Dan Masih Banyak Yang Harus Dilakukan Sebelum Aku Tidur (And Miles to Go Before I Sleep ~ Lawrence Block)
Aku mencium bau rumput. Segar, dipotong malam sebelumnya dan masih
berembun.
Aku bisa mengingat potongan-potongan perjalanan ambulans seolah-olah itu
terjadi dalam mimpi yang samar-samar. Aku khawatir dengan ketidaktepatan
menyalakan sirene di pagi hari.
Mereka akan membangunkan separuh kota, pikirku.
Di lain waktu, aku mendengar salah seorang petugas berjas putih
mengatakan sesuatu tentang selimut merah. Pikiranku langsung teringat selimut
yang ada di tempat tidurku saat aku masih kecil sekitar empat puluh tahun yang
lalu. Selimut itu bercorak kotak-kotak, sebagian besar berwarna merah dengan
sedikit warna hijau. Apakah itu yang mereka bicarakan?
Potongan-potongan kesadaran ini muncul satu demi satu, seperti potongan
cepat dalam sebuah film. Tidak ada sensasi waktu yang berlalu di antara mereka.
Aku berada di sebuah kamar rumah sakit. Ruang operasi, kurasa. Aku
berbaring di meja putih panjang sementara seorang dokter bertopeng dan bergaun
hijau memeriksa luka di sisi kiri dadaku. Aku mungkin sedang dibius —ada masker
di wajahku dengan selang yang terhubung dengannya. Dan aku yakin mataku
tertutup. Meskipun demikian, aku menyadari apa yang terjadi, dan aku bisa
melihat.
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Ada sensasi yang bisa aku kenali sebagai rasa sakit, meskipun sebenarnya
tidak sakit. Kemudian aku merasa seolah-olah sisi tubuhku adalah botol dan
gabusnya ditarik keluar. Botol itu terlepas. Dokter mengangkat peluru yang
bentuknya tidak beraturan itu untuk diperiksa. Aku melihatnya jatuh dalam
gerakan lambat dari forsepnya1, mendarat dengan suara berderak di
panci logam.
"Yang lain terlalu dekat dengan jantungnya," kudengar dia
berkata. "Tidak bisa memegangnya. Jangan coba-coba menyentuhnya, posisinya
seperti itu. Itu akan membunuhnya kalau bergerak."
Diiris.
Di tempat yang sama, setelah waktu yang tidak jelas. Seorang perawat
berkata, "Ya Tuhan, dia akan pergi," kemudian mereka semua bicara
bersamaan.
Lalu aku keluar dari tubuhku.
Ini terjadi begitu saja. Pada satu saat aku terbaring di atas meja dan
sesaat kemudian aku melayang di suatu tempat di bawah langit-langit. Aku bisa
melihat ke bawah dan melihat diriku di atas meja dan para dokter serta perawat
berdiri di sekelilingku.
Aku mati, pikirku.
Aku sangat sibuk mencoba memutuskan bagaimana perasaanku tentang hal ini.
Ini tidak menyakitkan. Aku selalu berpikir bahwa itu akan menyakitkan, bahwa
itu akan mengerikan. Tapi, ini tidak terlalu mengerikan.
Jadi seperti ini kematian, pikirku.
Dan aneh rasanya melihat diriku, tubuhku, terbaring di sana. Kupikir, kau
adalah tubuh yang bagus. Aku baik-baik saja, aku tidak membutuhkanmu, tapi kau
adalah tubuh yang bagus.
Lalu aku pergi dari ruangan itu. Ada kilatan cahaya yang makin lama makin
terang, dan aku terhisap melalui terowongan panjang dengan kecepatan tinggi,
lalu aku berada di dunia cahaya dan di hadapan Makhluk cahaya.
Ini sulit dijelaskan.
Aku tidak tahu apakah Makhluk itu seorang laki-laki atau perempuan.
Mungkin keduanya, mungkin berubah-ubah. Aku tidak tahu. Dia berpakaian serba
putih, dan Dia adalah cahaya dan dikelilingi oleh cahaya.
Dan di kejauhan di belakangNya ada ayahku, ibuku, dan kakek-nenekku.
Orang-orang yang telah pergi sebelum aku, dan mereka mengulurkan tangan mereka
kepadaku dan tersenyum padaku dengan wajah berseri-seri karena cahaya dan
cinta.
Aku pergi ke Makhluk itu, aku tertarik padaNya, dan Dia mengulurkan
tanganNya dan berkata, "Lihatlah
kehidupanmu."
Dan aku melihat, aku bisa melihat seluruh hidupku. Aku tidak tahu
bagaimana mengatakan apa yang aku lihat. Seolah-olah seluruh hidupku terjadi
sekaligus dan seseorang sudah mengambil fotonya dan aku melihat foto itu. Aku bisa
melihat di dalamnya semua yang aku ingat dalam hidupku dan semua yang sudah aku
lupakan, dan semuanya terjadi sekaligus dan aku melihatnya terjadi. Dan aku
melihat sesuatu yang buruk yang sudah kulakukan dan berpikir, aku menyesal
tentang itu. Dan aku melihat sesuatu yang baik dan bersyukur karenanya.
Dan akhirnya aku bangun, sarapan, dan meninggalkan rumah untuk berjalan
kaki ke tempat kerja. Sebuah mobil lewat dan sebuah senjata keluar dari
jendela. Ada dua tembakan dan aku jatuh, ambulans datang, dan seterusnya.
Dan aku berpikir, Siapa yang membunuhku?
Makhluk itu berkata, “Kau harus mencari tahu jawabannya.”
Aku pikir, aku tidak peduli, itu tidak penting.
Dia berkata, “Kau harus kembali dan menemukan jawabannya.”
Aku berpikir, Tidak, aku tidak ingin kembali.
Semua cahaya terang itu mulai memudar. Aku mengulurkan tanganku ke
arahnya karena aku tidak ingin kembali, aku tidak ingin hidup lagi. Tapi,
semuanya terus memudar.
Lalu aku kembali ke tubuhku lagi.
***
"Kami hampir kehilangan Anda," kata perawat itu. Senyumnya
profesional, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh.
"Jantung Anda benar-benar berhenti di meja operasi. Anda benar-benar
membuat kami takut saat itu."
"Maafkan saya," kataku.
Dia pikir itu lucu. "Dokter hanya bisa mengeluarkan satu dari dua
peluru yang ada di dalam tubuh Anda. Jadi, masih ada sedikit timah di dada Anda.
Dia menjahit luka Anda dan memasang selang drainase, tapi jelas Anda tidak akan
bisa berjalan keluar seperti itu. Yang jelas, Anda harus berbaring diam atau
peluru bisa bergeser posisinya. Peluru itu tepat berada di samping jantung Anda,
Anda tahu."
Mungkin akan berubah meskipun aku tidak bergerak, pikirku. Tapi, dia tahu
lebih baik daripada mengatakan itu padaku.
"Dalam empat atau lima hari kami akan menjadwalkan Anda untuk
operasi lain," lanjutnya. "Pada saat itu peluru mungkin akan bergerak
sendiri ke posisi yang lebih mudah diakses. Kalau tidak, ada teknik bedah yang bisa
digunakan." Dia memberi tahu aku beberapa hal luar biasa yang bisa
dilakukan dokter bedah. Aku tidak mendengarkan.
Setelah dia meninggalkan ruangan, aku berguling ke sana ke mari di tempat
tidur, menggerakkan tubuhku sekencang mungkin. Tapi, peluru itu tidak berubah
posisinya di dadaku.
Aku takut akan hal itu.
***
Aku menginap di rumah sakit malam itu. Tidak ada yang datang menjengukku
selama jam kunjung, dan aku pikir itu aneh. Aku bertanya kepada perawat dan
diberi tahu bahwa aku sedang dalam perawatan intensif dan tidak boleh menerima
pengunjung.
Aku kehilangan kendali atas diriku. Aku berteriak bahwa dia gila.
Bagaimana aku bisa tahu siapa pelakunya kalau aku tidak bisa bertemu siapa pun?
"Polisi akan menemui Anda segera setelah diizinkan," katanya.
Dia sangat bersungguh-sungguh. "Percayalah," katanya, "ini demi
keselamatan Anda sendiri. Tentu saja mereka ingin mengajukan sejuta pertanyaan
kepada Anda, tapi akan buruk bagi kesehatan Anda kalau membiarkan Anda terlalu
bersemangat."
Dasar bajingan, pikirku. Dan hampir saja mengutarakan pikiran itu dalam
kata-kata.
Lalu aku teringat pada gambaran hidupku dan hal-hal yang menyenangkan
maupun tidak menyenangkan yang sudah kulakukan, dan bagaimana semuanya tampak
dalam gambar itu.
Aku tersenyum. "Maaf saya kehilangan kendali," kataku.
"Tapi kalau mereka tidak ingin saya bersemangat, mereka seharusnya tidak
memberi saya perawat secantik ini."
Dia keluar dengan wajah berseri-seri.
Aku tidak tidur. Sepertinya itu tidak perlu.
***
Aku berbaring di tempat tidur sambil bertanya-tanya siapa yang
membunuhku.
Istriku? Kami kawin muda, lalu tumbuh bersama. Tentu saja dia tidak
menembakku karena dia sedang tidur di tempat tidur ketika aku meninggalkan
rumah pagi itu. Tapi dia mungkin punya kekasih. Atau dia bisa saja menyewa
seseorang untuk menarik pelatuk untuknya.
Mitraku? Monty dan aku sudah mengubah segenggam modal pinjaman menjadi
bisnis bernilai jutaan dolar. Tapi, aku lebih baik daripada Monty dalam hal
menyimpan uang. Dia menghabiskannya, mempertaruhkannya, menghabiskannya untuk
menyelesaikan perceraian. Keuntungannya menurun akhir-akhir ini. Apakah dia sudah
mengambil keuntungan dari dananya sendiri dan memanipulasi pembukuan? Dan
apakah dia kemudian memutuskan untuk menutupi pencuriannya dengan cara yang
mudah?
Pacarku? Peg punya apartemen yang layak, lemari penuh pakaian. Bukan sesuatu
yang buruk. Tapi, selama beberapa saat aku membiarkannya berpikir bahwa aku
akan menceraikan Julia saat anak-anak dewasa, dan sekarang kami berdua sudah sma-sama
paham. Dia tampak sudah menyesuaikan diri dengan situasi itu, tapi apakah rasa
dendam masih membara di dalam dirinya?
Anak-anakku?
Pikiran itu menyakitkan. Mark bekerja untukku setelah lulus kuliah.
Kesepakatan itu tidak bertahan lama. Dia terlalu keras kepala, sementara aku
tidak mau memberinya tanggung jawab yang diinginkannya. Sekarang dia bicara
tentang memulai bisnis sendiri. Tapi, dia kekurangan modal.
Kalau aku mati, dia akan mendapatkan semua yang dia butuhkan.
Debbie sudah menikah dan sedang mengandung. Awalnya dia tinggal dengan
seorang pemuda lain, yang tidak aku setujui, lalu dia menikah dengan Scott,
pekerja keras, tekun, dan ambisius. Apakah pernikahan itu buruk baginya, dan
apakah dia menyalahkan aku karena sudah membuatnya putus dengan pemuda yang
pertama? Atau apakah ambisi Scott mendorongnya untuk menjadikan Debbie seorang
pewaris?
Itu adalah pikiran yang menyakitkan.
Orang lain? Tapi siapa dan kenapa?
Beberapa hari yang lalu, aku pernah menyerobot pengendara lain di
bundaran. Aku ingat bunyi klaksonnya, wajahnya sekilas terlihat di kaca spionku,
merah, marah. Apakah dia menyalin plat nomorku, menemukan alamatku, menyergap
untuk menembakku?
Itu tidak masuk akal. Tapi, tidak masuk akal juga ada orang yang
membunuhku.
Julia? Monty? Peg? Mark? Debbie? Scott?
Orang asing?
Aku berbaring di sana sambil bertanya-tanya dan tidak peduli. Seseorang
membunuhku dan aku seharusnya sudah mati. Tapi aku tidak diizinkan untuk mati
sampai aku mengetahui jawaban atas pertanyaan itu.
Mungkin polisi akan menemukannya untukku.
***
Mereka tidak melakukannya.
Aku bertemu dua orang polisi keesokan harinya. Aku masih dirawat
intensif, masih dilarang untuk menerima tamu, tapi ada pengecualian untuk
polisi. Mereka sangat sopan dan berbicara dengan suara pelan. Mereka tidak
memiliki petunjuk apa pun dalam penyelidikan mereka dan hanya ingin tahu apakah
aku bisa menyarankan satu tersangka yang mungkin.
Aku bilang pada mereka, aku tidak bisa.
***
Perawatku menjadi pucat pasi seperti kertas.
"Anda tidak boleh bangun dari tempat tidur! Anda bahkan tidak boleh
bergerak! Apa yang sedang Anda lakukan?"
Aku bangun dan berpakaian. Tidak ada rasa sakit. Sebagai percobaan, aku pura-pura
menelan pil pereda nyeri yang diberikan setiap empat jam, menyembunyikannya di
seprai alih-alih menelannya. Seperti yang aku duga, aku tidak merasakan sakit
apa pun.
Area luka itu mati rasa, seolah-olah bagian tubuhku itu sudah diangkat
seluruhnya. Tapi, tidak ada yang sakit. Aku bisa merasakan proyektil yang masih
ada di dalam tubuhku dan tahu bahwa proyektil itu tetap berada di posisinya. Tapi,
itu tidak menyakitiku.
Dia terus mengoceh padaku. Aku teringat gambaran hidupku dan menghindari
memberinya jawaban tajam.
"Saya pulang dulu," kataku.
"Jangan bicara omong kosong."
"Anda tidak punya wewenang atas diri saya," kataku padanya.
"Secara hukum, saya bertanggung jawab atas hidup saya sendiri."
"Untuk kematian Anda sendiri, maksud Anda."
"Kalau memang begitu. Anda tidak bisa menahan saya di sini tanpa
keinginan saya. Anda tidak bisa mengoperasi saya tanpa persetujuan saya."
“Kalau Anda tidak menjalani operasi itu, Anda akan mati.”
"Semua orang akan mati."
"Saya tidak mengerti," katanya, matanya terbelalak dan penuh
kesedihan, dan hatiku luluh padanya.
"Jangan khawatirkan saya," kataku lembut. "Saya tahu apa
yang saya lakukan. Dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh siapa pun."
***
"Mereka bahkan tidak mengizinkanku menemuimu," kata Julia.
"Dan sekarang kau sudah pulang."
“Pemulihannya cepat.”
"Bukankah seharusnya kau berada di tempat tidur?"
"Olahraga seharusnya baik untukku," kataku. Aku menatapnya, dan
sesaat aku melihatnya seperti yang pernah muncul di bagian-bagian kehidupanku.
Sebagai seorang pengantin. Sebagai seorang ibu muda.
"Kau tahu, kau sangat cantik," kataku.
Dia merona.
"Kurasa kita menikah terlalu muda," kataku. "Kita
masing-masing masih harus banyak belajar. Dan bisnis menyita banyak waktuku
selama bertahun-tahun. Dan kurasa aku belum menjadi suami yang baik."
"Kau tidak seburuk itu."
"Aku senang kita menikah," kataku.
"Dan aku senang kita tetap bersama. Dan kau ada di sini untukku pulang."
Dia mulai menangis. Aku memeluknya sampai dia berhenti. Kemudian,
wajahnya menempel di dadaku, dia berkata, "Di rumah sakit, sambil
menunggu, aku menyadari untuk pertama kalinya apa artinya bagiku kehilanganmu.
Kupikir kita sudah lama berhenti saling mencintai. Aku tahu kau punya perempuan
lain. Selain itu, aku punya kekasih dari waktu ke waktu. Aku tidak tahu apakah
kau tahu itu."
"Itu tidak penting."
"Tidak," katanya, "itu tidak penting. Aku senang kita
menikah, Sayang. Dan aku senang kau akan baik-baik saja."
***
Monty berkata, "Kau membuat semua orang khawatir, Cah. Tapi
apa yang kau lakukan di sini? Kau seharusnya di rumah dan tidur."
"Aku harus berolahraga. Lagi pula, kalau aku tidak datang ke sini,
bagaimana aku tahu kau tidak akan membuat perusahaan bangkrut?"
Nada bicaraku ringan, tapi wajahnya merah padam. "Kau baru saja
menyinggung perasaanku," katanya.
"Ada apa?"
"Ketika mereka sibuk mengambil peluru dari tubuhmu, yang terpikir
olehku hanyalah kau akan mati sambil mengira aku pencuri."
"Aku tidak tahu apa yang kau katakan."
Dia menundukkan pandangannya. "Aku meminjam dana kemitraan,"
katanya. "Aku terlilit hutang karena kebodohanku sendiri dan aku tidak mau
mengakuinya kepadamu, jadi aku merogoh kocek dalam-dalam. Itu cuma sebentar,
kasus penipuan. Aku sudah membereskan semuanya sebelum badut itu menyerangmu.
Mereka sudah tahu siapa pelakunya?"
"Belum."
"Malam sebelum kau ditembak, aku begadang dan memeriksa semuanya.
Aku tidak akan mengatakan apa-apa, lalu aku bertanya-tanya apakah kau akan curiga,
dan aku memutuskan untuk menceritakannya kepadamu pagi-pagi sekali. Lalu
sepertinya aku tidak akan mendapat kesempatan. Kau tidak curiga sama sekali?"
"Aku pikir posisi kas kita sedang lemah. Tapi, setelah
bertahun-tahun, aku sama sekali tidak takut kau akan mencuri dariku."
"Bertahun-tahun itu," ulangnya, dan aku melihat gambaran
hidupku lagi. Semua kerja keras yang sudah kulakukan bersama Monty. Tawa yang sudah
kami bagi, masa-masa sulit yang sudah kami lalui.
Kami saling memandang, dan ada banyak perasaan yang mengalir di antara
kami. Kemudian dia menarik napas dan menepuk bahuku. "Baiklah, sudah cukup
tentang masa lalu," katanya dengan kasar. "Seseorang harus melakukan
sedikit pekerjaan di sini."
***
"Aku senang kamu ada di sini," kata Peg. "Aku bahkan tidak
bisa pergi ke rumah sakit. Yang bisa kulakukan cuma menelepon setiap jam dan
meminta laporan anonim tentang kondisimu. Kondisi kritis, begitu yang mereka bilang.
Berulang kali."
"Pasti sulit."
"Itu berdampak padaku dan untukku," katanya. "Itu
membuatku sadar bahwa aku sudah menipu diriku sendiri sepanjang hidupku. Dan
akulah yang melakukannya. Kamu tidak melakukannya padaku."
"Sudah kubilang aku akan meninggalkan Julia."
"Oh, ini cuma permainan yang kita berdua mainkan. Aku tidak pernah
benar-benar berharap kamu akan meninggalkannya. Tidak, itu salahku, Sayang. Aku
sudah menjalani kehidupan yang aman dan tenteram. Tapi, ketika kamu berada
dalam keadaan kritis, aku merasa bahwa hidupku juga berada dalam keadaan
kritis, dan sudah saatnya aku bertanggung jawab atas hal itu."
"Maksudmu?"
"Maksudnya, ada baiknya kamu datang malam ini dan bukan sore tadi,
karena kamu tidak akan menemukanku di rumah. Aku punya pekerjaan. Gajinya tidak
seberapa, tapi cukup untuk membayar sewa. Begini, aku sudah memutuskan sudah
saatnya aku mulai membayar sewa rumahku sendiri. Pada musim gugur nanti, aku
akan mulai kuliah malam di universitas."
"Jadi begitu."
"Kamu tidak marah?"
"Marah? Aku bahagia untukmu."
"Aku tidak menyesali apa yang sudah kita lalui bersama. Aku adalah
gadis kecil yang tersesat dengan kehidupan yang kacau dan kamu membuatku merasa
dicintai dan diperhatikan. Tapi, sekarang aku sudah dewasa. Aku akan tetap
menemuimu, kalau kamu mau menemuiku, tapi mulai sekarang aku akan membiayai
hidupku sendiri."
"Tidak ada cek lagi?"
"Tidak ada lagi cek. Aku serius."
Aku teringat beberapa masa-masa kami bersama, melihatnya seperti yang
pernah kulihat dalam gambaran hidupku. Aku dipenuhi nafsu. Aku pergi dan
memeluknya.
Dia berkata, "Tapi apakah sudah aman? Bukankah itu berbahaya
bagimu?"
"Dokter bilang semua akan baik-baik saja."
Matanya berbinar. "Baiklah, kalau memang itu yang dokter
sarankan—" Dan dia menuntunku ke kamar tidur.
***
Setelah itu, aku berharap bisa mati di ranjang Peg. Seketika aku
menyadari bahwa itu akan buruk baginya dan buruk bagi Julia.
Bagaimana pun, aku belum melakukan apa yang harus aku lakukan saat
kembali.
***
Kemudian, saat Julia tertidur, aku terjaga dalam kegelapan. Aku berpikir,
ini gila. Aku bukan detektif. Aku pengusaha. Aku mati dan Engkau tidak
membiarkanku tetap mati. Kenapa aku tidak boleh mati?
Aku bangun dari tempat tidur, turun ke bawah, dan menyiapkan kartu untuk
permainan solitaire. Aku memanggang sepotong roti dan membuat secangkir
teh untuk diri aku sendiri.
Aku memenangkan permainan solitaire itu. Permainan itu termasuk
permainan yang sulit, yang biasanya aku menangkan sekali dalam lima puluh atau
seratus kali percobaan.
Aku berpikir. Itu bukan Julia, itu bukan Monty, itu bukan Peg. Mereka
semua mencintaiku.
Aku merasa senang mengenai hal itu.
Tapi siapa yang membunuhku? Siapa yang tersisa dalam daftarku?
Aku tidak merasa senang akan hal itu.
***
Keesokan paginya, saat aku sedang menyelesaikan sarapanku, Mark
membunyikan bel. Julia pergi ke depan dan mempersilakannya masuk. Mark masuk ke
dapur dan mengambil secangkir kopi dari teko di atas kompor.
"Aku berada di rumah sakit," katanya. "Siang dan malam, tapi
mereka tidak mengizinkan kami menemuimu. Aku ada di sana."
"Ibumu sudah memberitahuku."
"Lalu aku harus keluar kota kemarin lusa dan baru kembali pagi ini.
Aku harus bertemu dengan beberapa orang." Senyum mengembang di wajahnya.
Dia tampak seperti ibunya saat tersenyum.
"Aku sudah bisa finance," katanya. "Aku sudah
menjalankan bisnis."
"Itu luar biasa."
"Aku tahu kau ingin aku mengikuti jejakmu. Tapi aku tidak bisa
bahagia kalau masa depanku diserahkan kepadaku seperti itu. Aku ingin
menjalaninya sendiri."
"Kau anakku. Aku juga begitu."
“Ketika aku meminta pinjaman padamu—“
"Aku sudah memikirkan itu," kataku, mengingat kejadian itu
seperti yang kulihat dalam gambaran hidupku. "Aku membenci kemandirianmu
dan aku iri dengan masa mudamu. Aku salah karena menolakmu."
"Kau benar menolakku." Senyum itu lagi, persis seperti ibunya.
"Aku ingin melakukannya sendiri, lalu aku berbalik dan meminta bantuanmu.
Aku senang kau tahu lebih baik daripada memberiku apa yang takut-takut kuminta.
Aku segera menyadarinya, tapi aku terlalu sombong untuk mengatakan apa-apa,
lalu ada orang gila yang menembakmu dan—yah, aku senang semuanya baik-baik
saja, Ayah."
"Ya," kataku. "Aku juga."
Bukan Mark, kalau begitu.
***
Debbie juga bukan. Aku selalu tahu itu, dan mengetahuinya dengan pasti
saat dia berteriak, "Oh, Ayah!" dan berlari ke arahku serta
memelukku. "Aku sangat senang," katanya terus-menerus. "Aku
sangat khawatir."
"Tenanglah," kataku padanya. "Aku tidak ingin cucuku lahir
dengan ketakutan."
"Jangan khawatir tentang cucumu. Cucumu akan baik-baik saja."
"Bagaimana dengan putriku?"
"Putrimu baik-baik saja. Apa kau mau tahu sesuatu? Beberapa hari
terakhir ini, wow, aku benar-benar belajar banyak selama beberapa hari terakhir
ini."
"Begitu juga aku."
"Betapa dekatnya aku denganmu, untuk satu hal. Saat menunggu di
rumah sakit, ada saat ketika aku berpikir, Ya Tuhan, dia sudah tiada. Aku punya
firasat seperti itu begitu saja. Lalu aku menggelengkan kepala dan berkata,
tidak, itu tidak masuk akal, kau baik-baik saja. Dan kau tahu apa yang mereka
katakan kepada kami setelahnya? Jantungmu berhenti selama operasi, dan itu
pasti terjadi tepat ketika aku merasakan firasat itu. Aku tahu, dan kemudian
aku tahu lagi ketika jantungmu kembali berdetak."
Ketika aku melihat putraku, aku melihat senyum ibunya. Ketika aku melihat
Debbie, aku melihat diriku sendiri.
"Dan satu hal lagi yang aku pelajari, yaitu betapa orang saling
membutuhkan. Orang-orang begitu baik kepada kami! Banyak orang menelepon aku, bertanya
tentangmu. Bahkan Philip menelepon, bisakah kau bayangkan? Dia cuma ingin
memberi tahu aku bahwa aku harus menghubunginya seandainya ada sesuatu yang
bisa dia lakukan."
"Apa yang bisa dia lakukan?"
"Entahlah. Lucu juga mendengar kabar darinya. Aku tidak pernah
mendengar suaranya lagi sejak kami berpisah. Tapi dia baik sekali menelepon,
bukan?"
Aku mengangguk. "Pasti itu membuatmu bertanya-tanya apa yang mungkin
terjadi."
"Yang membuatku bertanya-tanya adalah bagaimana aku pernah berpikir
Philip dan aku diciptakan untuk satu sama lain. Scott selalu bersamaku setiap
saat, kau tahu, kecuali saat dia turun untuk mendonorkan darah untukmu—"
"Dia mendonorkan darah untukku?"
"Ibu tidak memberitahumu? Kau dan Scott memiliki golongan darah yang
sama. Itu salah satu golongan darah langka dan kalian berdua memilikinya.
Mungkin itu sebabnya aku jatuh cinta padanya."
"Bukan alasan yang buruk."
"Dia selalu bersamaku, kau tahu, dan saat kau sudah keluar dari
bahaya, aku mulai menyadari betapa dekatnya Scott dan aku, betapa aku
mencintainya. Dan kemudian ketika aku mendengar suara Philip, aku berpikir
betapa kekanak-kanakan hubungan kami itu. Aku tahu kau tidak pernah
menyetujuinya."
"Bukan urusanku untuk menyetujui atau tidak menyetujui."
"Mungkin tidak. Tapi aku tahu kau menyukai Scott, dan itu penting
bagiku."
***
Aku pulang ke rumah.
Aku berpikir, Apa yang Kau inginkan dariku? Bukan menantuku. Kau tidak
mencoba membunuh seseorang lalu menyumbangkan darah untuk transfusi. Tidak ada
yang akan melakukan hal seperti itu.
Orang yang kuhadang di bundaran? Tapi itu gila. Dan bagaimana aku bisa
mengenalnya? Aku tidak tahu harus mulai mencari dari mana.
Musuh yang lain? Tapi aku tidak punya musuh.
***
Julia berkata, “Dokter menelepon lagi. Dia masih tidak paham bagaimana kau
bisa keluar dari rumah sakit. Tapi, dia menelepon untuk mengatakan bahwa dia
ingin menjadwalkan untuk operasi.“
Belum, kataku padanya. Sampai aku siap.
"Kapan kau akan siap?"
Saat aku merasa siap, aku katakan kepadanya.
Dia menelepon dokter itu kembali, menyampaikan pesannya. "Dia sangat
baik," katanya. "Dia bilang penundaan apa pun berbahaya, jadi
sebaiknya kau memberinya jadwal sesegera mungkin. Kalau kau memiliki sesuatu
untuk dilakukan, dia bilang dia bisa mengerti itu, tapi cobalah untuk tidak
membiarkannya berlarut-larut."
Aku senang dia adalah laki-laki yang simpatik dan pengertian, dan istriku
menyukainya. Dia mungkin bisa menjadi penghiburnya nanti saat dia membutuhkan
seseorang untuk bersandar.
Sesuatu mulai cocok.
***
Aku menelepon Debbie.
"Hanya satu panggilan telepon," katanya, bingung. "Dia
bilang dia tahu kau tidak pernah menyukainya, tapi dia selalu menghormatimu dan
dia tahu betapa besar pengaruhmu dalam hidupku. Dan bahwa aku boleh
menghubunginya kalau aku butuh seseorang untuk kuhubungi. Dia baik, itulah yang
kukatakan pada diriku sendiri saat itu, tapi ada sesuatu yang menyeramkan dalam
percakapan itu."
Dan apa yang diceritakan putriku kepadanya?
"Senang rasanya mendengar kabar darinya, dan bahwa, kau tahu, suamiku
dan aku akan baik-baik saja. Sedikit mengingatkan bahwa aku sudah menikah, tapi
dengan cara yang baik. Kenapa?"
***
Polisi masih ragu. Masalah lama, kata mereka. Pemuda itu pernah tinggal
bersama putriku beberapa waktu lalu, berpisah secara baik-baik, tidak pernah
membuat masalah. Apakah dia pernah mengancamku? Apakah kami pernah bertengkar?
Dialah orangnya, kataku. Awasi dia, kataku. Awasi dia.
Jadi mereka menugaskan orang untuk mengawasi Philip, dan pada hari
keempat pengawasan itu membuahkan hasil. Mereka memergoki dia menyelipkan bom
di bawah kap mobil. Mobil itu milik menantu laki-lakiku, Scott.
"Dia pikir kau ada di antara mereka. Ketika putrimu mengatakan dia
bahagia menikah, dia mengalihkan sasarannya ke suaminya."
Selalu ada sesuatu tentang Philip yang tidak kusukai. Sesuatu yang
menyeramkan, seperti kata Debbie. Mungkin dia akan mendapatkan perawatan
sekarang. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa menyakiti siapa pun.
Apakah itu sebabnya aku diizinkan kembali? Agar aku bisa mencegah Philip
menyakiti Scott?
Mungkin itu tujuannya. Percakapan dengan Julia, dengan Monty, dengan Peg,
dengan Mark dan Debbie, itu semua adalah keuntungan sampingan.
Atau mungkin sebaliknya.
Baiklah.
Mereka sudah mempersiapkanku untuk operasi. Dokter, yang pengertian
seperti biasa, menelepon lagi. Kali ini aku membiarkan dia menyiapkan jadwal
untukku, dan aku datang ke sini dan membiarkan mereka mempersiapkan aku. Dan aku
sudah mempersiapkan diri.
Baiklah.
Aku siap sekarang.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Forsep: instrumen genggam yang digunakan untuk menjepit
dan menahan benda.

Comments
Post a Comment