Bontsha Si Pendiam (Bontsha the Silent ~ I. L. Peretz)
Kalau seekor kuda, yang sedang menarik kereta di jalan, tumbang,
orang-orang akan berlarian dari segala arah untuk melihatnya, surat kabar akan
menulis tentang peristiwa yang menakjubkan ini, sebuah monumen akan didirikan
untuk menandai tempat jatuhnya kuda itu. Kalau kuda itu berasal dari ras yang
sama banyaknya dengan manusia, dia tidak akan diberi penghormatan ini. Lagipula,
ada berapa sih jumlah kuda? Tapi manusia —pasti ada ribuan juta jumlahnya!
Bontsha adalah manusia; selama hidup dia tidak dikenal, dan dalam kesunyian,
dalam kesunyian dia mati. Dia melewati dunia kita seperti bayangan. Ketika
Bontsha lahir, tidak ada seorang pun yang minum anggur; tidak ada suara gelas
berdenting. Ketika dia dibaptis, dia tidak mengucapkan kata-kata perayaan. Dia
hidup seperti sebutir pasir di tepi lautan luas, di antara jutaan butir pasir
lain yang persis sama, dan ketika angin akhirnya mengangkatnya dan membawanya
ke pantai di seberang lautan itu, tidak ada seorang pun yang memperhatikan,
tidak seorang pun sama sekali.
Selama hidupnya, kakinya tidak meninggalkan bekas di atas debu jalanan;
setelah kematiannya, angin meniup papan yang menandai kuburannya. Istri
penggali kubur menemukan sebatang kayu itu, yang tergeletak jauh dari kuburan,
dan dia mengambilnya lalu menggunakannya untuk membuat api di bawah kentang
yang sedang dimasaknya; kayu itu begitu cocok. Tiga hari setelah kematian
Bontsha, tidak seorang pun tahu di mana dia dikuburkan, baik penggali kubur
maupun orang lain. Seandainya Bontsha memiliki batu nisan, seseorang, bahkan
setelah seratus tahun, mungkin akan menemukannya, mungkin masih bisa membaca
kata-kata yang diukir, dan namanya, Bontsha Si Pendiam, mungkin tidak akan
lenyap dari bumi ini.
Sepertinya dia tidak akan pernah ada dalam ingatan siapa pun, tidak akan
pernah ada dalam hati siapa pun. Cuma bayangan! Tidak ada! Selesai!
Dalam kesendirian dia hidup, dan dalam kesendirian dia mati. Kalau bukan
karena kegaduhan manusia yang mengerikan, seseorang mungkin akan mendengar
suara tulang-tulang Bontsha gemeretak karena beban yang ditanggungnya;
seseorang mungkin akan melihat sekeliling dan melihat bahwa Bontsha juga
manusia, bahwa dia memiliki dua mata yang ketakutan dan mulut yang gemetar
tanpa suara; seseorang mungkin akan memperhatikan bagaimana, bahkan ketika dia
tidak membawa beban apa pun di punggungnya, dia tetap berjalan dengan kepala
tertunduk ke tanah, seolah-olah ketika masih hidup dia sudah mulai mencari
kuburannya.
Ketika Bontsha dibawa ke rumah sakit, sepuluh orang menunggunya mati dan
meninggalkan tempat tidurnya yang sempit buat mereka; ketika dia dibawa dari
rumah sakit ke kamar mayat, dua puluh orang menunggu untuk memakai kain
kafannya; ketika dia dikeluarkan dari kamar mayat, empat puluh orang menunggu
untuk berbaring di tempat dia akan berbaring selamanya. Siapa yang tahu berapa
banyak yang sekarang menunggu untuk merebut secuil tanah itu darinya?
Dalam kesunyian dia lahir, dalam kesunyian dia hidup, dalam kesunyian dia
mati —dan dalam kesunyian yang bahkan lebih dalam dia dibaringkan di tanah.
Ah, tapi di dunia lain tidak begitu! Tidak! Di surga, kematian Bontsha
merupakan peristiwa yang luar biasa. Terompet besar Sang Mesias mengumumkan
melalui tujuh surga: Bontsha Si Pendiam sudah mati! Para malaikat yang paling
agung, dengan sayap yang paling mengesankan, bergegas, terbang, untuk memberi
tahu satu sama lain, "Apakah kalian tahu siapa yang baru saja meninggal?
Bontsha! Bontsha Si Pendiam!"
Dan yang para malaikat kecil baru, yang masih muda dengan mata yang
cemerlang, dengan sayap emas dan sepatu perak, berlari untuk menyambut Bontsha,
tertawa dalam kegembiraan mereka. Suara kepakan sayap mereka, suara sepatu
perak mereka, saat mereka berlari untuk menemuinya, dan gelak tawa mereka, memenuhi
seluruh surga dengan kegembiraan, dan Tuhan sendiri tahu bahwa Bontsha Si
Pendiam akhirnya ada di sini.
Di gerbang besar menuju surga, Abraham, Bapa kita, mengulurkan tangannya
untuk menyambut dan memberkati: "Damai sejahtera bagimu!" Dan di
wajah tuanya, senyum manis yang dalam muncul.
Apa sebenarnya yang terjadi di surga sana?
Di sana, di surga, dua malaikat datang membawa takhta emas untuk diduduki
Bontsha, dan di kepalanya ada mahkota emas dengan permata yang berkilauan.
"Tapi kenapa takhta, mahkota, sudah ada?" dua orang kudus
penting bertanya. "Dia bahkan belum diadili di hadapan pengadilan surgawi
yang harus dijalani setiap pendatang baru." Suara mereka dipenuhi rasa
iri. "Apa yang terjadi di sini?"
Dan para malaikat menjawab kedua orang kudus penting itu bahwa, ya,
persidangan Bontsha belum dimulai, tapi itu hanya formalitas, bahkan jaksa
penuntut tidak akan berani membuka mulutnya. Dan, semuanya tidak akan memakan
waktu lebih dari lima menit!
"Ada apa denganmu?" tanya para malaikat. "Tidakkah kau tahu dengan siapa kau berhadapan? Kau berhadapan dengan Bontsha, Bontsha si Pendiam!"
Ketika para malaikat muda yang bernyanyi mengelilingi Bontsha dengan
penuh cinta, ketika Abraham, Bapa kita, memeluknya berulang kali, seperti
seorang sahabat lama, ketika Bontsha mendengar bahwa takhta menantinya, dan
mahkota untuk kepalanya, dan bahwa ketika dia nanti diadili di pengadilan
surga, tidak seorang pun akan mengatakan sepatah kata pun yang menentangnya —ketika
dia mendengar semua ini, Bontsha, persis seperti ketika dia berada di dunia
lain, terdiam. Dia terdiam karena takut. Hatinya bergetar, dalam nadinya
mengalir es, dan dia tahu ini semua pasti mimpi atau sebuah kesalahan.
Dia sudah biasa dengan keduanya, mimpi dan kesalahan. Sangat sering, di
dunia lain itu, dia bermimpi bahwa dia sedang menyekop uang dari jalan dengan penuh
semangat, bahwa seluruh harta benda tergeletak di jalan di bawah tangannya —dan
kemudian dia akan terbangun dan mendapati dirinya sebagai pengemis lagi, lebih
sengsara daripada sebelum mimpi itu.
Sangat sering di dunia lain itu seseorang tersenyum padanya, mengucapkan
kata-kata yang menyenangkan —dan kemudian, lewat lalu berbalik untuk melihat
lagi, menyadari kesalahannya dan meludahi Bontsha.
Bukankah itu sudah menjadi nasibku, pikirnya sekarang, dan dia takut
untuk mengangkat matanya, jangan-jangan mimpinya berakhir, jangan-jangan dia
terbangun dan mendapati dirinya lagi di bumi, terbaring di suatu tempat di
dalam lubang ular berbisa yang menjijikkan, dan dia takut untuk membuat suara
sekecil apa pun, untuk menggerakkan bulu mata sekalipun; dia gemetar dan dia
tidak bisa mendengar sanjungan para malaikat; dia tidak bisa melihat mereka
saat mereka menari dalam perayaan yang megah di sekelilingnya; dia tidak bisa
menjawab salam kasih dari Abraham, Bapa kita, "Damai sejahtera
bagimu!" Dan ketika akhirnya dia dibawa ke pengadilan agung di surga,
dia bahkan tidak bisa mengatakan "Selamat pagi." Dia lumpuh karena
ketakutan.
Dan ketika matanya yang memicing melihat lantai ruang pengadilan,
ketakutannya, kalau memungkinkan, meningkat. Lantai itu terbuat dari pualam
paling murni, bertabur berlian yang berkilauan. Di lantai seperti itu berdiri
kakiku, pikir Bontsha. Kakiku! Dia sangat takut. Siapa yang tahu, pikirnya,
untuk orang yang sangat kaya, atau rabi yang terpelajar, atau bahkan orang kudus,
semua ini sebenarnya dibuat? Orang kaya itu akan datang, kemudian semuanya akan
berakhir. Dia menundukkan matanya; dia menutupnya.
Dalam ketakutannya dia tidak mendengar ketika namanya dipanggil dengan
suara malaikat yang suci: "Bontsha Si Pendiam!" Karena denging di
telinganya dia tidak bisa mendengar kata-kata, suara itu terdengar seperti
suara musik, biola.
Tapi, apakah dia, mungkin, mendengar namanya sendiri, "Bontsha Si
Pendiam?" Kemudian suara itu menambahkan, "Baginya nama itu sama
pantasnya dengan mantel bagi orang kaya."
Apa? Apa yang dikatakannya? Bontsha bertanya-tanya, kemudian dia
mendengar suara tidak sabar menyela perkataan malaikat yang membelanya.
"Orang kaya! Mantel! Jangan ada metafora, tolong! Dan jangan sarkas!"
"Dia tidak pernah," malaikat pembela itu memulai lagi,
"mengeluh, tidak terhadap Tuhan, tidak terhadap manusia; matanya tidak
pernah memerah karena kebencian, dia tidak pernah melakukan protes terhadap
surga."
Bontsha tidak bisa memahami sepatah kata pun, dan suara kasar malaikat
penuntut itu menyela sekali lagi. "Jangan ada retorika lagi,
kumohon!"
"Penderitaannya tak terlukiskan. Lihatlah seorang laki-laki yang
lebih tersiksa daripada Ayub!"
Siapa? Bontsha bertanya-tanya. Siapakah laki-laki itu?
"Fakta! Fakta! Jangan bertele-tele dan tetaplah pada fakta,
kumohon!" seru hakim.
"Ketika dia berumur delapan hari, dia disunat--"
"Rincian yang terlalu detail seperti itu tidak diperlukan--"
"Pisau itu menyayat, dan dia bahkan tidak mencoba menghentikan
aliran darah--"
"--tidak mengenakkan. Berikan saja kami fakta-fakta yang
penting."
"Bahkan saat itu, sebagai seorang bayi, dia diam, dia tidak
berteriak kesakitan," pembela Bontsha melanjutkan. "Dia tetap
bungkam, bahkan ketika ibunya meninggal, dan dia diserahkan, seorang anak
laki-laki berumur tiga belas tahun, kepada seekor ular, seekor ular berbisa —seorang
ibu tiri!"
Hm, pikir Bontsha, mungkinkah yang mereka maksud itu aku?
"Perempuan itu tidak pernah memberinya makanan, hanya roti busuk
berjamur dan tulang rawan daging yang dia lemparkan padanya, sementara dia
sendiri minum kopi dengan krim."
"Tidak relevan dan tidak penting," kata hakim.
"Untuk semua itu, perempuan itu tidak ragu menancapkan kukunya yang
tajam menusuk dagingnya —daging yang terlihat hitam dan biru melalui kain
compang-camping yang dikenakannya. Di musim dingin, dalam cuaca yang sangat
dingin, perempuan itu menyuruhnya memotong kayu di halaman, tanpa alas kaki!
Lebih dari sekali kakinya membeku, dan tangannya, yang terlalu muda, terlalu
lembut, untuk mengangkat kayu gelondongan yang berat dan memotongnya. Tapi dia
selalu diam, dia tidak pernah mengeluh, bahkan kepada ayahnya—"
"Mengeluh! Kepada pemabuk itu!" Suara malaikat penuntut itu
meninggi dengan nada mengejek, dan tubuh Bontsha menjadi dingin karena ingatan
akan rasa takut.
"Dia tidak pernah mengeluh," lanjut pembela, "dan dia
selalu kesepian. Dia tidak pernah punya teman, tidak pernah dikirim ke sekolah,
tidak pernah diberi baju baru, tidak pernah merasakan kebebasan."
"Keberatan! Keberatan!" teriak jaksa penuntut dengan marah.
"Dia cuma mencoba memancing emosi dengan retorika yang tak karuan
ini!"
"Dia tetap diam bahkan ketika ayahnya, yang sedang mabuk berat,
menyeretnya keluar rumah dengan menjambak rambutnya dan melemparkannya ke malam
musim dingin, ke malam yang bersalju dan beku. Dia bangkit dengan tenang dari
salju dan berjalan ke kejauhan yang dituju matanya."
"Selama pengembaraannya, dia selalu diam; selama penderitaannya
karena kelaparan, dia hanya memohon dengan matanya. Dan akhirnya, pada suatu
malam musim semi yang lembap, dia terombang-ambing ke sebuah kota besar,
terombang-ambing di sana seperti daun yang tertiup angin, dan pada malam
pertamanya, nyaris tak terlihat, nyaris tak terdengar, dia dijebloskan ke
penjara. Dia tetap diam, dia tidak pernah protes, dia tidak pernah bertanya, Kenapa,
karena apa? Pintu-pintu penjara dibuka lagi, dan, bebas, dia mencari pekerjaan
yang paling hina dan kotor, dan dia tetap diam.
"Lebih mengerikan bahkan daripada pekerjaan itu sendiri adalah
mencari pekerjaan. Tersiksa dan tertindas oleh rasa sakit, oleh rasa sakit kram
di perut yang kosong, dia tidak pernah protes, dia selalu diam.
"Dicemari oleh kotoran kota yang asing, diludahi oleh mulut-mulut
yang tidak dikenal, diusir dari jalanan, tempat dia, diperlakukan sebagai
binatang pengangkut beban, dia melanjutkan pekerjaannya, seorang kuli, membawa
beban terberat di punggungnya, bergegas di antara kereta, gerobak, dan kuda,
menatap kematian di matanya setiap saat, dia tetap diam.
"Dia tidak pernah menghitung berapa pon yang harus diangkutnya untuk
mendapatkan satu sen; seringkali, dengan setiap langkah, dia tersandung dan
jatuh untuk mendapatkan satu sen itu. Dia tidak pernah menghitung berapa kali dia
hampir memuntahkan jiwanya, mengemis untuk mendapatkan penghasilannya. Dia tidak
pernah menghitung nasib buruknya, nasib baik orang lain. Tidak, tidak pernah. Dia
tetap diam. Dia bahkan tidak pernah menuntut penghasilannya sendiri; seperti
seorang pengemis, dia menunggu di pintu untuk apa yang menjadi haknya, dan
hanya di kedalaman matanya ada kerinduan yang tidak terucapkan. 'Kembalilah
nanti!' mereka akan memerintahnya; dan, seperti bayangan, dia akan menghilang,
dan kemudian, seperti bayangan, akan kembali dan berdiri menunggu, matanya
memohon, memohon, untuk apa yang menjadi miliknya. Dia tetap diam bahkan ketika
mereka menipunya, menahan, dengan satu atau lain alasan, sebagian besar
penghasilannya, atau memberinya uang yang tidak halal. Ya, dia tidak pernah
protes, dia selalu diam.
"Suatu kali," malaikat pembela melanjutkan, "Bontsha
menyeberangi jalan menuju air mancur untuk minum, dan pada saat itu seluruh
hidupnya berubah secara ajaib. Keajaiban apa yang terjadi yang mengubah seluruh
hidupnya? Sebuah kereta yang luar biasa, dengan ban karet, jatuh, diseret oleh
kuda-kuda yang melarikan diri; kusirnya, jatuh, tergeletak di jalan, kepalanya
terbelah. Dari mulut kuda-kuda yang ketakutan itu keluar buih, dan di mata
mereka yang liar percikan api menyambar seperti api di malam yang gelap, dan di
dalam kereta itu duduk seorang laki-laki, setengah hidup, setengah mati, dan
Bontsha meraih kekang dan menahan kuda-kuda itu. Laki-laki yang duduk di dalam
dan yang hidupnya terselamatkan, seorang Yahudi, seorang dermawan, tidak pernah
melupakan apa yang sudah dilakukan Bontsha untuknya. Dia menyerahkan cambuk
kusir yang sudah mati kepadanya, dan Bontsha, saat itu juga, menjadi kusir —bukan
lagi kuli biasa! Dan terlebih lagi, sang dermawan menikahkannya, dan masih ada
lagi, sang dermawan ini sendiri memberikan seorang anak untuk dirawat oleh Bontsha.
"Dan Bontsha tetap tidak pernah berkata sepatah kata pun, tidak
pernah protes."
Yang mereka maksud memang aku, aku benar-benar yakin yang mereka maksud
adalah aku, Bontsha menyemangati dirinya sendiri, tapi dia tetap tidak punya
nyali untuk membuka matanya, untuk melihat hakimnya.
"Dia tidak pernah protes. Dia tetap diam bahkan ketika sang dermawan
itu bangkrut tanpa pernah membayar gaji Bontsha sepeser pun.”
“Dia tetap diam bahkan ketika istrinya kabur dan meninggalkannya dengan
bayinya yang tak berdaya. Dia tetap diam ketika, lima belas tahun kemudian,
bayi tak berdaya itu tumbuh besar dan menjadi cukup kuat untuk mengusir Bontsha
dari rumah."
Yang mereka maksud aku, Bontsha bersukacita, yang mereka maksud benar-benar
aku.
"Dia bahkan tetap diam," lanjut malaikat pembela, ketika sang dermawan
dan penyokong dananya selamat dari kebangkrutan, secepat dia bangkrut, dan
masih tidak membayar Bontsha sepeser pun dari apa yang menjadi haknya. Tidak,
lebih dari itu. Orang itu, sebagaimana layaknya seorang laki-laki terhormat
yang baru selamat dari kebangkrutan, kembali mengemudikan kereta besar dengan
ban karet, dan sekarang, sekarang dia memiliki kusir baru, dan Bontsha,
lagi-lagi cuma seorang kuli di jalan, ditabrak oleh kusir, kereta kuda, dan
kuda-kuda itu. Dan tetap saja, dalam penderitaannya, Bontsha tidak berteriak; dia
tetap diam. Dia bahkan tidak memberi tahu polisi siapa yang sudah melakukan itu
kepadanya. Bahkan di rumah sakit, tempat setiap orang dibolehkan untuk
berteriak, dia tetap diam. Dia berbaring dalam kesepian yang total di
ranjangnya, ditinggalkan oleh dokter, oleh perawat; dia tidak memiliki sedikit pun
uang untuk membayar mereka --dan dia tidak menggerutu. Dia diam pada saat yang
mengerikan itu tepat sebelum dia akan mati, dan dia tetap diam pada saat ketika
dia benar-benar mati. Dan tak pernah ada satu pun gumam protes kepada manusia,
tak pernah ada satu pun gumaman protes kepada Tuhan!"
Sekarang Bontsha mulai gemetar lagi. Dia merasakan bahwa setelah
pembelanya selesai, jaksa penuntutnya akan bangkit untuk menyatakan hal-hal
yang memberatkannya. Siapa yang tahu apa yang akan dituduhkan kepadanya?
Bontsha, di dunia lain di bumi ini, melupakan setiap momen saat ini ketika
momen itu berlalu di belakangnya dan menjadi masa lalu. Sekarang malaikat
pembela sudah membawa semuanya kembali ke dalam ingatannya lagi --tapi siapa yang
tahu dosa-dosa apa yang terlupakan yang akan diingat oleh sang jaksa?
Jaksa itu bangkit. "Tuan-tuan!" dia memulai dengan suara yang
kasar dan getir, lalu dia berhenti. "Tuan-tuan--" dia memulai lagi,
dan sekarang suaranya tidak terlalu kasar, lalu dia berhenti lagi. Dan
akhirnya, dengan suara yang sangat lembut, jaksa yang sama berkata,
"Tuan-tuan, dia selalu diam --dan sekarang aku juga akan diam."
Pengadilan agung itu menjadi sangat hening, dan akhirnya dari kursi hakim
terdengar suara baru, penuh kasih, lembut. "Bontsha anakku, Bontsha"
--suara itu bergema seperti harpa-- "anak kesayanganku..."
Di dalam Bontsha seluruh jiwanya mulai menangis. Dia ingin membuka
matanya, mengangkatnya, tapi matanya menjadi gelap karena air mata. Menangis
itu sangat manis. Sampai hari ini, menangis tidak pernah semanis ini.
"Anakku, Bontsha-ku..."
Sejak ibunya meninggal, dia tidak pernah mendengar kata-kata seperti itu,
dan diucapkan dengan suara seperti itu.
"Anakku," hakim itu memulai lagi, "kau selalu menderita,
dan kau selalu diam. Tidak ada satu tempat tersembunyi pun di tubuhmu yang
tidak berdarah; tidak ada satu tempat tersembunyi pun di jiwamu yang tidak
berdarah. Dan kau tidak pernah protes. Kau selalu diam.”
"Di sana, di dunia lain itu, tidak seorang pun mengerti dirimu. Kau tidak
pernah mengerti dirimu sendiri. Kau tidak pernah mengerti bahwa kau tidak perlu
diam, bahwa kau bisa saja berteriak dan teriakanmu akan menghancurkan dunia itu
sendiri dan mengakhirinya. Kau tidak pernah mengerti kekuatan tersembunyimu. Di
dunia lain itu, dunia kebohongan, kebisuanmu tidak pernah dihargai, tapi di
sini di surga adalah dunia kebenaran, di sini di surga kau akan dihargai. Kau,
hakim tidak bisa mengutuk atau menjatuhkan hukuman kepadamu. Bagimu tidak hanya
ada satu bagian kecil dari surga, satu bagian kecil. Tidak, bagimu ada
segalanya! Apa pun yang kau inginkan! Semuanya milikmu!"
Sekarang untuk pertama kalinya Bontsha membuka matanya. Dia dibutakan
oleh cahaya. Kemegahan cahaya ada di mana-mana, di atas dinding, di atas
langit-langit yang luas, para malaikat diliputi cahaya, sang hakim. Dia
menundukkan matanya yang lelah.
"Benarkah?" tanyanya, ragu, dan sedikit malu.
"Benar!" jawab sang hakim. "Benar! Aku katakan padamu,
semuanya milikmu. Segala sesuatu di surga adalah milikmu. Pilih! Ambil! Apa pun
yang kau inginkan! Kau cuma mengambil apa yang menjadi hakmu!"
"Benarkah?" tanya Bontsha lagi, dan sekarang suaranya lebih
kuat, lebih yakin.
Dan sang hakim dan seluruh penghuni surga menjawab, "Benar! Benar!
Benar!"
"Baiklah kalau begitu" --dan Bontsha tersenyum untuk pertama
kalinya-- "baiklah, yang saya inginkan, Yang Mulia, adalah sarapan roti
gulung hangat dengan mentega segar setiap pagi."
Keheningan menyelimuti aula besar itu, dan keheningan itu lebih
mengerikan daripada keheningan Bontsha sebelumnya, dan perlahan hakim dan para
malaikat menundukkan kepala karena malu atas kelembutan tak berujung yang sudah
mereka ciptakan di bumi.
Kemudian keheningan itu pecah. Jaksa penuntut tertawa terbahak-bahak,
tawa yang getir.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***

Comments
Post a Comment