Epik Gilgamesh: Tablet V. Gilgamesh Dan Humbaba (Mitologi Babilonia)

Mitologi Babilonia

Mereka berdiri kagum melihat hutan, menatap pohon cedar yang tinggi, menatap pintu masuk hutan – di tempat Humbaba datang dan pergi ada sebuah jejak, jalanannya teratur rapi dan jalannya sering dilalui. Mereka sedang menatap gunung cedar, tempat tinggal para dewa, singgasana para dewi, di sisi gunung itu pohon cedar sedang menunjukkan kelimpahannya, indah naungannya, penuh kesenangan. Tebal kusut durinya, kanopinya yang menyelubungi hutan, pohon cedar dan pohon karet, semuanya terjalin, tidak memberi jalan masuk. Sepanjang satu liga di semua sisi pohon cedar tumbuh pohon muda, pohon cemara tumbuh lebat sepanjang dua pertiga liga. Pohon cedar yang berkeropeng dengan resin tumbuh setinggi enam puluh hasta, getahnya mengalir keluar, menetes turun seperti hujan, mengalir bebas di dinding jurang.

Di seluruh hutan seekor burung mulai berkicau, burung betina menjawab, suara gaduh terus menerus terdengar. Seekor jangkrik pohon yang menyendiri memicu paduan suara yang berisik, menyanyikan sebuah lagu, sambil meniupkan kicauannya dengan keras. Merpati hutan merintih, merpati kura-kura berteriak menjawab. Atas panggilan burung bangau, hutan bersorak, atas teriakan burung francolin, hutan bersorak karena kelimpahan. Induk monyet bernyanyi keras, anak monyet menjerit, seperti sekelompok pemusik dan penabuh drum, setiap hari mereka menabuh irama di hadapan Humbaba.

Saat pohon cedar menimbulkan bayangannya, kengerian menimpa Gilgamesh. Kekakuan mencengkeram lengannya, dan kakinya gemetar. Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, “Mari kita masuk lebih dalam ke tengah hutan, marilah kita berangkat dan berseru dengan keras!”

Gilgamesh membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Enkidu, “Mengapa, temanku, kita gemetar seperti pengecut, kita yang sudah melintasi semua gunung? Haruskah kita gemetar di hadapannya? Temanku, kau adalah seseorang yang diuji dalam pertempuran, seseorang yang pernah berperang tidak takut mati. Kau sudah terciprat darah, jadi kau tidak perlu takut mati, mengamuklah, seperti seorang darwis yang menjadi gila. Biarlah teriakanmu menggelegar seperti genderang, semoga kekakuan meninggalkan lenganmu, dan gemetar meninggalkan kakimu!”

“Pegang tanganku, teman, dan kita akan terus maju bersama, biarkan pikiranmu terpusat pada pertempuran! Lupakan kematian dan carilah kehidupan! Orang yang berjalan di sampingmu adalah orang yang bijaksana. Siapa pun yang pergi lebih dulu harus menjaga dirinya sendiri dan membawa temannya ke tempat yang aman! Merekalah yang membuat nama mereka terukir dalam sejarah di masa depan!”

"Siapa yang sudah memasuki hutanku?" raung Humbaba. Dalam pusaran kebingungan, iblis itu mengelilingi mereka, mengubah wajahnya, mengubah tempatnya, kadang di sini, kadang di sana.

Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, “Temanku, Humbaba hanya sendiri. Satu teman tidak membuat satu orang sendirian, tapi mereka adalah dua! Meskipun mereka lemah, dua orang akan menjadi kuat. Meskipun satu orang tidak bisa memanjat benteng yang landai, dua orang akan bisa. Tali tiga lapis tidak mudah putus. Dua anak singa yang perkasa akan mengalahkannya. Tetapkan pendirianmu dengan tegas.”

Gilgamesh mengangkat kepalanya, menangis di hadapan Samash, air matanya mengalir di bawah sinar matahari, “Jangan lupa hari ketika kau berbicara kepadaku di Uruk! Sekarang datanglah untuk membantuku dan temanku.”

Samash mendengar apa yang dia katakan, tiba-tiba dari langit terdengar teriakan sebuah suara, “Jangan takut, lawanlah dia! Humbababa tidak boleh memasuki hutannya, dia tidak boleh turun ke hutan, dia tidak boleh mengenakan auranya. Dia tidak boleh membungkus dirinya dengan tujuh jubahnya. Satu sudah membungkus dirinya, enam yang lain sudah dia lepaskan.”

Dia berteriak sekali, teriakan penuh kengerian, sang penjaga hutan berteriak, Humbaba bergemuruh seperti dewa badai. Humbaba membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, "Biarkan orang bodoh, Gilgamesh, menerima nasihat dari orang bodoh! Mengapa kau datang ke hadapanku? Datanglah, Enkidu, kau anak ikan, yang tidak mengenal ayahnya, anak penyu dan kura-kura, yang tidak menghisap susu induknya! Ketika kau masih muda, aku memperhatikanmu, tapi aku tidak akan mendekatimu, apakah kau akan memuaskan perutku? Sekarang dalam pengkhianatan kau bawa Gilgamesh ke hadapanku, dan kau bersikap seperti musuh? Aku akan memotong kerongkongan dan tenggorokan Gilgamesh, Aku akan memberikan dagingnya kepada burung-burung hutan, burung elang dan burung nasar!”

Gilgamesh membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Enkidu, “Temanku, wajah Humbaba sudah berubah lagi! Dengan berani kita datang ke sarangnya untuk mengalahkannya, tapi hati yang ketakutan tidak akan tenang dalam sekejap.”

Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, “Mengapa, temanku, kau berbicara seperti orang lemah? Dengan bicaramu yang lemah, kau membuat hatiku jengkel! Sekarang, temanku, hanya satu tugas kita, tembaga sudah dituang ke dalam cetakan! Menyalakan tungku selama satu jam? Meniup bara api selama satu jam? Mengirim air bah sama saja dengan mengayunkan cambuk! Jangan menarik kakimu ke belakang, jangan mundur! Buatlah pukulanmu kuat seperti pukulan singa! Ingatlah kepada Lugalbanda, simpanlah dalam pikiranmu semua mimpi yang pernah kau alami!”

Gilgamesh maju atas saran temannya, sembilan kali dia menghantam batuan dasar, gunung itu hancur. Dia melancarkan serangan brutal seperti seekor singa, dan Enkidu menerkam seperti puma. Mereka menangkap Humbaba di tengah hutan, aura mengerikannya memenuhi hutan. Mereka meraih auranya di tangan mereka, Humbaba berteriak, melolong atas namanya sendiri, “Aku akan mengangkatnya dan naik ke langit! Aku akan menghantam tanah sehingga mereka jatuh ke laut bawah!”

Dia mengangkat mereka tapi langit terlalu jauh, dia menghantam tanah tapi lapisan batuan dasar mampu menahannya. Di tumit kaki mereka bumi terbelah, saat mereka berputar mengelilingi Sirara dan Lebanon terpecah. Awan putih berubah menjadi hitam, Kematian menghujani mereka seperti kabut. Samash membangkitkan badai dahsyat melawan Humbaba -- angin selatan, angin utara, angin timur, angin barat, angin bersiul, angin menusuk, badai salju, angin buruk, angin simurru, angin neraka, angin es, badai, badai pasir -- tiga belas angin berhembus menerjangnya dan wajah Humbaba menjadi gelap — dia tidak bisa menyerang ke depan, dia tidak bisa menendang ke belakang — dan kemudian senjata Gilgamesh menangkap Humbaba.

Memohon agar nyawanya diselamatkan, Humbaba berkata kepada Gilgamesh, “Kau masih muda, Gilgamesh, seperti ketika ibumu melahirkanmu, tapi kau adalah keturunan Sapi Liar Ninsun! Atas perintah Samash kau meratakan sepuluh gunung, wahai cabang yang muncul dari tengah-tengah Uruk, Gilgamesh sang raja! Tidak pernah, O Gilgamesh, seorang yang sudah mati menyenangkan tuannya, tapi seorang budak hidup membawa keuntungan bagi pemiliknya. Wahai Gilgamesh, berbelas kasihlah! Biarkan aku tinggal di sini di hutan, sesuai perintahmu! Pohon-pohon akan kusimpan untukmu, sebanyak yang kau minta, aku akan menjaga pohon murad, pohon cedar dan pohon cemaramu, kayu untuk menjadi kebanggaan istanamu.”

Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, Janganlah kau mendengarkan, temanku, kata-kata permohonan Humbaba, apakah permohonannya pernah terlintas di pikiranmu? Jika dia kembali ke rumahnya, kita akan kembali seperti belum lahir! Dia akan mengikat kita erat di hutan cedar, lalu masuk ke hutan dan mengenakan auranya.”

Humbaba mendengar bagaimana Enkidu menyiksa dia. Humbaba mengangkat kepalanya, menangis di hadapan Samash, air matanya mengalir di bawah sinar matahari, “Kau mengerti peraturan hutanku, cara-cara hutanku. Kau juga tahu semua hal terbaik untuk dikatakan. Seandainya aku bisa mengangkatmu dan menggantungmu di pohon muda di pintu masuk hutanku, kalau saja aku bisa memberikan dagingmu pada burung-burung hutan, burung elang dan burung nasar. Sekarang, Enkidu, kebebasanku ada padamu, bicaralah pada Gilgamesh agar dia mengampuni nyawaku.”

Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, “Temanku, Humbaba, penjaga hutan cedar, Habisi dia, bunuh dia, hilangkan kekuatannya! Humbaba, penjaga hutan, habisi dia, bunuh dia, hilangkan kekuatannya, sebelum Enlil yang terdepan mendengarnya! Para dewa yang agung bisa saja marah pada kita, Enlil di Nippur, Samash di Larsa. Kau akan membangun selamanya sebuah ketenaran yang bertahan lama, betapa Gilgamesh membunuh dengan ganas Humbaba!”

Humbaba mendengar bagaimana Enkidu menyiksanya. Humbaba mengangkat kepalanya, menangis di hadapan Samash, air matanya mengalir di bawah sinar matahari, “O Samash Semoga mereka berdua tidak menjadi tua, selain temannya Gilgamesh, semoga Enkidu tidak mempunyai orang yang menguburkannya!”

Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, “Temanku, aku berbicara kepadamu, tapi kau tidak mendengarkan aku! Kau sudah mendengar kutukan ituHumbaba, biarkan kutukan itu kembali ke mulutnya.” Gilgamesh mendengar kata-kata temannya, dia menghunus belati di sisinya. Gilgamesh memukulnya di leher, Enkidu memotong jantungnya, menariknya keluar bersama paru-parunya.

Gilgamesh berjalan di dalam hutan, untuk mengambil getah dari pohon cedar untuk meja Enlil. Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, “Temanku, kita sudah mengubah hutan menjadi tanah tandus, bagaimana kita akan menjawab Enlil di Nippur? Dengan kekuatanmu kau membunuh penjaga itu, apa gerangan kemarahanmu ini sehingga kau menginjak-injak hutan?”

Sesudah mereka membunuh ketujuh putranya, Si Pengerik, Si Penjerit, Si Topan, Si Pemekik, Si Licik, Si Badai — Kapak masing-masing seberat dua talenta adalah kapak mereka, mereka memotong pohon-pohon, tiga setengah hasta adalah serpihan yang dihasilkan setiap pukulan. Gilgamesh menebang pohon, Enkidu mencari kayu terbaik. Enkidu membuka mulutnya untuk berbicara, berkata kepada Gilgamesh, “Temanku, kita sudah menebang pohon cedar yang tinggi, yang puncaknya berbatasan dengan langit. Aku membuat sebuah pintu, enam batang tingginya, dua batang lebarnya, satu hasta tebalnya, tiangnya, poros atasnya, dan poros bawahnya semuanya merupakan satu kesatuan. Ke rumah Enlil di Nippur, sungai Efrat akan membawanya, marilah bersukacita di tempat suci Nippur.”

Lalu mereka membuat rakit dari kayu gelondongan dari kayu cedar dan kayu cemara, mereka mengikat sebuah rakit, mereka meletakkan pohon cedar di atasnya. Enkidu mengemudikannya dan Gilgamesh juga ikut sambil membawa kepala Humbaba.

***

Kalau Anda kebetulan 'tersesat' di sini, Anda mungkin ingin membaca kisah Gilgamesh ini dari awal di siniatau membaca kelanjutannya di sini; atau Anda justru ingin membandingkannya dengan versi Sumeria di sini.

***

Comments

Populer