Kupu-kupu Pembunuh Presiden

Kupu-kupu Pembunuh Presiden

Lama sekali rasanya saya sudah tidak didatangi kupu-kupu, mungkin ada sekitar enam atau tujuh tahun. Enam atau tujuh tahun yang lalu saya masih mengerjakan proyek di daerah Tabanan, di sebuah tempat yang disebut Kelating. Tabanan --sebagaimana kebanyakan orang Bali paham-- adalah lumbung padi, tanahnya masih dibungkus sawah, tanah yang ketika hujan akan mengeluarkan bau yang khas. Konon bau itu disebabkan oleh aktivitas bakteri, teori yang lain menyebutnya berasal dari minyak yang dilepaskan tumbuhan. Saya lebih suka mempercayai yang kedua, ada banyak tumbuhan di sana dan saya tidak melihat satu pun bakteri, lagipula, saya tidak bisa percaya ada bakteri hidup di tempat seindah itu. Kadang-kadang, sebuah teori dipercayai bukan karena kebenarannya, tapi lebih karena orang memilih untuk mempercayainya. Berada di tengah sawah seperti itu, bertemu kupu-kupu --atau ular-- tentu bukan sebuah keajaiban. Tapi sekarang saya lebih sering bekerja di tengah kota, di Denpasar --terjepit di antara mobil mewah, rumah megah, dan sumpah serapah-- didatangi kupu-kupu adalah sebuah kemewahan walaupun dia tidak bisa dibandingkan dengan rumah atau mobil. Atau sumpah serapah.

Saya sedang berada di pelataran sebuah bank swasta, setelah tadi bertemu seseorang untuk urusan pekerjaan, proyek tentu saja, dan menyempatkan untuk duduk-duduk sebentar di taman kecil di halaman bank tersebut ketika kupu-kupu itu datang. Saya sebenarnya sedang menyusun beberapa rencana ketika dia datang, selain sedang bertanya-tanya juga kenapa sebuah bangunan harus dibangun lebih tinggi dari muka jalan. Lantai dasar bank itu berbeda hampir setinggi tubuh saya dengan jalan. Beberapa klien saya pernah memberitahu bahwa alasan mereka melakukan hal itu adalah supaya bangunan mereka terlihat lebih mewah sekaligus lebih lebih mudah dilihat dari jalan, diam-diam saya menaruh prasangka bahwa mereka sebenarnya cuma ingin melihat orang lain lebih rendah. Sebuah alasan yang jahanam menurut saya.

Kedatangan kupu-kupu itu menghentikan prasangka buruk saya kepada banyak orang. Saya menghentikan semua lamunan saya termasuk rencana-rencana yang sedang saya susun, kemewahan seperti ini tidak setiap hari terjadi di kota besar yang menghimpit saya. Di taman kecil, bahkan ini bukan taman, cuma tanah sisa yang dipaksa ditanami rumput dan beberapa tanaman --tidak satupun berbunga-- dalam pot, di taman kecil inilah saya bertemu dengannya. Saya mencegah pikiran saya untuk melamunkan hal-hal aneh yang bisa membuat saya menaruh prasangka jahanam padanya, saya mulai menyusun prasangka-prasangka sederhana: mungkin kupu-kupu itu cuma merindukan taman, sama seperti saya merindukan dirinya. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja dan sebenarnya biasa-biasa saja, kecuali karena saya memilih untuk percaya bahwa pertemuan itu adalah sebuah kemewahan.

Saya juga mungkin seorang jahanam, tapi memang menyenangkan memandang orang-orang yang berlalu-lalang di bawah sana dari sini. Seorang anak di seberang jalan terlihat sedang kebingungan dengan mainannya, semacam gel yang bisa berubah menjadi gelembung dengan cara meniupnya melalui sebuah sedotan mini. Di tempat saya lahir dan dibesarkan, dia disebut plembungan. Seingat saya, mainan itu selalu datang bersama undian di balik kertas pembungkus kemasannya yang terbuat dari semacam timah murahan. Saya mengira-ngira bahwa anak itu mungkin memenangkan salah satu hadiah yang justru membuatnya bingung. Mungkin hadiahnya adalah menjadi presiden dan anak itu sekarang sedang bingung karena diharuskan datang ke Jakarta untuk mengklaim hadiahnya, ke Jakarta dia tidak tahu caranya, menjadi presiden lebih lagi. Tapi mainan dan hadiah itu dikantunginya juga, mungkin nanti dia pulang, hadiah itu akan diberikannya kepada bapaknya, biar bapaknya saja yang pusing, bukankah pusing itu memang tugas bapak-bapak?

Seorang pemuda membeli rokok di sebuah kios kecil sambil celangak-celinguk. Pemuda itu membeli beberapa batang, eceran, menyalakan salah satunya dengan korek yang tergantung di kios tersebut sembari tetap celangak-celinguk, menghisapnya dalam-dalam, lalu melepaskan semua asapnya ke udara dalam satu hembusan nafas. Saya menduga pemuda itu sedang merencanakan sebuah kejahatan, mungkin dia mau merampok bank ini, sebuah rencana --kalau benar pemuda itu merencanakannya-- yang tidak menarik menurut saya. Siapa saja bisa merampok bank, lagipula, di tengah arus lalu lintas yang begitu padat, bagaimana pemuda itu akan melarikan diri setelah merampok? Lebih menarik kalau pemuda itu menyusun rencana untuk membunuh presiden, tapi melihat caranya menghisap rokok, saya menduga dia punya rencana --kalau bukan cita-cita-- lain. Sepertinya pemuda itu bercita-cita untuk mati. Dia pasti belum tahu bahwa cita-cita hanya boleh ditautkan pada sesuatu yang mungkin diraih mungkin tidak, dia tidak boleh pasti diraih atau pasti tidak diraih. Mati itu pasti, tapi mati di ujung laras beretta paspampres mungkin diraih mungkin tidak. Ini bisa membuat segalanya menjadi jauh lebih menarik, pemuda itu bisa meraih cita-citanya sembari memuaskan angan-angan saya. Dan kalau pemuda itu jadi membunuh presiden, saya sarankan untuk melakukannya di hari Sabtu, pertama karena penjagaan agak kendur di hari itu, dan kedua, besoknya akan ada satu halaman penuh untuknya di koran Minggu, menggeser cerpen-cerpen fiksinya yang seringkali membosankan.

Sepasang suami istri --mungkin bukan-- berduaan, tapi tidak saling bicara, di dalam mobil yang sedang berjalan lambat berusaha membelah jalanan kota Denpasar yang disesaki mobil-mobil mewah. Yang laki-laki mungkin sedang berkonsentrasi dengan kondisi lalu lintas yang semrawut itu, bisa jadi, atau mungkin dia cuma sedang pusing memikirkan, kalau bukan cara membunuh presiden, mungkin hadiah mainan anaknya yang mengharuskannya pergi ke Jakarta untuk, sialnya, menjadi presiden. Atau sesuatu yang lain. Saya harus melamunkan hal yang lain lagi untuk laki-laki yang satu ini. Tapi perempuan yang duduk di sebelah laki-laki itu cantik juga. Wajahnya penuh dengan sudut, dagunya lancip, hidungnya runcing, bahkan tulang rahangnya terlihat membentuk lekukan yang tajam, dan rambutnya sesekali melambai karena perempuan itu juga sesekali menghentakan kepalanya dengan keras. Mungkin seperti itulah wajah aktris telenovela Lucia Mendez dalam cerpen Sandra Cisneros, saya tidak tahu tapi memberanikan diri untuk mengira-ngira. Wajah perempuan yang penuh sudut buat saya menyiratkan kesukaannya pada tantangan, dan kali ini mungkin perempuan itu juga sedang memikirkan sebuah tantangan baru: kawin lagi. Mungkin. Kalau benar dia sedang memikirkan hal itu, maka saya kira dia tidak sedang risau tentang cara mengatakan keinginannya kepada suaminya --mungkin bukan-- yang duduk di sebelahnya. Saya kira perempuan itu justru sedang menimbang-nimbang apakah dia akan membunuh laki-laki di sebelahnya itu dulu baru kawin lagi atau justru kawin dulu lalu membiarkan laki-laki itu mati pelan-pelan digerogoti cemburu.

***

"Ayah! Ayah! Kau tidak akan percaya apa yang aku punya di tanganku, kau harus melihatnya!"

Laki-laki yang dipanggil ayah tadi tidak terlalu bersemangat menanggapi seruan anaknya, dia hanya menoleh sebentar, menerbitkan senyum seadanya, lalu memberi tanda dengan kepala supaya anak itu datang padanya. Sepertinya laki-laki itu baru saja mengalami hari yang buruk, mungkin sesuatu dengan pekerjaannya, atau bisa juga sesuatu tentang istrinya, bagaimanapun, ibu anak tadi tidak terlihat ada di sekitar situ. Secangkir teh --laki-laki itu tidak minum kopi-- terlihat kesepian, dan mulai dingin, di atas meja kecil di dekat laki-laki itu. Woman Hollering Creek and Other Stories menemani di sebelahnya. Buku itu pasti punya istrinya, laki-laki itu tidak pernah tekun dengan buku, terlebih buku tadi melulu bicara soal perempuan --terutama perempuan Meksiko-- yang dipenuhi mimpi-mimpi telenovela lalu jatuh terjengkang dihantam kenyataan bahwa mereka hidup di dunia para laki-laki. Sesekali saja laki-laki itu membaca, termasuk buku tadi, terutama di saat-saat seperti ini ketika istrinya sedang tidak ada dan dia sendiri sedang entah bosan setengah mati entah baru mengalami hari yang buruk.

“Ayah! Lihat, aku memenangkan undian! Presiden, Ayah, katanya aku jadi presiden! Kita harus ke Jakarta, Ayah!”

Laki-laki itu masih terlihat tidak antusias, bahkan ketika anaknya menyebut bahwa anaknya itu memenangkan hadiah menjadi presiden. Hadiah menjadi presiden itu bisa jadi tidak membuatnya terkejut, beberapa waktu yang lalu Sekretaris Negara memang mengumumkan bahwa akan ada undian semacam itu --laki-laki itu menontonnya di televisi-- tapi lebih dari itu, laki-laki itu memang seringkali mengabaikan kehadiran anaknya, baginya, anak itu lebih mirip sekawanan lebah, tidak pernah berhenti mendengung, anak itu tidak pernah bisa berhenti bicara dan berteriak, bahkan ketika dia hanya ingin menceritakan hal-hal yang sebenarnya sepele. Kalau boleh memilih, laki-laki itu lebih suka kalau anaknya menjadi kupu-kupu, dia boleh melakukan apa saja, terbang ke mana saja, asal tetap mengunci rapat mulutnya, terlebih kali ini ketika awan hitam menggantung di atas kepalanya, siap menumpahkan hujan di atas dahinya yang penuh kerutan. Soal presiden, orang-orang di sini memang sudah lama tidak peduli dengan presidennya, ini bukan sesuatu yang buruk, presiden sudah melakukan tugasnya dengan baik, tapi bagaimanapun, negara yang baik adalah negara yang tidak bising, tidak diisi dengan keributan di sana-sini. Jadi orang-orang sudah lama tidak memusingkan soal presidennya, sementara di lain pihak, presiden juga tidak pernah memikirkan orang-orang itu. Mereka melakukan tugas dan pekerjaannya masing-masing, semuanya dengan baik, tanpa saling mengganggu. Semua orang --termasuk presiden-- menyukai kupu-kupu, bukan lebah. Begitu juga laki-laki itu.

"Ke Jakarta tentu tidak terlalu sulit. Aku belum pernah ke Jakarta," tidak mendapat respon yang dimauinya, anak itu mulai bicara sendiri.

"Sebenarnya presiden kita itu ke mana sih?" anak itu masih bicara sendiri.

Demi mendengar pertanyaan terakhir anaknya, laki-laki yang sedari tadi tidak memberikan perhatian sama sekali itu menegakkan punggungnya. Samar-samar dia mengingat, ketika dia masih sebesar anaknya, ayahnya pernah mengajaknya untuk ikut pemilu, ayahnya memilih, dia sibuk mengumpulkan gula-gula yang dibagikan panitia. Itu adalah kali terakhir pemilu diadakan, lima tahun setelahnya ketika pemilu diadakan kembali, ayahnya memilih untuk tidak memilih. Ayahnya merasa bahwa presiden yang dipilihnya lima tahun yang lalu sudah melakukan tugasnya dengan baik dan dia ingin laki-laki tua itu tetap ada di tempatnya. Caranya: dengan tidak memilih. Logika yang aneh. Tapi bukan hanya ayah laki-laki itu yang melakukannya, semua orang melakukan hal yang sama, semua orang berpikir bahwa mereka semua tidak akan memilih siapa-siapa lagi supaya presiden yang mereka pilih lima tahun yang lalu tetap menjadi presiden. Jadi, ketika laki-laki itu lima tahun lebih tua dari anaknya yang sekarang, seorang presiden --satu-satunya di dunia-- terpilih bukan karena dia memenangkan pemilu secara mutlak, tapi karena dia secara mutlak tidak kalah. Dan ini terus berlangsung sampai sekarang, sampai orang-orang tidak peduli lagi pada presidennya --begitu juga sebaliknya-- sampai semua orang merasa bahwa orang lain adalah kupu-kupu baginya.

"Kita akan ke Jakarta kalau begitu," laki-laki itu berkata singkat untuk menjawab anaknya lalu berlalu begitu saja meninggalkan anaknya yang masih berusaha menarik perhatiannya.

***

Jakarta sedang dilanda kehebohan besar. Paspampres menyusun rencana-rencana, pasukan pengawal presiden yang biasanya hanya diisi oleh satu regu 5-6 orang, sekarang melibatkan satu peleton penuh dengan pengamanan berlapis-lapis seperti pengamanan presiden di masa lalu. Gerbang istana yang selalu terbuka sekarang dibuka-tutup secara berkala, semua orang yang ingin masuk ke istana diperiksa dengan teliti, begitu juga yang mau keluar. Di Jakarta sekarang, di mana-mana, di terminal, di stasiun, di bioskop, pasar, kantor, toko buku, taman kota yang dulunya pemukiman kumuh, taman kota yang dulunya memang taman, di dalam mobil, di dalam bus kota, di dalam kereta, bahkan di dalam kamar di tengah percakapan pribadi sepasang suami-istri, semua orang cuma membicarakan satu hal yang sama: rencana pembunuhan presiden. Seseorang mengirimkan pesan bahwa dirinya akan membunuh presiden. Orang itu menyebarkan rencananya di media sosial, bukan satu, tapi semua, lima atau mungkin lebih. Stasiun-stasiun televisi nasional juga mendapat pesan yang sama, juga surat kabar-surat kabar, bahkan di salah satu surat kabar orang itu memasang iklan satu halaman penuh --surat kabar itu memuatnya di halaman muka-- yang mengatakan bahwa dirinya tidak sedang bercanda. Jakarta resah, orang-orang resah, karena presiden yang mereka pilih bertahun-tahun yang lalu, yang sudah tidak pernah mengganggu mereka lagi, terancam terbunuh. Orang-orang ini, walaupun tidak peduli pada presidennya, tapi mereka mencintainya, mereka mencintainya dengan cara yang aneh, dengan cara membuatnya tidak kalah dalam pemilu. Secara mutlak. Bertahun-tahun yang lalu.

Kalau ada orang yang tidak cemas tentang nasib presiden, tentang hidup dan matinya, tentu hanya ada dua: satu adalah orang yang merencanakan pembunuhan terhadapnya dan satu lagi adalah presiden itu sendiri. Sudah lama presiden ingin berhenti, satu atau dua kali menjadi presiden tentu menyenangkan, tapi lima atau enam kali akan mengubah yang menyenangkan menjadi membosankan kalau bukan melelahkan. Celakanya, sudah lama pemilu tidak digelar, orang-orang tidak mau ada pemilu, mereka tidak mau presidennya diganti. Begitu juga dengan calonnya: tidak ada. Tidak ada orang yang kepingin jadi presiden. Bukan berarti presiden tidak digaji seperti keinginan banyak orang di masa lalu ketika jabatan presiden masih dikait-kaitkan dengan kejahatan korupsi, presiden digaji sangat besar, bahkan orang yang sekarang menduduki jabatan itu sering merasa bahwa gajinya tidak sesuai dengan pekerjaannya, bahkan kalau sekarang orang itu seharusnya gelisah karena dijadikan sasaran pembunuhan, gajinya masih dirasanya terlalu besar untuk membayar kegelisahannya. Jadi orang itu, presiden, memilih untuk tidak mencemaskan nasibnya dan tetap pada rencananya untuk mencari pengganti dirinya melalui undian. Mungkin karena orang itu hanya ingin meletakkan jabatannya dengan damai tanpa kecemasan, atau bisa jadi karena dia terlanjur percaya pada beretta 92fs yang menjadi senjata standar paspampres, atau hal lain, karena orang itu, presiden yang sekarang, yang sudah terlalu lama menjadi presiden itu, sudah tidak peduli lagi bagaimana dia akan berhenti jadi presiden --karena diganti atau karena mati-- yang penting dia bisa berhenti. Pekerjaannya mungkin sudah terlalu membosankan kalau bukan melelahkan.

***

Dua atau tiga puluh tahun yang lalu orang mungkin akan memulai hari mereka dengan sederhana, dengan bangun pagi, melipat seprai dan selimut mereka, mandi dan sarapan, lalu berangkat kerja sembari mengutuk pemerintah karena jalanan yang macet atau penuh lubang. Tapi sudah lama orang-orang tidak melakukan hal itu, orang-orang cuma bangun pagi dan melakukan semua hal yang sudah disebut tadi, kecuali bagian 'mengutuk pemerintah karena jalanan yang macet atau penuh lubang', karena memang sudah lama tidak ada pemerintah yang terkutuk itu. Sekarang pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik, mereka dipimpin oleh orang yang baik dan orang-orang memilih untuk melupakan bahwa mereka punya pemerintah atau presiden yang baik. Dulu, ketika orang melakukan hal itu untuk pertama kalinya --melakukan semua hal kecuali mengutuk pemerintah itu-- mungkin segalanya terasa luar biasa, mungkin matahari bersinar dengan cerah, burung-burung bernyanyi dengan riang, atau langit terbuka dan menampakkan awan yang bersinar keemasan, tapi sekarang semua itu cuma ritual yang biasa saja. Karena itulah, ketika kamu membuka harimu dengan bangun pagi, menarik selimut yang membungkus laki-laki yang masih mendengkur di sebelahmu, lalu mengatakan dengan lembut tepat di telinganya 'aku mau kawin lagi', maka itu adalah sebuah pembukaan hari yang tidak sederhana, sebuah pembukaan hari yang luar biasa.

"Aku mau kawin lagi," katamu sekali lagi, masih di telinga laki-laki itu.

Laki-laki yang tidur di sebelahmu itu, suamimu, belum benar-benar terbangun ketika kamu mengatakan keinginanmu, bahkan ketika kamu mengatakannya untuk yang kedua kalinya, dia masih berusaha menarik kembali selimut yang kamu renggut, berusaha merebut kembali tidurnya yang sudah kamu rusak. Tapi tanganmu kuat menahan selimut itu untuk tetap berada di tempatnya, membuatnya menegang, dan memaksa laki-laki itu untuk membuka matanya sedikit lalu memandangmu dengan takjub. Laki-laki itu kemudian berusaha untuk bangun, menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur, mengerjap-ngerjapkan matanya sebentar, lalu kembali memandangmu dengan pandangan yang penuh keheranan. Setelah seluruh nyawanya berhasil dikumpulkannya kembali, laki-laki itu kemudian menjulurkan kakinya ke lantai mencari-cari sepasang sandalnya, dan sesaat sebelum dia turun dari tempat tidur, laki-laki itu masih menyempatkan diri untuk memalingkan wajahnya dan memandangmu sekali lagi.

"Kau selalu tahu cara membangunkan laki-laki. Kau pintar bercanda," kata laki-laki itu.

Kata-kata seperti itu akan membuat perempuan lain yang mungkin memang suka bercanda tersenyum, tapi kamu lebih tahu tentang dirimu sendiri, dan yang jelas, kamu bukan perempuan lain yang mana pun.

"Aku tidak sedang bercanda, aku memang kepingin kawin lagi," katamu mengejar laki-laki itu.

Laki-laki itu berhenti di depan pintu, tangannya masih memegang gagang pintu, dia terlihat seperti berpikir sebentar, tapi tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya, dia cuma membuka pintu dan berlalu begitu saja.

Kamu segera menyibak selimut yang tadi sempat kalian perebutkan, lalu turun dari tempat tidur dengan terburu-buru. Kamu mengejar laki-laki itu dan mendapatinya sedang duduk di meja makan di dekat dapur sembari menghisap rokoknya dalam-dalam seolah-olah tidak akan ada lagi hari baginya untuk menikmati rokok seperti itu. Kamu memperhatikan punggung laki-laki itu lalu mulai memperlambat langkahmu, mungkin punggung laki-laki itu menerbitkan sedikit rasa bersalah di hatimu. Kamu lalu ingat cerita-cerita dari kitab suci tentang bagaimana Tuhan menciptakan orang-orang yang pertama, konon Tuhan selalu menggambar sendiri wajah orang-orang itu, tidak pernah diceritakan bagaimana Tuhan membuat punggung mereka, mungkin karena Tuhan memang ingin membuat punggung semua orang sama: rata, dingin, dan tanpa ekspresi. Kamu lalu mendatangi meja dapur, mengambil satu bungkus kopi kemasan dan satu kantung teh celup --laki-laki itu tidak minum kopi-- dari lemari di atasnya, menyiapkan cangkir, dan mulai memanaskan air. Lalu beberapa butir telur dan sebuah mangkuk, mengiris-iris cabai dan beberapa siung bawang merah, semua itu kamu lakukan cuma supaya kamu bisa berhadapan dengan laki-laki itu muka dengan muka, bukan dengan punggungnya yang tidak punya ekspresi.

"Aku tidak bercanda, aku mau kawin lagi. Kupikir cuma itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkanku dari kegilaan," katamu setelah menancapkan pisau yang tadi kamu pakai untuk mengiris cabai dan bawang merah di talenan.

"Kenapa kau mau kawin lagi? Mungkin pertanyaanku salah, seharusnya aku bertanya kenapa kau harus kawin lagi? Kalau kau sedang frustrasi, bahkan gila seperti katamu, dan hanya cinta yang bisa menyelamatkanmu, kenapa kau tidak mencintaiku saja? Atau mencintai anakmu yang masih tidur di kamarnya?"

Laki-laki itu memberondongmu dengan pertanyaan setelah meletakkan rokoknya di asbak, asap rokok mendaki ke langit-langit dari sana dan dengan segera memenuhi seluruh ruangan.

"Aku mencintaimu, aku mencintai anakku, tapi kita adalah juga kita yang lain, kita yang sekaligus bukan kita. Orang-orang bilang bahwa kita yang lain itu memang sudah ada di dalam diri kita sejak kita dilahirkan, tapi menurutku dia juga bisa datang dari luar, mengubah diri kita menjadi kita yang bukan kita itu," katamu membela diri.

"Dan yang kepingin kawin lagi itu bukan aku, yang kepingin kawin lagi itu diriku yang lain," katamu lagi.

"Aih, ternyata kau memang sudah gila."

"Lihat, kau bahkan tidak paham apa yang kukatakan."

"Bukan aku tidak paham, tapi menurutku, dari banyak hal yang bisa mengubah orang menjadi orang lain yang bukan dirinya sendiri, salah satunya adalah keinginannya. Kau ingin menjadi orang lain yang, menurutmu, bukan dirimu yang sekarang karena kau menginginkannya dan kau menginginkannya karena kau gila."

"Baik, mari membuatnya lebih sederhana, aku menginginkannya karena aku gila atau aku gila karena aku menginginkannya? Keinginan itu seperti peluru yang melompat keluar dari senapan pemburu, dia melesat, lalu melesak ke dalam tubuh hewan buruan, semakin lama semakin dalam."

Laki-laki itu tidak menjawab lagi, dia kembali menyelipkan rokok di antara bibirnya dan cuma menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bahkan tidak memandangmu ketika melakukan hal itu, tatapannya kosong, hari-harinya telah berakhir sebelum dia bahkan sempat memulainya.

"Aku mencintaimu bukan karena aku mencintaimu, aku mencintaimu karena kau mencintaiku," katamu, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

"Aku mencintaimu," balas laki-laki itu cepat.

"Lalu apa yang membuatmu berpikir bahwa di luar sana tidak ada orang lain yang juga mencintaiku?"

***

Seorang laki-laki dengan sebuah ransel berukuran sedang yang bertengger di punggungnya melintasi Jalan Bung Tomo dengan sepeda motornya, seorang pengendara motor lain ada di depannya, terus meludah ke jalan seolah-olah bibirnya baru saja dihinggapi kecoa dan dia tidak tahu cara membuang rasa jijiknya. Laki-laki itu berusaha melewati motor di depannya, tapi ludah pengendara motor itu yang diterbangkan angin membuatnya tidak berani bergerak dengan gegabah. Seorang laki-laki setengah perempuan datang dari arah berlawanan, puting susunya menyembul dari balik kausnya. Banci-banci itu, yang sudah mengubah tubuhnya menjadi perempuan, entah kenapa mereka tidak bisa melepaskan kebiasannya ketika masih menjadi laki-laki, mereka tidak pernah tertib dengan kutang dan buah dadanya. Di dalam hatinya laki-laki itu menggerutu, mulai hari ini laki-laki itu tidak akan bisa lagi dirangsang oleh buah dada perempuan, kapan pun dia mencoba, ingatannya akan puting susu seorang laki-laki setengah perempuan di Jalan Bung Tomo akan menghajarnya.

Daerah ini dulunya memang dikenal sebagai lokasi pelacuran di tengah kota Denpasar, lengkap dengan bau bacin mani para laki-laki hidung belang dan semerbak aroma arak. Yang membuatnya semakin terkenal --selain para perempuan penjaja kenikmatan dan arak Singarajanya-- adalah kehadiran para banci seperti yang ditemui laki-laki tadi. Entah kenapa cuma di lokalisasi di Jalan Bung Tomo ini saja yang dijadikan tempat berkumpul oleh para laki-laki setengah perempuan tersebut. Tapi itu dulu, setelah jalan-jalan di sekitaran Jalan Bung Tomo diperbaiki, diperlebar dan diaspal, dan lampu-lampu dipasang di sepanjang jalannya, banci-banci dan perempuan-perempuan penjaja seks itu bubar dengan sendirinya, walaupun satu-dua masih kadang-kadang terlihat di sana seperti yang tadi ditemui laki-laki itu. Menarik juga memperhatikan bagaimana pelebaran jalan dan lampu-lampunya bisa menggeser aktivitas jual diri tadi, jauh lebih efektif daripada teori-teori yang ramai diperdebatkan orang.

Laki-laki itu berhenti di depan sebuah swalayan mini, dengan berjalan kaki dia menuju tempat permainan bola sodok yang ada di belakang swalayan tersebut. Hanya ada seorang anak muda, laki-laki itu sempat berpikir untuk mengeluarkan beretta 92fs-nya dari ransel yang dibawanya dan memuntahkan isinya ke kepala anak muda itu, satu-satunya pelayan di tempat permainan bola sodok itu. Tapi niat itu urung dilakukannya, dia tidak ingin memancing keributan, tidak sekarang, tidak di tempat ini. Dengan sebuah tanda yang dibuat dari anggukan kepalanya, laki-laki itu memanggil satu-satunya pelayan di tempat permainan bola sodok itu. Anak muda itu --umurnya sepertinya masih belasan-- berlari mendatangi laki-laki itu.

"Berapa saya harus bayar kalau mau main bola sodok di sini?"

"Satu koinnya tiga ribu, Pak."

"Rata-rata berapa koin dihabiskan orang dalam satu jam?"

"Sepuluh sampai lima belas menit satu koinnya, sekitar lima sampai enam kali.."

"Ini lima puluh ribu, saya pakai mejanya satu jam saja."

Anak itu kembali ke tempatnya --sebuah bilik dengan dinding setinggi dada di bagian depan-- untuk mengambil koin yang diperlukan, tapi laki-laki itu menghentikannya.

"Tidak usah, saya cuma mau pakai mejanya."

Laki-laki itu lalu mengeluarkan komputer jinjing dari dalam ranselnya, membukanya, menyalakannya, dan setelah sebuah proses booting yang singkat, laki-laki itu segera menghubungkan komputernya dengan jaringan internet yang membuatnya bisa berhubungan dengan siapa saja di mana saja. Laki-laki itu lalu mencari alamat semua surat kabar dan stasiun televisi yang ada di negeri ini sembari membuka media sosial, bukan satu, tapi semua media sosial yang tersedia dalam jaringan itu, jumlahnya lima atau mungkin lebih. Setelah membuat beberapa akun di semua media sosial dengan nama palsu dan sebuah alamat surel sebagai syarat untuk membuat akun-akun tersebut, laki-laki itu kemudian memulai aksinya dengan sebuah gerakan yang lucu: celangak-celinguk.

Laki-laki itu masih menoleh ke kanan dan ke kiri beberapa kali lagi untuk memeriksa keadaan. Sepertinya dia begitu khawatir dengan keadaan sekitarnya, apapun yang akan dilakukannya setelah ini pastilah sesuatu yang besar dan rahasia. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarnya kecuali seorang anak muda yang tidak pernah keluar dari biliknya, laki-laki itu mulai menyentuh papan ketik di komputer jinjingnya. Dia menulis banyak surat elektronik dengan banyak alamat untuk dituju, ke semua surat kabar dan stasiun televisi nasional. Lalu kesibukannya beralih ke akun-akun media sosial yang baru dibuatnya, di sana dia juga menuliskan sesuatu yang besar dan rahasia: rencana untuk membunuh presiden. Yang membuatnya harus menulis begitu banyak surat dan menulis di banyak akun adalah karena dia membuat banyak rencana yang tidak sama. Satu surat kepada sebuah surat kabar menyebut bahwa dia akan menembak presiden dari jendela sebuah gedung, di surat yang lain dia bilang dia akan meledakkan mobil di jalan yang akan dilalui presiden dan pengawalnya, di satu akun dia menyebut akan menghujani rombongan presiden dengan granat tangan, di akun yang lain dia bilang dia akan menyelinap ke dalam kerumunan penonton, mendatangi presiden, menatap matanya, lalu menusukkan gancu es ke lambungnya. Begitu banyak rencana yang dia buat dan semuanya dia ceritakan kepada semua orang, laki-laki itu sepertinya adalah campuran dari tolol, nekat, dan gila. Satu hal saja yang sama dari semua suratnya, laki-laki itu mengatakan dengan terus terang hari dia akan melakukan semua rencananya itu: Sabtu.

***

Jakarta sekarang justru sedang dilanda kehebohan yang lain, ribuan kupu-kupu mendatanginya dari arah timur. Seluruh petugas negara dikerahkan untuk menghalaunya karena petugas dari kementerian pertanian sudah tidak mampu lagi mengatasinya. Bahkan semua petugas keamanan, tentara dan polisi, kecuali satu peleton paspampres yang sedang sibuk dengan urusannya sendiri, juga ikut dikerahkan untuk menghalau wabah kupu-kupu itu. Yang paling merepotkan adalah kupu-kupu itu mengubah setiap orang yang disentuhnya menjadi kupu-kupu juga, bukan satu, bukan dua, lima, sepuluh, atau seratus, tapi ribuan kupu-kupu. Sekeras apapun orang-orang di Jakarta mencoba mengusir dan membunuh gerombolan kupu-kupu itu, jumlahnya tidak pernah berkurang, malah bertambah dalam kelipatan yang luar biasa. Satu per satu orang-orang di Jakarta berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dan semakin lama ribuan kupu-kupu itu --mungkin sekarang sudah jutaan-- semakin dekat dengan istana. Belum selesai urusan dengan rencana pembunuhan dari seseorang yang kelihatannya gila, paspampres sekarang juga dibuat sibuk dengan ribuan kupu-kupu yang mulai mendekati istana dan mengancam keselamatan presiden.

***

Mungkin kamu tidak pernah tahu bahwa benda yang berdetak di dalam jantungmu --yang diletakkan oleh seseorang di masa lalu, yang tetap berdetak walau orang itu sudah pergi-- adalah bom waktu. Persoalan jadi runyam ketika ada orang lain, orang yang baru, yang ingin memberimu detak jantung yang baru pula, bom waktu yang baru. Jantungmu akan berdetak lebih kencang dari yang dulu, mengacaukan hitung-hitungan waktu dan secara otomatis akan mempercepat terpicunya kedua bom waktu itu. Kamu akan meledak, berantakan, dan berceceran. Lebih rumit lagi kalau itu adalah keinginanmu sendiri, sebelum meledak, bahkan ketika dia masih berhitung dia sudah membuatmu begitu gelisah. Jadi sekarang kamu mulai mengingat orang pertama yang telah memberimu bom waktu, memberimu detak jantung untuk pertama kalinya. Keinginanmu untuk meninggalkannya demi bom waktu yang baru mulai menyiksamu. Tapi kadang-kadang, penyesalan datang di waktu yang tidak tepat, bukan karena dia datang di waktumu yang paling telat, tapi karena orang yang membuatmu menyesal kadang-kadang datang di waktu yang benar-benar keliru.

Laki-laki itu masuk dari pintu belakang, mengira kamu tidak akan ada di sana, tapi dia keliru, kamu justru sedang menunggunya di dapur dengan dua buah cangkir yang berisi penuh --satu kopi dan satu lagi teh-- dan segunung perasaan menyesal. Sandra Cisneros menemanimu dengan kisah-kisahnya tentang perempuan-perempuan lemah dari ujung dunia yang lain, dan tepat ketika Juan Pedro menampar Cleofilas sampai bibirnya pecah dan mengucurkan darah, laki-laki itu masuk dari pintu belakang.

"Apa kau mabuk? Ya, Tuhan! Aku sungguh tidak percaya kaupulang ke rumah dalam keadaan mabuk!" serumu histeris.

"Semua pengecut ternyata sama saja, mereka lebih suka membenamkan dirinya ke dalam minuman setiap kali didera masalah daripada menghadapinya," katamu lagi dengan sinis.

"Lalu apa yang harus kulakukan menurutmu? Mengambil pisau, menusuk perutmu, lalu mencacahnya?" laki-laki itu bertanya sambil menyemburkan bau alkohol dari mulutnya.

"Hanya kalau kau yakin akulah penyebab masalahmu, hanya kalau kau yakin akulah penyebab gundah gulanamu," katamu dengan berani.

Bom waktu itu akhirnya meledak. Kamu tidak berlama-lama bicara dengan laki-laki itu, kamu meninggalkannya dengan amarah yang membuncah, bahkan cangkir kopimu kamu tinggalkan dalam keadaan penuh. Laki-laki itu juga tidak bicara lagi, dia begitu lunglai dan duduk sendiri di dapur dengan kepala layu. Mungkin dia sedang menyesali kebodohannya karena minum-minum ketika hubungan kalian sedang memburuk, keinginanmu untuk kawin lagi jelas sudah memukul ulu hatinya, tapi tertangkap basah dalam keadaan mabuk itulah yang membuatnya jatuh tersungkur. Tapi bisa jadi laki-laki itu cuma terlalu mabuk untuk bisa menegakkan kepalanya.

***

Saya masih berada di pelataran sebuah bank swasta sambil memandangi orang-orang dari sebuah ketinggian, kupu-kupu yang tadi mendatangi saya sudah pergi entah ke mana. Di bawah sana, di dekat sebuah kios penjaja rokok dan seorang penjual mainan anak-anak, sebuah mobil yang tadi berusaha membelah jalanan kota Denpasar yang macet akhirnya berhenti di pinggirnya. Perempuan di dalam mobil itu tampak begitu kesal --siapa yang tidak kalau di tengah hari yang panas dan lalu-lintas yang macet dirinya dipaksa menunggu di dalam mobil?-- tapi wajahnya yang penuh dengan sudut tetap terlihat menarik, saya mulai yakin bahwa seperti itulah wajah aktris telenovela Lucia Mendez dalam cerpen Sandra Cisneros. Seorang anak di tempat penjual mainan menjajakan dagangannya sesekali meneriaki perempuan itu, mungkin anak itu sedang meminta persetujuan darinya tentang sesuatu. Mungkin mainan yang akan dibeli anak itu. Seorang laki-laki yang sedang membeli sebatang rokok, eceran, tidak melepaskan pandangannya dari perempuan di dalam mobil dan anak yang meneriakinya itu. Laki-laki itu kemudian menyulut rokoknya, menghisap asapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara dengan keras, seperti ada satu perasaan lega yang dilepaskannya bersama asap rokoknya.

Saya tidak akan berbohong kalau saya menyukai perempuan itu, saya laki-laki normal. Anak yang meneriakinya belum tentu anaknya dan laki-laki yang mengawasinya belum tentu suaminya. Saya berharap perempuan itu bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman mobilnya lalu mendatangi saya, atau lebih mudah sebenarnya kalau dia berubah saja menjadi kupu-kupu lalu terbang ke arah saya. Saya mungkin akan menyambutnya seperti saya menyambut kupu-kupu yang tadi mendatangi saya, menyambutnya seperti seorang laki-laki yang disesaki oleh perasaan rindu. Perempuan itu sempat menatap saya, mengirimkan sebuah tanda dengan mengerlingkan matanya yang membuat lutut saya lemas selemas-lemasnya. Celakanya, tanpa saya sadari laki-laki yang sedari tadi mengawasinya juga menangkap kerling mata perempuan itu. Laki-laki itu kemudian menyeberang jalan, dia datang ke arah saya. Demi mengetahui laki-laki yang mengawasinya mendatangi saya, perempuan itu buru-buru turun dari mobilnya. Saya tahu, masalah akan segera menangkap saya.

Laki-laki itu akhirnya sampai di hadapan saya. Perempuan itu berlari, padahal saya lebih suka kalau dia mendatangi saya dengan cara terbang seperti kupu-kupu. Lalu seperti yang saya duga, masalah akhirnya menyembur dari mulut laki-laki itu.

"Apa ini laki-laki yang kaumaksud?" tanya laki-laki itu.

Perempuan itu tidak menjawab, dia masih mengumpulkan nafasnya yang tercecer di jalan karena berlari dengan terburu-buru menyusul laki-laki itu.

"Apa ini laki-laki yang kaumaksud?" laki-laki itu bertanya lagi.

"Bisa jadi, tapi bisa juga bukan," perempuan itu menjawab walaupun nafasnya masih tersengal-sengal.

Saya tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Saya hanya bisa mengira-ngira bahwa perempuan itu sedang berusaha membuat suaminya, laki-laki yang berdiri di hadapan saya, cemburu. Sayangnya, laki-laki itu termakan siasatnya. Perempuan itu tidak sadar bahwa dia sedang memainkan permainan yang sangat berbahaya. Saya laki-laki, saya tahu apa artinya cemburu, tidak ada laki-laki di dunia ini yang sudi membiarkan dirinya mati digerogoti cemburu, kalau bisa membunuh, mereka lebih suka membunuh. Laki-laki di hadapan saya ini adalah jenis yang sama dengan saya, jenis yang sama dengan semua laki-laki yang ada di dunia. Laki-laki itu kemudian merogoh kemejanya dan mengeluarkan sepucuk pistol dari sana: beretta 92fs. Saya tidak percaya bahwa laki-laki ini adalah anggota paspampres karena ini di Denpasar, jaraknya beratus-ratus kilometer dari Jakarta, dari presiden yang seharusnya dijaganya. Cepat saya berdiri untuk menahan laki-laki itu, tapi laki-laki yang cemburu selalu terburu-buru, pistolnya meletus melontarkan sebutir peluru.

Peluru yang melompat keluar dari moncong pistol itu di mata saya berubah menjadi kupu-kupu, dia terbang ke sana kemari sebelum akhirnya hinggap --menghantam lebih tepatnya-- ke dada saya. Lucia Mendez, oh, Lucia Mendez, saya akan segera mendatangimu, hanya kalau imajinasi Sandra adalah surga. Tepat ketika peluru itu mengenai saya, tubuh saya berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dua di antaranya menabrak laki-laki dan perempuan itu, tubuh mereka juga berubah menjadi ribuan kupu-kupu. Ribuan kupu-kupu dari tubuh kami bertiga menabrak lebih banyak orang di bank itu, lebih banyak kupu-kupu sekarang. Dalam waktu sekejap, semua orang di Denpasar sudah berubah menjadi kupu-kupu. Lucia Mendez pasti akan sangat sibuk sekarang, banyak orang akan mendatanginya dalam waktu bersamaan, hanya kalau imajinasi Sandra adalah surga. Lalu seluruh Bali berubah menjadi kupu-kupu dan semua kupu-kupu itu sekarang terbang menuju Jakarta, sebentar lagi, orang-orang di Jakarta pasti juga akan berubah menjadi kupu-kupu, termasuk presiden. Kali ini satu peleton paspampres sekalipun tidak akan mampu mencegahnya, bahkan kalau beretta mereka terisi penuh. Besok pasti akan jadi berita besar, seorang presiden dibunuh oleh kupu-kupu. 

Tidak terlalu tepat juga sebenarnya menyebutnya begitu, tapi siapa yang mau percaya bahwa satu butir peluru yang dilepaskan dari sepucuk beretta 92fs di Denpasar bisa menyebabkan kematian seorang presiden yang berada di Jakarta yang beratus-ratus kilometer jauhnya dari sini?

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.

***

Comments

Populer