seperti bopeng raksasa.”

“Apa yang terjadi pada bintang itu?”

"Bintang itu terbakar dan mendesis, dan terlalu terang untuk dilihat. Orang-orang mempertimbangkan untuk mencungkilnya, agar bintang itu bisa melanjutkan perjalanannya, tapi itu terlalu panas untuk didekati, dan mereka tidak berani memadamkannya. Setelah berminggu-minggu, bintang itu mendingin menjadi logam langit hitam yang padat, sebesar yang bisa dipeluk manusia."

"Besar sekali?" kata Nanni, suaranya penuh kekaguman. Ketika bintang-bintang jatuh ke bumi dengan sendirinya, bongkahan-bongkahan logam kecil langit kadang-kadang ditemukan, lebih keras dari perunggu terbaik. Logam itu tidak bisa dicairkan untuk dicetak, sehingga ditempa sambil dipanaskan sampai merah; jimat dibuat darinya.

"Sungguh, tidak seorang pun pernah mendengar tentang bongkahan sebesar ini yang ditemukan di bumi. Bisakah kau membayangkan alat apa yang bisa dibuat darinya!"

"Kau tidak mencoba menempanya menjadi alat, kan?" tanya Hillalum, ngeri.

"Oh tidak. Manusia takut menyentuhnya. Semua orang turun dari menara, menunggu balasan dari Yahweh karena sudah mengganggu kerja Penciptaan. Mereka menunggu selama berbulan-bulan, tapi tidak ada tanda-tanda yang datang. Akhirnya mereka kembali, dan mencungkil bintang itu. Bintang itu berada di sebuah kuil di kota di bawah."

Lalu hening. Kemudian salah satu penambang berkata, "Aku belum pernah mendengar hal ini dalam kisah-kisah tentang menara ini."

"Itu adalah pelanggaran, sesuatu yang tidak boleh dibicarakan."

Saat mereka berkumpul lebih tinggi ke atas menara, langit semakin terang warnanya, hingga suatu pagi Hillalum terbangun dan berdiri di tepinya, lalu berteriak kaget: apa yang sebelumnya tampak seperti langit pucat sekarang tampak seperti langit-langit putih yang membentang jauh di atas kepala mereka. Mereka kini cukup dekat untuk melihat kubah surga, melihatnya sebagai cangkang padat yang melingkupi seluruh langit. Semua penambang berbicara dengan berbisik, menatap ke atas seperti orang tolol, sementara para penghuni menara menertawakan mereka.

***

Ketika mereka melanjutkan pendakian, mereka terkejut menyadari betapa buruknya keadaan mereka sebenarnya. Kekosongan permukaan kubah menipu mereka, membuatnya tidak terlihat sampai tiba-tiba muncul tepat di atas kepala mereka. Kini, alih-alih mendaki ke langit, mereka berjalan ke daratan tanpa penanda apa-apa yang membentang tanpa akhir ke segala arah.

Semua indra Hillalum kehilangan arah melihatnya. Kadang-kadang ketika dia melihat kubah itu, dia merasa seolah-olah dunia sudah terbalik, dan kalau dia kehilangan pijakan, dia akan jatuh ke atas. Ketika kubah itu tampak berada di atas kepalanya, dia memiliki beban yang menindas. Kubah itu adalah lapisan seberat seluruh dunia, tapi sama sekali tanpa penyokong, dan dia takut akan apa yang tidak pernah dia takuti di tambang: langit-langit akan runtuh menimpanya.

Juga, ada saat-saat ketika tampak seolah-olah kubah itu adalah permukaan tebing vertikal dengan ketinggian yang menakjubkan yang menjulang di hadapannya, dan tanah redup di belakangnya adalah tebing yang lain, dan menara itu adalah kabel yang direntangkan kencang di antara keduanya. Atau yang terburuk dari semuanya, untuk sesaat sepertinya tidak ada atas dan tidak ada bawah, dan tubuhnya tidak tahu ke arah mana dia ditarik. Itu seperti takut ketinggian, tapi jauh lebih buruk. Sering kali dia terbangun dari tidur yang gelisah, mendapati dirinya berkeringat dan jari-jarinya kram, mencoba mencengkeram lantai bata.

Nanni dan banyak penambang lainnya juga tampak ketakutan, meskipun tidak seorang pun membicarakan apa yang mengganggu tidur mereka. Pendakian mereka melambat, alih-alih lebih cepat seperti yang diperkirakan pemimpin mereka, Beli; pemandangan kubah itu justru menimbulkan rasa gelisah, alih-alih semangat. Para penarik gerobak menjadi tidak sabar menghadapi mereka. Hillalum bertanya-tanya orang macam apa yang sudah ditempa oleh hidup dalam kondisi seperti itu; bagaimana mereka bisa lolos dari kegilaan?

Apakah mereka terbiasa dengan hal ini? Apakah anak-anak yang lahir di bawah langit yang kokoh menjerit ketika melihat tanah di bawah kaki mereka?

Mungkin manusia memang tidak ditakdirkan untuk hidup di tempat seperti itu. Kalau kodrat mereka sendiri menghalangi mereka untuk mendekati surga terlalu dekat, maka manusia seharusnya tetap tinggal di bumi.

Ketika mereka mencapai puncak menara, disorientasi itu memudar, atau mungkin mereka sudah kebal. Di sini, berdiri di atas panggung persegi di puncak menara, para penambang menatap pemandangan paling menakjubkan yang pernah dilihat manusia: jauh di bawah mereka terbentang daratan dan laut, terbungkus kabut, membentang ke segala arah hingga batas mata. Tepat di atas mereka tergantung atap dunia itu sendiri, batas tertinggi langit, menjadikan titik pandang mereka sebagai yang tertinggi. Di sini ada sangat banyak ciptaan yang bisa dipahami sekaligus.

Para pendeta memimpin doa kepada Yahweh; mereka bersyukur karena diizinkan melihat begitu banyak, dan memohon maaf atas keinginan mereka untuk melihat lebih banyak lagi.

***

Dan di puncak, batu bata diletakkan. Orang bisa mencium bau tar yang kaya dan mentah, yang mengepul dari kuali panas tempat bongkahan aspal dilebur. Itu adalah bau paling tanah yang tercium oleh para penambang dalam empat bulan, dan lubang hidung mereka mati-matian ingin menciumnya sebelum tersapu angin. Di sini, di puncak, tempat cairan kental yang dulu merembes dari retakan bumi kini menguatkan untuk menahan batu bata di tempatnya, bumi menumbuhkan dahan ke langit.

Di tempat para tukang batu bekerja, orang-orang yang dilumuri bitumen yang mencampur adukan dengan cekatan memasang batu bata berat dengan sangat presisi. Lebih dari siapa pun, orang-orang ini tidak membiarkan diri mereka pusing ketika melihat kubah itu, karena menara itu tidak boleh bergeser selebar jari saja dari garis vertikal. Akhirnya, mereka hampir menyelesaikan tugas mereka, dan setelah empat bulan mendaki, para penambang siap memulai tugas mereka.

Orang-orang Mesir tiba tidak lama kemudian. Mereka berkulit gelap dan bertubuh ramping, serta berjanggut tipis di dagu. Mereka menarik gerobak berisi palu dolerit, perkakas perunggu, dan baji kayu. Pemimpin mereka bernama Senmut, dan dia berunding dengan Beli, pemimpin orang Elam, tentang bagaimana mereka akan menembus kubah itu. Orang Mesir membangun bengkel dengan apa yang mereka bawa, begitu pula orang Elam, untuk menempa ulang perkakas perunggu yang akan tumpul selama penambangan.

Kubah itu sendiri tetap berada tepat di atas ujung jari manusia yang terulur; terasa halus dan sejuk ketika seseorang melompat untuk menyentuhnya. Ternyata itu terbuat dari granit putih berbutir halus, tanpa cacat dan sama sekali tanpa ciri. Dan di situlah letak masalahnya.

Dahulu kala, Yahweh pernah melepaskan Air Bah, melepaskan udara dari bawah dan dari atas; air dari Abyss meledak dari mata air bumi, dan air surga mengalir melalui pintu air di kubah. Sekarang orang-orang melihat kubah itu dari dekat, tapi tidak ada pintu air yang terlihat. Mereka memandang ke segala arah, tapi tidak ada celah, tidak ada jendela, tidak ada retakan di bentangan granit itu.

Sepertinya menara mereka bertemu dengan kubah itu di suatu titik di antara sumber air yang ada, dan beruntungnya seperti itu. Kalau pintu air terlihat, mereka harus mengambil risiko mendobraknya dan mengosongkan sumber air itu. Itu berarti hujan di Sinear, di luar musim dan lebih deras daripada hujan musim dingin; hal itu akan menyebabkan banjir di sepanjang Sungai Efrat. Hujan kemungkinan besar akan berhenti ketika sumber air dikosongkan, tapi selalu ada kemungkinan Yahweh akan menghukum mereka dan melanjutkan hujan hingga menara runtuh dan Babel hancur menjadi lumpur.

Meskipun tidak ada gerbang yang terlihat, risikonya tetap ada. Mungkin gerbang-gerbang itu tidak memiliki sambungan yang terlihat oleh mata manusia, dan sebuah sumber air terletak tepat di atasnya. Atau mungkin sumber-sumber air itu begitu besar, sehingga meskipun pintu air terdekat bermil-mil jauhnya, sebuah sumber air masih terletak di atasnya.

Terjadi perdebatan tentang cara terbaik untuk melanjutkan.

"Tentunya Yahweh tidak akan menghanyutkan menara ini," bantah Qurdusa, salah satu tukang batu. "Kalau menara ini merupakan penistaan, Yahweh pasti sudah menghancurkannya lebih awal. Tapi, selama berabad-abad kami bekerja, kami belum pernah melihat sedikit pun tanda-tanda ketidaksenangan Yahweh. Yahweh akan menguras sumber air mana pun sebelum kami menembusnya."

“Kalau Yahweh berkenan dengan usaha ini, pasti sudah ada tangga yang disiapkan untuk kita di dalam kubah,” bantah Eluti, seorang Elam. “Yahweh tidak akan membantu atau menghalangi kita; kalau kita menembus sumebr air, kita akan menghadapi derasnya airnya.”

Hillalum tidak kuasa menyembunyikan keraguannya saat itu. "Dan kalau airnya tidak habis-habis?" tanyanya. "Yahweh mungkin tidak menghukum kita, tapi Yahweh mungkin mengizinkan kita menghakimi diri kita sendiri."

“Orang Elam,” kata Qurdusa, “bahkan sebagai pendatang baru di menara ini, kau seharusnya tahu lebih baik dari itu. Kami bekerja keras demi cinta kami kepada Yahweh, kami sudah melakukannya sepanjang hidup kami, begitu pula nenek moyang kami dari generasi ke generasi. Orang-orang semulia kami tidak boleh dihakimi dengan kasar."

“Memang benar kita bekerja dengan tujuan yang paling mulia, tapi bukan berarti kita sudah bekerja dengan bijaksana. Apakah manusia benar-benar memilih jalan yang benar ketika mereka memilih untuk menjalani hidup jauh dari tanah tempat mereka diciptakan? Yahweh tidak pernah mengatakan bahwa pilihan itu tepat. Sekarang kita siap untuk mendobrak langit, bahkan ketika kita tahu bahwa air ada di atas kita. Kalau kita salah arah, bagaimana kita bisa yakin Yahweh akan melindungi kita dari kesalahan kita sendiri?”

“Hillalum menyarankan untuk berhati-hati, dan aku setuju,” kata Beli. "Kita harus memastikan bahwa kita tidak mendatangkan Air Bah kedua ke dunia, atau bahkan hujan yang berbahaya ke Sinear. Aku sudah berunding dengan Senmut dari Mesir, dan dia sudah menunjukkan kepadaku rancangan yang sudah mereka gunakan untuk menyegel makam raja-raja mereka. Aku percaya metode mereka bisa memberi kita keamanan saat kita mulai menggali."

***

Para pendeta mengorbankan lembu dan kambing dalam sebuah upacara di mana banyak kata suci diucapkan dan banyak dupa dibakar, dan para penambang mulai bekerja.

Jauh sebelum para penambang mencapai kubah, sudah jelas bahwa penggalian sederhana dengan palu dan beliung tidaklah praktis: bahkan kalau mereka menggali secara horizontal, mereka cuma akan membuat lubang selebar dua jari sehari menembus granit, dan menggali ke atas akan jauh lebih sulit. Karena, mereka menggunakan metode pembakaran.

Dengan kayu yang mereka bawa, api unggun dibuat di bawah titik kubah yang dipilih, dan dinyalakan terus menerus selama sehari. Di hadapan panasnya api, batu itu retak dan pecah. Setelah api padam, para penambang memercikkan air ke batu untuk memperbesar retakan. Mereka kemudian bisa memecah batu menjadi potongan-potongan besar, yang jatuh menimpa menara. Dengan cara ini, mereka bisa maju lebih dari satu hasta untuk setiap hari api dinyalakan.

Terowongan itu tidak naik lurus ke atas, tapi membentuk sudut seperti tangga, jadi mereka bisa membuat ramp dari menara untuk mencapainya. Proses pembakaran membuat dinding dan lantai menjadi halus; para penambang membangun rangka anak tangga kayu di bawah kaki mereka, agar anak tangga tersebut tidak meluncur turun. Mereka menggunakan panggung dari batu bata bakar untuk menahan api di ujung terowongan.

Setelah terowongan naik sepuluh hasta ke dalam kubah, mereka meratakannya dan melebarkannya untuk membentuk sebuah ruangan. Setelah para penambang menyingkirkan semua batu yang sudah dilemahkan oleh api, orang Mesir mulai bekerja. Mereka tidak menggunakan api dalam penambangan mereka. Hanya dengan bola dolerit dan palu mereka, mereka mulai membuat pintu geser dari granit.

Mereka pertama-tama mengikis batu untuk memotong blok granit yang sangat besar dari satu dinding. Hillalum dan penambang lainnya mencoba membantu, tapi merasa sangat kesulitan: mereka tidak mengikis batu itu dengan menggilingnya, tapi justru memukul serpihannya, menggunakan pukulan palu dengan kekuatan manusia saja, yang mana yang lebih ringan atau lebih berat tetap tidak berhasil.

Setelah beberapa minggu, blok itu sudah jadi. Tingginya melebihi manusia, dan bahkan lebih lebar lagi. Untuk melepaskannya dari lantai, mereka membuat lubang di sekeliling dasar batu dan menyisipkan potongan kayu kering. Kemudian, mereka memukulkan potongan kayu yang lebih tipis ke dalam potongan pertama untuk membelahnya, dan menuangkan air ke dalam retakan agar kayu mengembang. Dalam beberapa jam, sebuah retakan menembus batu, dan blok itu terlepas.

Di bagian belakang ruangan, di sisi kanan, para penambang membakar sebuah koridor sempit yang menanjak, dan di lantai di depan pintu masuk ruangan, mereka menggali saluran menurun ke lantai sedalam satu hasta. Dengan demikian, terdapat sebuah ramp halus yang memotong lantai tepat di depan pintu masuk, dan berakhir tepat di sebelah kirinya. Di ramp ini, orang Mesir memuat blok granit. Mereka menarik dan mendorong blok itu ke koridor samping, yang pas sekali dengan blok itu, dan menahannya dengan setumpuk batu bata lumpur di bagian bawah dinding kiri, seperti pilar yang digelatakkan di atas ramp.

Dengan batu geser yang menahan air, para penambang bisa melanjutkan menggali dengan aman. Kalau mereka membobol sumber air dan air surga mulai mengalir deras ke dalam terowongan, mereka akan memecahkan batu bata satu per satu, dan batu itu akan meluncur turun hingga berhenti di ceruk lantai, menghalangi pintu masuk sepenuhnya. Kalau air membanjiri dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga menghanyutkan orang-orang keluar terowongan, batu bata lumpur akan perlahan-lahan larut, dan batu itu akan meluncur turun lagi. Air akan tertahan, dan para penambang kemudian bisa menggali terowongan baru ke arah lain, untuk menghindari sumber air.

Para penambang kembali menggunakan metode pembakaran untuk melanjutkan terowongan, dimulai dari ujung ruangan. Untuk melancarkan sirkulasi udara di dalam kubah, kulit sapi direntangkan pada rangka kayu yang tinggi, dan ditempatkan miring di kedua sisi pintu masuk terowongan di puncak menara. Dengan demikian, angin yang bertiup stabil di bawah kubah surga diarahkan ke atas ke dalam terowongan; api tetap menyala, dan udara menjadi bersih setelah api padam, sehingga para penambang bisa menggali tanpa menghirup asap.

Orang Mesir tidak berhenti bekerja setelah batu geser terpasang. Sementara para penambang mengayunkan beliung mereka di ujung terowongan, orang Mesir bersusah payah memotong tangga pada batu padat, untuk menggantikan anak tangga kayu. Mereka melakukannya dengan baji kayu, dan blok-blok yang mereka singkirkan dari lantai miring meninggalkan anak tangga di tempatnya.

***

Demikianlah para penambang bekerja, memperluas terowongan terus menerus. Terowongan itu selalu menanjak, meskipun kadang berubah arah secara berkala seperti benang pada jahitan raksasa, tapi jalur umumnya lurus ke atas. Mereka membangun ruang-ruang pintu geser lainnya, sehingga hanya segmen paling atas terowongan yang akan tergenang kalau mereka menembus sumber air. Mereka menggali saluran di permukaan kubah tempat mereka menggantungkan jalan setapak dan panggung; mulai dari panggung-panggung ini, jauh dari menara, mereka menggali terowongan samping, yang menghubungkan terowongan utama jauh di dalam. Angin diarahkan melalui terowongan-terowongan ini untuk menyediakan ventilasi, membersihkan asap dari dalam terowongan.

Selama bertahun-tahun, pekerjaan terus berlanjut. Para penarik gerobak tidak lagi mengangkut batu bata, melainkan kayu dan air untuk menyalakan api. Orang-orang datang untuk menghuni terowongan-terowongan itu di dalam permukaan kubah, dan di panggung-panggung yang menggantung mereka menanam sayuran yang melengkung ke bawah. Para penambang tinggal di sana, di perbatasan surga; beberapa menikah, dan membesarkan anak-anak. Hanya sedikit yang pernah menginjakkan kaki di bumi lagi.

***

Dengan kain basah melilit wajahnya, Hillalum menuruni tangga kayu ke batu, setelah baru saja menambahkan kayu bakar ke api di ujung terowongan. Api akan terus menyala selama berjam-jam, dan dia akan menunggu di terowongan bawah, tempat udara tidak dipenuhi asap.

Lalu terdengar suara pecahan di kejauhan, suara gunung batu pecah, dan kemudian gemuruh yang semakin keras. Dan kemudian air deras mengalir menuruni terowongan.

Untuk sesaat, Hillalum membeku ketakutan. Udara yang sangat dingin, menghantam kakinya, menjatuhkannya. Dia bangkit berdiri, terengah-engah, bersandar melawan arus air, mencengkeram tangga.

Mereka sudah menjebol sumber air.

Dia harus turun ke bawah pintu geser tertinggi, sebelum ditutup. Kakinya ingin melompat menuruni tangga, tapi dia tahu dia tidak bisa tetap berdiri kalau dia melakukannya, dan tersapu oleh arus yang deras yang kemungkinan besar akan menghantamnya sampai mati. Berlari secepat yang dia bisa, dia menuruni tangga satu per satu.

Dia terpeleset beberapa kali, meluncur turun hingga belasan anak tangga setiap kali melompat; anak tangga batu menggesek punggungnya, tapi dia tidak merasakan sakit. Sementara itu dia yakin terowongan itu akan runtuh dan meremukkannya, atau seluruh kubah akan terbelah, dan langit akan menganga di bawah kakinya, dan dia akan jatuh ke bumi di tengah hujan surga. Hukuman Yahweh sudah datang, Air Bah kedua.

Berapa lama lagi sampai dia mencapai batu geser? Terowongan itu tampak terus memanjang, dan airnya mengalir turun lebih cepat sekarang. Dia berlari menuruni anak tangga.

Tiba-tiba dia tersandung dan tercebur ke sebuah genangan. Dia berlari melewati ujung tangga, dan jatuh ke ruangan batu geser, dan air sudah lebih tinggi dari lututnya.

Ia berdiri, dan melihat Damqiya dan Ahuni, dua rekan penambang, baru saja memperhatikannya. Mereka berdiri di depan batu yang menghalangi jalan keluar.

"Tidak!" teriaknya.

"Mereka menutupnya!" seru Damqiya. "Mereka tidak menunggu!"

"Apakah ada yang lain yang datang lagi?" teriak Ahuni, putus asa. "Kita mungkin bisa memindahkan blok itu."

"Tidak ada yang lain," jawab Hillalum. "Bolehkah mereka menariknya dari sisi lain?"

“Mereka tidak bisa mendengar kita.” Ahuni memukul granit itu dengan palu, tapi tidak ada suara yang terdengar karena melawan suara gemuruh air.

Hillalum melihat sekeliling ruangan kecil itu, baru menyadari satu orang Mesir mengapung tertelungkup di air.

“Dia meninggal karena jatuh dari tangga,” teriak Damqiya.

“Tidak adakah yang bisa kita lakukan?”

Ahuni mendongak ke atas. "Yahweh, ampunilah kami."

Mereka bertiga berdiri di tengah air yang semakin deras, berdoa dengan putus asa, tapi Hillalum tahu itu sia-sia: takdirnya akhirnya tiba. Yahweh tidak meminta manusia untuk membangun menara atau melubangi kubah; keputusan untuk membangunnya adalah keputusan manusia, dan mereka akan mati dalam upaya ini, sama seperti yang mereka alami dalam tugas-tugas duniawi mereka. Kebenaran pekerjaan mereka tidak bisa menyelamatkan mereka dari konsekuensi perbuatan mereka.

Air sampai ke dada mereka. “Mari kita naik,” teriak Hillalum.

Mereka melewati terowongan dengan susah payah, melawan arus deras, sementara air naik di belakang tumit mereka. Beberapa obor yang menerangi terowongan sudah padam, jadi mereka naik dalam kegelapan, menggumamkan doa-doa yang tidak bisa mereka dengar sendiri. Tangga kayu di puncak terowongan sudah bergeser dari tempatnya, dan terjepit lebih jauh di dalam terowongan. Mereka mulai melewati tangga-tangga itu, sampai mencapai lereng batu yang licin, dan di sana mereka menunggu air membawa mereka lebih tinggi.

Mereka menunggu tanpa kata, doa-doa mereka sudah habis. Hillalum membayangkan dirinya berdiri di kerongkongan hitam Yahweh, sementara Yang Mahakuasa menyesap air surga dalam-dalam, siap menelan para pendosa.

Air mulai naik, dan mengangkat mereka, hingga Hillalum bisa menjulurkan tangannya dan menyentuh langit-langit. Retakan raksasa tempat air memancar berada tepat di sebelahnya. Tinggal sedikit udara yang tersisa. Hillalum berteriak, "Begitu ruangan ini penuh, kita bisa berenang ke surga."

Dia tidak yakin apakah mereka mendengarnya. Dia menarik napas terakhirnya saat udara mencapai langit-langit, lalu berenang ke dalam retakan itu. Dia akan mati lebih dekat ke surga daripada yang pernah dialami siapa pun sebelumnya.

Retakan itu memanjang hingga beberapa hasta. Begitu Hillalum melewatinya, lapisan batu itu terlepas dari jari-jarinya, dan anggota tubuhnya yang meronta-ronta tidak menyentuh apa pun. Sesaat dia merasakan arus membawanya, tapi kemudian dia tidak yakin lagi. Hanya kegelapan di sekelilingnya, dia sekali lagi merasakan vertigo mengerikan yang dialaminya saat pertama kali mendekati kubah itu: dia tidak bisa membedakan arah, tidak naik atau turun. Dia mendorong dan menendang udara, tapi tidak tahu apakah dia benar-benar bergerak.

Pasrah, dia mungkin mengambang di udara yang tenang, mungkin tersapu arus; yang dia rasakan hanyalah dingin yang mematikan. Dia tak pernah melihat cahaya. Apakah tidak ada permukaan di sumber air ini yang bisa dia tuju?

Kemudian dia terbanting ke batu lagi. Tangannya merasakan retakan di permukaan. Apakah dia kembali ke tempat dia memulai? Dia dipaksa masuk ke dalamnya, dan dia tidak punya kekuatan untuk melawan. Dia terseret ke dalam terowongan, dan terguncang-guncang di sisi-sisinya. Itu luar biasa dalam, seperti terowongan tambang terpanjang: dia merasa paru-parunya akan meledak, tapi lorong itu masih tidak berujung. Akhirnya napasnya tidak kuat lagi, dan lolos dari bibirnya. Dia tenggelam, dan kegelapan di sekelilingnya memasuki paru-parunya.

Tapi tiba-tiba dinding-dinding terbuka menjauh darinya. Dia terbawa oleh aliran air yang deras; dia merasakan udara di atas air! Kemudian dia tidak merasakan apa-apa lagi.

***

Hillalum terbangun dengan wajah menempel di batu basah. Dia tidak bisa melihat apa-apa, tapi dia bisa merasakan air di dekat tangannya. Dia berguling dan mengerang; seluruh tubuhnya sakit, dia telanjang dan sebagian besar kulitnya lecet atau keriput karena basah, tapi dia bisa bernafas.

Waktu berlalu, dan akhirnya dia bisa berdiri. Air mengalir deras di sekitar pergelangan kakinya. Melangkah ke satu arah, air semakin dalam. Di arah lain, ada batu kering; serpihan, rasanya.

Itu benar-benar gelap, seperti tambang tanpa obor. Dengan ujung jari yang sobek, dia meraba-raba lantai, hingga lantai itu menjulang dan menjadi dinding. Perlahan-lahan, seperti makhluk buta, dia merangkak maju mundur. Dia menemukan sumber air, sebuah lubang besar di lantai. Dia ingat! Dia dimuntahkan dari sumber air dari lubang ini. Dia terus merangkak beberapa lama yang terasa seperti berjam-jam; Kalau dia berada di dalam gua, gua itu pasti sangat besar.

Dia menemukan tempat tempat lantainya mulai menanjak. Adakah lorong yang mengarah ke atas? Mungkin itu masih bisa membawanya ke surga.

Hillalum merangkak, tidak tahu berapa lama waktu sudah berlalu, tidak peduli bahwa dia tidak akan pernah bisa menelusuri kembali langkahnya sebelumnya, karena dia tidak bisa kembali ke tempat dia berasal tadi. Dia mengikuti terowongan ke atas ketika dia menemukannya, terowongan ke bawah ketika dia membutuhkannya. Meskipun sebelumnya dia sudah menelan lebih banyak air daripada yang dia bisa, dia mulai merasa haus, dan lapar.

Dan akhirnya dia melihat cahaya, dan berlari ke luar.

Cahaya itu membuat matanya memicing, dan dia jatuh berlutut, tangannya terkepal di depan wajahnya. Apakah itu pancaran cahaya Yahweh? Mampukah matanya menahannya? Beberapa menit kemudian dia bisa membukanya, dan dia melihat gurun. Dia keluar dari sebuah gua di kaki beberapa gunung, dan bebatuan serta pasir yang membentang sepanjang cakrawala.

Apakah surga sama seperti bumi? Apakah Yahweh bersemayam di tempat seperti ini? Ataukah ini cuma alam lain dalam ciptaan Yahweh, bumi yang lain di atas buminya sendiri, sementara Yahweh bersemayam lebih tinggi lagi?

Matahari terbenam di dekat puncak gunung di belakangnya. Apakah itu terbit atau terbenam? Apakah ada siang dan malam di sini?

Hillalum memicingkan mata ke arah lanskap berpasir. Sebuah barisan bergerak di sepanjang lanskap. Apakah itu karavan?

Dia berlari ke sana sambil berteriak dengan tenggorokannya yang kering hingga kebutuhan untuk bernafas membuatnya berhenti. Sesosok di ujung karavan melihatnya, dan menghentikan seluruh barisan. Hillalum terus berlari.

Orang yang melihatnya tampak seperti manusia, bukan roh, dan berpakaian seperti penjelajah gurun. Dia sudah menyiapkan kantung air. Hillalum minum sebisa mungkin, terengah-engah.

Akhirnya dia mengembalikannya kepada laki-laki itu, dan bertanya, "Di mana ini?"

"Apakah kau diserang bandit? Kita menuju ke Erekh."

Hillalum melotot. "Kau tidak bisa menipuku!" teriaknya. Laki-laki itu mundur, dan mengamatinya seolah-olah dia gila karena terik matahari. Hillalum melihat laki-laki lain di karavan berjalan mendekat untuk menyelidiki. "Erekh ada di Sinear!"

"Ya, benar. Bukankah kau sedang menuju ke Sinear?" laki-laki yang lain berdiri waspada dengan tongkatnya.

"Aku datang dari—aku berada di—" Hillalum berhenti. “Apakah kau tahu Babilonia?”

"Oh, apakah itu tujuanmu? Itu di utara Erekh. Perjalanan menuju keduanya mudah."

"Menara itu. Pernahkah kau mendengarnya?"

"Tentu saja, pilar menuju surga. Konon orang-orang di puncak sedang menggali terowongan menembus kubah surga."

Hillalum jatuh ke pasir.

"Apakah kau sakit?" Kedua kusir karavan itu bergumam satu sama lain, lalu pergi untuk berunding dengan yang lain. Hillalum tidak memperhatikan mereka.

Dia berada di Sinear. Dia sudah kembali ke bumi. Dia sudah mendaki ke sumber air surga, dan tiba kembali di bumi. Apakah Yahweh membawanya ke tempat ini, untuk mencegahnya mencapai lebih tinggi? Tapi Hillalum masih belum melihat tanda-tanda apa pun, indikasi apa pun bahwa Yahweh memperhatikannya. Dia belum mengalami mukjizat apa pun yang Yahweh lakukan untuk mengembalikannya ke sini. Sejauh yang bisa dia tahu, dia cuma berenang naik dari kubah dan memasuki gua di bawahnya.

Entah bagaimana, kubah surga itu terletak di bawah bumi. Tampaknya seolah-olah keduanya saling berhadapan, meskipun terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Bagaimana mungkin? Bagaimana tempat-tempat yang begitu jauh bisa bersentuhan? Kepala Hillalum sakit memikirkan hal itu.

Kemudian dia teringat sesuatu: sebuah segel silinder. Ketika digulirkan di atas lempengan tanah liat lunak, silinder berukir itu meninggalkan jejak yang membentuk sebuah gambar. Dua sosok tampak di ujung-ujung lempengan yang berlawanan, meskipun keduanya berdiri berdampingan di permukaan silinder. Seluruh dunia seperti silinder itu. Manusia membayangkan langit dan bumi berada di ujung-ujung lempengan, dengan langit dan bintang-bintang terbentang di antaranya; tapi dunia terbungkus dengan cara yang menakjubkan sehingga langit dan bumi bersentuhan.

Sekarang jelas kenapa Yahweh tidak merobohkan menara itu, tidak menghukum manusia karena ingin melampaui batas yang ditetapkan bagi mereka: karena perjalanan terpanjang hanya akan mengembalikan mereka ke tempat asal mereka. Berabad-abad kerja keras mereka tidak akan mengungkapkan lebih banyak tentang penciptaan daripada yang sudah mereka ketahui. Tapi melalui usaha mereka, manusia akan melihat sekilas keindahan karya Yahweh yang tidak terbayangkan, dengan melihat betapa cerdiknya dunia ini dibangun. Melalui konstruksi ini, karya Yahweh ditampilkan, dan karya Yahweh disembunyikan sekaligus.

Dengan demikian manusia akan mengetahui tempat mereka.

Hillalum bangkit berdiri, kakinya gemetar karena takjub, dan mencari para kusir karavan. Dia akan kembali ke Babilonia. Mungkin dia akan bertemu Lugatum lagi. Dia akan mengirim kabar kepada mereka yang berada di menara. Dia akan memberi tahu mereka tentang bentuk dunia.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Ted Chiang yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Comments

Populer