Kitab Martha (The Book of Martha ~ Octavia E. Butler)
Martha Bes memandang sekeliling pada kegelapan tak berujung yang, bersama
dengan Tuhan, adalah satu-satunya yang bisa dia lihat. Dalam ketakutan dan
kebingungan, dia menutupi wajahnya yang hitam lebar dengan tangannya. "Kaui
saja aku bisa bangun," bisiknya.
Tuhan tetap diam tapi kehadirannya begitu nyata dan mengganggu sehingga
bahkan dalam keheningan itu Martha merasa ditegur. "Di mana ini?"
tanyanya, tidak benar-benar ingin tahu, tidak ingin mati ketika usianya baru
empat puluh tiga. "Di mana aku?"
"Di sini bersamaku," kata Tuhan.
"Benar-benar di sini?" tanyanya. "Bukan di rumah, tidur
dan bermimpi? Bukan terkunci di rumah sakit jiwa? Bukan... bukan terbaring mati
di kamar mayat?"
"Di sini," kata Tuhan lembut. "Bersamaku."
Setelah beberapa saat, Martha mampu melepaskan tangannya dari wajahnya
dan kembali menatap kegelapan di sekelilingnya dan ke arah Tuhan. "Ini
tidak mungkin surga," katanya. "Tidak ada apa pun di sini, tidak ada
seorang pun di sini kecuali dirimu."
"Cuma itu yang kau lihat?" tanya Tuhan.
Hal ini membuatnya semakin bingung. "Tidakkah kau tahu apa yang
kulihat?" tanyanya, lalu dengan cepat melembutkan suaranya. "Bukankah
kau tahu segalanya?"
Tuhan tersenyum. "Tidak, aku sudah lama tidak memakai trik itu. Kau
tidak bisa membayangkan betapa membosankannya itu."
Martha merasa ini adalah hal yang sangat manusiawi untuk dikatakan
sehingga rasa takutnya sedikit berkurang—meskipun dia masih sangat bingung. Dia
ingat, dia duduk di depan komputernya, menyelesaikan pekerjaan satu hari lagi
untuk novel kelimanya. Penulisannya berjalan dengan baik, dan dia menikmatinya.
Selama berjam-jam, dia menumpahkan cerita barunya ke atas kertas dalam kegilaan
kreasi yang menggairahkan yang dia jalani. Akhirnya, dia berhenti, mematikan
komputer, dan menyadari bahwa dia merasa kaku. Punggungnya sakit. Dia lapar dan
haus, dan saat itu hampir pukul lima pagi. Dia sudah bekerja sepanjang malam.
Terhibur meskipun dengan berbagai rasa sakit dan nyerinya, dia bangkit dan
pergi ke dapur untuk mencari sesuatu untuk dimakan.
Kemudian dia ada di sini, bingung dan takut. Kenyamanan rumahnya
yang kecil dan berantakan sudah hilang, dan dia berdiri di hadapan sosok
menakjubkan ini yang berusaha meyakinkannya bahwa dia adalah Tuhan—atau
seseorang yang begitu kuat sehingga dia mungkin juga Tuhan. Dia punya pekerjaan
untuknya, katanya—pekerjaan yang akan sangat berarti baginya dan bagi seluruh
umat manusia.
Kalau saja dia tidak terlalu takut, dia mungkin akan tertawa. Selain
komik dan film-film jelek, siapa yang mengatakan hal-hal seperti itu?
"Kenapa," dia memberanikan diri bertanya, "kau terlihat
seperti laki-laki kulit putih berjanggut tapi dua kali lebih besar?"
Bahkan, saat laki-laki itu duduk di kursi singgasananya yang besar, dia tampak,
pikirnya, seperti versi hidup dari Musa-nya Michelangelo1,
sebuah patung yang dia ingat digambarkan dalam buku teks sejarah seni
kuliahnya sekitar dua puluh tahun yang lalu. Kecuali Tuhan berpakaian lebih
lengkap daripada Musa-nya Michelangelo, mengenakan, dari leher
hingga mata kaki, jubah putih panjang yang sering dia lihat dalam lukisan
Kristus.
"Kau melihat apa yang hidupmu sudah persiapkan untuk kau
lihat," kata Tuhan.
"Aku ingin melihat apa yang sebenarnya ada di sini!"
"Benarkah? Apa yang kau lihat tergantung padamu, Martha. Semuanya
tergantung padamu."
Dia mendesah. "Apa kau keberatan kalau aku duduk?"
Lalu dia duduk. Dia tidak duduk, tapi hanya mendapati dirinya duduk di
kursi berlengan yang nyaman yang pastinya tidak ada di sana beberapa saat
sebelumnya. Trik lain, pikirnya dengan kesal—seperti kegelapan, seperti raksasa
di singgasananya, seperti kemunculannya sendiri yang tiba-tiba di sini.
Semuanya hanyalah satu upaya lagi untuk membuatnya takjub dan takut. Dan, tentu
saja, itu berhasil. Dia takjub dan sangat takut. Lebih buruk lagi, dia tidak
menyukai raksasa itu karena memanipulasinya, dan ini membuatnya semakin takut.
Pastinya dia bisa membaca pikirannya. Pastinya dia akan menghukum...
Dia memaksa dirinya bicara melawan rasa takutnya. "Kau bilang kau
punya pekerjaan untukku." Dia berhenti sejenak, menjilat bibirnya, mencoba
menenangkan suaranya. " Apa yang kauinginkan dariku?"
Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Dia menatapnya dengan tatapan yang
menurut Martha geli—menatapnya cukup lama hingga membuatnya semakin tidak
nyaman.
"Apa yang kauinginkan dariku?" ulangnya, kali ini suaranya
lebih keras.
"Aku punya pekerjaan besar untukmu," katanya akhirnya. "Saat aku menceritakannya kepadamu, aku ingin kau mengingat tiga orang: Yunus, Ayub, dan Nuh. Ingatlah mereka. Ikutilah kisah mereka."
"Baiklah," katanya karena laki-laki itu sudah berhenti bicara,
dan sepertinya dia harus mengatakan sesuatu. "Baiklah."
Ketika dia masih kecil, dia pergi ke gereja dan Sekolah Minggu, ke kelas
Alkitab dan ke sekolah Alkitab saat liburan. Ibunya, yang juga masih gadis,
tidak tahu banyak tentang menjadi seorang ibu, tapi dia ingin anaknya menjadi
"baik," dan baginya, "baik" berarti "religius."
Akibatnya, Marta tahu betul apa yang Alkitab katakan tentang Yunus, Ayub, dan
Nuh. Dia menganggap kisah-kisah mereka sebagai perumpamaan dan bukan kebenaran
harfiah, tapi dia mengingatnya. Tuhan memerintahkan Yunus untuk pergi ke kota
Niniwe dan memberi tahu orang-orang di sana untuk memperbaiki jalan hidup
mereka. Karena takut, Yunus mencoba melarikan diri dari tugasnya dan dari
Tuhan, tapi Tuhan menyebabkan dia mengalami karam kapal, ditelan oleh seekor
ikan besar, dan memberi tahunya bahwa dia tidak bisa melarikan diri.
Ayub menjadi pion yang tersiksa yang kehilangan harta bendanya,
anak-anaknya, dan kesehatannya, dalam pertaruhan antara Tuhan dengan Setan. Dan
ketika Ayub terbukti setia meskipun Tuhan sudah mengizinkan Setan melakukan apa
pun kepadanya, Tuhan menghadiahi Ayub dengan kekayaan yang lebih besar,
anak-anak baru, dan kesehatannya pulih.
Adapun Nuh, tentu saja, Tuhan memerintahkan dia untuk membangun bahtera
dan menyelamatkan keluarganya dan banyak hewan karena Tuhan memutuskan untuk
membanjiri dunia dan membunuh semua orang dan menghancurkan segalanya.
Kenapa dia harus mengingat ketiga tokoh Alkitab ini secara khusus? Apa
hubungannya dengan dirinya—terutama Ayub dan semua penderitaannya?
"Inilah yang harus kau lakukan," kata Tuhan. "Kau akan
membantu umat manusia untuk bertahan hidup di masa remajanya yang rakus, suka
membunuh, dan boros. Bantu mereka menemukan cara hidup yang tidak terlalu
merusak, lebih damai, dan berkelanjutan."
Martha menatapnya. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan lemah,
"... apa?"
"Kalau kau tidak membantu mereka, mereka akan dihancurkan."
"Kau mau menghancurkan mereka... lagi?" bisiknya.
"Tentu saja tidak," kata Tuhan, terdengar kesal. "Mereka
sedang dalam perjalanan menghancurkan miliaran orang dengan mengubah kemampuan
bumi untuk menopang mereka. Itulah sebabnya mereka butuh bantuan. Itulah
sebabnya kau akan membantu mereka."
"Bagaimana caranya?" tanyanya. Dia menggelengkan kepalanya.
"Apa yang bisa kulakukan?"
"Jangan khawatir," kata Tuhan. "Aku tidak akan mengirimmu
pulang dengan pesan lain yang bisa diabaikan atau diputarbalikkan orang untuk
menguntungkan diri mereka sendiri. Lagipula, sudah terlambat untuk hal semacam
itu." Tuhan menggeser tubuhnya di singgasananya dan menatapnya dengan
kepala miring ke satu sisi. "Kau akan meminjam sebagian kekuatanku,"
katanya. "Kau akan mengaturnya agar orang-orang memperlakukan satu sama
lain dengan lebih baik dan memperlakukan lingkungan mereka dengan lebih
bijaksana. Kau akan memberi mereka kesempatan yang lebih baik untuk bertahan
hidup daripada yang sudah mereka berikan pada diri mereka sendiri. Aku akan
meminjamkanmu kekuatan itu, dan kau akan melakukannya." Laki-laki itu
berhenti sejenak, tapi kali ini dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk
dikatakan. Setelah beberapa saat, dia melanjutkan.
"Setelah menyelesaikan pekerjaanmu, kau akan kembali dan hidup
bersama mereka lagi sebagai salah satu dari mereka yang paling rendah. Kaulah
yang akan memutuskan apa artinya itu, tapi apa pun artinya yang kau putuskan itu
berarti menjadi lapisan masyarakat paling bawah, kelas atau kasta atau ras
terendah, itulah yang akan kau dapatkan."
Kali ini ketika laki-laki itu berhenti bicara, Martha tertawa. Dia merasa
dibanjiri pertanyaan, ketakutan, dan tawa getir, tapi cuma tawa itu yang
keluar. Dia perlu tertawa. Entah bagaimana, tawa itu memberinya kekuatan.
"Aku lahir di lapisan masyarakat paling bawah," katanya. "Kau
pasti sudah tahu itu."
Tuhan tidak menjawab.
"Tentu saja." Martha berhenti tertawa dan entah bagaimana
berhasil menahan tangis. Dia berdiri, melangkah ke arah Tuhan. "Bagaimana
mungkin kau tidak tahu? Aku terlahir miskin, berkulit hitam, dan perempuan dari
seorang ibu berusia empat belas tahun yang nyaris tidak bisa membaca. Kami
menjadi tuna wisma separuh hidup kami saat aku tumbuh dewasa. Apakah itu cukup
rendah bagimu? Aku terlahir di bawah, tapi aku tidak tinggal di sana. Aku juga
tidak meninggalkan ibuku di sana. Dan aku tidak akan kembali ke sana!"
Tuhan tetap tidak berkata apa-apa. Dia tersenyum.
Martha duduk lagi, ketakutan oleh senyuman itu, menyadari bahwa dia sudah
berteriak—berteriak kepada Tuhan! Setelah beberapa saat, dia berbisik,
"Apakah itu sebabnya Engkau memilihku untuk melakukan ini... pekerjaan
ini? Karena asal usulku?"
"Aku memilihmu karena apa adanya dirimu dan apa yang bukan
dirimu," kata Tuhan. "Aku bisa saja memilih seseorang yang jauh lebih
miskin dan tertindas. Aku memilihmu karena kaulah yang kuinginkan untuk
ini."
Martha tidak bisa memutuskan apakah laki-laki itu terdengar kesal. Dia
tidak bisa memutuskan apakah merupakan suatu kehormatan untuk dipilih melakukan
pekerjaan yang sangat besar, tidak terdefinisi dengan baik, dan mustahil.
"Tolong biarkan aku pulang," bisiknya. Dia langsung malu pada
dirinya sendiri. Dia memohon, terdengar menyedihkan, mempermalukan dirinya
sendiri. Tapi, ini adalah kata-kata paling jujur yang pernah diucapkannya
sejauh ini.
"Kau bebas bertanya kepadaku," kata Tuhan seolah-olah dia tidak
mendengar permohonannya sama sekali. "Kau bebas berdebat, berpikir, dan
menyelidiki seluruh sejarah manusia untuk mendapatkan ide dan peringatan. Kau
bebas meluangkan waktu sebanyak yang kau perlukan untuk melakukan hal-hal ini.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, kau benar-benar bebas. Kau bahkan bebas
untuk merasa takut. Tapi, aku jamin, kau akan melakukan pekerjaan ini."
Martha teringat pada Ayub, Yunus, dan Nuh. Setelah beberapa saat, dia
mengangguk.
"Bagus," kata Tuhan. Dia berdiri dan melangkah ke arah Martha.
Tingginya setidaknya dua belas kaki dan sangat tampan. Dia benar-benar
bersinar. "Berjalanlah bersamaku," katanya.
Lalu tiba-tiba, tingginya tidak lagi dua belas kaki. Martha tidak pernah
melihatnya berubah, tapi sekarang dia seukuran tubuhnya—cuma kurang dari enam
kaki—dan dia tidak lagi berseri-seri. Sekarang ketika laki-laki itu menatapnya,
mereka saling berhadapan. Laki-laki itu memang menatapnya. Dia melihat ada
sesuatu yang mengganggun Martha, dan dia bertanya, "Ada apa sekarang?
Apakah bayanganmu tentangku menumbuhkan sayap berbulu atau lingkaran cahaya
yang menyilaukan?"
"Halo-mu sudah hilang," jawabnya. "Dan tubuhmu
lebih kecil. Lebih normal."
"Bagus," katanya. "Apa lagi yang kau lihat?"
"Tidak ada. Kegelapan."
"Itu akan berubah."
Mereka tampak berjalan di sebuah permukaan yang halus, keras, dan datar,
meskipun saat dia melihat ke bawah, dia tidak bisa melihat kakinya. Seolah-olah
dia berjalan di tengah kabut setinggi mata kaki yang menyelimuti tanah.
"Kita berjalan di atas apa?" tanyanya.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Tuhan. "Trotoar? Pasir
pantai? Jalan tanah?"
"Rumput yang hijau dan sehat," katanya, dan entah kenapa dia
tidak terkejut saat mendapati dirinya berjalan di atas rumput hijau yang
pendek. "Dan harus ada pepohonan," katanya, setelah mendapat ide dan
menemukan bahwa dia menyukainya. "Harus ada sinar matahari—langit biru
dengan sedikit awan. Saat ini seharusnya bulan Mei atau awal Juni."
Dan memang begitulah adanya. Seolah-olah memang sudah seperti itu sejak
dulu. Mereka berjalan melalui apa yang seharusnya menjadi taman kota yang luas.
Martha menatap Tuhan, matanya terbelalak. "Begitukah?"
bisiknya. "Aku harus mengubah orang dengan memutuskan seperti apa mereka,
lalu cuma perlu... mengatakannya saja?"
"Ya," kata Tuhan.
Dan dia berubah dari gembira menjadi—sekali lagi—takut. "Bagaimana kalau
aku mengatakan sesuatu yang salah, melakukan kesalahan?"
"Kau akan melakukannya."
"Tapi... orang bisa terluka. Orang bisa mati."
Tuhan menghampiri pohon Maple Norwegia merah tua yang besar dan duduk di
bawahnya di bangku kayu panjang. Martha menyadari bahwa Tuhan menciptakan pohon
tua dan bangku yang tampak nyaman itu beberapa saat sebelumnya. Dia tahu ini, tapi
sekali lagi, itu terjadi begitu halus sehingga dia tidak terkejut karenanya.
"Sangat mudah," katanya. "Apakah selalu semudah ini
bagimu?"
Tuhan mendesah. "Selalu," katanya.
Dia memikirkan hal itu—desahannya, fakta bahwa dia mengalihkan pandangan
ke arah pepohonan alih-alih ke arahnya. Apakah keabadian yang sangat nyaman ini
adalah sebutan lain untuk neraka? Atau apakah itu cuma pikiran paling tidak
senonoh yang pernah dia miliki sejauh ini? Dia berkata, "Aku tidak ingin
menyakiti orang. Bahkan secara tidak sengaja."
Tuhan berpaling dari pepohonan, menatapnya selama beberapa detik, lalu
berkata, "Akan lebih baik bagimu kalau kau memiliki satu atau dua orang anak."
Lalu, pikirnya dengan kesal, seharusnya laki-laki itu memilih seseorang
yang sudah memiliki satu atau dua anak. Tapi, dia tidak punya keberanian untuk
mengatakannya. Sebaliknya, dia berkata, "Tidakkah kau akan memperbaikinya
agar aku tidak menyakiti atau membunuh siapa pun? Maksudku, aku baru dalam hal
ini. Aku bisa melakukan sesuatu yang bodoh dan membunuh orang-orang tanpa tahu
bahwa aku sudah melakukannya sampai semuanya terlanjur terjadi."
"Aku tidak akan memperbaiki apa pun untukmu," kata Tuhan.
"Kau bebas."
Dia duduk di sebelah laki-laki itu karena duduk dan menatap taman yang
tak berujung lebih mudah daripada berdiri dan menghadapinya serta mengajukan
pertanyaan yang menurutnya akan membuatnya marah. Dia berkata, "Kenapa itu
harus menjadi pekerjaanku? Kenapa kau tidak melakukannya sendiri? Kau tahu
caranya. Kau bisa melakukannya tanpa membuat kesalahan. Kenapa menyuruhku
melakukannya? Aku tidak tahu apa-apa."
"Benar sekali," kata Tuhan. Dan dia tersenyum. "Itulah
sebabnya."
Dia memikirkan hal ini dengan rasa ngeri yang semakin menjadi-jadi.
"Jadi, apakah ini cuma permainan bagimu?" tanyanya. "Apakah kau
bermain-main dengan kami karena kau bosan?"
Tuhan tampaknya mempertimbangkan pertanyaan itu. "Aku tidak
bosan," katanya. Entah bagaimana, dia tampak senang. "Kau seharusnya
memikirkan perubahan yang akan kau buat. Kita bisa membicarakannya. Kau tidak
harus tiba-tiba menyatakannya."
Dia menatapnya, lalu menatap ke bawah ke rumput, mencoba menata
pikirannya. "Baiklah. Bagaimana aku memulainya?"
"Pikirkan ini: Perubahan apa yang ingin kau buat kalau kau cuma bisa
melakukannya satu kali? Pikirkan satu perubahan yang penting."
Dia menatap rumput lagi dan memikirkan novel-novel yang pernah
ditulisnya. Bagaimana kalau dia akan menulis novel yang cuma mengisahkan
tentang manusia yang harus diubah dengan satu cara yang positif?
"Yah," katanya setelah beberapa saat, "peningkatan populasi
memperburuk banyak masalah lainnya. Bagaimana kalau orang cuma boleh punya dua
anak? Maksudku, bagaimana kalau orang yang menginginkan anak cuma boleh punya
dua, tidak peduli berapa banyak anak yang mereka inginkan atau berapa banyak
teknik medis yang mereka gunakan untuk mendapatkan lebih banyak anak?"
"Jadi, menurutmu masalah populasi adalah masalah terburuk?"
tanya Tuhan.
"Kupikir begitu," katanya. "Terlalu banyak orang. Kalau
kita menyelesaikan masalah itu, kita akan punya lebih banyak waktu untuk
menyelesaikan masalah lain. Dan kita tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Kita
semua tahu tentang itu, tapi sebagian dari kita tidak akan mengakuinya. Dan
tidak ada yang mau diberi tahu oleh pemerintah yang berwenang berapa banyak
anak yang harus dimiliki." Dia melirik Tuhan dan melihat bahwa Tuhan
tampaknya mendengarkan dengan sopan. Dia bertanya-tanya seberapa jauh Tuhan
akan membiarkannya pergi. Apa yang mungkin menyinggungnya. Apa yang mungkin dia
lakukan padanya kalau dia tersinggung? "Jadi, sistem reproduksi setiap
orang berhenti bekerja setelah punya dua anak," katanya. "Maksudku,
mereka bisa hidup lebih lama seperti sebelumnya, dan mereka tidak sakit. Mereka
cuma tidak bisa punya anak lagi."
"Mereka akan mencoba," kata Tuhan. "Upaya yang mereka
lakukan untuk membangun piramida, katedral, dan roket ke bulan tidak akan ada
apa-apanya dibandingkan dengan upaya yang mereka lakukan untuk mengakhiri apa
yang bagi mereka tampak sebagai wabah kemandulan. Bagaimana dengan orang-orang
yang anak-anaknya meninggal atau cacat parah? Bagaimana dengan seorang perempuan
yang anak pertamanya adalah hasil perkosaan? Bagaimana dengan ibu asuh?
Bagaimana dengan laki-laki yang menjadi ayah tanpa menyadarinya? Bagaimana
dengan kloning?"
Martha menatapnya dengan malu. "Itulah kenapa kau yang harus
melakukan ini. Ini terlalu rumit."
Lalu hening.
"Baiklah," Martha mendesah dan menyerah. "Baiklah.
Bagaimana kalau bahkan dengan kecelakaan dan pengobatan modern, bahkan sesuatu
seperti kloning, batasan dua anak tetap berlaku. Aku tidak tahu bagaimana itu
bisa berhasil, tapi kau tahu."
"Itu bisa saja berhasil," kata Tuhan, "tapi ingatlah bahwa
kau tidak akan datang ke sini lagi untuk memperbaiki perubahan yang sudah kau
buat. Apa yang kau lakukan adalah sesuatu yang akan membuat orang-orang hidup
dengan itu. Atau dalam kasus ini, mati dengan itu."
"Oh," kata Martha. Ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Oh,
tidak."
"Mereka akan bertahan selama beberapa generasi," kata Tuhan.
"Tapi, jumlah mereka akan terus berkurang. Pada akhirnya, mereka akan
punah. Dengan berbagai penyakit, cacat, bencana, perang, tidak memiliki anak,
dan pembunuhan yang biasa terjadi, mereka tidak akan mampu menggantikan diri
mereka sendiri. Pikirkanlah kebutuhan masa depan, Martha, dan juga kebutuhan
masa kini."
"Aku pikir begitu," katanya. "Bagaimana kalau aku
menjadikan empat anak sebagai jumlah maksimal, bukan dua?"
Tuhan menggelengkan kepalanya. "Kehendak bebas yang dipadukan dengan
moralitas merupakan eksperimen yang menarik. Kehendak bebas adalah, di antara
hal-hal lainnya, kebebasan untuk membuat kesalahan. Kesalahan satu kelompok
terkadang akan membatalkan kesalahan kelompok yang lain. Itu akan menyelamatkan
sejumlah kelompok manusia, meskipun itu tidak bisa diandalkan. Terkadang
kesalahan menyebabkan orang-orang musnah, diperbudak, atau diusir dari rumah
mereka karena mereka sudah merusak atau mengubah tanah, air, atau iklim mereka.
Kehendak bebas bukanlah jaminan apa pun, tapi itu adalah alat yang bisa saja
berguna—terlalu berguna untuk dihapus begitu saja."
"Kupikir kau mau aku menghentikan perang, perbudakan, dan kerusakan
lingkungan!" gerutu Martha, mengingat sejarah bangsanya sendiri. Bagaimana
mungkin Tuhan bersikap begitu acuh tak acuh terhadap hal-hal seperti itu?
Tuhan tertawa. Suaranya mengejutkan—dalam, penuh, dan, pikir Martha,
bahagia secara tidak pantas. Kenapa topik ini membuatnya tertawa? Apakah dia
Tuhan? Apakah dia Setan? Martha, terlepas dari usaha ibunya, tidak bisa
mempercayai keberadaan keduanya secara harfiah. Sekarang, dia tidak tahu harus
berpikir apa—atau melakukan apa.
Tuhan menenangkan dirinya, menggelengkan kepalanya, dan menatap Martha.
"Yah, tidak perlu terburu-buru," katanya. "Apa kau tahu apa itu nova,
Martha?"
Martha mengerutkan kening. "Itu... bintang yang meledak,"
katanya, penuh semangat, bahkan antusias, untuk mengalihkan dari keraguannya.
"Itu adalah sepasang bintang," kata Tuhan. "Yang
besar—yang raksasa—dan yang kecil, bintang katai yang sangat padat. Bintang
katai itu menarik material dari bintang raksasa. Setelah beberapa saat, bintang
katai itu mengambil lebih banyak material daripada yang bisa dikendalikannya,
dan meledak. Bintang itu tidak serta-merta menghancurkan dirinya sendiri, tapi dia
melepaskan banyak material berlebih. Bintang itu memperlihatkan pertunjukan
yang sangat terang dan dahsyat. Tapi, setelah bintang katai itu tenang, dia
mulai menyedot material dari bintang raksasa lagi. Dia bisa melakukan ini
berulang-ulang. Itulah yang dimaksud dengan nova. Kalau kau
mengubahnya—menjauhkan kedua bintang atau menyamakan kepadatannya, maka itu
bukan lagi nova."
Martha mendengarkan, menangkap maksudnya meskipun dia tidak ingin.
"Apakah kau mengatakan bahwa kalau... kalau manusia berubah, maka itu
bukan manusia lagi?"
"Aku berkata lebih dari itu," kata Tuhan kepadanya. "Aku
berkata bahwa meskipun ini benar, Aku akan mengizinkanmu melakukannya. Apa pun
yang kau putuskan untuk dilakukan terhadap umat manusia akan dilakukan. Tapi,
apa pun yang kau lakukan, keputusanmu akan memiliki konsekuensi. Kalau kau
membatasi kesuburan mereka, kau mungkin akan menghancurkan mereka. Kalau kau
membatasi daya saing atau daya cipta mereka, kau mungkin menghancurkan
kemampuan mereka untuk bertahan hidup dari banyak bencana dan tantangan yang
harus mereka hadapi."
Semakin buruk dan semakin buruk lagi, pikir Martha, dan dia benar-benar merasa mual
karena takut. Dia berpaling dari Tuhan, memeluk dirinya sendiri, tiba-tiba
menangis, air mata mengalir di wajahnya. Setelah beberapa saat, dia mendengus
dan menyeka wajahnya dengan tangannya, karena dia tidak punya apa-apa lagi.
"Apa yang akan kau lakukan kepadaku kalau aku menolak?" tanyanya,
terutama memikirkan Ayub dan Yunus.
"Tidak ada." Tuhan bahkan tidak terdengar kesal. "Kau
tidak akan menolak."
"Tapi bagaimana kalau aku menolak? Bagaimana kalau aku benar-benar
tidak bisa memikirkan hal yang layak untuk dilakukan?"
"Itu tidak akan terjadi. Tapi, kalau itu terjadi, dan kalau kau
memintanya, aku akan mengirimmu pulang. Lagi pula, ada jutaan manusia yang akan
melakukan apa pun untuk melakukan pekerjaan ini."
Dan, seketika, dia memikirkan beberapa orang ini—orang-orang yang akan
dengan senang hati memusnahkan seluruh bagian populasi yang mereka benci dan
takuti, atau orang-orang yang akan mendirikan tirani besar yang memaksa semua
orang menjadi satu bentuk, tidak peduli seberapa banyak penderitaan yang akan ditimbulkannya.
Dan bagaimana dengan mereka yang akan menganggap pekerjaan itu
menyenangkan—tidak lebih dari sekadar permainan komputer orang baik melawan
orang jahat, dan mengabaikan konsekuensinya. Ada orang-orang seperti itu.
Martha mengenal orang-orang seperti itu.
Tapi Tuhan tidak akan memilih orang seperti itu. Kalau dia adalah Tuhan. Kenapa
dia memilihnya? Selama hidupnya, dia bahkan tidak percaya pada Tuhan sebagai
makhluk yang nyata. Kalau entitas yang sangat kuat ini, Tuhan atau bukan, bisa
memilihnya, dia bisa juga membuat pilihan yang lebih buruk.
Setelah beberapa saat, dia bertanya, "Apakah benar-benar ada
Nuh?"
"Tidak ada satu orang pun yang harus menghadapi banjir besar lagi,"
kata Tuhan. "Tapi, ada sejumlah orang yang harus menghadapi bencana yang
lebih kecil."
"Orang-orang yang kau perintahkan untuk menyelamatkan beberapa orang
dan membiarkan sisanya mati?"
"Ya," kata Tuhan.
Dia menggigil dan berbalik menghadapnya lagi. "Lalu apa? Apakah
mereka menjadi gila?" Bahkan dia bisa mendengar ketidaksetujuan dan rasa
jijik dalam suaranya.
Tuhan memilih untuk mendengar pertanyaan itu sebagai pertanyaan semata.
"Ada yang berlindung dalam kegilaan, ada yang dalam kemabukan, ada yang
dalam kebebasan seksual. Ada yang bunuh diri. Ada yang selamat dan hidup lama, hidup yang berbuah2."
Martha menggelengkan kepalanya dan berhasil tetap diam.
"Aku tidak melakukan itu lagi," kata Tuhan.
Tidak, pikir Martha. Sekarang dia menemukan hiburan yang berbeda.
"Seberapa besar perubahan yang harus kulakukan?" tanyanya. "Apa
yang akan menyenangkanmu dan membuatmu membiarkanku pergi dan tidak mengambil
orang lain untuk menggantikanku?"
"Aku tidak tahu," kata Tuhan, dan laki-laki itu tersenyum. Dia menyandarkan
kepalanya ke pohon. "Karena aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan. Itu
sensasi yang indah—mengantisipasi, bukan mengetahui."
"Tidak menurutku," kata Martha dengan getir. Setelah beberapa
saat, dia berkata dengan nada yang berbeda, "Jelas tidak menurutku. Karena
aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku benar-benar tidak tahu."
"Kau menulis cerita untuk mencari nafkah," kata Tuhan. "Kau
menciptakan karakter dan situasi, masalah dan solusi. Itu lebih sedikit dari
apa yang akan kuberikan kepadamu."
"Tapi kau ingin aku mengusik orang sungguhan. Aku tidak mau
melakukan itu. Aku takut aku akan membuat kesalahan besar."
"Aku akan menjawab pertanyaanmu," kata Tuhan. "Tanyakan
saja."
Dia tidak ingin bertanya. Tapi, setelah beberapa saat, dia menyerah.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan? Sebuah utopia? Karena aku tidak percaya
pada hal itu. Aku tidak percaya bahwa mungkin untuk mengatur masyarakat agar
setiap orang merasa puas, setiap orang memiliki apa yang mereka inginkan."
"Tidak lebih dari beberapa saat," kata Tuhan. "Itulah
lamanya waktu yang dibutuhkan seseorang untuk memutuskan bahwa dia menginginkan
apa yang dimiliki tetangganya—atau bahwa dia menginginkan tetangganya sebagai
budak dalam bentuk apa pun, atau bahwa dia menginginkan tetangganya mati. Tapi
tidak apa-apa. Aku tidak memintamu untuk menciptakan utopia, Martha, meskipun
akan menarik untuk melihat apa yang bisa kau hasilkan."
"Jadi, apa yang kau mau aku lakukan?"
"Tentu saja untuk membantu mereka. Bukankah kau ingin melakukan
itu?"
"Selalu," katanya. "Dan aku tidak pernah bisa melakukannya
dengan cara yang berarti. Kelaparan, wabah penyakit, banjir, kebakaran,
keserakahan, perbudakan, balas dendam, kebodohan, perang yang bodoh...."
"Sekarang kau bisa. Tentu saja, Kau tidak bisa mengakhiri semua hal
itu tanpa mengakhiri kemanusiaan, tapi kau bisa mengurangi beberapa masalah.
Lebih sedikit perang, lebih sedikit keserakahan, lebih banyak pemikiran ke
depan dan kepedulian terhadap lingkungan... Apa yang mungkin
menyebabkannya?"
Dia menatap tangan laki-laki itu, lalu ke arahnya. Sesuatu terlintas
dalam benaknya saat laki-laki itu bicara, tapi tampaknya terlalu sederhana dan
terlalu fantastis, dan baginya secara pribadi, mungkin, terlalu menyakitkan.
Bisakah itu dilakukan? Haruskah itu dilakukan? Apakah benar-benar membantu kalau
itu dilakukan? Dia bertanya, "Apakah benar-benar ada yang seperti Menara
Babel? Apakah kau membuat orang-orang tiba-tiba tidak dapat saling
memahami?"
Tuhan mengangguk. "Lagi-lagi, itu terjadi beberapa kali dengan satu
atau lain cara."
"Jadi apa yang kau lakukan? Mengubah cara berpikir mereka, mengganti
ingatan mereka?"
"Ya, aku pernah melakukan keduanya. Meskipun sebelum manusia melek
huruf, yang harus kulakukan hanyalah membagi mereka secara fisik, mengirim satu
kelompok ke negeri baru atau memberi satu kelompok adat istiadat yang mengubah
mulut mereka—misalnya, mencabut gigi depan selama ritual pubertas. Atau memberi
mereka penolakan kuat terhadap sesuatu yang dianggap berharga atau sakral oleh
orang lain atau—"
Martha terkejut ketika dia menyela pembicaraannya. "Bagaimana dengan
mengubah... entahlah, aktivitas otak orang-orang. Bisakah aku
melakukannya?"
"Menarik," kata Tuhan. "Dan mungkin berbahaya. Tapi, kau bisa
melakukannya kalau kau memutuskan untuk melakukannya. Apa yang ada dalam
pikiranmu?"
"Mimpi," katanya. "Mimpi yang kuat, tak terelakkan, dan
realistis yang muncul setiap kali orang tidur."
"Maksudmu," tanya Tuhan, "bahwa mereka harus diberi
pelajaran lewat mimpi-mimpi mereka?"
"Mungkin. Tapi yang aku maksud adalah entah bagaimana orang harus
menghabiskan banyak energi mereka dalam mimpi. Mereka akan memiliki dunia
terbaik mereka sendiri selama mimpi mereka. Mimpi harus jauh lebih realistis
dan intens daripada kebanyakan mimpi saat ini. Apa pun yang paling disukai
orang, mereka harus bermimpi untuk melakukannya, dan mimpi harus berubah untuk
mengikuti minat masing-masing. Apa pun yang menarik perhatian mereka, apa pun
yang mereka inginkan, mereka bisa melakukannya dalam tidur mereka. Bahkan,
mereka tidak bisa menghindarinya. Tidak ada yang bisa menolak mimpi—tidak
obat-obatan, tidak operasi, tidak apa pun. Dan mimpi harus memuaskan jauh lebih
dalam, lebih menyeluruh, daripada kenyataan. Maksudku, kepuasan harus ada dalam
mimpi, bukan dalam upaya membuat mimpi menjadi kenyataan."
Tuhan tersenyum. "Kenapa?"
"Aku ingin mereka memiliki satu-satunya utopia yang mungkin."
Martha berpikir sejenak. "Setiap orang akan memiliki utopia pribadi yang
sempurna setiap malam—atau utopia yang tidak sempurna. Kalau mereka mendambakan
konflik dan perjuangan, mereka akan mendapatkannya. Kalau mereka menginginkan perdamian
dan cinta, mereka akan mendapatkannya. Apa pun yang mereka inginkan atau
butuhkan akan datang kepada mereka. Aku pikir kalau orang-orang pergi ke...
yah, surga pribadi setiap malam, itu mungkin akan mengurangi keinginan mereka
untuk menghabiskan waktu terjaga mereka mencoba untuk mendominasi atau
menghancurkan satu sama lain." Dia ragu-ragu. "Benarkan?"
Tuhan masih tersenyum. "Mungkin saja. Sebagian orang akan dikuasai
olehnya seolah-olah itu adalah obat yang membuat ketagihan. Sebagian akan
mencoba melawannya dalam diri mereka sendiri atau orang lain. Sebagian akan
menyerah pada hidup mereka dan memutuskan untuk mati karena tidak ada yang
mereka lakukan yang lebih berarti daripada mimpi mereka. Sebagian akan
menikmatinya dan mencoba melanjutkan hidup mereka yang biasa, tapi bahkan
mereka akan menemukan bahwa mimpi mengganggu hubungan mereka dengan orang lain.
Apa yang akan dilakukan umat manusia secara umum? Aku tidak tahu." Laki-laki
itu tampak tertarik, sedikit bersemangat. "Aku pikir itu mungkin terlalu
membosankan bagi mereka pada awalnya—sampai mereka terbiasa dengannya. Aku
bertanya-tanya apakah mereka bisa terbiasa dengannya."
Martha mengangguk. "Menurutku kau benar tentang bahwa hal itu yang
membuat mereka bosan. Kurasa pada awalnya kebanyakan orang akan kehilangan
minat pada banyak hal lain—termasuk seks yang nyata. Seks yang nyata berisiko
bagi kesehatan dan ego. Seks dalam mimpi akan fantastis dan sama sekali tidak
berisiko. Jumlah anak yang lahir akan lebih sedikit untuk sementara
waktu."
"Dan lebih sedikit dari mereka yang akan selamat," kata Tuhan.
"Apa?"
"Beberapa orang tua pasti terlalu sibuk dengan mimpinya hingga tidak
sempat mengurus anak-anaknya. Mencintai dan membesarkan anak juga berisiko, dan
itu pekerjaan yang berat.
"Itu seharusnya tidak terjadi. Merawat anak-anak mereka seharusnya
menjadi satu hal yang benar-benar ingin dilakukan oleh orang tua, terlepas dari
impian mereka. Aku tidak ingin bertanggung jawab atas banyak anak yang
terabaikan."
"Jadi kau ingin orang-orang—dewasa dan anak-anak—memiliki malam yang
dipenuhi dengan mimpi yang jelas dan mengabulkan keinginan, tapi orang tua
harus melihat pengasuhan anak sebagai sesuatu yang lebih penting daripada
mimpi, dan anak-anak tidak boleh tergoda untuk menjauh dari orang tua mereka
karena mimpi, tapi harus menginginkan dan membutuhkan hubungan dengan mereka
seolah-olah tidak ada mimpi?"
"Sebisa mungkin." Martha mengerutkan kening, membayangkan
bagaimana rasanya hidup di dunia seperti itu. Apakah orang-orang masih akan
membaca buku? Mungkin mereka akan melakukannya untuk memenuhi impian mereka.
Apakah dia masih bisa menulis buku? Apakah dia ingin melakukannya? Apa yang
akan terjadi padanya kalau satu-satunya pekerjaan yang pernah dia pedulikan
hilang? "Orang-orang seharusnya tetap peduli dengan keluarga dan pekerjaan
mereka," katanya. "Mimpi-mimpi itu seharusnya tidak merampas harga
diri mereka. Mereka seharusnya tidak puas bermimpi di bangku taman atau di
gang. Aku hanya ingin mimpi-mimpi itu sedikit memperlambat segalanya. Sedikit
mengurangi agresi, seperti yang kau katakan, mengurangi keserakahan. Tidak ada
yang memperlambat orang seperti kepuasan, dan kepuasan ini akan datang setiap
malam."
Tuhan mengangguk. "Begitukah? Apakah kau ingin hal ini
terjadi?"
"Ya. Maksudku, kupikir begitu."
"Apa kau yakin?"
Dia berdiri dan menatap laki-laki itu. "Apakah itu yang harus
kulakukan? Apakah itu akan berhasil? Tolong beri tahu aku."
"Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak ingin tahu. Aku ingin
menyaksikan semuanya terungkap. Aku pernah menggunakan mimpi sebelumnya, Kau
tahu, tapi bukan seperti itu."
Kebahagiaan laki-laki itu begitu kentara sehingga Martha hampir menarik
kembali seluruh idenya. Laki-laki itu tampaknya bisa terhibur oleh hal-hal yang
mengerikan. "Biarkan aku memikirkannya," kata Martha. "Bisakah
aku sendiri sebentar?"
Tuhan mengangguk. "Bicaralah dengan suara keras kepadaku saat kau
ingin berbicara. Aku akan datang kepadamu."
Dan dia sendirian. Dia sendirian di dalam apa yang tampak dan terasa
seperti rumahnya—rumah kecilnya di Seattle, Washington. Dia berada di ruang
tamunya.
Tanpa berpikir panjang, dia menyalakan lampu dan berdiri memandangi
buku-bukunya. Tiga dinding ruangan itu ditutupi rak buku. Buku-bukunya tertata
rapi di sana dalam urutan yang biasa. Dia mengambil beberapa buku, satu demi
satu—sejarah, kedokteran, agama, seni, kriminal. Dia membukanya untuk melihat
bahwa buku-buku itu memang miliknya, yang diberi tanda dan ditulis dengan
tangannya sendiri saat dia melakukan penelitian untuk novel ini atau cerita pendek itu.
Dia mulai percaya bahwa dia benar-benar berada di rumah. Dia mengalami
semacam mimpi aneh saat terjaga tentang pertemuan dengan Tuhan yang tampak
seperti Musa-nya Michelangelo dan yang memerintahkannya untuk
menemukan cara agar manusia menjadi spesies yang tidak terlalu merusak diri
sendiri. Pengalaman itu terasa sangat nyata, tapi tidak mungkin. Itu terlalu
konyol.
Dia pergi ke jendela depan dan membuka gorden. Rumahnya berada di atas
bukit dan menghadap ke timur. Kemewahan terbesarnya adalah pemandangan indah
Danau Washington yang bisa dilihat dari sana, cuma beberapa blok di bawah
bukit.
Tapi sekarang, tidak ada danau. Di luar sana ada taman yang sebelumnya dia
impikan. Sekitar dua puluh meter dari jendela depannya terdapat pohon maple
Norwegia merah besar dan bangku tempat dia duduk dan berbicara dengan Tuhan.
Bangku itu kini kosong dan gelap gulita. Di luar mulai gelap.
Dia menutup gorden dan menatap lampu yang menerangi ruangan. Sesaat, dia
merasa terganggu karena lampu itu menyala dan menggunakan listrik di tempat
yang seperti Twilight Zone ini. Apakah rumahnya sudah dipindahkan ke
sini, atau diduplikasi? Atau apakah itu semua cuma halusinasi yang rumit?
Dia mendesah. Lampu itu menyala. Lebih baik terima saja. Ada cahaya di
ruangan itu. Ada sebuah ruangan, sebuah rumah. Bagaimana semua itu bekerja
adalah masalah terkecilnya.
Dia pergi ke dapur dan di sana menemukan semua makanan yang dia miliki di
rumah. Seperti lampu, kulkas, kompor listrik, dan oven yang berfungsi. Dia bisa
menyiapkan makanan. Makanan itu setidaknya akan sama nyatanya dengan apa pun
yang pernah dia temukan baru-baru ini. Dan dia lapar.
Dia mengambil sekaleng kecil tuna albacore putih dan wadah berisi daun
adas dan bubuk kari dari lemari dan mengambil roti, selada, acar adas, daun
bawang, mayones, dan saus kental dari kulkas. Dia akan makan satu atau dua sandwich
salad tuna. Memikirkannya membuatnya semakin lapar.
Lalu dia punya pikiran lain lagi dan berkata keras-keras, "Bolehkah
aku bertanya sesuatu?"
Dan mereka berjalan bersama di jalan tanah yang lebar dan datar yang
dibatasi oleh siluet pepohonan yang gelap dan menyeramkan. Malam sudah tiba,
dan kegelapan di bawah pepohonan tidak bisa ditembus. Hanya jalan setapak itu
yang berupa pita cahaya pucat—cahaya bintang dan bulan. Ada bulan purnama,
cemerlang, kuning-putih, dan besar. Dan ada kanopi bintang yang luas. Dia pernah
melihat langit malam seperti ini hanya beberapa kali dalam hidupnya. Dia selalu
tinggal di kota-kota tempat lampu dan kabut asap mengaburkan semua kecuali
beberapa bintang yang paling terang.
Dia mendongak selama beberapa detik, lalu menatap Tuhan dan entah
bagaimana, tanpa rasa terkejut, melihat bahwa dia sekarang berkulit hitam, dan
bercukur bersih. Dia adalah seorang laki-laki kulit hitam yang tinggi dan
gempal yang mengenakan pakaian modern yang biasa—sweater gelap di atas kemeja
putih dan celana panjang gelap. Dia tidak menjulang tinggi di atasnya, tapi dia
lebih tinggi daripada versi Tuhan berkulit putih seukuran manusia. Dia sama
sekali tidak mirip dengan Tuhan Musa yang berkulit putih, tapi dia
adalah orang yang sama. Dia tidak meragukannya.
"Kau melihat sesuatu yang berbeda," kata Tuhan. "Apa
itu?" Bahkan suaranya pun berubah, menjadi lebih dalam.
Dia menceritakan apa yang dilihatnya, dan laki-laki itu mengangguk.
"Pada suatu saat, kau mungkin akan memutuskan untuk melihatku sebagai
seorang perempuan," katanya.
"Aku tidak memutuskan untuk melakukan ini," katanya. "Lagi
pula, semua ini tidak nyata."
"Sudah kubilang," kata laki-laki itu. "Semuanya nyata.
Hanya saja tidak seperti yang kau lihat."
Dia mengangkat bahunya. Itu tidak penting—tidak sebanding dengan apa yang
ingin ditanyakannya. "Aku punya pikiran," katanya, "dan itu
membuatku takut. Itu sebabnya aku memanggilmu. Aku sudah menanyakannya
sebelumnya, tapi kau tidak memberiku jawaban langsung, dan kupikir aku butuh
jawaban."
Laki-laki itu menunggu.
"Apakah aku mati?"
"Tentu saja tidak," katanya sambil tersenyum. "Kau di
sini."
"Denganmu," katanya dengan nada getir.
Lalu hening.
"Apakah penting berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk memutuskan
apa yang harus dilakukan?"
"Sudah kubilang, tidak. Lakukan saja selama yang kau mau."
Aneh, pikir Martha. Yah, semuanya aneh. Karena sebuah dorongan, dia
berkata, "Apakah kau mau sandwich salad tuna?"
"Ya," kata Tuhan. "Terima kasih."
Mereka berjalan kembali ke rumah bersama-sama, alih-alih cuma sekadar
muncul di sana. Martha bersyukur akan hal itu. Begitu masuk, dia meninggalkan
laki-laki itu duduk di ruang tamunya, membolak-balik novel fantasi dan
tersenyum. Dia melakukan gerakan membuat sandwich salad tuna terbaik
yang dia bisa. Mungkin usaha itu penting. Dia tidak percaya sejenak bahwa dia
sedang menyiapkan makanan asli atau bahwa dia dan Tuhan akan memakannya.
Tapi, sandwich itu lezat. Saat mereka makan, Martha teringat sari
apel bersoda yang dia simpan di kulkas untuk menemaninya. Dia pergi
mengambilnya, dan ketika kembali ke ruang tamu, dia melihat bahwa Tuhan sudah berubah
menjadi seorang perempuan.
Martha berhenti, terkejut, lalu mendesah. "Sekarang aku melihatmu
sebagai perempuan," katanya. "Sebenarnya, menurutku kau mirip sekali
denganku. Kita terlihat seperti saudara." Dia tersenyum lelah dan memberikan
segelas sari buah apel.
Tuhan berkata, "Kau sendiri yang melakukannya. Tapi, selama hal itu
tidak membuatmu kesal, kurasa itu tidak masalah."
"Ini menggangguku. Kalau aku melakukannya, kenapa butuh waktu lama
bagiku untuk melihatmu sebagai perempuan kulit hitam—karena tidak ada yang lebih
cocok daripada melihatmu sebagai laki-laki kulit putih atau laki-laki kulit
hitam?"
"Seperti yang sudah kukatakan kepadamu, kau melihat apa yang sudah
dipersiapkan oleh hidupmu untuk kau lihat." Tuhan memandangnya, dan
sesaat, Marta merasa bahwa dia sedang melihat ke dalam cermin.
Martha mengalihkan pandangannya. "Aku percaya padamu. Aku cuma
berpikir aku sudah berhasil keluar dari kurungan mental tempatku dilahirkan dan
dibesarkan—Tuhan manusia, Tuhan kulit putih, Tuhan laki-laki …"
"Kalau ini benar-benar sebuah sangkar," kata Tuhan, "kau
akan tetap berada di dalamnya, dan aku akan tetap terlihat seperti saat pertama
kali kau melihatku."
"Itu dia," kata Martha. "Kalau begitu, apa
sebutannya?"
"Kebiasaan lama," kata Tuhan. "Itulah masalah dengan
kebiasaan. Kebiasaan cenderung tidak berguna lagi."
Martha terdiam beberapa saat. Akhirnya dia berkata, "Apa pendapatmu
tentang ide mimpiku? Aku tidak memintamu untuk meramal masa depan. Cari saja
kesalahannya. Kelemahannya. Beri aku peringatan.”
Tuhan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. "Yah, masalah
lingkungan yang terus berkembang akan lebih kecil kemungkinannya untuk
menyebabkan perang, jadi mungkin akan ada lebih sedikit kelaparan, lebih
sedikit penyakit. Kekuasaan yang nyata akan kurang memuaskan daripada kekuasaan
yang sangat besar dan absolut yang bisa mereka miliki dalam mimpi mereka, jadi
lebih sedikit orang akan terdorong untuk mencoba menaklukkan tetangga mereka
atau memusnahkan kaum minoritas mereka. Secara keseluruhan, mimpi-mimpi itu
mungkin akan memberi manusia lebih banyak waktu daripada yang akan mereka
miliki tanpa mimpi-mimpi itu.
Martha merasa khawatir. "Waktu untuk melakukan apa?"
"Waktu untuk tumbuh sedikit. Atau setidaknya, waktu untuk menemukan
cara bertahan hidup dari sisa-sisa masa remajanya." Tuhan tersenyum.
"Berapa kali kau bertanya-tanya bagaimana beberapa individu yang sangat
merusak diri sendiri berhasil bertahan hidup di masa remaja? Ini adalah
kekhawatiran yang normal bagi umat manusia maupun bagi manusia secara
individu."
"Kenapa mimpi tidak bisa melakukan lebih dari itu?" tanyanya.
"Kenapa mimpi tidak bisa digunakan bukan hanya untuk memuaskan hasrat hati
mereka saat mereka tidur, tapi juga untuk mendorong mereka menuju semacam
kedewasaan saat terjaga. Meskipun aku tidak yakin seperti apa kedewasaan
spesies itu."
"Buatlah mereka lelah dengan kesenangan," kata Tuhan,
"sambil mengajari mereka bahwa kesenangan bukanlah segalanya."
"Mereka sudah tahu itu."
"Orang-orang biasanya tahu hal itu saat mereka mencapai usia dewasa.
Tapi, terlalu sering mereka tidak peduli. Terlalu mudah
untuk mengikuti pemimpin yang buruk tapi menarik, menganut kebiasaan yang
menyenangkan tapi merusak, mengabaikan bencana yang mengancam karena mungkin
itu tidak akan terjadi—atau mungkin cuma akan terjadi pada orang lain. Pemikiran
seperti itu adalah bagian dari menjadi remaja."
"Bisalah mimpi mengajarkan—atau setidaknya mendorong—lebih banyak
perhatian saat orang terjaga, mendorong lebih banyak perhatian terhadap
konsekuensi nyata?
"Itu bisa terjadi kalau kau suka."
"Ya. Aku ingin mereka menikmati diri mereka sendiri semaksimal
mungkin saat mereka tidur, tapi menjadi jauh lebih terjaga dan sadar saat
mereka terbangun, jauh lebih tidak mudah tertipu oleh kebohongan, tekanan teman
sebaya, dan delusi diri."
"Semua itu tidak akan membuat mereka sempurna, Martha."
Martha berdiri sambil menatap Tuhan, takut bahwa dia sudah melewatkan
sesuatu yang penting, dan bahwa Tuhan mengetahuinya dan merasa terhibur. "Tapi
ini akan membantu?" katanya. "Ini akan lebih membantu daripada
menyakiti."
"Ya, mungkin itu akan terjadi. Dan tidak diragukan lagi akan terjadi
hal-hal lainnya. Aku tidak tahu apa saja itu, tapi itu tidak bisa dihindari.
Tidak ada yang berjalan mulus dengan manusia."
"Kau menyukainya, bukan?"
"Awalnya aku tidak tahu. Mereka milikku, dan aku tidak mengenal
mereka. Kau tidak akan bisa mengerti betapa anehnya hal itu." Tuhan
menggelengkan kepalanya. "Itu sama familiarnya dengan substansi milikku, tapi
secara bersamaan juga bukan milikku."
"Wujudkanlah mimpimu," kata Martha.
"Apa kau yakin?"
"Wujudkanlah hal itu."
"Kalau begitu, kau siap untuk pulang."
"Ya."
Tuhan berdiri dan menghadap ke arahnya. "Kau ingin pergi.
Kenapa?"
"Karena aku tidak menganggap mereka menarik seperti dirimu. Karena
cara-caramu membuatku takut."
Tuhan tertawa—tawa yang tidak terlalu mengganggu sekarang. "Tidak,
mereka tidak melakukannya," katanya. "Kau mulai menyukai
cara-caraku."
Setelah beberapa saat, Martha mengangguk. "Kau benar. Awalnya aku
takut, tapi sekarang tidak. Aku sudah terbiasa. Cuma dalam waktu singkat di
sini, aku sudah terbiasa, dan aku mulai menyukainya. Itulah yang membuatku
takut."
Dalam bayangan cermin, Tuhan juga mengangguk. "Kau benar-benar bisa
tinggal di sini, kau tahu. Tak ada waktu yang akan berlalu untukmu. Tak ada
waktu yang akan berlalu."
"Aku heran kenapa kau tidak peduli dengan waktu."
"Awalnya, kau akan kembali ke kehidupan yang kau ingat. Tapi, aku
rasa kau harus segera mencari cara lain untuk mencari nafkah. Memulai hidup
baru di usiamu tidak akan mudah."
Martha menatap rak-rak buku yang rapi di dindingnya. "Membaca akan
jadi masalah, ya kan—membaca itu menyenangkan, ya kan?"
"Itu akan terjadi—setidaknya untuk sementara waktu. Orang-orang akan
membaca untuk mendapatkan informasi dan ide, tapi mereka akan menciptakan
fantasi mereka sendiri. Apakah kau sudah memikirkannya sebelum membuat
keputusan?"
Martha mendesah. "Ya," katanya. "Ya." Beberapa saat
kemudian, dia menambahkan, "Aku ingin pulang."
"Apakah kau ingin mengingat keberadaanmu di sini?" tanya Tuhan.
"Tidak." Karena sebuah dorongan, dia melangkah ke arah Tuhan
dan memeluknya—memeluknya erat, merasakan tubuh perempuan yang dikenalnya di
balik celana jins biru dan kaus hitam yang tampak seperti berasal dari lemari
Martha sendiri. Martha menyadari bahwa entah bagaimana, terlepas dari
segalanya, dia mulai menyukai makhluk yang menggoda, kekanak-kanakan, dan
sangat berbahaya ini. "Tidak," ulangnya. "Aku takut akan
kerusakan yang tidak diinginkan yang mungkin ditimbulkan oleh mimpi itu."
"Meskipun pada akhirnya mereka hampir pasti akan melakukan lebih
banyak kebaikan daripada keburukan?" tanya Tuhan.
"Meski begitu," kata Martha. "Aku khawatir akan tiba
saatnya aku tidak akan sanggup lagi mengetahui bahwa akulah yang menyebabkan
bukan cuma kerusakan, tapi juga akhir dari satu-satunya karier yang pernah aku
pedulikan. Aku takut mengetahui semua itu akan membuat aku gila suatu hari
nanti.” Dia menjauh dari Tuhan, dan Tuhan pun tampak memudar, menjadi tembus
cahaya, transparan, hilang.
"Aku ingin melupakannya," kata Martha, dan dia berdiri
sendirian di ruang tamunya, menatap kosong ke balik gorden jendela depannya
yang terbuka ke permukaan Danau Washington dan kabut yang menggantung di
atasnya. Dia bertanya-tanya pada kata-kata yang baru saja diucapkannya,
bertanya-tanya apa yang sangat ingin dilupakannya.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Patung Musa: sebuah patung karya Michelangelo --seorang
pematung, pelukis, arsitek, dan penyair Italia pada zaman Renaisans-- yang
disimpan di gereja San Pietro in Vincoli di Roma.
2 Hidup yang berbuah: istilah dalam Alkitab yang berarti kehidupan
yang dipenuhi kasih Allah, berkat bagi orang lain, dan menjadi saluran
berkat.

Comments
Post a Comment