Beberapa Kota Dan Beberapa Cerita Sedih
1. ML
Tidak banyak yang bisa saya ingat di kota ini,
saya masih terlalu kecil untuk itu. Saya hanya berhasil mengingat seruas jalan
yang curam menurun, jembatan dan sungai besar di bawahnya, sebuah hujan, dan
kereta kuda yang saya tumpangi bersama ayah saya sampai menemukan jalan utama
yang dilalui mobil angkutan umum untuk meneruskan perjalanan ke pusat kota. Di
pusat kota, ayah saya akan membelikan saya setangkup roti dengan gula dan
mentega di tengahnya sebelum membawa saya ke tempat permainan bola sodok. Ayah
saya memang menyukai permainan bola sodok, dia bisa memainkannya
semalam-malaman. Bahkan ketika satu kali ibu saya menelanjangi saya untuk
mencegah ayah saya pergi ke pusat kota, ayah saya tidak berhenti melangkahkan
kakinya. Saya dibawanya juga.
Saya jadi ingat bahwa saya menangis untuk
pertama kalinya di kota ini. Saya tidak dilahirkan di sini, saya dilahirkan di
kota J, tapi kalaupun saya menangis ketika dilahirkan, saya gagal mengingatnya.
Jadi saya putuskan bahwa air mata pertama saya tumpah di kota ML. Hal-hal yang
tidak bisa saya ingat sebaiknya saya abaikan, ini membuat hidup saya lebih
mudah. Tangis pertama saya terjadi ketika ibu saya menelanjangi saya untuk
mencegah ayah saya pergi ke pusat kota dan ayah saya tetap melangkahkan kakinya.
Ayah saya membungkus tubuh saya dengan jaketnya lalu menyerahkan saya kepada
seorang perempuan pencatat angka di tempat permainan bola sodok, dia sendiri
kemudian kembali bermain dengan teman-temannya.
Berbeda dengan kota ini, saya mengingat banyak
hal dari perempuan itu. Saya mengingat rambutnya yang sebahu, bajunya yang
putih, roknya yang hitam, bekas luka di lutut kirinya dan sandal jepitnya yang
bertali hijau. Perempuan itu seharusnya memakai sepatu berwarna hitam seperti
perempuan pencatat angka lainnya, tapi sepertinya jam kerjanya sudah berakhir,
karenanya dia memilih untuk memakai sandal jepit dengan tali berwarna hijau
tadi. Perempuan itu membawa saya ke salah satu meja permainan bola sodok yang kosong,
sepertinya meja yang tadi dijaganya, lalu dia mengambil spidol hitam dan mulai
menggambar di papan tulis putih di seberang meja.
Perempuan itu mulai menggambar beberapa
lingkaran berbagai ukuran di papan tulis putih tadi, lalu melengkapinya dengan
garis-garis berdiri di atas setiap lingkaran. Menurutnya, itu adalah gambar
perahu, dilihat dari jauh. Saya tidak pernah melihat perahu sebelumnya, jadi
saya tidak bisa membedakan perahu yang dilihat dari jauh dengan perahu yang
dilihat dari dekat. Tapi perempuan itu menggambar lagi, kali ini beberapa
gambar yang menyerupai irisan semangka dengan segitiga di atasnya. Saya menduga
kalau itu adalah gambar perahu yang dilihat dari dekat. Ternyata dugaan saya
benar. Perempuan itu menggambar lebih banyak perahu sampai papan tulis itu
penuh, sepertinya dia tahu kalau dalam waktu dekat saya akan melihat perahu,
banyak perahu.
Setelah saya ingat-ingat lagi, ternyata saya mengingat banyak hal dari kota ini.
2. BJ
Ayah saya membawa saya ke kota ini dengan
sebuah perahu besar. Ketika di pelabuhan, saya tidak melihat perahu yang
berbentuk bulat ataupun yang menyerupai irisan semangka, baik yang dilihat dari
jauh maupun dari dekat. Seingat saya, tiga hari dua malam lamanya kami
diombang-ambingkan ombak di tengah lautan. Tiga hari dua malam itu cukup aneh
buat saya. Entah kenapa orang harus memisahkan hari dengan malam atau menyebut
siang dengan hari. Mungkin lebih tepat kalau orang menyebutnya dengan angka,
dua setengah hari, ini lebih pas. Penyebutan seperti ini mungkin akan membuat
orang ragu, setengah hari itu ditempuh ketika siang atau malam. Di sini saya
belajar satu hal, kebenaran justru bisa membuat orang dilanda keragu-raguan.
Ketika kami sampai di kota ini, orang-orang
menyambut kami dengan semacam ritual, beberapa perempuan menari dan beberapa
yang lain mengalungkan bunga ke leher saya dan ayah saya. Saya tidak melihat
ada hal yang berguna dari ini, saya bahkan tidak bisa mengingat satu pun wajah
perempuan yang menyambut kami, baik yang sedang menari maupun yang mengalungkan
bunga tadi. Saya tidak yakin perempuan-perempuan ini akan menggambarkan perahu
untuk saya, pertama karena tidak satu pun dari mereka menyerupai perempuan pencatat
angka di tempat permainan bola sodok dan kedua karena saya sudah pernah melihat
perahu, mereka tidak akan bisa menipu saya. Ayah saya sendiri terlihat sedang
berbisik-bisik dengan salah satu perempuan, dia pasti sedang menanyakan tempat
permainan bola sodok di kota ini, saya tahu itu.
Kota ini konon mendapatkan namanya dari sebuah
pohon, pohon BJ tentu saja. Saya juga tidak tahu seperti apa pohon BJ itu,
kalau ada yang bertanya. Tapi kalau pohon itu memang ada, dia pasti sangat
besar. Seingat saya, ayah saya juga tidak tahu seperti apa pohon BJ itu. Bahkan
saya kira ayah saya tidak pernah tahu bahwa kota ini dinamai sama dengan nama
sebuah pohon. Tapi guru-guru di sekolah saya mengatakan bahwa BJ itu semacam
beringin. Saya kemudian mengingat pohon beringin yang memang bisa tumbuh sampai
besar sekali. Dengan akar-akar yang menggantung, pohon beringin di ingatan saya
itu terlihat begitu kekar dan sangar. Ingatan saya kemudian membentuk
citraan-citraan tentang setan yang pernah saya dengar dari cerita-cerita
orang-orang tua, setan yang berasal dari roh orang yang mati gantung diri di
pohon beringin.
Pohon BJ itu sudah tidak ada. Orang-orang di
kota ini juga lupa membuatkan monumen untuknya. Seorang teman menceritakan
kepada saya tentang sebatang tunggul bangkai pohon besar di utara kota. Dia
meyakininya sebagai bangkai pohon BJ. Saya memilih untuk tidak percaya
kepadanya. Tapi di tengah kota ada sebatang pohon beringin besar. Orang-orang
sering menghabiskan waktu di sana berdua-duaan. Saya kira, mereka tidak berniat
gantung diri di sana, wajah mereka rata-rata dihiasi tawa yang lebar.
Pelan-pelan, citraan tentang setan yang tinggal di pohon besar mulai luntur
dari kepala saya. Tapi ingatan tentangnya masih tetap ada di kepala saya. Ini
yang membuat saya tetap menjaga jarak dengan pohon beringin di tengah kota itu,
bahkan dengan pohon-pohon besar lainnya.
Kalau ada pohon yang ditinggali setan, maka
itu adalah tiga pohon randu yang berbaris rapi di sebelah rumah kami. Ayah saya
tidak pernah peduli dengan hal ini, tapi tidak begitu dengan orang-orang di
sekitar tempat kami tinggal. Beberapa dari mereka mengaku pernah melihat
bayangan-bayangan aneh yang keluar dari salah satu pohon itu. Cerita-cerita
seram pun mulai menyebar, orang-orang mulai membuat setan menurut versi mereka
sendiri. Saya sendiri sering mencium bau-bau aneh yang berasal dari pohon itu,
satu kali dia berbau wangi, kali yang lain dia berbau busuk seperti bangkai
yang diabaikan selama berhari-hari. Tapi seperti sudah saya katakan, ayah saya
tidak pernah peduli dengan hal ini. Keluhan-keluhan saya pun tidak pernah
dihiraukannya.
Satu hari, seseorang berhasil meyakinkan semua
orang di sekitar rumah kami untuk datang menemui ayah saya dan memintanya
menebang tiga pohon randu itu. Ayah saya tidak keberatan dengan itu, dia tidak
pernah berkeberatan dengan banyak hal. Lagipula, tiga pohon randu itu tidak
pernah mengganggunya atau memberinya keuntungan. Hanya satu syarat yang
diberikan ayah saya kepada semua orang, mereka harus menebang ketiga pohon itu
sendiri. Mereka setuju. Maka mulailah mereka menebang tiga pohon randu itu.
Ketika gergaji bermesin yang mereka pakai macet, mereka memutuskan untuk
menggunakan kapak, tapi kali ini, mereka menancapkan tiga batang paku di setiap
pohon terlebih dahulu, lalu menggantungkan bunga di sana. Orang-orang itu
percaya, dengan cara itu setan yang tinggal di tiga pohon randu itu akan pergi.
Ingatan saya membawa saya kembali ke waktu ketika kami baru datang ke kota ini
dan mendapat kalungan bunga. Saya kini percaya bahwa di tubuh saya juga ada
setan. Juga di tubuh ayah saya.
Tanpa ada yang tahu, saya mencabut tiga batang
paku yang menancap di batang pohon randu yang sudah tumbang dan menyimpannya di
dalam kantung celana saya.
3. MD
Ayah saya memutuskan pindah ke kota ini
setelah mengidap penyakit yang tidak kunjung sembuh. Rumor yang berkembang
mengatakan bahwa itu dikarenakan ayah saya membiarkan orang menebang
pohon-pohon randu di sebelah rumah kami dulu. Tapi ayah saya tidak pernah
percaya hal ini, dia tidak pernah percaya bahwa sebatang, atau tiga batang,
pohon bisa membuatnya sakit, kecuali kalau pohon itu tumbang menimpa kakinya.
Jadi ayah saya menolak orang-orang yang datang ke rumah kami untuk mengobatinya
dengan membawa berbagai macam bunga. Kalau pohon tidak bisa menyebabkan orang
sakit, maka seharusnya bunga juga tidak bisa membuat orang sembuh dari sakit,
mungkin begitu pikir ayah saya. Saya sendiri merasa lega karena saya takut
kalau-kalau orang itu akan menebang ayah saya dengan kapak setelah memberinya
bunga.
Di kota ini saya mempelajari banyak hal.
Setidaknya ada tiga hal yang saya ingat, pertama: membaca. Ayah saya yang
mengajari saya membaca. Hal ini tidak lepas dari sakitnya ayah saya, dia jadi
punya lebih banyak waktu bersama saya. Ayah saya mengajari saya membaca dengan
cara membawa saya berkeliling kota dengan mobil. Dari dalam mobil saya harus
membaca papan nama setiap toko yang kami lalui. Ketika saya menemukan
kesulitan, ayah saya akan berhenti sebentar di depan toko tersebut, lalu
memberi penjelasan. Pelan-pelan, saya mulai lancar membaca dan ketika saya
sudah bisa membaca setiap nama toko, ayah saya akan memacu mobilnya semakin
laju. Beberapa nama toko akhirnya terlewatkan, tapi ayah saya tidak menyalahkan
saya untuk hal ini, bahkan dia terlihat begitu gembira. Saya menduga kalau ayah
saya gembira karena berhasil mengalahkan saya dalam perlombaan membaca, antara
saya dengan mobilnya. Mungkin juga karena dia berhasil menemukan kegiatan baru
setelah dilarang oleh dokter untuk bermain bola sodok semalam-malaman.
Kebiasaan ini berlangsung sampai lama. Kami
berdua bisa berkendara sampai ke ujung kota, ke tempat tidak ada lagi papan
nama toko untuk dibaca. Orang-orang menyebutnya tempat jin membuang anak. Saya
tidak pernah mendengar ada jin yang mempunyai anak, kalaupun ada, saya tidak
mengerti kenapa dia harus membuang anaknya. Tapi di ujung kota ini ada satu
warung makan yang dimiliki oleh beberapa anak muda. Tidak satu pun dari mereka
yang terlihat seperti anak jin. Saya dan ayah saya sering menghabiskan waktu di
sini selepas menyelesaikan perlombaan membaca kami. Seiring dengan meningkatnya
kemampuan membaca saya dan ayah saya yang memacu mobilnya semakin laju, kami
semakin sering berada di warung makan ini untuk waktu yang lama.
Satu kali ketika saya dan ayah sana sedang
berada di warung makan itu, tiga pemuda masuk, berteriak-teriak dengan keras,
mengaku baru keluar dari penjara dan menebar ketakutan pada semua orang yang
ada di sana, kecuali ayah saya. Ayah saya bahkan tidak menoleh untuk memeriksa
ketiga pemuda itu. Ketika saya mengintip dari balik bahunya, saya melihat
ketiga pemuda itu berjajar rapi seperti tiga pohon randu di sebelah rumah saya
yang sudah ditebang orang. Pantas saja ayah saya tidak merasa takut, dia tidak
peduli. Hanya saja saya melihat tangan ayah saya erat menggenggam garpu. Mata
saya berkeliling mencari bunga, saya masih ingat ritual yang dilakukan
orang-orang ketika menebang tiga pohon randu di sebelah rumah saya dulu. Tapi
untuk sesaat saya merasa ragu, apakah tubuh ketiga pemuda itu ditinggali setan
atau ketiganya adalah anak-anak yang dibuang oleh jin, saya tidak tahu apakah
ritual yang sama bisa dipakai untuk melumpuhkan anak jin atau tidak. Beruntung
ketiga pemuda tadi akhirnya beringsut mundur setelah salah satu anak muda
pemilik warung itu keluar dari dapur dengan kapak di tangan. Beruntung ketiga
pemuda tadi tidak tahu bahwa kapak itu tidak ada gunanya tanpa paku dan bunga.
Pelajaran kedua tidak datang dari ayah saya,
dia datang dari teman-teman saya, dan itu adalah pelajaran bahasa. Seorang
teman dari sebuah etnis berbaik hati mengajari saya beberapa kata, salah
satunya adalah ucapan selamat pagi. Dengan modal pelajaran kilat dari teman
saya itu, saya memberanikan diri untuk menyapa guru saya. Betapa runyam keadaan
waktu itu karena ternyata kata yang diajarkan oleh teman saya kepada saya
berarti alat kelamin wanita dalam bahasa etnisnya. Menjadi runyam karena guru
saya pun rupa-rupanya menemukan kesulitan untuk menjelaskan kepada saya.
Kejadian seperti ini tidak menimpa saya satu-dua kali saja karena beberapa
teman dari etnis yang lain pun melakukan hal yang sama kepada saya. Sisi
baiknya, saya sekarang bisa menyebut alat kelamin wanita dalam, setidaknya,
lima bahasa.
Pelajaran ketiga adalah jatuh cinta. Tetangga
tiga rumah di sebelah timur rumah kami adalah sepasang suami istri dengan
seorang anak yang masih kecil dan keponakan perempuan si istri yang menjadi
pengasuh anaknya. Perempuan pengasuh anak inilah yang mengajari saya soal jatuh
cinta. Saya sering melihat beberapa pemuda yang membawakannya bunga, cuma saya
yang membawakannya tiga batang paku. Saya juga tidak tahu harus saya apakan
paku-paku itu, tapi cuma itu yang saya punya. Perempuan itu menyuruh saya meletakkannya
saja di atas meja ruang tamunya. Saya tidak tahu apakah itu berarti bahwa dia
menyukai saya atau dia justru tahu soal ritual menebang pohon randu. Yang saya
ingat, perempuan itu tertawa kecil ketika menyuruh saya melakukan hal itu
sebelum pergi ke dapur untuk membuatkan saya secangkir teh.
Satu hari saya melihat perempuan pengasuh anak
itu keluar dari rumahnya bersama seorang pemuda yang membawa sepeda motor. Saya
rasa pemuda itu sudah berhasil membuat perempuan pengasuh anak itu menyukainya.
Saya sekarang mengerti, untuk mengusir setan dibutuhkan bunga dan tiga batang
paku, tapi untuk mendapatkan perempuan saya harus punya sepeda motor. Saya bisa
membaca papan nama-papan nama toko dengan cepat, tapi saya tidak bisa membaca
perempuan yang menginginkan sepeda motor, atau menginginkan pemuda dengan
sepeda motor. Kali ini saya belajar bahwa ketika orang jatuh cinta orang juga
bisa patah hati, dan saya mulai menyebut-nyebut alat kelamin wanita, merapalnya
seperti mantra, dalam lima bahasa. Ini membuat perasaan saya sedikit lebih
baik.
Ketika satu kali saya sempat mengunjungi kota
BJ lagi, saya melihat ketiga pohon randu yang dulu ditebang orang-orang
ternyata tidak benar-benar mati, dari tunggul ketiganya tumbuh tujuh atau
delapan tunas baru. Kalau tiga pohon randu bisa dihuni satu setan, maka tujuh
atau delapan pohon randu mungkin akan mengundang dua atau tiga setan untuk
tinggal. Saya sempat berpikir untuk menggantung diri saya di salah satu dari
tujuh atau delapan pohon randu ini nanti kalau mereka sudah cukup besar dan
kuat, lalu menjadi setan dan tinggal di dalamnya sehingga tidak perlu lagi
jatuh cinta atau patah hati. Saya memutuskan untuk meminta tiga batang paku
saya lagi dari perempuan pengasuh anak tetangga saya sekembalinya saya ke kota
MD.
4. JG
Ibu saya mengirim saya ke kota ini untuk
mempelajari lebih banyak hal, menyebut alat kelamin wanita dalam beberapa
bahasa lagi tentu bukan salah satunya, jadi saya memutuskan untuk mencoba tidak
banyak berteman atau jatuh cinta di kota ini. Ibu saya memasukkan semua pakaian
saya ke dalam sebuah koper merah besar, alih-alih mengirim saya untuk belajar,
saya justru merasa sedang dibuang oleh ibu saya. Saya mulai menduga-duga kalau
jin yang sering dikatakan orang suka membuang anaknya pasti berjenis kelamin perempuan.
Ini membingungkan saya, di tubuh ayah saya ada setan dan ibu saya jin, lalu
saya ini apa? Belum lagi kalau memikirkan bahwa di tubuh saya juga ada setan,
jangan-jangan saya ini adalah jin dengan tubuh yang ditinggali oleh setan. Tapi
bukankah jin seharusnya berjenis kelamin perempuan?
Tiga hari dua malam, atau lebih tepatnya dua
setengah hari, saya menempuh perjalanan dari kota MD ke kota JG, kali ini
dengan bus. Tidak banyak yang bisa saya lakukan di dalam kaleng beroda ini, dua
setengah hari lebih sering saya habiskan dengan tidur. Tidak ada yang bisa saya
ceritakan di sini, kecuali telapak kaki saya yang mulai membengkak karena
jarang bergerak. Sekarang saya tahu, entah saya ini jin atau setan, saya tidak
bisa tinggal di dalam bus. Ini membuat tidur saya semakin tenang karena saya
yakin kalau tidak satu pun dari orang-orang yang berada di dalam bus bersama
saya adalah jin atau setan, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Walaupun saya sudah memutuskan untuk tidak
membuat banyak teman di kota ini, tapi hal itu tidak terhindarkan. Saya
mengingat minimal tiga orang yang menjadi teman saya, seorang dokter, seorang
istri pengacara, dan seorang pemabuk, dua yang pertama saya kenal di sebuah
tempat judi. Dokter yang menjadi teman saya itu selalu membawa payung setiap
kali berjudi. Kalau dia menang judi, dia akan memanggil tukang becak dengan
mengacungkan payungnya, lalu meminta diantarkan berkeliling kota. Sesekali saya
ikut dengannya. Kalau kalah, dia akan mengembangkan payungnya, tidak peduli
hujan atau tidak, lalu berjalan kaki ke arah rumahnya sambil bernyanyi. Lagunya
selalu sama, saya tidak tahu judulnya, tapi satu liriknya yang saya ingat
adalah 'senyum dan tawa hanya sekedar saja, sebagai pelengkap sempurnanya
sandiwara...'. Dari dokter ini saya belajar bahwa suka dan duka tidak ada
hubungannya dengan keberuntungan atau ketidakberuntungan. Mungkin juga dokter
itu cuma tidak bisa menyebut alat kelamin wanita dalam banyak bahasa seperti
saya.
Istri pengacara itu juga saya kenal di tempat
judi. Dia biasanya datang bersama suaminya, bahkan bersama kedua orangtuanya,
tapi mereka berempat selalu duduk terpisah dan bermain judi sendiri-sendiri.
Saya bertemu dengannya secara tidak sengaja di toilet di tempat judi itu. Kami
cuma berpapasan sebentar, tapi dia memandang saya dengan tatapan mata yang
menurut saya sedikit aneh. Pertemuan kedua kami di toilet yang sama berlangsung
sedikit lebih lama karena dia mengajak saya bicara. Kami memulai percakapan dengan
saling menanyakan nama, lalu semuanya mengalir begitu saja menjelma menjadi
sebuah pertemuan yang berlangsung sedikit lebih lama. Di pertemuan ketiga dia
mengikuti saya masuk ke dalam toilet lalu menghujani wajah saya dengan ciuman,
saya tidak menolaknya, saya cuma heran bagaimana seorang istri pengacara bisa
menyukai seorang laki-laki yang belum jelas jin atau setan. Samar-samar saya
mendengarnya menyebut alat kelaminnya dalam satu bahasa yang saya kenali, dan
pertemuan itu berlangsung sedikit lebih lama dari pertemuan kedua yang sedikit
lebih lama dari pertemuan pertama.
Saya memutuskan untuk berhenti mengunjungi
tempat judi itu, saya sedang mencoba untuk tidak jatuh cinta di kota ini, saya
bahkan memutuskan untuk pindah ke tempat pondokan baru di selatan kota. Di
sinilah saya mengenal teman saya yang pemabuk. Teman saya ini sangat ditakuti
di kampungnya, tapi kepada saya dia begitu baik, saya sering memberinya
tumpangan tidur di kamar saya. Kami berteman tidak lama, seingat saya
pertemanan kami putus ketika teman saya itu meminta saya untuk memilihkan nama
untuk anak pertamanya. Teman saya datang membawa kitab suci, dia menuruti
perintah orang-orang tua untuk memberi nama anak sesuai dengan yang tertera di
dalam kitab suci. Saya belum pernah membaca kitab suci, jadi saya memilih satu
kata untuk nama anaknya dengan sembarangan. Saya membuka kitab suci yang dibawa
teman saya, menunjuk sembarang kata yang ada di sana, dan tanpa saya sadari,
jari saya berhenti di kata 'jahanam'. Teman saya yang pemabuk itu menangis
sejadi-jadinya, sepertinya dia menyesali perbuatannya, atau mungkin dia
menyesal meminta saya memilihkan nama untuk anaknya. Teman saya itu tidak
pernah marah kepada saya, tapi sejak kejadian memilih nama itu, dia tidak lagi
pernah menumpang tidur di kamar saya.
5. J
Di sinilah saya dilahirkan. Saya tidak bisa
mengorek secuil pun ingatan saya tentang kota ini di masa lalu, tapi yang saya
lihat sekarang adalah kota yang penuh dengan sumpah serapah, mobil mewah, dan
rumah-rumah megah. Saya datang ke kota ini setelah mendengar kabar ayah saya
yang baru saja meninggal di sini. Ironis kalau mengingat di kota saya
dilahirkan ayah saya justru berakhir hidupnya. Saya tidak menangis untuk
menunjukkan bahwa saya sedang berduka, bukan karena saya tidak mencintai ayah
saya atau lupa bagaimana dia pernah mengajari saya membaca dengan mobilnya,
tapi saya sudah belajar bahwa suka dan duka tidak ada hubungannya dengan
keberuntungan atau ketidakberuntungan. Ketika ayah saya dimakamkan, selain
pohon kamboja, saya melihat beberapa pohon beringin dan randu ada di sana, saya
jadi lebih tenang mengetahui ayah saya bisa tinggal di mana pun dia mau. Tiga
batang paku yang saya miliki saya kuburkan bersama ayah saya supaya tidak
seorang pun bisa mengusirnya dari pohon mana pun yang ditinggalinya nanti.
6. SMD
Sulit sekali mencari bir di sini. Setelah saya
meninggalkan kota J, selepas memakamkan ayah saya, saya jadi keranjingan minum
bir. Saya tidak tahu apakah kebiasaan ini ada hubungannya dengan kematian ayah
saya atau dia adalah kutukan karena sudah memilihkan jahanam untuk nama anak
pertama teman saya yang pemabuk di kota JG. Saya juga tidak lama di kota ini,
dengan bir yang sulit didapat, hujan di kota ini tidak mudah dihadapi. Hujan di
sini lebih keras dari hujan di kota-kota lain, terlebih dia bisa turun semalam-malaman
dan mengubah tanah menjadi bubur lumpur yang menyulitkan orang untuk
melangkahkan kaki. Entah bagaimana orang-orang di sini bertahan dari terjangan
hujan seperti itu.
7. DP
Di sinilah saya pada akhirnya. Di sini saya
mendengar kabar tentang orang-orang di kota BJ yang mati. Saya hitung-hitung
seharusnya tujuh atau delapan tunas pohon randu yang saya tinggalkan dulu
sekarang sudah besar, saya tidak tahu apakah orang-orang di kota BJ itu semua
mati gantung diri di pohon itu atau karena sebab lain, tapi setidaknya setelah
mati mereka bisa tinggal di sana. Saya tidak mendengar kabar tentang perempuan
pengasuh anak dari kota MD, mungkin dia sudah punya anak dan sekarang sedang mengasuh
anaknya sendiri. Saya juga membaca surat kabar yang memberitakan tentang
seorang pengacara yang membunuh istrinya, saya tidak tahu apakah istrinya
adalah perempuan yang pernah menciumi wajah saya di toilet di sebuah tempat
judi di kota JG atau bukan. Tapi saya juga mendengar kabar lain tentang seorang
dokter yang tewas tertabrak mobil di depan sebuah tempat judi, kali ini saya
yakin bahwa dokter itu adalah dokter teman saya dulu. Sama seperti perempuan
pengasuh anak dari kota MD, saya juga tidak mendengar kabar tentang seorang
pemabuk dengan anak bernama Jahanam.
Kematian mendatangi orang-orang satu per satu,
tidak ada yang sempat mengajari saya soal ini, tidak ayah saya, tidak dokter
yang pernah mengajak saya berkeliling kota dengan becak setelah menang judi,
tidak istri pengacara yang pernah menciumi wajah saya dan menyebut alat
kelaminnya dalam bahasa yang saya kenali, tidak juga orang-orang dari kota BJ.
Sebenarnya tidak ada yang saya cemaskan dari kematian walaupun saya tahu dengan
pasti bahwa dia juga akan mendatangi saya. Buat saya, kematian itu sama seperti
perahu ketika saya ada di kota ML, saya tidak tahu apakah dia berbentuk bulat
atau menyerupai irisan semangka, tapi ketika akhirnya saya melihat perahu untuk
pertama kalinya, perahu itu justru membawa saya ke kota lain, ke petualangan
lain untuk diceritakan.
Kebetulan beberapa hari yang lalu dua orang
adik kelas saya ketika belajar di kota JG datang ke sini. Saya sebenarnya tidak
terlalu mengingat mereka, tapi entah kenapa mereka mengingat saya dan meminta
untuk bertemu. Ketika saya bertemu dengan mereka, saya akhirnya tahu bahwa
tujuan mereka datang ke kota ini adalah untuk mengambil foto di beberapa tempat
di sini. Keduanya menunjukkan hasil-hasil foto yang pernah mereka ambil di
kota-kota lain. Adik kelas saya yang pertama melulu mengambil foto buih ombak
dan gelembung sabun, sementara adik kelas saya yang kedua menunjukkan foto
patung-patung. Saya tidak tahu apakah mereka berdua memang hanya mengambil foto
ketiga obyek itu atau apa pun yang mereka foto akan berubah menjadi buih ombak,
gelembung sabun, atau patung-patung.
Saya mendapati hal ini menarik. Ketika saya
tidak lagi menemukan tujuan hidup saya, ketika saya tidak lagi merasa perlu
mempelajari hal-hal lain, ketika saya tidak lagi ingin melakukan perjalanan dan
menceritakan tentang kota-kota lain, dan ketika saya tidak mencemaskan kematian
sementara satu-satunya pertanyaan yang mengganggu pikiran adalah tentang
kematian itu sendiri, maka ini saatnya untuk mencoba difoto oleh kedua adik
kelas saya itu. Saya memilih untuk difoto oleh adik kelas saya yang pertama, bukan
karena saya tidak ingin menjadi patung, tapi karena foto adik kelas saya yang
pertama masih memberikan pilihan apakah saya akan menjadi buih ombak atau
gelembung sabun. Dan saya bertaruh, saya pasti akan berubah menjadi gelembung
sabun.
Klik. Blub.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment