Surat-Surat Sepi Dan Waktu
: kepada mereka yang selalu ditunggu lampu-lampu.
Hari sudah mulai berkarat. Senja turun dengan cepat. Seorang perempuan berdiri dengan tabah di bawah lampu kota. Lampu kota jelas bukan halte atau stasiun, tapi perempuan itu tetap berdiri di sana. Menunggu. Entah apa atau siapa yang ditunggunya. Perempuan itu adalah perempuan waktu, dia tidak pernah terburu-buru. Maka perempuan itu tetap di sana, tetap di bawah lampu kota, tetap menunggu.
Lampu-lampu kota menyala satu demi satu. Malam mulai berwarna. Perempuan
itu mengikutinya. Dia berpindah dari satu lampu kota ke lampu kota yang lain,
dari satu cahaya ke cahaya yang lain. Sungguh sebuah pemandangan yang aneh.
Perempuan itu seperti sedang mengejar cahaya, tapi di lain kesempatan perempuan
itu justru terlihat sedang meninggalkan lampu-lampu yang menyala.
Seminggu yang lalu perempuan itu berdiri di bawah salah satu lampu itu.
Dia hanya tidak bisa mengingat yang mana. Ingatannya pendek. Langkahnya
panjang, tapi ingatannya pendek. Seminggu yang lalu itu juga perempuan itu
menemukan selembar surat di bawah salah satu lampu kota. Hanya selarik saja
isinya: "Hai, siapa namamu, Perempuan?" Surat itu masih
disimpannya, tapi lampu yang mana, dia tidak bisa mengingatnya.
Jadi selama seminggu penuh perempuan itu melakukan hal yang sama
berulang-ulang. Dia terus mendatangi lampu-lampu kota, menunggunya sampai
menyala, lalu mengejar sekaligus meninggalkan nyala itu. Perempuan itu berharap
dia bisa menemukan laki-laki --atau siapa pun-- yang meninggalkan surat itu.
Atau setidaknya perempuan itu berharap dia bisa mengingat lampu kota tempat dia
menemukan surat itu untuk pertama kalinya.
Di sisi lain kota itu, di tempat lampu-lampu belum menyala, seorang
laki-laki sedang duduk dan melamun dengan tekun di belakang meja kerjanya.
Tidak ada orang lain di kantor itu, semua orang sudah pulang memburu senja.
Hanya laki-laki ini yang tersisa. Laki-laki ini adalah laki-laki sepi, dia yang
selalu sendiri. Tidak pernah ada orang lain di sisinya untuk disebut teman.
Bahkan sepi bukan kawannya.
Kalau ada orang yang paling berdosa, yang telah membuat seorang perempuan
menunggui lampu-lampu kota selama seminggu penuh, maka laki-laki ini adalah
orangnya. Dialah yang sudah meletakkan selembar surat dengan hanya sebaris
kalimat di dalamnya di bawah sebuah lampu kota. Seminggu yang lalu dia
meletakkan sebuah surat di bawah lampu kota yang berdiri di depan toko roti.
Surat yang dingin di tengah malam yang sedang membeku.
Orang mungkin bertanya-tanya tentang motif, tentang tujuan laki-laki ini
meletakkan suratnya di bawah sebuah lampu kota. Orang bisa juga menerka-nerka
bahwa laki-laki ini sedang berusaha memberontak pada sepi yang menjadi
takdirnya. Tapi laki-laki ini cuma laki-laki sederhana. Dia cuma berpikir bahwa
sebuah lampu kota yang berdiri menanggung waktu pasti butuh teman. Kalaupun
mereka tidak saling bicara --lampu kota dan suratnya itu-- setidaknya mereka
berdua ada di sana untuk saling menjaga.
Malam sudah matang. Lampu-lampu kota menyala nyalang. Jam kerja sudah
lama berlalu. Tinggal beberapa orang saja yang masih sibuk. Dua di antaranya
adalah orang paling aneh di dunia. Seorang perempuan waktu yang setia menunggui
lampu-lampu dan seorang laki-laki sepi yang selalu iseng sendiri. Malam itu
mereka akan ditakdirkan bertemu. Pertemuan untuk sepasang orang aneh ini,
seharusnya juga menjadi sebuah pertemuan yang tidak biasa.
Laki-laki sepi itu akhirnya memutuskan untuk pergi. Kesepian membuatnya
tidak mengenal kata pulang, yang dia tahu hanya pergi. Setiap perjalanan adalah
pergi. Dia tidak peduli. Lampu kota yang pertama ditemuinya adalah lampu-lampu
kota yang berdiri di perempatan di dekat kantornya. Jumlahnya ada empat.
Laki-laki itu tidak pernah tertarik dengan mereka. Mereka tidak pernah kesepian
seperti dirinya. Bahkan mereka tidak pernah tidur.
Lampu kedua adalah lampu yang berdiri di depan sebuah toko perhiasan.
Sekitar enam meter dari empat lampu yang pertama. Lampu ini sebenarnya juga
selalu sendiri, tapi entah kenapa laki-laki itu tidak terlalu memperhatikannya.
Begitu juga lampu yang ketiga, keempat, dan beberapa lampu kota lagi, sampai
akhirnya laki-laki itu tiba di depan sebuah toko roti. Dia berhenti,
mencari-cari, dan mendapati bahwa suratnya sudah hilang.
Laki-laki itu kembali meneruskan perjalanannya. Sepertinya dia sudah
tidak terlalu peduli lagi pada suratnya atau lampu kota di depan toko roti itu.
Toh dia iseng saja ketika menulis lalu meninggalkan surat itu di sana.
Tapi tiga lampu dari lampu di depan toko roti berdiri laki-laki itu
menghentikan langkahnya. Sebuah surat tergeletak di bawah lampu itu. Diam,
sendiri, kesepian, dan kedinginan.
Isi surat yang ditemukan laki-laki itu juga singkat, sama singkatnya
dengan isi suratnya dulu: "Hai, di lampu kota yang mana kauletakkan
suratmu yang dulu?" Laki-laki itu terkejut. Di dalam mimpi pun dia
tidak pernah berharap suratnya akan dibalas. Sebatang lampu kota yang berdiri
sendiri di depan toko roti tentu tidak punya kemampuan membalas sebuah surat.
Bahkan kalau laki-laki itu memanggilnya dengan mesra.
Laki-laki itu melipat surat yang baru ditemukannya, memasukkannya ke
dalam saku bajunya. Dia masih menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari-cari
seseorang atau sesuatu yang meninggalkan surat itu di sana. Di dalam hatinya,
laki-laki itu berjanji untuk membalas surat itu nanti. Satu hal yang pasti,
laki-laki itu sekarang punya cerita untuk dibawa pulang. Atau pergi. Sebuah
cerita berarti seorang teman. Dan sebuah pertemuan akhirnya tuntas sudah.
Lalu surat-surat pun melayang dari Sepi ke Waktu, dari Waktu ke Sepi,
dari satu lampu kota ke lampu kota yang lain. Perempuan dan laki-laki itu
memang meninggalkan surat-surat mereka secara acak. Si perempuan tidak bisa
mengingat dengan tepat, si laki-laki iseng tak ada habisnya. Tapi mereka berdua
gembira. Perempuan itu tidak harus menunggu, dan si laki-laki tidak merasa
sendiri lagi. Setiap ada yang bertanya mereka berdua akan menjawab akur: "Aku
ditunggu lampu-lampu."
Pada satu kesempatan, di sepucuk surat yang tergeletak di bawah lampu di
depan kantor praja, si perempuan memperkenalkan dirinya sebagai Waktu. "Namaku
Waktu. Pekerjaanku menunggu," begitu katanya. Sementara si laki-laki
membalasnya di bawah lampu yang lain di dekat alun-alun. "Aku Sepi. Aku
selalu sendiri," demikian si laki-laki. Lalu sepucuk surat lagi, lalu
sepucuk lagi, lagi, lagi, lagi, dan lagi.
Tapi lampu kota tidak hanya dihuni oleh mereka berdua saja, lampu kota
dipenuhi manusia-manusia yang pergi, yang tidak pernah diam, yang tidak pernah
pulang. Surat-surat perempuan dan laki-laki itu tidak selalu sampai ke tangan
mereka, tapi mereka tetap membalasnya. Surat-surat yang tidak sampai itu
ditemukan atau dibaca oleh orang lain. Dalam sekejap, seluruh kota menjadi
lebih ceria. Setiap orang kini mendatangi lampu-lampu kota di mana saja mereka
bisa temukan dengan perasaan yang sama sekali lain.
Kejadian itu berlangsung selama berminggu-minggu. Anak-anak sekolah
bangun lebih pagi, mereka berlomba-lomba menjadi yang pertama menemukan surat
di bawah lampu kota. Mereka berlari dari satu lampu kota ke lampu kota yang
lain. Tanpa sadar mereka tiba di sekolah lebih awal. Buruh-buruh pabrik juga
sama. Membaca surat-surat yang mereka temukan di sepanjang jalan ke tempat
kerjanya membuat mereka merasakan emosi. Sesuatu yang sudah lama hilang. Mereka
menemukan kembali jiwa mereka. Mereka lebih bersemangat bekerja. Demikian juga
dengan polisi, demikian juga dengan pengacara, demikian juga dengan dokter,
dengan tentara, dengan tukang roti, tukang sayur, supir bis, penjual soto,
penjaja keliling, dan lain-lain, dan lain-lain. Semua orang di kota itu merasa
lebih bahagia sekarang.
Tapi semua yang ada di dunia ini fana. Keceriaan dan kebahagiaan tidak
terkecuali. Mereka ada di dunia ini, mengambang di udara, dan fana. Semua yang
fana pasti berakhir. Maka semua keceriaan dan kebahagiaan yang meliputi kota
ini pun akan segera berakhir. Akhir itu diawali dengan sebuah pengumuman di
televisi. Sebuah meteor akan menghantam bumi. Dunia akan menghadapi hari
akhirnya. Tapi sebelum itu, cuaca akan berubah drastis. Dunia diramalkan akan
berakhir bahkan sebelum meteor itu sampai ke bumi.
Semua yang ada di bawah langit di kota itu tiba-tiba melambat. Sebuah
halte tua masih termenung di tempatnya. Semakin lama semakin tua. Debu-debu
beterbangan enggan dihembus angin yang malas. Orang-orang berdiri di sana --di
halte itu-- menunggu dengan lesu demi menyadari bahwa suatu hari mereka tidak
akan lagi dijemput oleh bis kota, tapi oleh meteor raksasa dan perubahan cuaca.
Mereka akan dijemput. Oleh maut.
Semua orang sebenarnya tahu bahwa mereka pasti mati, tapi selama ini
kematian itu adalah misteri. Orang-orang tidak tahu kapan, di mana, dan
bagaimana mereka akan mati. Tapi ketika kepastian itu menjadi sepasti terbitnya
matahari pagi, orang-orang kehilangan semangatnya. Orang-orang itu bahkan sudah
mati jauh sebelum meteor menghantam, jauh sebelum cuaca berubah. Kepastian
memang menarik sekaligus menyakitkan.
Hanya satu yang tidak berubah: surat-surat Sepi dan Waktu. Kedua orang
itu tidak pernah mempedulikan soal meteor dan perubahan cuaca, mereka terlalu
sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka terus menulis surat, terus mendatangi
semua lampu kota yang ada di kota itu untuk meninggalkan surat di sana
sekaligus memungut balasannya. Sebelumnya mereka juga tidak pernah peduli kalau
surat-surat mereka dibaca oleh orang lain.
Hari-hari semakin mendebarkan. Matahari berdegup seperti dada laki-laki
yang baru pertama kali menyentuh bibir perempuan. Degup itu kencang, tapi tidak
ada seorang pun yang bisa mendengarnya. Persis seperti itulah hari-hari berlalu
di kota itu. Matahari membakar dengan garang, tapi tidak ada seorang pun yang
hangus atau mengeluh. Semua orang lebih suka menyembunyikan kepalanya di dalam
rumah masing-masing.
Sepi, hanya Sepi yang berani melintasi jalanan di kota itu. Waktu, hanya
Waktu yang tidak ragu berlalu di bawah matahari.
Hari yang ditunggu-tunggu --atau tidak-- semua orang akhirnya datang
juga. Hari itu diawali dengan hujan. Hujan dan beberapa hujan lagi selama
berhari-hari. Seluruh kota menggigil kedinginan. Orang-orang membenamkan
kepalanya semakin dalam ke lubang persembunyian mereka. Tapi Sepi dan Waktu
tidak takluk. Mereka menolak untuk tunduk. Hujan tetap mereka tempuh. Asal
lampu-lampu kota tetap berdiri. Asal lampu-lampu kota tetap menyala.
Surat-surat Sepi dan Waktu tetap mendatangi lampu-lampu kota, walaupun
sekarang surat-surat mereka harus berhadapan dengan hujan. Bahkan ketika angin
dingin membekukan hujan menjadi salju, Sepi dan Waktu tetap menulis. Kata-kata
yang mereka tuliskan seringkali luntur disapu genangan, atau terbang entah ke
mana, tapi tidak seperti keceriaan dan kebahagiaan orang-orang kota,
surat-surat Sepi dan Waktu tidak pernah berusaha menyembunyikan dirinya
sendiri. Mereka sekarang justru mengalir ke seluruh penjuru kota, mendatangi
orang-orang yang sedang mengurung diri. Surat-surat Sepi dan Waktu datang di
jendela-jendela yang lupa ditutup, mengetuk pintu-pintu yang terkunci, bahkan
di air yang mengalir di setiap pipa di rumah orang-orang kota.
Orang-orang yang sudah mulai lupa pada Sepi dan Waktu --pada surat-surat
mereka dan temaram lampu-lampu kota-- kembali diingatkan pada sesuatu yang dulu
pernah hilang dari diri mereka, lalu mereka dapatkan kembali, lalu sekarang
hilang lagi. Mereka menyadari bahwa mereka kehilangan keberanian mereka,
kebahagiaan mereka. Mereka kehilangan jiwa mereka, diri mereka sendiri. Dan
yang lebih parah dari itu semua, diri mereka sendirilah yang membuatnya begitu.
Orang-orang kemudian memutuskan bahwa malam itu juga, saat itu juga, mereka
harus keluar. Mereka harus keluar untuk menjemput kebahagiaan mereka kembali.
Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Pengumuman di
televisi ternyata tidak main-main. Meteor yang akan menabrak bumi, dilaporkan
hanya berjarak beberapa jam lagi dari tujuannya. Hujan masih turun, angin masih
dingin, dan salju masih beku, tapi lampu-lampu kota mulai padam satu demi satu.
Hujan membunuh lampu-lampu. Dimulai dari empat lampu kota di dekat kantor
seorang laki-laki yang selalu sendiri. Lalu enam meter kemudian, lampu di depan
toko perhiasan. Lalu enam meter lagi. Setiap enam meter sekali, lampu-lampu
padam.
Tinggal satu lampu yang belum padam, lampu di depan toko roti.
Orang-orang yang sudah menemukan keberanian mereka kembali menuju ke sana.
Logikanya sederhana, kalau ada orang ingin meninggalkan surat di bawah lampu
kota, maka cuma lampu kota di depan toko roti itu yang mungkin. Tapi tidak ada
selembar surat pun di sana. Mungkin laki-laki dan perempuan penulis surat itu
meninggalkannya di lampu kota yang lain. Tapi tidak, kedua orang itu memang
belum meninggalkan surat mereka di mana pun.
Malam ini sepertinya akan menjadi malam terakhir bagi setiap orang di
kota itu. Hujan tidak berhenti dan meteor hanya berjarak beberapa jam dari
tempat mereka berdiri. Tapi kini tidak ada raut ketakutan di wajah orang-orang
itu. Mereka diam dan tidak saling bicara, tapi bukan pasrah. Mereka bahagia.
Kalaupun mereka semua mati hari ini, mereka akan mati dengan bahagia. Luar
biasa.
Seorang perempuan tampak berjalan dari kejauhan. Setiap enam meter sekali
dia berhenti. Dia memandang ke atas setiap berhenti itu. Sepertinya perempuan
itu harus memastikan bahwa lampu kota yang didatanginya memang benar-benar
sudah mati. Atau bisa jadi dia hanya sedang berusaha mengenali lampu kota yang
tidak pernah bisa diingatnya. Orang-orang yang berkumpul di bawah lampu kota di
depan toko roti memandanginya dengan takjub. Di tangannya, di tangan perempuan
itu, tergenggam sepucuk surat yang pucat pasi.
Perempuan itu akhirnya sampai di bawah satu-satunya lampu yang masih
menyala di kota itu. Orang-orang ramai di sana. Sebagian dari mereka mulai
berpikir: "Betapa beruntungnya perempuan ini, menemukan surat terakhir
di malam yang tinggal beberapa jam ini." Perempuan itu sendiri justru
menjadi sedikit kikuk. Suratnya masih melekat di tangannya. Dia ingin
meninggalkannya di bawah lampu, tapi orang ramai di sana. Perempuan itu ingin
mencari lampu yang lain, tapi tidak ada lagi lampu yang lain. Semuanya sudah
mati dibunuh hujan dan cuaca buruk.
Melihat perempuan itu kebingungan, beberapa orang mulai menggeser
tubuhnya. Sedikit ruang terbuka untuk perempuan itu. Mereka pikir perempuan itu
pasti takut untuk berbaur dengan mereka. Tapi melihat surat di tangan perempuan
itu, beberapa orang mulai berpikir: "Jangan-jangan, perempuan ini
adalah salah satu dari penulis surat-surat kita." Maka orang-orang itu
membukakan ruang yang lebih lebar lagi untuk perempuan itu. Satu-satunya lampu
yang masih menyala di kota itu sekarang menghadapi situasi yang aneh, dikepung
oleh orang-orang kota.
Belum selesai dengan segala kekikukan dan keanehan itu, dari arah yang
lain, seorang laki-laki juga sedang mengayunkan langkahnya ke arah mereka. Ke
arah satu-satunya lampu yang masih menyala di kota itu. Berbeda dengan
perempuan tadi, langkah laki-laki ini begitu pasti. Salju yang membebani
pundaknya tidak dia hiraukan. Semakin dekat, orang-orang mulai bisa melihat
tangan laki-laki itu. Di tangan laki-laki itu juga ada sepucuk surat. Bagaimana
bisa ada dua pucuk surat di saat yang bersamaan, di malam yang sama, di lampu
kota yang sama?
Laki-laki itu sampai. Sendiri. Diterobosnya kerumunan orang yang sedang
mengepung seorang perempuan dan sebatang lampu kota yang tersisa. Di tengah
lingkaran orang-orang itu si laki-laki akhirnya bertemu dengan si perempuan.
Melihat surat yang tergenggam di tangan mereka masing-masing benak keduanya
mempertanyakan hal yang sama: "Diakah dia?"
Lama sekali suasana di bawah lampu di depan toko roti itu membeku sebeku
salju yang turun dari langit. Sepi dan Waktu tidak juga mau berlalu. Laki-laki
itu diam, perempuan itu juga diam. Orang-orang diam, toko roti diam, dan lampu
kota di depannya juga diam. Cuma meteor yang tidak. Dia terus melaju. Menggerus
waktu yang menjadi penghalang antara dirinya dengan tujuannya. Hujan dan angin
semakin kencang, tapi malam itu tidak ada yang bisa mereka terbangkan.
"Kau pasti Waktu," laki-laki itu mulai bicara.
"Kau pasti..," perempuan itu membuka suratnya, "Sepi. Kau
pasti Sepi."
"Huraaaaa!!!"
Orang-orang kota yang ada di sana bersorak gembira. Topi-topi melayang di
udara. Bahkan mereka melemparkan apa saja yang bisa mereka temukan. Orang-orang
saling berpelukan satu sama lain. Malam itu kebahagiaan mencapai puncaknya.
Mereka lupa pada meteor yang tinggal beberapa jam saja dari kepala mereka. Tapi
apalah mati kalau hati bahagia.
"Aku tidak bermaksud mempermainkanmu," laki-laki itu mulai
bicara lagi.
"Aku juga. Tapi suratmu sudah membuatku berjalan jauh. Lebih jauh
dari jarak terjauh yang pernah kutempuh," kata perempuan itu.
"Maaf kalau begitu," kata si laki-laki.
"Tidak, tidak apa-apa. Akhirnya aku bisa berhenti menunggu,"
sergah si perempuan.
"Dan kau membuatku punya teman," balas si laki-laki.
Gempa. Meteor sudah sangat dekat. Seluruh kota berguncang hebat. Sebuah
rumah di sisi utara kota mulai terbakar. Seseorang lupa mematikan tungku ketika
meninggalkannya. Di sisi lain kota itu, sebuah rumah rubuh. Rebah ke tanah.
Bola api terlihat di udara. Meteor menggesek udara dan menyalakan malam
seketika, tapi orang-orang tidak mempedulikannya. Mereka menunggu laki-laki
sepi dan perempuan waktu itu bicara. Mereka berharap, kebahagiaan akan mengalir
dari sana.
"Apa isi surat terakhirmu?" tanya si laki-laki.
"Kau sendiri, apa isi suratmu?" balas si perempuan.
Laki-laki itu membuka suratnya. Orang-orang lalu merapat di belakang
punggungnya. Sebaris kalimat tertera di sana: "Malam ini adalah malam
terakhir. Bagaimana kau akan melewati malammu?" Sebuah pertanyaan yang
juga ditanyakan oleh banyak orang kepada sesamanya, juga kepada dirinya
sendiri. Bagaimana mereka akan melewati malam terakhir mereka?
"Suratmu terdengar sedih. 'Bagaimana' itu sedih. Sebuah
kecemasan," kata perempuan itu.
"Untuk orang yang tidak bisa mengingat sebuah lampu kota kau cukup
bijaksana," kata si laki-laki.
Perempuan itu ganti membeber suratnya. Surat itu juga cuma berisi sebaris
kalimat. Sebuah kalimat yang sederhana: "Malam ini malam terakhir. Mari
kita pulang." Orang-orang yang ada di sana kemudian saling
berpandangan. Mereka seperti mendapat hantaman palu godam di kepala. Mereka
yang selalu pergi, yang tidak pernah diam, dan yang tidak pernah pulang.
Laki-laki itu juga sama. Dia tidak pernah mengenal kata pulang. Laki-laki itu
selalu pergi dan selama berminggu-minggu perempuan yang menjadi satu-satunya
temannya ternyata hanya ingin berkata: "Mari pulang."
Orang-orang mulai cemas. Mereka bahagia, tapi mereka cemas. Rumah-rumah
mereka sudah ambruk atau terbakar dimakan api. Mereka sudah tidak bisa pulang.
Laki-laki sepi itu apalagi. Dia tidak pernah pulang. Kalau sekarang dia harus
pulang, ke mana dia akan pulang?
"Ke mana aku harus pulang?" tanya laki-laki itu.
"Mereka yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah, tapi mereka
yang datang dari cahaya, ke mana mereka harus pulang?" perempuan itu balik
bertanya.
"Aku Waktu dan kau Sepi. Ke mana kita akan pulang menurutmu?"
perempuan itu bertanya lagi.
"Lampu kota!" pekik laki-laki itu.
Semua orang yang ada di sana terkejut. Mereka sekarang cuma punya satu
lampu kota yang menyala, lampu kota yang berdiri di depan sebuah toko roti. Dan
yang lebih penting dari kenyataan bahwa mereka tinggal punya satu lampu kota
adalah bagaimana caranya orang bisa pulang ke lampu-lampu kota? Sementara itu
meteor semakin dekat. Hujan semakin deras dan angin semakin ganas. Bagaimana
caranya mereka bisa pulang?
Laki-laki itu meraih tangan perempuan yang selalu menunggu itu. Sepi dan
Waktu sekarang bergandengan tangan. Bersama-sama mereka berkata, "O,
cahaya lampu, bawalah kami pulang."
"O, CAHAYA LAMPU, BAWALAH KAMI PULANG!"
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment