Laki-Laki Yang Akan Mengirim Awan Hujan (The Man to Send Rain Clouds ~ Leslie Marmon Silko)

Laki-Laki Yang Akan Mengirim Awan Hujan (The Man to Send Rain Clouds ~ Leslie Marmon Silko)

I

Mereka menemukannya di bawah sebuah pohon kapas besar. Jaket dan celana Levis-nya berwarna biru muda pudar yang membuatnya mudah ditemukan. Pohon kapas besar itu berdiri agak terpisah di hutan kecil musim dingin yang tumbuh di arroyo1 berpasir yang luas. Dia sudah mati setidaknya selama satu hari atau lebih, dan domba-domba berkeliaran naik-turun arroyo. Leon dan adik iparnya, Ken, mengumpulkan domba-domba itu dan meninggalkannya di kandang, lalu mereka kembali ke pohon kapas itu. Leon menunggu di bawah pohon sementara Ken mengemudikan truk menyeberangi lautan pasir itu sampai ke tepi arroyo. Dia memicingkan matanya menatap matahari dan membuka ritsleting jaketnya --hari itu memang hari yang panas sepanjang tahun ini. Tapi pegunungan biru tinggi di barat laut masih terbungkus salju. Ken turun ke bawah, menuruni bantaran sungai sekitar lima puluh yard, dan membawa selembar selimut merah.

Sebelum mereka membungkus tubuh laki-laki tua itu, Leon mengeluarkan seutas tali dari sakunya dan mengikat sehelai bulu abu-abu kecil di rambut putih laki-laki tua itu. Lalu Ken mewarnai wajahnya. Di dahi cokelat keriputnya, dia menggambar garis-garis putih dan di sepanjang tulang pipi kokohnya dia menarik satu garis biru. Dia berhenti sebentar dan melihat Ken menebar tepung dan biji jagung ke arah angin yang meniup bulu abu-abu kecil itu. Lalu Leon memberi cat kuning di bawah hidung laki-laki tua itu, dan akhirnya, ketika dia memberi warna hijau di dagunya, dia tersenyum.

"Beri kami awan hujan, Kakek." 

Mereka meletakkan bungkusan itu di back pickup dan menutupinya dengan terpal sebelum kembali ke pueblo2.

Mereka keluar dari jalan raya menuju jalan berpasir pueblo. Tidak lama setelah mereka melewati toko-toko dan kantor pos, mereka melihat mobil Bapa Paul mendekat. Ketika dia mengenali wajah mereka, dia melambatkan mobilnya dan melambaikan tangan memberi tanda supaya mereka berhenti. Pastor muda itu lalu menurunkan kaca jendela mobil.

"Apa kalian menemukan si tua Teofilo?" tanyanya keras.

Leon menghentikan truknya. "Selamat pagi, Bapa, kami baru saja sampai di tempat penggembalaan domba, semuanya sudah OK."

"Terima kasih Tuhan. Teofilo sudah sangat tua, kalian seharusnya tidak membiarkannya sendirian di tempat penggembalaan domba."

"Tidak, tidak akan begitu lagi sekarang."

"Baiklah, aku senang kalian mengerti, kuharap aku bisa melihat kalian di misa minggu ini --kami tidak melihat kalian minggu lalu. Cobalah ajak si tua Teofilo datang bersama kalian." Sang pastor tersenyum dan melambai pada mereka ketika mereka melaju pergi.

II

Louise dan Teresa sedang menunggu. Meja sudah disiapkan untuk makan siang, dan kopi sudah mendidih di kompor besi hitam. Leon menatap Louise lalu Teresa.

"Kami menemukannya di bawah pohon kapas di arroyo besar di dekat tempat penggembalaan domba. Kurasa dia duduk untuk beristirahat di tempat teduh dan tidak pernah bangun lagi." Leon berjalan menuju tempat tidur laki-laki tua itu. Seprai kotak-kotak merah dikibaskan dan ditutupkan dengan hati-hati di atas tempat tidur, dan selembar kemeja flanel cokelat baru dan sepasang celana Levis kaku baru tertata rapi di samping bantal. Louise membuka pintu kaca sementara Leon dan Ken membawa masuk selimut merah itu. Laki-laki itu terlihat kecil dan keriput, dan setelah mereka memakaikannya baju dan celana baru dia terlihat semakin kecil.

Saat itu pasti siang hari karena lonceng gereja berdentang menandai Angelus3. Mereka makan kacang dengan roti panas, dan tidak ada yang berkata apa-apa sampai Teresa menuang kopi.

Ken berdiri dan mengenakan jaketnya. "Aku akan menemui penggali kubur. Cuma lapisan atas tanah yang membeku, kupikir itu bisa selesai sebelum gelap."

Leon mengangguk dan menghabiskan kopinya. Sesaat setelah Ken pergi, para tetangga dan anggota klan datang dengan tenang untuk menghibur keluarga Teofilo dan meninggalkan makanan di atas meja karena para penggali kubur akan datang untuk makan ketika mereka selesai.

III

Langit barat dipenuhi cahaya kuning pucat. Louise berdiri di luar dengan tangan di saku jaket hijau tentara Leon yang terlalu besar untuknya. Pemakaman sudah selesai, dan orang-orang tua sudah membawa lilin dan tas obat mereka lalu pergi. Dia menunggu sampai mayat itu dimasukkan ke dalam pickup sebelum dia mengatakan sesuatu kepada Leon. Dia menyentuh lengannya, dan menyadari bahwa tangan itu masih berlumur tepung jagung yang disebarkannya di dekat laki-laki tua itu. Ketika dia bicara, Leon tidak bisa mendengarnya.

"Apa yang kau katakan? Aku tidak bisa mendengarmu."

"Aku bilang aku memikirkan sesuatu."

"Soal apa?"

"Soal pastor yang memercikkan air suci untuk Kakek. Supaya dia tidak kehausan."

Leon menatap mokasin4 baru yang Teofilo buat untuk tarian perayaan musim panas. Sepatu itu nyaris tertutup selimut merah. Cuaca semakin dingin, dan angin menerbangkan debu di sepanjang jalan pueblo yang sempit. Matahari mendekati bukit panjang tempat dia akan menghilang selama musim dingin. Louise berdiri di sana menggigil dan melihat wajah Leon. Lalu laki-laki itu melepas jaketnya dan membuka pintu truk. "Akan kulihat apakah dia ada di tempatnya."

IV

Ken menghentikan pickup-nya di gereja, lalu Leon keluar; lalu Ken menuruni bukit menuju pemakaman tempat orang-orang menunggu. Leon mengetuk pintu tua yang berukir simbol Anak Domba. Sambil menunggu dia menatap lonceng kembar dari raja Spanyol dengan cahaya matahari terakhir yang jatuh di atas keduanya di menara masing-masing.

Pastor membuka pintu dan tersenyum melihat hal itu. "Masuklah! Apa yang membawamu ke sini malam ini?"

Sang pastor berjalan menuju dapur, dan Leon berdiri dengan topi di tangannya, memain-mainkan cuping topinya dan memandangi ruang tamu --sofa coklat, kursi hijau, dan lampu kuningan yang tergantung di langit-langit dengan rantai. Pastor itu menarik sebuah kursi dari dapur dan menawarkannya kepada Leon.

"Tidak, terima kasih, Bapa, saya datang cuma untuk menanyakan apakah Anda mau membawa air suci ke pemakaman."

Sang pastor berpaling dari Leon dan melihat ke luar jendela ke teras yang penuh bayangan dan jendela ruang makan biarawati di seberang teras. Tirai itu berat, dan cahaya dari dalam menembus dengan tajam; tidak mungkin melihat para biarawati yang sedang makan malam. "Kenapa kau tidak bilang kalau dia sudah meninggal? Aku mungkin bisa memberikan SakramenTerakhir5."

Leon tersenyum. "Itu tidak perlu, Bapa."

Sang pastor menatap sepatu cokelatnya yang lecet dan ujung jubahnya yang sudah usang. "Untuk sebuah pemakaman Kristiani itu perlu."

Suaranya terdengar jauh, dan Leon berpikir bahwa matanya yang biru terlihat lelah.

"Tidak apa-apa Bapa, kami cuma ingin dia tidak kekurangan air."

Sang pastor duduk di kursi hijau dan mengambil majalah misionaris yang mengkilat. Dia membalik-balik halaman berwarnanya yang penuh dengan gambar penderita kusta dan orang-orang kafir tanpa benar-benar melihat majalah itu.

"Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu, Leon. Seharusnya ada Sakramen Terakhir dan misa pemakaman."

Leon memakai topi hijaunya dan menarik cuping topinya ke telinganya. "Sudah semakin larut, Bapa, saya harus pergi."

Ketika Leon membuka pintu, Pastor Paul berdiri dan berkata, "Tunggu." Dia meninggalkan ruangan itu dan kembali dengan mengenakan mantel coklat panjang. Dia mengikuti Leon keluar dari pintu dan melintasi halaman gereja yang redup menuju tangga batu di depan gereja. Mereka berdua harus membungkuk untuk menyesuaikan diri dengan gerbang batu yang rendah. Dan ketika mereka mulai menuruni bukit menuju pemakaman, cahaya matahari yang terlihat di atas bukit hanya tinggal setengah.

Sang pastor mendekati makam perlahan-lahan, bertanya-tanya bagaimana mereka bisa menggali tanah yang membeku; lalu dia ingat bahwa ini adalah New Meksiko, dan melihat tumpukan pasir dingin di samping lubang itu. Orang-orang berdiri saling berdekatan satu sama lain dengan sedikit uap nafas di wajah mereka. Sang pastor memandangi mereka dan melihat setumpuk jaket, sarung tangan, dan syal di rumput kering kekuningan yang tumbuh di pemakaman. Dia melihat selimut merah itu, tidak percaya bahwa Teofilo begitu kecil, bertanya-tanya apakah itu bukan tipuan orang Indian --sesuatu yang mereka lakukan pada bulan Maret untuk memastikan panen raya-- bertanya-tanya apakah mungkin si tua Teofilo tua justru sedang berada di tempat penggembalaan domba menjaga domba-dombanya sepanjang malam. Tapi di sanalah dia, menghadapi angin kering yang dingin dan menatap di bawah sinar matahari terakhir, siap mengubur selembar selimut wol merah sementara wajah umatnya tertutup bayang-bayang dengan kehangatan terakhir cahaya matahari di punggung mereka.

Jari-jarinya kaku, dan butuh waktu lama untuk memutar tutup air sucinya. Tetes demi tetes air jatuh di atas selimut merah itu dan menyebar menjadi titik-titik beku yang gelap. Dia memerciki makam itu dan airnya hilang sebelum sempat menyentuh pasir yang redup dan dingin; ini mengingatkannya pada sesuatu yang lain --dia mencoba mengingat, karena dia pikir kalau dia bisa mengingat hal itu maka dia mungkin bisa mengerti segala hal ini. Dia memercikkan lebih banyak air; dia menggoyang-goyang wadah air itu sampai kosong, dan air jatuh di makam itu bersama cahaya matahari terbenam seperti hujan bulan Agustus yang turun ketika matahari masih bersinar, menguap sebelum sempat menyentuh bunga labu yang layu.

Angin menarik jubah Fransiskan cokelat sang pastor dan memutar-mutar tepung jagung yang ditaburkan di atas selimut itu. Mereka menurunkan bungkusan itu ke dalam tanah, dan mereka tidak bersusah-payah melepaskan tali yang terikat di ujung selimut. Matahari sudah lenyap, dan jalanan di jalur timur penuh dengan lampu mobil. Sang pastor berjalan perlahan-lahan. Leon mengamatinya mendaki bukit, dan ketika dia menghilang di balik dinding tebal yang tinggi, Leon berpaling untuk melihat ke arah pegunungan biru tinggi yang terbungkus salju yang memendarkan cahaya merah samar dari arah barat. Dia merasa tenang karena semuanya sudah selesai, dan senang dengan percikan air suci itu; sekarang laki-laki tua itu bisa mengirimi mereka awan besar dan hujan petir yang dahsyat.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Arroyo: sungai kecil.

2 Pueblo: permukiman masyarakat Pueblo, suku asli Amerika di Amerika Serikat bagian Barat Daya, yang saat ini berada di New Mexico, Arizona, dan Texas. Komunitas permanen ini, termasuk beberapa permukiman tertua yang terus dihuni di Amerika Serikat, disebut pueblo (huruf kecil).

3 Angelus: Doa Malaikat Tuhan; salah satu devosi Katolik untuk menghormati penjelmaan Tuhan menjadi manusia, didoakan tiga kali sehari --pukul 6.00 pagi, siang hari, dan pukul 6.00 sore-- ketika lonceng gereja dibunyikan; berasal dari Angelus Domini nuntiavit Mariae (malaikat Tuhan menmberitahukan kepada Maria).

4 Mokasin: sepatu khas Indian yang terbuat dari kulit rusa.

Comments

Populer