Kang Sujak Membunuh Radio
Kang Sujak adalah seorang tukang reparasi barang-barang elektronik. Di
depan rumahnya, terpampang tulisan besar-besar dengan warna merah: ’SERVIS SENTER
BARANG-BARANG ELECTRONIC’. Kang Sujak tidak kenal mBah Mo. Kang Sujak terpisah
puluhan bahkan ratusan tahun dengan mBah Mo. Karena itulah, teori mBah Mo tidak
pernah didengar Kang Sujak, walaupun sebagai tukang reparasi barang-barang elektronik,
Kang Sujak juga sering memperbaiki radio.
Hari ini, ada yang mengirimkan sebuah radio lawas kepada Kang Sujak. Sebagai orang yang sudah sering
memperbaiki barang-barang elektronik, Kang Sujak tidak gentar sedikitpun pada
radio lawas itu. Begitupun, Kang
Sujak masih belum menyentuh radio lawas itu
sama sekali. Kalau ada yang bisa membuat Kang Sujak ragu-ragu untuk menyentuh
radio lawas itu, maka itu adalah
selembar surat yang datang bersamanya:
”Barang siapa
bisa masuk ke dalam radio, maka orang itu akan menguasai dunia. Bahkan
Indonesia bisa merdeka karena pejuang-pejuangnya berhenti bergerak di bawah
tanah. Mereka keluar, lalu dengan segala cara berusaha masuk ke dalam radio.”
mBah Mo.
Siapakah yang mengirim radio ini? Apakah mBah Mo? mBah Mo itu siapa? Dan yang
lebih penting lagi, radio ini harus diperbaiki atau harus diapakan?
Sampai malam, radio lawas itu masih
belum disentuh Kang Sujak. Kang Sujak cuma menonton televisi sambil tidur-tiduran.
Acaranya debat. Orang-orang di dalam televisi itu sedang berdebat soal penjahat
yang sempat ’cuti’ dan pergi ke Bali. Tanpa sepengetahuan Kang Sujak, malam
itu, sepasukan tentara sedang melakukan pemberontakan. Pasukan itu membagi
dirinya dalam beberapa satuan kecil, lalu menculik dan membunuh
jenderal-jenderal yang mungkin akan menghalangi gerakan mereka.
Entah karena pernah mendengar teori mBah Mo atau karena hal lain, pagi-pagi
sekali para tentara pemberontak yang baru saja menculik dan membunuh beberapa
orang jenderal itupun menyusup ke dalam sebuah radio. Di sana, komandan pasukan
pemberontak itu memaksa penyiarnya untuk membacakan sebuah pengumuman,
sementara sang komandan bersama seluruh pasukannya menyembunyikan diri mereka jauh
ke dalam radio tersebut.
”Saudara-saudara
sekalian sebangsa dan setanah air, hari ini telah terjadi sebuah gerakan yang
bernama ’Gerakan Menyelamatkan Negara’. Kami sebagai tentara pembela negara
telah berhasil melumpuhkan kekuatan-kekuatan yang akan membawa negara ini pada kehancuran.
Kami minta saudara-saudara sekalian untuk tetap tenang dan tidak panik. Yang
perlu saudara-saudara ketahui, negara sekarang sudah selamat.”
Penyiar radio.
Begitulah pengumuman yang dibacakan oleh penyiar radio pagi ini. Kang Sujak
sampai tersedak kopi demi mendengar suara gemetar penyiar radio itu. Di lain
tempat, tentara-tentara yang setia pada pemerintah juga sama kagetnya dengan
Kang Sujak. Mereka berlari ke dalam radio dengan terburu-buru. Mungkin karena
tentara pemerintah itu tahu kalau tentara pemberontak bersembunyi di sana. Atau
mungkin juga karena tentara pemerintah itu sebenarnya juga ingin bersembunyi di
sana. Tapi yang jelas, sekarang sedang ada pertempuran hebat di sana, di dalam radio.
Sudah beberapa malam ini terjadi pertempuran hebat di dalam radio. Sudah
beberapa malam pula televisi di rumah Kang Sujak tidak menyala. Tidak ada siaran.
Ini pasti gara-gara pertempuran-pertempuran hebat di dalam radio itu. Ini
gawat, pikir Kang Sujak. Hiburan Kang Sujak satu-satunya adalah menonton televisi
sambil tidur-tiduran. Kalau sudah bermalam-malam televisi tidak siaran, maka
sudah bermalam-malam pula Kang Sujak tidak terhibur. Kang Sujak harus segera menyelamatkan
siaran televisi!
Tekad Kang Sujak sudah bulat, dia harus menyelamatkan televisi. Tapi,
bagaimana caranya? Kang Sujak mulai berpikir keras. Orang sakit harus diobati, begitu
Kang Sujak mulai menyusun pikirannya. Supaya cepat sembuh, maka obatnya harus
sampai langsung ke sumber sakitnya, harus sampai ke penyakitnya, dan penyakit
itu adalah tentara-tentara yang sedang bertempur di dalam radio. Kang Sujak
harus menghentikan pertempuran itu. Kang Sujak harus masuk ke dalam radio!
Suara-suara peluru berdesing bising di dalam radio, kalaupun Kang Sujak bisa
masuk ke dalam radio, Kang Sujak tidak yakin dia akan selamat sebelum sempat
menghentikan pertempuran di sana. Lalu bagaimana bisa menghentikan pertempuran
di dalam radio kalau dirinya tidak masuk ke dalam radio? Televisi! Beberapa
tahun lalu, sebuah demo besar di televisi berhasil membuat presiden mengundurkan
diri. Kalau demo itu saja bisa menurunkan seorang presiden, maka Kang Sujak
yakin bisa menghentikan pertempuran di dalam radio dari dalam televisi.
Sekarang tinggal satu masalah: bagaimana caranya masuk ke dalam televisi?
Kang Sujak mulai menari-nari menirukan bintang film India yang pernah
ditontonnya demi mengingat seorang anggota polisi yang masuk televisi hanya karena
menari India. Tidak berhasil. Cara yang paling mudah sebenarnya adalah dengan mengikuti
berbagai audisi yang diadakan oleh televisi itu sendiri. Tapi bagaimana bisa, lha wong televisinya sendiri sudah lama
tidak siaran? Maka Kang Sujak memutuskan untuk mendatangi stasiun televisi sambil
membawa radio lawas dan surat dari mBah Mo.
”Kami sudah lama tidak siaran, Pak Sujak,” begitu kata salah satu pegawai
televisi yang menerima Kang Sujak.
”Kalian harus siaran! Cuma itu caranya untuk menghentikan pertempuran yang
sedang terjadi, cuma itu caranya untuk menyelamatkan negara ini!”
”Tidak ada yang mau shooting, Pak
Sujak. Kalaupun ada, tidak ada yang mau nonton.
Lagipula, acara apa yang bisa kami buat di tengah keadaan seperti ini?”
”Aku membawa sebuah radio lawas. Grundig.
Ini radio buatan Jerman. Ada suratnya juga dari mBah Mo.”
”Terus?”
”Kita bunuh saja radionya.”
”Ha?!”
”Tentara-tentara itu pasti mengikuti teori mBah Mo dengan masuk ke dalam radio.
Kita tidak bisa mengalahkan mereka. Kita tidak punya senjata. Tapi televisi,
pasti bisa membunuh radio, radio apapun. Tentara-tentara itu harus keluar dari radio
kalau tidak mau mati bersama dengan radio yang akan kita bunuh.”
Orang ini pasti sudah gila, pikir pegawai televisi yang menerima Kang
Sujak tadi. Tapi idenya boleh juga. Keadaan negara sedang genting. Orang-orang
tidak berani keluar rumah. Sebenarnya ini bagus untuk bisnis pertelevisian karena
dengan begitu, ada banyak orang yang akan menonton televisi, apapun acaranya. Tapi
tidak ada yang mau shooting, artis-artis
tidak bisa dihubungi. Sekarang hanya ada satu orang gila dengan satu ide gila:
membunuh radio lewat televisi. Tidak ada salahnya mencoba, pikir pegawai televisi
itu lagi.
Maka ide gila Kang Sujak mulai dijalankan. Karena Kang Sujak bukan artis profesional,
Kang Sujak cuma diberi jatah tampil di televisi selama tiga menit. Tiga menit
itu berisi sebuah seruan singkat dari Kang Sujak untuk berhenti mendengarkan
siaran radio. Tujuannya jelas, dengan berhenti mendengarkan siaran radio, maka
radio akan mati dengan sendirinya. Siaran tiga menit Kang Sujak diulang-ulang
terus sepanjang hari karena selain siaran itu, televisi tidak punya siaran lain.
Di luar dugaan, acara Kang Sujak sukses besar. Orang-orang mulai menonton
televisi dan berhenti mendengarkan siaran radio. Semua orang menonton Kang
Sujak di televisi. Kang Sujak pun mulai sering tampil di televisi, diwawancari
oleh wartawan dari macam-macam televisi. Porsi acara untuk Kang Sujak pun ditambah.
Kang Sujak mulai dibuatkan sinetron. Kang Sujak jadi pemeran utama. Ceritanya
tidak penting. Setelah itu ada acara talk
show, kompetisi dangdut, gosip, masak memasak, lawak, sulap dan hipnotis,
dan lain-lain, dan lain-lain, dan semua itu untuk Kang Sujak!
Pertempuran-pertempuran hebat di dalam radio akhirnya berhenti. Tentara-tentara
itu pun menonton acara-acara Kang Sujak di dalam televisi bersama-sama. Mereka
bergandengan tangan. Mereka menangis bersama ketika Kang Sujak menceritakan
kehidupannya yang sulit sebagai tukang reparasi barang elektronik. Mereka juga
tertawa bersama ketika Kang Sujak melawak di televisi. Jenderal-jenderal yang
dibunuh tentara pemberontak dimakamkan dengan sebuah upacara kenegaraan, lalu
pemerintah memaafkan tentara pemberontak. Negara damai.
Sekarang tinggallah Kang Sujak yang kebingungan sendiri. Misinya untuk menghentikan
pertempuran di dalam radio sudah berhasil. Negara sudah damai. Kang Sujak
dielu-elukan sebagai pahlawan. Sementara itu, Kang Sujak sendiri sekarang
justru ingin pulang dan menonton televisi sambil tidur-tiduran. Tapi tidak bisa.
Kang Sujaklah yang sekarang jadi tontonan orang-orang. Kang Sujak tidak bisa menonton
televisi karena dirinya sekarang ada di dalam televisi itu!
Pernah terlintas di dalam pikiran Kang Sujak untuk membunuh televisi,
tapi dirinya juga ada di dalam televisi. Kalau Kang Sujak membunuh televisi,
itu sama saja dengan membunuh dirinya sendiri, dan bunuh diri itu dosanya
besar. Selain itu, Kang Sujak juga tidak tahu caranya membunuh televisi.
Berhari-hari Kang Sujak memikirkan hal ini, tentu sambil mengisi semua acara di
televisi. Kang Sujak masih belum bisa menemukan jawabannya.
Malam itu, selepas menyelesaikan shooting
sebuah sinetron, Kang Sujak duduk sendiri di bawah sebuah pohon asem sambil
memikirkan jalan keluar untuk masalahnya. Malam itu gelap dan tidak ada
siapapun di dekat Kang Sujak, hanya sebuah radio lawas yang sudah mati dan surat dari mBah Mo yang menemaninya.
Tiba-tiba, seberkas cahaya turun dari langit. Di ujung cahaya itu, Kang Sujak
melihat seorang laki-laki berjalan mendekatinya. Malam masih gelap, tapi laki-laki
itu selalu berjalan di bawah cahaya. Seperti ada sebuah lampu sorot yang terus
mengikutinya dari atas langit sana. Laki-laki ini pasti diutus dari langit
untuk menyelesaikan masalahku, begitu pikir Kang Sujak.
”Selamat malam, Pak Sujak. Nama saya Dharmo. Saya mau memperluas pasar Pak
Sujak lewat media internet. Apa Pak Sujak sudah punya akun facebook?”
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment