Atrahasis: Tablet I (Mitologi Babilonia)

Mitologi Babilonia

Ketika para dewa masih melakukan pekerjaannya sendiri, memikul beban, beban para dewa menjadi terlalu berat, pekerjaannya terlalu keras, masalahnya terlalu banyak. Para Anunnaki yang agung menciptakan para Igigi untuk memikul beban kerja tujuh kali lipat. An ayah mereka adalah raja, penasihat mereka adalah Ellil, bendahara mereka adalah Ninurta, pengendali kanal mereka adalah Ennugi. Mereka mengambil kotak undian, lalu melempar undian dan para dewa membuat pembagian. An naik ke langit, dan Ellil mengambil bumi untuk kaumnya. Baut yang menghalangi lautan ditugaskan kepada Enki yang berpandangan jauh ke depan.

Ketika An sudah naik ke langit, dan Apsu sudah pergi ke bawah, para Anunnaki dari langit membuat para Igigi menanggung beban pekerjaan. Para dewa harus menggali kanal, harus membersihkan saluran, jalur kehidupan di tanah tersebut, para Igigi harus menggali kanal, harus membersihkan saluran, urat nadi kehidupan di tanah itu. Para dewa menggali dasar sungai Tigris kemudian menggali sungai Efrat. Di dalam laut dalam mereka mendirikan Apsu dari tanah di dalamnya lalu mereka mengangkat bagian atasnya dari semua gunung.

Mereka sedang menghitung tahun-tahun beban, mereka sedang menghitung tahun-tahun mereka diberi beban. Selama 3.600 tahun mereka menanggung beban itu, kerja keras, siang dan malam. Mereka mengerang dan saling menyalahkan, menggerutu di atas tumpukan tanah galian, “Mari kita menghadap bendahara kita, dan membuat dia membebaskan kita dari kerja keras kita! Ayo, mari kita bawa sang tuan, penasihat para dewa, sang pejuang, dari tempat tinggalnya. Ayo, mari kita bawa Ellil, penasihat para dewa, sang pejuang, dari tempat tinggalnya.”

Kemudian Alia pun mulai bersuara dan berbicara kepada para dewa Igigi saudara-saudaranya, “Ayo! Mari kita bawa penasihat para dewa, sang pejuang, dari tempat tinggalnya. Ayo! Mari kita bawa Ellil, penasihat para dewa, sang pejuang, dari tempat tinggalnya. Sekarang, teriakkanlah pemberontakan! Mari kita gabungkan kekuatan dalam pemberontakan!”

Para dewa Igigi mendengarkan kata-katanya, membakar alat mereka, menyisihkan sekop mereka untuk membuat api, memberikan beban mereka untuk dewa api, dan mereka berkobar. Ketika mereka mencapai gerbang tempat tinggal Ellil, saat itu malam, tengah malam, rumah itu dikepung, sang dewa masih belum menyadarinya. Saat itu malam, tengah malam, Ekur sudah dikepung, Ellil tidak menyadarinya. Tapi Kalkal penuh perhatian, dan menutupnya, dia memegang kunci dan mengawasi gerbang. Kalkal membangunkan Nusku. Mereka mendengarkan suara para Igigi. Kemudian Nusku membangunkan tuannya, membuatnya bangun dari tempat tidur, “Tuanku, rumahmu dikepung, gerombolan berlarian di sekitar pintu rumahmu! Ellil, rumahmu dikepung, gerombolan berlarian di sekitar pintu rumahmu!”

Ellil membawa senjata ke tempat tinggalnya. Ellil membuat suaranya terdengar Dan berbicara kepada menteri Nusku, “Nusku, tutup pintunya, angkat senjatamu dan berdirilah di hadapanku.”

Nusku menutup pintunya, mengambil senjatanya, dan berdiri di hadapan Ellil. Nusku membuat suaranya didengar dan berbicara kepada Ellil, “Wahai tuanku, wajahmu pucat seperti pohon tamariska! Mengapa kau takut pada anak-anakmu sendiri? Ellil, wajahmu pucat seperti tamariska! Mengapa kau takut pada anak-anakmu sendiri? Perintahkan An untuk dibawa turun kepadamu, perintahkan Enki untuk datang ke hadapanmu.”

Dia memerintahkan An untuk dibawa ke hadapannya, dia memerintahkan Enki untuk dibawa ke hadapannya. An penguasa langit hadir, Enki penguasa Apsu hadir. Para Anunnaki yang agung juga turut hadir. Ellil bangkit dan masalahnya pun dilimpahkan. Ellil membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada para dewa besar, “Apakah mereka sudah bangkit melawan aku? Haruskah aku bertempur? Apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri? Segerombolan orang berlarian di sekitar pintu rumahku!”

An membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada prajurit Ellil, “Biarkan Nusku keluar dan mencari tahu kata-kata para lgigi yang sudah mengepung pintu rumahmu.”

Ellil membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada menteri Nusku, “Nusku, buka pintunya, angkat senjatamu dan berdirilah di hadapanku.”

Nusku membuka pintunya, mengambil senjatanya, dan berdiri di hadapan Ellil. Di dalam perkumpulan semua dewa, dia membungkuk. Ellil membuat suaranya didengar dan berbicara kepada Nusku, “Nusku, buka pintunya, angkat senjatamu, lalu berdiri dan katakan pada mereka, ‘Ayahmu An, penasihatmu Ellil, bendaharamu Ninurta, dan pengendali kanalmu Ennugi, sudah mengirimku untuk mengatakan, siapa yang bertanggung jawab atas gerombolan ini? Siapa yang bertanggung jawab atas pertempuran? Siapa yang menyatakan perang? Siapa yang berlari ke pintu Ellil?’"

Nusku membuka pintunya, mengambil senjatanya, dan berdiri di hadapan para dewa Igigi dan menyampaikan pesannya, “Ayahmu An, penasihatmu Ellil, bendaharamu Ninurta, dan pengendali kanalmu Ennugi, sudah mengirimku untuk mengatakan, siapa yang bertanggung jawab atas gerombolan ini? Siapa yang bertanggung jawab atas pertempuran? Siapa yang menyatakan perang? Siapa yang berlari ke pintu Ellil?"

Kemudian Alia, pemimpin para dewa Igigi menjawab, “Setiap dari kami para dewa yang menyatakan perang! Kami sudah menghentikan penggalian. Bebannya berlebihan, ini membunuh kami! Pekerjaan kami terlalu keras, masalahnya terlalu banyak! Jadi setiap dari kami para dewa sudah setuju untuk mengeluh kepada Ellil.”

Nusku mengambil senjatanya, pergi dan kembali ke Ellil. “Tuanku, kau mengirimku ke perkumpulan para dewa, tapi mereka berkata, ‘Setiap dari kami para dewa yang menyatakan perang! Kami sudah menghentikan penggalian. Bebannya berlebihan, ini membunuh kami! Pekerjaan kami terlalu keras, masalahnya terlalu banyak! Jadi setiap dari kami para dewa sudah setuju untuk mengeluh kepada Ellil.’”

Ellil mendengarkan kata-kata itu. Air matanya mengalir. Ellil berbicara dengan hati-hati, berbicara kepada An, “Yang mulia, ambillah sebuah dekrit bersamamu ke langit, tunjukkan kekuatanmu. Ketika Anunnaki sedang duduk di hadapanmu, panggil satu dewa Igigi dan biarkan mereka melemparkannya untuk dihancurkan.”

An membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada para dewa, saudara-saudaranya, “Apa yang kita keluhkan? Pekerjaan mereka memang terlalu berat, masalah mereka terlalu banyak. Setiap hari bumi bergema. Sinyal peringatannya sudah cukup keras, kita terus mendengar kebisingan itu. Tapi kita mengabaikan mereka. Mereka memiliki hak untuk mwmbwrontak dan mengeluh kepada rumah Ellil.”

Ellil sangat marah mendengar jawaban ayahnya An. Kemudian Ea yang berpandangan jauh ke depan menyuarakan pendapatnya dan berbicara kepada para dewa, saudara-saudaranya, “Apa yang kita keluhkan? Pekerjaan mereka memang terlalu berat, masalah mereka terlalu banyak. Setiap hari bumi bergema. Sinyal peringatannya sudah cukup keras, kita terus mendengar kebisingan itu. Perintahkan Belet-ili sang dewi rahim hadir, perintahkan dia menciptakan manusia supaya mereka bisa memikul kuk, supaya mereka bisa memikul kuk pekerjaan Ellil, biarkan manusia menanggung beban para dewa!”

Mereka memanggil sang dewi, bertanya, bidan para dewa, Mami yang bijak, “Kau adalah dewi rahim pencipta umat manusia! Ciptakanlah manusia, supaya mereka bisa menanggung kuk! Biarlah mereka memikul kuk, pekerjaan Ellil, Biarkan manusia menanggung beban para dewa!”

Nintu membuat suaranya didengar dan berbicara kepada para dewa besar, “Tidak pantas bagiku untuk membuatnya. Itu adalah tugas Enki, dia yang membuat segalanya murni! Jika dia memberiku tanah liat, maka aku akan melakukannya.”

Enki membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada para dewa besar, “Pada tanggal satu, tujuh, dan lima belas setiap bulannya, aku akan melakukan pemurnian dengan mencuci. Maka satu dewa harus dikorbankan. Dan para dewa bisa disucikan dengan cara dicelupkan. Nintu akan mencampur tanah liat dengan dagingnya dan darahnya. Lalu dewa dan manusia akan dicampur dalam tanah liat. Mari kita dengarkan hentakan genderang selamanya, biarkan roh muncul dari tubuh dewa itu, biarlah dia menyatakannya sebagai tanda hidupnya, dan biarlah roh itu tetap ada agar tidak ada yang melupakan dewa yang dikorbankan.”

Mereka menjawab “Ya!” di majelis, para Anunnaki agung yang menentukan takdir. Pada tanggal satu, tujuh, dan lima belas setiap bulannya, dia melakukan pemurnian dengan mencuci. Ilawela yang memiliki kecerdasan, mereka mengorbankannya dalam perkumpulan mereka. Nintu mencampur tanah liat dengan daging dan darahnya. Mereka mendengar hentakan genderang itu selamanya. Roh muncul dari daging dewa itu, dan Nintu menyatakannya sebagai tanda kehidupannya. Roh itu tetap ada agar tidak ada yang melupakan dewa yang dikorbankan. Sesudah dia mencampur tanah liat itu, dia memanggil para Anunnaki, para dewa agung. Igigi, para dewa besar, meludahkan ludah ke tanah liat.

Mami membuat suaranya didengar dan berbicara kepada para dewa besar, “Aku sudah melakukannya dengan sempurna, pekerjaan yang kau perintahkan kepadaku. Kau sudah mengorbankan satu dewa bersama dengan kecerdasannya. Aku sudah membebaskanmu dari kerja kerasmu, aku sudah memberikan bebanmu kepada manusia. Kau sudah memberikan kebisingan kepada umat manusia. Aku sudah melepaskan belenggu itu dan memberikanmu kebebasan.”

Mereka mendengarkan kata-katanya itu, dan mereka terbebas dari kecemasan, lalu mencium kakinya, “Kami biasa memanggilmu Mami, tapi sekarang namamu akan menjadi Nyonya Semua Dewa.”

Enki yang berpandangan jauh ke depan dan Mami yang bijaksana pergi ke ruangan takdir. Para dewi rahim pun berkumpul. Enki menginjak tanah liat di hadapannya, sementara Mami terus membaca mantra bagi Enki, yang ada di dekatnya, Mami terus membaca mantranya. Ketika dia selesai mengucapkan mantranya, dia mencubit empat belas potongan tanah liat, dan menaruh tujuh potong di sebelah kanan, tujuh di kiri. Di antara mereka dia meletakkan batu bata lumpur. Dia mengambil sebatang alang-alang, membukanya untuk memotong tali pusar, memanggil orang-orang bijak dan berpengetahuan.

Dewi rahim, tujuh dan tujuh. Tujuh laki-laki diciptakan, tujuh perempuan diciptakan, karena dewi rahim adalah pencipta takdir. Dia membagi mereka dua per dua di hadapannya. Para dewi rahim berkumpul dan Nintu hadir. Mereka menghitung bulan-bulan, Disebut bulan kesepuluh sebagai istilah takdir. Ketika bulan kesepuluh tiba, dia menyelipkan tongkat dan membuka rahimnya. Wajahnya gembira dan bahagia. Dia menutupi kepalanya, melakukan tindakan kebidanan, mengenakan ikat pinggangnya, mengucapkan berkat. Dia membuat gambar di tepung dan menaruh lumpur bata.

Mami membuat peraturan untuk manusia. “Di rumah seorang perempuan yang sedang melahirkan, batu bata lumpur harus dipasang selama tujuh hari. Belet-ili, Mami yang bijak akan dihormati. Bidan akan bersukacita di rumah perempuan yang melahirkan dan ketika perempuan itu melahirkan bayinya, ibu bayi itu harus memotong tali pusarnya. Laki-laki akan bersatu dengan perempuan, anak laki-laki dengan anak perempuan. Seorang gadis akan siap dengan tanda dadanya, seorang pemuda akan siap dengan tanda janggut di pipinya. Di taman-taman dan di pinggir jalan mereka akan bersatu satu sama lain, seorang istri dan suami akan saling memilih."

Para dewi rahim berkumpul dan Nintu hadir. Mereka menghitung bulan, menyebut bulan kesembilan sebagai masa takdir. Ketika bulan kesembilan tiba, dia menyelipkan tongkatnya dan membuka rahim. Wajahnya gembira dan bahagia. Dia menutupi kepalanya, melakukan persalinan, mengenakan ikat pinggang, dan mengucapkan berkat. Dia membuat gambar di tepung dan meletakkan batu bata lumpur di tengahnya.

"Aku sendiri yang menciptakannya, tanganku yang membuatnya. Bidan akan bergembira di rumah pendeta qadistu. Ketika seorang perempuan melahirkan bayinya, ibu bayi itu harus memotong tali pusarnya. Batu bata lumpur akan diletakkan selama sembilan hari. Nintu sang dewi rahim akan dihormati. Dia akan memanggil dewi rahim "Mami". Dia akan menghormati dewi rahim, akan meletakkan kain linen, dan ketika tempat tidur diletakkan di rumah mereka, seorang istri dan suaminya akan saling memilih. Ishtar akan bergembira dalam hubungan istri-suami, di rumah ayah mertua, perayaan akan berlangsung selama sembilan hari, dan mereka akan memanggil Ishtar "Ishhara." Pada hari kelima belas, waktu takdir yang ditentukan, dia akan memanggil dewi rahim dan Ishtar untuk memberkati anak itu."

Enlil sangat senang dengan hasil kerja Enki yang berpandangan jauh ke depan dan Mami yang bijaksana. Para manusia baru itu tumbuh dengan cepat dan segera mereka menguasai peralatan, membuat beliung dan sekop baru, memperbesar kanal-kanal untuk memberi makan manusia dan menopang kehidupan para dewa.

Enam ratus tahun berlalu, dan enam ratus tahun lagi berlalu, dan negeri itu menjadi terlalu luas, orang-orangnya juga banyak sekali. Negeri itu riuh seperti auman banteng. Dewa menjadi gelisah dengan keributan mereka, Ellil harus mendengarkan kebisingan mereka. Dia menyapa para dewa besar, “Kebisingan manusia sudah menjadi terlalu banyak, aku jadi kehilangan tidur karena keributan mereka. Berikan perintah agar penyakit sakit kepala, suruppu, dan asakku keluar.” Namtar segera mengakhiri kegaduhan mereka. Penyakit sakit kepala, suruppu, dan asakku, menerjang mereka seperti badai.

Laki-laki yang bijaksana, Atrahasis, tetap mendengarkan tuannya Ea. Dia akan berbicara dengan tuannya, dan tuannya Ea akan berbicara dengannya. Atrahasis membuat suaranya terdengar dan berbicara, berkata kepada Ea, tuannya, "Berapa lama lagi para dewa akan membuat kami menderita? Apakah mereka akan membuat kami menderita penyakit selamanya? Tuanku, orang-orang menggerutu! Penyakit dari para dewa sedang menggerogoti negara ini! Karena kau yang menciptakan kami, maka kaulah yang harus menyingkirkan penyakit yang tidak suci ini."

Enki membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada pembantunya, “Panggillah para tetua, orang-orang senior! Mulailah pemberontakan di rumahmu sendiri. Biarkan para pembawa pesan mengumumkan, biarlah mereka membuat suara keras di bumi, ‘Janganlah kau menghormati dewa-dewamu, jangan berdoa kepada dewi-dewimu, tapi carilah pintu Namtara. Bawalah roti panggang ke hadapannya. Semoga persembahan tepung itu sampai padanya, semoga dia malu dengan hadiahnya, dan menyeka tangannya.”

Atrahasis menerima perintah itu, mengumpulkan para tetua di pintunya. Atrahasis membuat suaranya didengar dan berbicara kepada para tetua, “Aku sudah memanggil para tetua, orang-orang senior! Mulailah pemberontakan di rumahmu sendiri. Biarkan para pembawa pesan mengumumkan, biarlah mereka membuat suara keras di bumi, ‘Janganlah kau menghormati dewa-dewamu, jangan berdoa kepada dewi-dewimu, tapi carilah pintu Namtara. Bawalah roti panggang ke hadapannya. Semoga persembahan tepung itu sampai padanya, semoga dia malu dengan hadiahnya, dan menyeka tangannya.”

Para tetua mendengarkan kata-katanya, mereka membangun sebuah kuil untuk Namtara di kota itu. Para pembawa pesan mengumumkan, mereka membuat suara keras di bumi. Mereka tidak menghormati dewa-dewa mereka, tidak berdoa kepada dewi-dewi mereka, tapi mencari pintu Namtara, membawa roti panggang ke hadapannya. Persembahan tepung itu sampai kepadanya. Dan dia merasa malu dengan hadiah-hadiah itu, dan menyeka tangannya. Penyakit sakit kepala, suruppu, dan asakku pun meninggalkan mereka, dan para dewa kembali ke persembahan rutin mereka.

***

Kalau Anda menyukai kisah mitologi ini, Anda mungkin ingin membaca kelanjutannya di sini; atau membaca kisah mitologi Babilonia lainnya di sini.

***

Comments

Populer