Kupu-kupu Pembunuh Presiden
Saya sedang berada di
pelataran sebuah bank swasta, setelah tadi bertemu seseorang untuk urusan
pekerjaan, proyek tentu saja, dan menyempatkan untuk duduk-duduk sebentar di
taman kecil di halaman bank tersebut ketika kupu-kupu itu datang. Saya
sebenarnya sedang menyusun beberapa rencana ketika dia datang, selain sedang
bertanya-tanya juga kenapa sebuah bangunan harus dibangun lebih tinggi dari
muka jalan. Lantai dasar bank itu berbeda hampir setinggi tubuh saya dengan
jalan. Beberapa klien saya pernah memberitahu bahwa alasan mereka melakukan hal
itu adalah supaya bangunan mereka terlihat lebih mewah sekaligus lebih lebih
mudah dilihat dari jalan, diam-diam saya menaruh prasangka bahwa mereka
sebenarnya cuma ingin melihat orang lain lebih rendah. Sebuah alasan yang
jahanam menurut saya.
Kedatangan kupu-kupu itu
menghentikan prasangka buruk saya kepada banyak orang. Saya menghentikan semua
lamunan saya termasuk rencana-rencana yang sedang saya susun, kemewahan seperti
ini tidak setiap hari terjadi di kota besar yang menghimpit saya. Di taman
kecil, bahkan ini bukan taman, cuma tanah sisa yang dipaksa ditanami rumput dan
beberapa tanaman --tidak satupun berbunga-- dalam pot, di taman kecil inilah
saya bertemu dengannya. Saya mencegah pikiran saya untuk melamunkan hal-hal
aneh yang bisa membuat saya menaruh prasangka jahanam padanya, saya mulai
menyusun prasangka-prasangka sederhana: mungkin kupu-kupu itu cuma merindukan
taman, sama seperti saya merindukan dirinya. Sebuah pertemuan yang tidak
disengaja dan sebenarnya biasa-biasa saja, kecuali karena saya memilih untuk
percaya bahwa pertemuan itu adalah sebuah kemewahan.
Saya juga mungkin seorang
jahanam, tapi memang menyenangkan memandang orang-orang yang berlalu-lalang di
bawah sana dari sini. Seorang anak di seberang jalan terlihat sedang
kebingungan dengan mainannya, semacam gel yang bisa berubah menjadi gelembung
dengan cara meniupnya melalui sebuah sedotan mini. Di tempat saya lahir dan
dibesarkan, dia disebut plembungan. Seingat saya, mainan itu selalu
datang bersama undian di balik kertas pembungkus kemasannya yang terbuat dari
semacam timah murahan. Saya mengira-ngira bahwa anak itu mungkin memenangkan
salah satu hadiah yang justru membuatnya bingung. Mungkin hadiahnya adalah
menjadi presiden dan anak itu sekarang sedang bingung karena diharuskan datang
ke Jakarta untuk mengklaim hadiahnya, ke Jakarta dia tidak tahu caranya,
menjadi presiden lebih lagi. Tapi mainan dan hadiah itu dikantunginya juga,
mungkin nanti dia pulang, hadiah itu akan diberikannya kepada bapaknya, biar
bapaknya saja yang pusing, bukankah pusing itu memang tugas bapak-bapak?
Seorang pemuda membeli rokok
di sebuah kios kecil sambil celangak-celinguk. Pemuda itu membeli beberapa
batang, eceran, menyalakan salah satunya dengan korek yang tergantung di kios
tersebut sembari tetap celangak-celinguk, menghisapnya dalam-dalam, lalu
melepaskan semua asapnya ke udara dalam satu hembusan nafas. Saya menduga
pemuda itu sedang merencanakan sebuah kejahatan, mungkin dia mau merampok bank
ini, sebuah rencana --kalau benar pemuda itu merencanakannya-- yang tidak
menarik menurut saya. Siapa saja bisa merampok bank, lagipula, di tengah arus
lalu lintas yang begitu padat, bagaimana pemuda itu akan melarikan diri setelah
merampok? Lebih menarik kalau pemuda itu menyusun rencana untuk membunuh
presiden, tapi melihat caranya menghisap rokok, saya menduga dia punya rencana
--kalau bukan cita-cita-- lain. Sepertinya pemuda itu bercita-cita untuk mati.
Dia pasti belum tahu bahwa cita-cita hanya boleh ditautkan pada sesuatu yang
mungkin diraih mungkin tidak, dia tidak boleh pasti diraih atau pasti tidak diraih.
Mati itu pasti, tapi mati di ujung laras beretta paspampres mungkin
diraih mungkin tidak. Ini bisa membuat segalanya menjadi jauh lebih menarik,
pemuda itu bisa meraih cita-citanya sembari memuaskan angan-angan saya. Dan
kalau pemuda itu jadi membunuh presiden, saya sarankan untuk melakukannya di
hari Sabtu, pertama karena penjagaan agak kendur di hari itu, dan kedua,
besoknya akan ada satu halaman penuh untuknya di koran Minggu, menggeser
cerpen-cerpen fiksinya yang seringkali membosankan.
Sepasang suami istri
--mungkin bukan-- berduaan, tapi tidak saling bicara, di dalam mobil yang
sedang berjalan lambat berusaha membelah jalanan kota Denpasar yang disesaki
mobil-mobil mewah. Yang laki-laki mungkin sedang berkonsentrasi dengan kondisi
lalu lintas yang semrawut itu, bisa jadi, atau mungkin dia cuma sedang pusing
memikirkan, kalau bukan cara membunuh presiden, mungkin hadiah mainan anaknya
yang mengharuskannya pergi ke Jakarta untuk, sialnya, menjadi presiden. Atau
sesuatu yang lain. Saya harus melamunkan hal yang lain lagi untuk laki-laki
yang satu ini. Tapi perempuan yang duduk di sebelah laki-laki itu cantik juga.
Wajahnya penuh dengan sudut, dagunya lancip, hidungnya runcing, bahkan tulang
rahangnya terlihat membentuk lekukan yang tajam, dan rambutnya sesekali
melambai karena perempuan itu juga sesekali menghentakan kepalanya dengan
keras. Mungkin seperti itulah wajah aktris telenovela Lucia Mendez dalam
cerpen Sandra Cisneros, saya tidak tahu tapi memberanikan diri untuk
mengira-ngira. Wajah perempuan yang penuh sudut buat saya menyiratkan
kesukaannya pada tantangan, dan kali ini mungkin perempuan itu juga sedang
memikirkan sebuah tantangan baru: kawin lagi. Mungkin. Kalau benar dia sedang
memikirkan hal itu, maka saya kira dia tidak sedang risau tentang cara
mengatakan keinginannya kepada suaminya --mungkin bukan-- yang duduk di
sebelahnya. Saya kira perempuan itu justru sedang menimbang-nimbang apakah dia
akan membunuh laki-laki di sebelahnya itu dulu baru kawin lagi atau justru
kawin dulu lalu membiarkan laki-laki itu mati pelan-pelan digerogoti cemburu.
***
"Ayah! Ayah! Kau tidak
akan percaya apa yang aku punya di tanganku, kau harus melihatnya!"
Laki-laki yang dipanggil
ayah tadi tidak terlalu bersemangat menanggapi seruan anaknya, dia hanya
menoleh sebentar, menerbitkan senyum seadanya, lalu memberi tanda dengan kepala
supaya anak itu datang padanya. Sepertinya laki-laki itu baru saja mengalami
hari yang buruk, mungkin sesuatu dengan pekerjaannya, atau bisa juga sesuatu
tentang istrinya, bagaimanapun, ibu anak tadi tidak terlihat ada di sekitar
situ. Secangkir teh --laki-laki itu tidak minum kopi-- terlihat kesepian, dan
mulai dingin, di atas meja kecil di dekat laki-laki itu. Woman Hollering
Creek and Other Stories menemani di sebelahnya. Buku itu pasti punya
istrinya, laki-laki itu tidak pernah tekun dengan buku, terlebih buku tadi
melulu bicara soal perempuan --terutama perempuan Meksiko-- yang dipenuhi
mimpi-mimpi telenovela lalu jatuh terjengkang dihantam kenyataan bahwa
mereka hidup di dunia para laki-laki. Sesekali saja laki-laki itu membaca,
termasuk buku tadi, terutama di saat-saat seperti ini ketika istrinya sedang
tidak ada dan dia sendiri sedang entah bosan setengah mati entah baru mengalami
hari yang buruk.
“Ayah! Lihat, aku
memenangkan undian! Presiden, Ayah, katanya aku jadi presiden! Kita harus ke
Jakarta, Ayah!”
Laki-laki itu masih terlihat
tidak antusias, bahkan ketika anaknya menyebut bahwa anaknya itu memenangkan
hadiah menjadi presiden. Hadiah menjadi presiden itu bisa jadi tidak membuatnya
terkejut, beberapa waktu yang lalu Sekretaris Negara memang mengumumkan bahwa
akan ada undian semacam itu --laki-laki itu menontonnya di televisi-- tapi
lebih dari itu, laki-laki itu memang seringkali mengabaikan kehadiran anaknya,
baginya, anak itu lebih mirip sekawanan lebah, tidak pernah berhenti
mendengung, anak itu tidak pernah bisa berhenti bicara dan berteriak, bahkan
ketika dia hanya ingin menceritakan hal-hal yang sebenarnya sepele. Kalau boleh
memilih, laki-laki itu lebih suka kalau anaknya menjadi kupu-kupu, dia boleh
melakukan apa saja, terbang ke mana saja, asal tetap mengunci rapat mulutnya,
terlebih kali ini ketika awan hitam menggantung di atas kepalanya, siap
menumpahkan hujan di atas dahinya yang penuh kerutan. Soal presiden,
orang-orang di sini memang sudah lama tidak peduli dengan presidennya, ini
bukan sesuatu yang buruk, presiden sudah melakukan tugasnya dengan baik, tapi
bagaimanapun, negara yang baik adalah negara yang tidak bising, tidak diisi
dengan keributan di sana-sini. Jadi orang-orang sudah lama tidak memusingkan
soal presidennya, sementara di lain pihak, presiden juga tidak pernah
memikirkan orang-orang itu. Mereka melakukan tugas dan pekerjaannya
masing-masing, semuanya dengan baik, tanpa saling mengganggu. Semua orang
--termasuk presiden-- menyukai kupu-kupu, bukan lebah. Begitu juga laki-laki itu.
"Ke Jakarta tentu tidak
terlalu sulit. Aku belum pernah ke Jakarta," tidak mendapat respon yang
dimauinya, anak itu mulai bicara sendiri.
"Sebenarnya presiden
kita itu ke mana sih?" anak itu masih bicara sendiri.
Demi mendengar pertanyaan
terakhir anaknya, laki-laki yang sedari tadi tidak memberikan perhatian sama
sekali itu menegakkan punggungnya. Samar-samar dia mengingat, ketika dia masih
sebesar anaknya, ayahnya pernah mengajaknya untuk ikut pemilu, ayahnya memilih,
dia sibuk mengumpulkan gula-gula yang dibagikan panitia. Itu adalah kali
terakhir pemilu diadakan, lima tahun setelahnya ketika pemilu diadakan kembali,
ayahnya memilih untuk tidak memilih. Ayahnya merasa bahwa presiden yang
dipilihnya lima tahun yang lalu sudah melakukan tugasnya dengan baik dan dia
ingin laki-laki tua itu tetap ada di tempatnya. Caranya: dengan tidak memilih.
Logika yang aneh. Tapi bukan hanya ayah laki-laki itu yang melakukannya, semua
orang melakukan hal yang sama, semua orang berpikir bahwa mereka semua tidak
akan memilih siapa-siapa lagi supaya presiden yang mereka pilih lima tahun yang
lalu tetap menjadi presiden. Jadi, ketika laki-laki itu lima tahun lebih tua
dari anaknya yang sekarang, seorang presiden --satu-satunya di dunia-- terpilih
bukan karena dia memenangkan pemilu secara mutlak, tapi karena dia secara
mutlak tidak kalah. Dan ini terus berlangsung sampai sekarang, sampai
orang-orang tidak peduli lagi pada presidennya --begitu juga sebaliknya--
sampai semua orang merasa bahwa orang lain adalah kupu-kupu baginya.
"Kita akan ke Jakarta
kalau begitu," laki-laki itu berkata singkat untuk menjawab anaknya lalu
berlalu begitu saja meninggalkan anaknya yang masih berusaha menarik
perhatiannya.
***
Jakarta sedang dilanda
kehebohan besar. Paspampres menyusun rencana-rencana, pasukan pengawal presiden
yang biasanya hanya diisi oleh satu regu 5-6 orang, sekarang melibatkan satu
peleton penuh dengan pengamanan berlapis-lapis seperti pengamanan presiden di
masa lalu. Gerbang istana yang selalu terbuka sekarang dibuka-tutup secara
berkala, semua orang yang ingin masuk ke istana diperiksa dengan teliti, begitu
juga yang mau keluar. Di Jakarta sekarang, di mana-mana, di terminal, di
stasiun, di bioskop, pasar, kantor, toko buku, taman kota yang dulunya
pemukiman kumuh, taman kota yang dulunya memang taman, di dalam mobil, di dalam
bus kota, di dalam kereta, bahkan di dalam kamar di tengah percakapan pribadi
sepasang suami-istri, semua orang cuma membicarakan satu hal yang sama: rencana
pembunuhan presiden. Seseorang mengirimkan pesan bahwa dirinya akan membunuh
presiden. Orang itu menyebarkan rencananya di media sosial, bukan satu, tapi
semua, lima atau mungkin lebih. Stasiun-stasiun televisi nasional juga mendapat
pesan yang sama, juga surat kabar-surat kabar, bahkan di salah satu surat kabar
orang itu memasang iklan satu halaman penuh --surat kabar itu memuatnya di
halaman muka-- yang mengatakan bahwa dirinya tidak sedang bercanda. Jakarta
resah, orang-orang resah, karena presiden yang mereka pilih bertahun-tahun yang
lalu, yang sudah tidak pernah mengganggu mereka lagi, terancam terbunuh.
Orang-orang ini, walaupun tidak peduli pada presidennya, tapi mereka
mencintainya, mereka mencintainya dengan cara yang aneh, dengan cara membuatnya
tidak kalah dalam pemilu. Secara mutlak. Bertahun-tahun yang lalu.
Kalau ada orang yang tidak
cemas tentang nasib presiden, tentang hidup dan matinya, tentu hanya ada dua:
satu adalah orang yang merencanakan pembunuhan terhadapnya dan satu lagi adalah
presiden itu sendiri. Sudah lama presiden ingin berhenti, satu atau dua kali
menjadi presiden tentu menyenangkan, tapi lima atau enam kali akan mengubah
yang menyenangkan menjadi membosankan kalau bukan melelahkan. Celakanya, sudah
lama pemilu tidak digelar, orang-orang tidak mau ada pemilu, mereka tidak mau
presidennya diganti. Begitu juga dengan calonnya: tidak ada. Tidak ada orang
yang kepingin jadi presiden. Bukan berarti presiden tidak digaji seperti
keinginan banyak orang di masa lalu ketika jabatan presiden masih
dikait-kaitkan dengan kejahatan korupsi, presiden digaji sangat besar, bahkan
orang yang sekarang menduduki jabatan itu sering merasa bahwa gajinya tidak
sesuai dengan pekerjaannya, bahkan kalau sekarang orang itu seharusnya gelisah
karena dijadikan sasaran pembunuhan, gajinya masih dirasanya terlalu besar
untuk membayar kegelisahannya. Jadi orang itu, presiden, memilih untuk tidak mencemaskan
nasibnya dan tetap pada rencananya untuk mencari pengganti dirinya melalui
undian. Mungkin karena orang itu hanya ingin meletakkan jabatannya dengan damai
tanpa kecemasan, atau bisa jadi karena dia terlanjur percaya pada beretta
92fs yang menjadi senjata standar paspampres, atau hal lain, karena
orang itu, presiden yang sekarang, yang sudah terlalu lama menjadi presiden
itu, sudah tidak peduli lagi bagaimana dia akan berhenti jadi presiden --karena
diganti atau karena mati-- yang penting dia bisa berhenti. Pekerjaannya mungkin
sudah terlalu membosankan kalau bukan melelahkan.
***
Dua atau tiga puluh tahun
yang lalu orang mungkin akan memulai hari mereka dengan sederhana, dengan
bangun pagi, melipat seprai dan selimut mereka, mandi dan sarapan, lalu
berangkat kerja sembari mengutuk pemerintah karena jalanan yang macet atau
penuh lubang. Tapi sudah lama orang-orang tidak melakukan hal itu, orang-orang
cuma bangun pagi dan melakukan semua hal yang sudah disebut tadi, kecuali
bagian 'mengutuk pemerintah karena jalanan yang macet atau penuh lubang',
karena memang sudah lama tidak ada pemerintah yang terkutuk itu. Sekarang
pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik, mereka dipimpin oleh orang
yang baik dan orang-orang memilih untuk melupakan bahwa mereka punya pemerintah
atau presiden yang baik. Dulu, ketika orang melakukan hal itu untuk pertama
kalinya --melakukan semua hal kecuali mengutuk pemerintah itu-- mungkin
segalanya terasa luar biasa, mungkin matahari bersinar dengan cerah,
burung-burung bernyanyi dengan riang, atau langit terbuka dan menampakkan awan
yang bersinar keemasan, tapi sekarang semua itu cuma ritual yang biasa saja.
Karena itulah, ketika kamu membuka harimu dengan bangun pagi, menarik selimut
yang membungkus laki-laki yang masih mendengkur di sebelahmu, lalu mengatakan
dengan lembut tepat di telinganya 'aku mau kawin lagi', maka itu adalah sebuah
pembukaan hari yang tidak sederhana, sebuah pembukaan hari yang luar biasa.
"Aku mau kawin
lagi," katamu sekali lagi, masih di telinga laki-laki itu.
Laki-laki yang tidur di
sebelahmu itu, suamimu, belum benar-benar terbangun ketika kamu mengatakan
keinginanmu, bahkan ketika kamu mengatakannya untuk yang kedua kalinya, dia
masih berusaha menarik kembali selimut yang kamu renggut, berusaha merebut kembali
tidurnya yang sudah kamu rusak. Tapi tanganmu kuat menahan selimut itu untuk
tetap berada di tempatnya, membuatnya menegang, dan memaksa laki-laki itu untuk
membuka matanya sedikit lalu memandangmu dengan takjub. Laki-laki itu kemudian
berusaha untuk bangun, menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur,
mengerjap-ngerjapkan matanya sebentar, lalu kembali memandangmu dengan
pandangan yang penuh keheranan. Setelah seluruh nyawanya berhasil
dikumpulkannya kembali, laki-laki itu kemudian menjulurkan kakinya ke lantai
mencari-cari sepasang sandalnya, dan sesaat sebelum dia turun dari tempat
tidur, laki-laki itu masih menyempatkan diri untuk memalingkan wajahnya dan
memandangmu sekali lagi.
"Kau selalu tahu cara
membangunkan laki-laki. Kau pintar bercanda," kata laki-laki itu.
Kata-kata seperti itu akan
membuat perempuan lain yang mungkin memang suka bercanda tersenyum, tapi kamu
lebih tahu tentang dirimu sendiri, dan yang jelas, kamu bukan perempuan lain
yang mana pun.
"Aku tidak sedang
bercanda, aku memang kepingin kawin lagi," katamu mengejar
laki-laki itu.
Laki-laki itu berhenti di
depan pintu, tangannya masih memegang gagang pintu, dia terlihat seperti
berpikir sebentar, tapi tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya, dia
cuma membuka pintu dan berlalu begitu saja.
Kamu segera menyibak selimut
yang tadi sempat kalian perebutkan, lalu turun dari tempat tidur dengan
terburu-buru. Kamu mengejar laki-laki itu dan mendapatinya sedang duduk di meja
makan di dekat dapur sembari menghisap rokoknya dalam-dalam seolah-olah tidak
akan ada lagi hari baginya untuk menikmati rokok seperti itu. Kamu
memperhatikan punggung laki-laki itu lalu mulai memperlambat langkahmu, mungkin
punggung laki-laki itu menerbitkan sedikit rasa bersalah di hatimu. Kamu lalu
ingat cerita-cerita dari kitab suci tentang bagaimana Tuhan menciptakan
orang-orang yang pertama, konon Tuhan selalu menggambar sendiri wajah
orang-orang itu, tidak pernah diceritakan bagaimana Tuhan membuat punggung
mereka, mungkin karena Tuhan memang ingin membuat punggung semua orang sama:
rata, dingin, dan tanpa ekspresi. Kamu lalu mendatangi meja dapur, mengambil
satu bungkus kopi kemasan dan satu kantung teh celup --laki-laki itu tidak
minum kopi-- dari lemari di atasnya, menyiapkan cangkir, dan mulai memanaskan
air. Lalu beberapa butir telur dan sebuah mangkuk, mengiris-iris cabai dan
beberapa siung bawang merah, semua itu kamu lakukan cuma supaya kamu bisa
berhadapan dengan laki-laki itu muka dengan muka, bukan dengan punggungnya yang
tidak punya ekspresi.
"Aku tidak bercanda,
aku mau kawin lagi. Kupikir cuma itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkanku
dari kegilaan," katamu setelah menancapkan pisau yang tadi kamu pakai
untuk mengiris cabai dan bawang merah di talenan.
"Kenapa kau mau kawin
lagi? Mungkin pertanyaanku salah, seharusnya aku bertanya kenapa kau harus
kawin lagi? Kalau kau sedang frustrasi, bahkan gila seperti katamu, dan hanya
cinta yang bisa menyelamatkanmu, kenapa kau tidak mencintaiku saja? Atau mencintai
anakmu yang masih tidur di kamarnya?"
Laki-laki itu memberondongmu
dengan pertanyaan setelah meletakkan rokoknya di asbak, asap rokok mendaki ke
langit-langit dari sana dan dengan segera memenuhi seluruh ruangan.
"Aku mencintaimu, aku
mencintai anakku, tapi kita adalah juga kita yang lain, kita yang sekaligus
bukan kita. Orang-orang bilang bahwa kita yang lain itu memang sudah ada di
dalam diri kita sejak kita dilahirkan, tapi menurutku dia juga bisa datang dari
luar, mengubah diri kita menjadi kita yang bukan kita itu," katamu membela
diri.
"Dan yang kepingin
kawin lagi itu bukan aku, yang kepingin kawin lagi itu diriku yang
lain," katamu lagi.
"Aih, ternyata kau
memang sudah gila."
"Lihat, kau bahkan
tidak paham apa yang kukatakan."
"Bukan aku tidak paham,
tapi menurutku, dari banyak hal yang bisa mengubah orang menjadi orang lain
yang bukan dirinya sendiri, salah satunya adalah keinginannya. Kau ingin
menjadi orang lain yang, menurutmu, bukan dirimu yang sekarang karena kau menginginkannya
dan kau menginginkannya karena kau gila."
"Baik, mari membuatnya
lebih sederhana, aku menginginkannya karena aku gila atau aku gila karena aku
menginginkannya? Keinginan itu seperti peluru yang melompat keluar dari senapan
pemburu, dia melesat, lalu melesak ke dalam tubuh hewan buruan, semakin lama
semakin dalam."
Laki-laki itu tidak menjawab
lagi, dia kembali menyelipkan rokok di antara bibirnya dan cuma
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bahkan tidak memandangmu ketika melakukan
hal itu, tatapannya kosong, hari-harinya telah berakhir sebelum dia bahkan
sempat memulainya.
"Aku mencintaimu bukan
karena aku mencintaimu, aku mencintaimu karena kau mencintaiku," katamu,
kali ini dengan nada yang lebih lembut.
"Aku mencintaimu,"
balas laki-laki itu cepat.
"Lalu apa yang
membuatmu berpikir bahwa di luar sana tidak ada orang lain yang juga
mencintaiku?"
***
Seorang laki-laki dengan
sebuah ransel berukuran sedang yang bertengger di punggungnya melintasi Jalan
Bung Tomo dengan sepeda motornya, seorang pengendara motor lain ada di
depannya, terus meludah ke jalan seolah-olah bibirnya baru saja dihinggapi
kecoa dan dia tidak tahu cara membuang rasa jijiknya. Laki-laki itu berusaha
melewati motor di depannya, tapi ludah pengendara motor itu yang diterbangkan
angin membuatnya tidak berani bergerak dengan gegabah. Seorang laki-laki
setengah perempuan datang dari arah berlawanan, puting susunya menyembul dari
balik kausnya. Banci-banci itu, yang sudah mengubah tubuhnya menjadi perempuan,
entah kenapa mereka tidak bisa melepaskan kebiasannya ketika masih menjadi
laki-laki, mereka tidak pernah tertib dengan kutang dan buah dadanya. Di dalam
hatinya laki-laki itu menggerutu, mulai hari ini laki-laki itu tidak akan bisa
lagi dirangsang oleh buah dada perempuan, kapan pun dia mencoba, ingatannya
akan puting susu seorang laki-laki setengah perempuan di Jalan Bung Tomo akan
menghajarnya.
Daerah ini dulunya memang
dikenal sebagai lokasi pelacuran di tengah kota Denpasar, lengkap dengan bau
bacin mani para laki-laki hidung belang dan semerbak aroma arak. Yang
membuatnya semakin terkenal --selain para perempuan penjaja kenikmatan dan arak
Singarajanya-- adalah kehadiran para banci seperti yang ditemui laki-laki tadi.
Entah kenapa cuma di lokalisasi di Jalan Bung Tomo ini saja yang dijadikan
tempat berkumpul oleh para laki-laki setengah perempuan tersebut. Tapi itu
dulu, setelah jalan-jalan di sekitaran Jalan Bung Tomo diperbaiki, diperlebar
dan diaspal, dan lampu-lampu dipasang di sepanjang jalannya, banci-banci dan
perempuan-perempuan penjaja seks itu bubar dengan sendirinya, walaupun satu-dua
masih kadang-kadang terlihat di sana seperti yang tadi ditemui laki-laki itu.
Menarik juga memperhatikan bagaimana pelebaran jalan dan lampu-lampunya bisa
menggeser aktivitas jual diri tadi, jauh lebih efektif daripada teori-teori
yang ramai diperdebatkan orang.
Laki-laki itu berhenti di
depan sebuah swalayan mini, dengan berjalan kaki dia menuju tempat permainan
bola sodok yang ada di belakang swalayan tersebut. Hanya ada seorang anak muda,
laki-laki itu sempat berpikir untuk mengeluarkan beretta 92fs-nya
dari ransel yang dibawanya dan memuntahkan isinya ke kepala anak muda itu,
satu-satunya pelayan di tempat permainan bola sodok itu. Tapi niat itu urung
dilakukannya, dia tidak ingin memancing keributan, tidak sekarang, tidak di
tempat ini. Dengan sebuah tanda yang dibuat dari anggukan kepalanya, laki-laki
itu memanggil satu-satunya pelayan di tempat permainan bola sodok itu. Anak
muda itu --umurnya sepertinya masih belasan-- berlari mendatangi laki-laki itu.
"Berapa saya harus
bayar kalau mau main bola sodok di sini?"
"Satu koinnya tiga
ribu, Pak."
"Rata-rata berapa koin
dihabiskan orang dalam satu jam?"
"Sepuluh sampai lima
belas menit satu koinnya, sekitar lima sampai enam kali.."
"Ini lima puluh ribu,
saya pakai mejanya satu jam saja."
Anak itu kembali ke
tempatnya --sebuah bilik dengan dinding setinggi dada di bagian depan-- untuk
mengambil koin yang diperlukan, tapi laki-laki itu menghentikannya.
"Tidak usah, saya cuma
mau pakai mejanya."
Laki-laki itu lalu
mengeluarkan komputer jinjing dari dalam ranselnya, membukanya, menyalakannya,
dan setelah sebuah proses booting yang singkat, laki-laki itu segera
menghubungkan komputernya dengan jaringan internet yang membuatnya bisa
berhubungan dengan siapa saja di mana saja. Laki-laki itu lalu mencari alamat
semua surat kabar dan stasiun televisi yang ada di negeri ini sembari membuka
media sosial, bukan satu, tapi semua media sosial yang tersedia dalam jaringan
itu, jumlahnya lima atau mungkin lebih. Setelah membuat beberapa akun di semua
media sosial dengan nama palsu dan sebuah alamat surel sebagai syarat untuk
membuat akun-akun tersebut, laki-laki itu kemudian memulai aksinya dengan
sebuah gerakan yang lucu: celangak-celinguk.
Laki-laki itu masih menoleh
ke kanan dan ke kiri beberapa kali lagi untuk memeriksa keadaan. Sepertinya dia
begitu khawatir dengan keadaan sekitarnya, apapun yang akan dilakukannya
setelah ini pastilah sesuatu yang besar dan rahasia. Setelah memastikan bahwa
tidak ada orang di sekitarnya kecuali seorang anak muda yang tidak pernah
keluar dari biliknya, laki-laki itu mulai menyentuh papan ketik di komputer
jinjingnya. Dia menulis banyak surat elektronik dengan banyak alamat untuk
dituju, ke semua surat kabar dan stasiun televisi nasional. Lalu kesibukannya
beralih ke akun-akun media sosial yang baru dibuatnya, di sana dia juga
menuliskan sesuatu yang besar dan rahasia: rencana untuk membunuh presiden.
Yang membuatnya harus menulis begitu banyak surat dan menulis di banyak akun
adalah karena dia membuat banyak rencana yang tidak sama. Satu surat kepada
sebuah surat kabar menyebut bahwa dia akan menembak presiden dari jendela
sebuah gedung, di surat yang lain dia bilang dia akan meledakkan mobil di jalan
yang akan dilalui presiden dan pengawalnya, di satu akun dia menyebut akan
menghujani rombongan presiden dengan granat tangan, di akun yang lain dia
bilang dia akan menyelinap ke dalam kerumunan penonton, mendatangi presiden,
menatap matanya, lalu menusukkan gancu es ke lambungnya. Begitu banyak rencana
yang dia buat dan semuanya dia ceritakan kepada semua orang, laki-laki itu
sepertinya adalah campuran dari tolol, nekat, dan gila. Satu hal saja yang sama
dari semua suratnya, laki-laki itu mengatakan dengan terus terang hari dia akan
melakukan semua rencananya itu: Sabtu.
***
Jakarta sekarang justru
sedang dilanda kehebohan yang lain, ribuan kupu-kupu mendatanginya dari arah
timur. Seluruh petugas negara dikerahkan untuk menghalaunya karena petugas dari
kementerian pertanian sudah tidak mampu lagi mengatasinya. Bahkan semua petugas
keamanan, tentara dan polisi, kecuali satu peleton paspampres yang sedang sibuk
dengan urusannya sendiri, juga ikut dikerahkan untuk menghalau wabah kupu-kupu
itu. Yang paling merepotkan adalah kupu-kupu itu mengubah setiap orang yang
disentuhnya menjadi kupu-kupu juga, bukan satu, bukan dua, lima, sepuluh, atau
seratus, tapi ribuan kupu-kupu. Sekeras apapun orang-orang di Jakarta mencoba
mengusir dan membunuh gerombolan kupu-kupu itu, jumlahnya tidak pernah
berkurang, malah bertambah dalam kelipatan yang luar biasa. Satu per satu
orang-orang di Jakarta berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dan semakin lama
ribuan kupu-kupu itu --mungkin sekarang sudah jutaan-- semakin dekat dengan
istana. Belum selesai urusan dengan rencana pembunuhan dari seseorang yang kelihatannya
gila, paspampres sekarang juga dibuat sibuk dengan ribuan kupu-kupu yang mulai
mendekati istana dan mengancam keselamatan presiden.
***
Mungkin kamu tidak pernah
tahu bahwa benda yang berdetak di dalam jantungmu --yang diletakkan oleh
seseorang di masa lalu, yang tetap berdetak walau orang itu sudah pergi--
adalah bom waktu. Persoalan jadi runyam ketika ada orang lain, orang yang baru,
yang ingin memberimu detak jantung yang baru pula, bom waktu yang baru.
Jantungmu akan berdetak lebih kencang dari yang dulu, mengacaukan
hitung-hitungan waktu dan secara otomatis akan mempercepat terpicunya kedua bom
waktu itu. Kamu akan meledak, berantakan, dan berceceran. Lebih rumit lagi
kalau itu adalah keinginanmu sendiri, sebelum meledak, bahkan ketika dia masih
berhitung dia sudah membuatmu begitu gelisah. Jadi sekarang kamu mulai
mengingat orang pertama yang telah memberimu bom waktu, memberimu detak jantung
untuk pertama kalinya. Keinginanmu untuk meninggalkannya demi bom waktu yang
baru mulai menyiksamu. Tapi kadang-kadang, penyesalan datang di waktu yang
tidak tepat, bukan karena dia datang di waktumu yang paling telat, tapi karena
orang yang membuatmu menyesal kadang-kadang datang di waktu yang benar-benar
keliru.
Laki-laki itu masuk dari
pintu belakang, mengira kamu tidak akan ada di sana, tapi dia keliru, kamu
justru sedang menunggunya di dapur dengan dua buah cangkir yang berisi penuh
--satu kopi dan satu lagi teh-- dan segunung perasaan menyesal. Sandra Cisneros
menemanimu dengan kisah-kisahnya tentang perempuan-perempuan lemah dari ujung
dunia yang lain, dan tepat ketika Juan Pedro menampar Cleofilas sampai bibirnya
pecah dan mengucurkan darah, laki-laki itu masuk dari pintu belakang.
"Apa kau mabuk? Ya,
Tuhan! Aku sungguh tidak percaya kaupulang ke rumah dalam keadaan mabuk!"
serumu histeris.
"Semua pengecut
ternyata sama saja, mereka lebih suka membenamkan dirinya ke dalam minuman
setiap kali didera masalah daripada menghadapinya," katamu lagi dengan
sinis.
"Lalu apa yang harus
kulakukan menurutmu? Mengambil pisau, menusuk perutmu, lalu mencacahnya?"
laki-laki itu bertanya sambil menyemburkan bau alkohol dari mulutnya.
"Hanya kalau kau yakin
akulah penyebab masalahmu, hanya kalau kau yakin akulah penyebab gundah
gulanamu," katamu dengan berani.
Bom waktu itu akhirnya
meledak. Kamu tidak berlama-lama bicara dengan laki-laki itu, kamu
meninggalkannya dengan amarah yang membuncah, bahkan cangkir kopimu kamu
tinggalkan dalam keadaan penuh. Laki-laki itu juga tidak bicara lagi, dia
begitu lunglai dan duduk sendiri di dapur dengan kepala layu. Mungkin dia
sedang menyesali kebodohannya karena minum-minum ketika hubungan kalian sedang
memburuk, keinginanmu untuk kawin lagi jelas sudah memukul ulu hatinya, tapi
tertangkap basah dalam keadaan mabuk itulah yang membuatnya jatuh tersungkur.
Tapi bisa jadi laki-laki itu cuma terlalu mabuk untuk bisa menegakkan
kepalanya.
***
Saya masih berada di
pelataran sebuah bank swasta sambil memandangi orang-orang dari sebuah
ketinggian, kupu-kupu yang tadi mendatangi saya sudah pergi entah ke mana. Di
bawah sana, di dekat sebuah kios penjaja rokok dan seorang penjual mainan
anak-anak, sebuah mobil yang tadi berusaha membelah jalanan kota Denpasar yang
macet akhirnya berhenti di pinggirnya. Perempuan di dalam mobil itu tampak
begitu kesal --siapa yang tidak kalau di tengah hari yang panas dan lalu-lintas
yang macet dirinya dipaksa menunggu di dalam mobil?-- tapi wajahnya yang penuh
dengan sudut tetap terlihat menarik, saya mulai yakin bahwa seperti itulah
wajah aktris telenovela Lucia Mendez dalam cerpen Sandra Cisneros.
Seorang anak di tempat penjual mainan menjajakan dagangannya sesekali meneriaki
perempuan itu, mungkin anak itu sedang meminta persetujuan darinya tentang
sesuatu. Mungkin mainan yang akan dibeli anak itu. Seorang laki-laki yang
sedang membeli sebatang rokok, eceran, tidak melepaskan pandangannya dari
perempuan di dalam mobil dan anak yang meneriakinya itu. Laki-laki itu kemudian
menyulut rokoknya, menghisap asapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke
udara dengan keras, seperti ada satu perasaan lega yang dilepaskannya bersama
asap rokoknya.
Saya tidak akan berbohong
kalau saya menyukai perempuan itu, saya laki-laki normal. Anak yang
meneriakinya belum tentu anaknya dan laki-laki yang mengawasinya belum tentu
suaminya. Saya berharap perempuan itu bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman
mobilnya lalu mendatangi saya, atau lebih mudah sebenarnya kalau dia berubah
saja menjadi kupu-kupu lalu terbang ke arah saya. Saya mungkin akan
menyambutnya seperti saya menyambut kupu-kupu yang tadi mendatangi saya,
menyambutnya seperti seorang laki-laki yang disesaki oleh perasaan rindu.
Perempuan itu sempat menatap saya, mengirimkan sebuah tanda dengan
mengerlingkan matanya yang membuat lutut saya lemas selemas-lemasnya.
Celakanya, tanpa saya sadari laki-laki yang sedari tadi mengawasinya juga
menangkap kerling mata perempuan itu. Laki-laki itu kemudian menyeberang jalan,
dia datang ke arah saya. Demi mengetahui laki-laki yang mengawasinya mendatangi
saya, perempuan itu buru-buru turun dari mobilnya. Saya tahu, masalah akan
segera menangkap saya.
Laki-laki itu akhirnya
sampai di hadapan saya. Perempuan itu berlari, padahal saya lebih suka kalau
dia mendatangi saya dengan cara terbang seperti kupu-kupu. Lalu seperti yang
saya duga, masalah akhirnya menyembur dari mulut laki-laki itu.
"Apa ini laki-laki yang
kaumaksud?" tanya laki-laki itu.
Perempuan itu tidak
menjawab, dia masih mengumpulkan nafasnya yang tercecer di jalan karena berlari
dengan terburu-buru menyusul laki-laki itu.
"Apa ini laki-laki yang
kaumaksud?" laki-laki itu bertanya lagi.
"Bisa jadi, tapi bisa
juga bukan," perempuan itu menjawab walaupun nafasnya masih
tersengal-sengal.
Saya tidak mengerti apa yang
sedang mereka bicarakan. Saya hanya bisa mengira-ngira bahwa perempuan itu
sedang berusaha membuat suaminya, laki-laki yang berdiri di hadapan saya,
cemburu. Sayangnya, laki-laki itu termakan siasatnya. Perempuan itu tidak sadar
bahwa dia sedang memainkan permainan yang sangat berbahaya. Saya laki-laki,
saya tahu apa artinya cemburu, tidak ada laki-laki di dunia ini yang sudi
membiarkan dirinya mati digerogoti cemburu, kalau bisa membunuh, mereka lebih
suka membunuh. Laki-laki di hadapan saya ini adalah jenis yang sama dengan
saya, jenis yang sama dengan semua laki-laki yang ada di dunia. Laki-laki itu
kemudian merogoh kemejanya dan mengeluarkan sepucuk pistol dari sana: beretta
92fs. Saya tidak percaya bahwa laki-laki ini adalah anggota paspampres
karena ini di Denpasar, jaraknya beratus-ratus kilometer dari Jakarta, dari
presiden yang seharusnya dijaganya. Cepat saya berdiri untuk menahan laki-laki
itu, tapi laki-laki yang cemburu selalu terburu-buru, pistolnya meletus
melontarkan sebutir peluru.
Peluru yang melompat keluar dari moncong pistol itu di mata saya berubah menjadi kupu-kupu, dia terbang ke sana kemari sebelum akhirnya hinggap --menghantam lebih tepatnya-- ke dada saya. Lucia Mendez, oh, Lucia Mendez, saya akan segera mendatangimu, hanya kalau imajinasi Sandra adalah surga. Tepat ketika peluru itu mengenai saya, tubuh saya berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dua di antaranya menabrak laki-laki dan perempuan itu, tubuh mereka juga berubah menjadi ribuan kupu-kupu. Ribuan kupu-kupu dari tubuh kami bertiga menabrak lebih banyak orang di bank itu, lebih banyak kupu-kupu sekarang. Dalam waktu sekejap, semua orang di Denpasar sudah berubah menjadi kupu-kupu. Lucia Mendez pasti akan sangat sibuk sekarang, banyak orang akan mendatanginya dalam waktu bersamaan, hanya kalau imajinasi Sandra adalah surga. Lalu seluruh Bali berubah menjadi kupu-kupu dan semua kupu-kupu itu sekarang terbang menuju Jakarta, sebentar lagi, orang-orang di Jakarta pasti juga akan berubah menjadi kupu-kupu, termasuk presiden. Kali ini satu peleton paspampres sekalipun tidak akan mampu mencegahnya, bahkan kalau beretta mereka terisi penuh. Besok pasti akan jadi berita besar, seorang presiden dibunuh oleh kupu-kupu.
Tidak terlalu tepat juga sebenarnya menyebutnya begitu, tapi siapa yang mau percaya bahwa satu butir peluru yang dilepaskan dari sepucuk beretta 92fs di Denpasar bisa menyebabkan kematian seorang presiden yang berada di Jakarta yang beratus-ratus kilometer jauhnya dari sini?
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment