Kematian Kedua (The Second Death ~ Graham Greene)

Kematian Kedua (The Second Death ~ Graham Greene)

Dia menemukanku di malam hari di bawah pepohonan yang tumbuh di luar desa. Aku tidak memedulikannya dan akan menyembunyikan diriku kalau saja aku melihatnya datang. Dia yang harus disalahkan, aku yakin, karena kejahatan anak laki-lakinya. Kalau mereka jahat, tapi aku tidak sedang mengatakan kalau mereka jahat. Bagaimanapun, dia sangat baik, tidak pernah bermaksud, seperti orang lain di desa yang bisa kusebutkan satu persatu kalau aku mau.

Aku sedang menatap dedaunan kalau tidak dia tidak akan pernah menemukanku. Daun itu menjuntai dari rantingnya, tangkainya dipatahkan angin atau batu yang dilemparkan salah satu anak desa. Hanya kulit hijau tangkai itu yang tangguh yang menahannya. Aku mengamati dengan seksama, karena seekor ulat merayap di permukaannya dan membuat daun itu bergoyang-goyang. Ulat itu menuju ke rantingnya, dan aku bertanya-tanya apakah ulat itu akan sampai di tempat yang aman atau apakah daunnya akan jatuh bersamanya ke dalam air. Ada kolam di bawah pepohonan, dan airnya selalu berwarna merah, karena tanah liat di dasarnya.

Aku tidak pernah tahu apakah ulat bulu itu sampai di rantingnya atau tidak, karena, seperti yang sudah kukatakan, perempuan bedebah itu menemukanku. Yang pertama kali membuatku menyadari kedatangannya adalah suaranya yang berada tepat di belakang telingaku.

"Aku sudah mencarimu di semua pub," katanya dengan suara tua nyaringnya. Sudah biasa dia mengatakan 'semua pub' padahal cuma ada dua pub di tempat ini. Dia selalu menginginkan pujian atas masalah yang sebenarnya tidak dia selesaikan.

Aku kesal dan tidak tahan untuk berkata sedikit kasar. "Anda mungkin sedang berusaha menyelamatkan diri Anda sendiri dari masalah ini," kataku, "Anda seharusnya tahu kalau aku tidak mungkin berada di pub di malam yang indah seperti ini."

Rubah betina tua itu menjadi sedikit rendah hati. Dia selalu lembut setiap menginginkan sesuatu. "Ini untuk anakku yang malang," katanya. Itu artinya anaknya sedang sakit. Kalau dia sehat, aku tidak pernah mendengarnya mengatakan sesuatu yang lebih baik daripada 'anak yang bikin pusing itu'. Dia memaksanya untuk berada di rumah setiap malam, seolah-olah ada kenakalan serius yang bisa dilakukan orang di desa kecil seperti desa kami. Tentu saja kami segera menemukan cara untuk menipunya, tapi itu adalah prinsip yang aku tidak setuju --laki-laki dewasa berumur di atas tiga puluh diperintah-perintah oleh ibunya, hanya karena dia tidak punya suami untuk diperintah-perintah. Tapi ketika anaknya sakit, walaupun mungkin cuma sedikit demam, maka dia adalah 'anakku yang malang'.

"Dia sekarat," katanya, "dan Tuhan tahu apa yang akan kulakukan tanpanya."

"Yah, aku tidak tahu bagaimana cara membantumu," kataku. Aku marah, karena anaknya itu sudah pernah sekarat dan dia sudah melakukan segalanya kecuali menguburnya. Aku membayangkan itu adalah sekarat yang sama, seperti orang yang mau pergi. Aku pernah melihatnya sekitar seminggu yang lalu dalam perjalanan mendaki bukit untuk melihat gadis berpayudara besar di ladang. Aku mengamatinya sampai dia menjadi seperti satu titik hitam kecil, yang tiba-tiba tiba-tiba tinggal di dekat kotak di ladang. Itu adalah gudang tempat mereka biasa bertemu. Aku punya mata yang sangat bagus dan itu menyenangkanku untuk mencoba seberapa jauh dan seberapa jelas keduanya bisa melihatnya. Aku bertemu dengannya lagi setelah tengah malam dan membantunya masuk ke rumah tanpa sepengetahuan ibunya, dan dia cukup sehat waktu itu --cuma sedikit mengantuk dan capai.

Rubah betina tua itu lagi. "Dia mencarimu," dia berseru kepadaku.

"Kalau dia sakit seperti yang Anda katakan," kataku, "sebaiknya dia mencari dokter."

"Dokter sudah ada di sana, tapi dia tidak bisa apa-apa." Hal itu sedikit mengejutkanku, aku akui itu, sampai aku berpikir, "Setan tua ini pasti sedang berpura-pura. Anaknya pasti punya rencana atau sesuatu yang lain." Dia sangat pandai menipu dokter. Aku sudah melihatnya panik yang bahkan akan menipu Musa.

"Demi Tuhan datanglah," katanya, "dia seperti ketakutan." Suaranya benar-benar tenang, atau kurasa dia menyukainya. Aku tidak bisa tidak mengasihaninya, karena aku tahu anaknya tidak pernah sedikit pun peduli padanya dan tidak pernah repot-repot menyembunyikan hal itu.

Aku meninggalkan pepohonan dan kolam merah dan ulat yang sedang berjuang, karena aku tahu dia tidak akan meninggalkanku, karena sekarang 'anak malangnya' mencariku. Tapi seminggu yang lalu tidak ada yang tidak akan dia lakukan untuk memisahkan kami. Dia berpikir kalau aku bertanggung jawab atas kelakuan anaknya, seolah-olah ada orang yang bisa menjauhkannya dari perempuan ketika nafsunya sedang tinggi.

Kupikir ini pasti pertama kalinya aku masuk ke rumah mereka dari pintu depan, sejak aku datang ke desa ini sepuluh tahun yang lalu. Aku melihat geli dari balik jendela. Kupikir aku bisa melihat tanda di dinding bekas tangga yang kami pakai minggu kemarin. Kami agak kesulitan untuk meluruskan tangga itu, tapi ibunya tidur nyenyak. Dia mengeluarkan tangga itu dari gudang, dan ketika dia berhasil masuk, aku membawanya kembali. Tapi kau tidak pernah bisa mempercayai kata-katanya. Dia bisa berbohong kepada sahabatnya, dan ketika sampai di gudang, aku melihat gadis itu sudah pergi. Kalau aku tidak bisa menyogokmu dengan uang ibunya, dia akan menyuapmu dengan janji orang lain.

Aku yang mulai merasa tidak nyaman langsung masuk ke dalam. Sudah sewajarnya rumah itu sepi, karena mereka berdua tidak pernah punya teman, walaupun perempuan tua itu punya saudara ipar yang tinggal beberapa mil saja dari sini. Tapi aku tidak suka suara kaki sang dokter, ketika dia turun untuk menemui kami. Dia membuat wajahnya begitu serius demi kebaikan kami, seolah-olah ada sesuatu yang suci tentang kematian, tentang kematian temanku.

"Dia sudah sadar," katanya, "tapi dia akan pergi. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Kalau Anda ingin dia meninggal dengan damai, biarkan sahabatnya menemaninya. Dia sedang takut dengan sesuatu."

Dokter itu benar. Aku tahu ketika aku membungkuk di bawah ambang pintu dan memasuki kamar temanku. Kepalanya disangga bantal, dan matanya tertuju ke pintu, menungguku datang. Matanya sangat terang dan ketakutan, dan rambutnya menempel di keningnya membentuk garis-garis yang lengket. Aku tidak pernah menyadari sebelumnya betapa jeleknya dia. Dia punya mata licik yang menatapmu dari sudut-sudutnya, tapi ketika dia sehat, keduanya akan berbinar-binar yang membuatmu lupa pada kelicikannya. Ada sesuatu yang menyenangkan dan kurang ajar dalam binar itu, seolah-olah berkata, "Aku tahu aku licik dan jelek, tapi apa masalahnya? Aku punya nyali." Binar itu, kupikir, buat beberapa perempuan menarik dan merangsang. Sekarang ketika binar itu hilang, dia cuma terlihat nakal dan tidak ada yang lain.

Kupikir sudah jadi tugasku untuk menghiburnya, jadi aku membuat lelucon kecil karena dia sendirian di tempat tidur. Dia sepertinya tidak menyukainya, dan aku mulai takut kalau dia juga punya pandangan religius tentang kematiannya, ketika dia menyuruhku duduk, berbicara dengan sangat tajam.

"Aku sekarat," katanya, bicara dengan sangat cepat, "dan aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Dokter itu tidak berguna --dia kira aku mengigau. Aku takut, Pak Tua. Aku mau diyakinkan," lalu ada jeda sejenak, "oleh seseorang yang punya akal sehat." Dia sedikit tergelincir di tempat tidurnya.

"Aku pernah sekali sakit parah sebelumnya," katanya. "Itu sebelum kau tinggal di sini, aku cuma seorang bocah laki-laki. Orang-orang bilang bahwa aku bahkan seharusnya mati. Mereka membawaku ke pemakaman, ketika seorang dokter menghentikan mereka tepat pada waktunya."

Aku pernah mendengar banyak kasus seperti itu, dan aku tidak melihat alasan kenapa dia ingin memberitahuku tentang hal itu. Lalu kupikir aku mengerti maksudnya. Ibunya belum pernah terlihat begitu cemas sebelumnya untuk melihat apakah dia benar-benar sudah mati, walaupun aku agak ragu kalau ibunya sedang berpura-pura sedih --"Anakku yang malang, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpanya." Dan aku yakin dia percaya dirinya seperti itu, seperti yang dia percayai sekarang. Dia bukan pembunuh. Dia hanya cenderung terlalu cepat mengambil kesimpulan.

"Begini, Pak Tua," kataku, dan aku menyentuhnya sedikit lebih tinggi di atas bantalnya, "Kau tidak perlu takut. Kau tidak akan mati, lagipula aku lihat dokter itu memotong satu pembuluh darah atau sesuatu sebelum memindahkanmu. Tapi itu memang mengerikan. Aku mempertaruhkan bajuku kalau kau masih akan punya beberapa tahun lagi. Dan beberapa gadis juga," aku menambahkan untuk membuatnya tersenyum.

"Tidak bisakah kau menghentikan semua itu?" katanya, lalu aku sadar bahwa dia sudah berubah menjadi religius. "Kalau," katanya, "kalau aku masih hidup, aku tidak akan menyentuh gadis lain, aku tidak akan melakukannya, tidak satu pun."

Aku mencoba untuk tidak tersenyum, tapi tidak mudah untuk mempertahankan wajah datar. Selalu ada sesuatu yang agak lucu tentang moralitas orang sakit. "Bagaimanapun," kataku, "kau tidak perlu takut."

"Bukan begitu," katanya. "Pak Tua, ketika aku datang waktu itu, kupikir aku sudah mati, bukan tidur. Atau beristirahat dalam damai. Ada seseorang di dekatku, yang tahu segalanya. Setiap gadis yang pernah aku punya. Bahkan gadis muda yang tidak mengerti apa-apa itu. Itu sebelum kau tinggal di sini. Dia tinggal satu mil dari sini, tempat Rachel tinggal sekarang, tapi dia dan keluarganya sudah pindah. Bahkan uang yang kuambil dari ibu. Aku tidak menyebutnya mencuri. Ini kan keluarga. Aku cuma tidak pernah punya kesempatan untuk menjelaskan. Bahkan pikiran-pikiran yang aku punya. Seorang laki-laki tidak mampu menahan pikiran-pikirannya."

"Mimpi buruk," kataku.

"Ya, itu pasti mimpi, ya kan? Orang bermimpi ketika mereka sakit, dan aku juga melihat apa yang akan terjadi padaku. Aku tidak tahan sakit. Ini tidak adil. Dan aku mau pingsan tapi aku tidak bisa, karena aku sudah mati."

"Dalam mimpi," kataku. Ketakutannya membuatku gugup. "Dalam mimpi," kataku lagi.

"Ya, itu pasti mimpi --ya kan?-- karena aku terbangun. Yang aneh aku merasa sehat dan kuat. Aku bangkit dan berdiri di jalan, dan agak ke bawah, menerbangkan debu, satu kerumunan kecil, dengan seorang laki-laki --dokter yang menghentikan penguburanku. "

"Terus?" kataku.

"Pak Tua," katanya, "seandainya memang aku sudah mati, aku percaya pada hal itu, kau tahu, dan begitu juga ibuku. Tapi kau tidak bisa mempercayainya. Aku pergi selama beberapa tahun. Kupikir itu mungkin semacam kesempatan kedua. Lalu segalanya menjadi kabur dan entah bagaimana.... Sepertinya itu tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Tentu saja itu tidak mungkin. Kau tahu, ya kan?"

"Wah, tidak," kataku. "Keajaiban seperti itu tidak terjadi lagi sekarang, dan bagaimanapun, hal itu tidak mungkin terjadi padamu, kan? Dan di sini di antara semua tempat di bawah matahari."

"Itu akan sangat mengerikan," katanya, "kalau itu benar, dan aku harus melewati semua itu lagi. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi padaku dalam mimpi itu. Dan itu lebih buruk sekarang." Dia berhenti lalu, setelah beberapa saat, dia menambahkan seolah-olah menyampaikan sebuah fakta: "Ketika seseorang mati, tidak ada lagi ketidaksadaran untuk selama-lamanya."

"Tentu saja itu cuma mimpi," kataku, sambil meremas tangannya. Dia membuatku takut dengan kegembiraannya. Kuharap dia cepat-cepat mati, supaya aku bisa melepaskan diri dari mata licik, merah, dan ketakutannya dan melihat sesuatu yang ceria dan lucu, seperti Rachel yang dia ceritakan tadi, yang tinggal satu mil dari sini.

"Kalau," kataku, "kalau ada seseorang yang melakukan mukjizat seperti itu, kita seharusnya sudah pernah mendengarnya, kau bisa yakin. Bahkan mencicipinya di tempat yang ditinggalkan Tuhan ini," kataku.

"Ada lagi," katanya. "Tapi cerita itu cuma beredar di kalangan orang miskin, dan mereka orang yang percaya segalanya, bukan? Ada banyak penyakit dan cacat yang kata mereka sudah disembuhkannya. Dan ada seorang laki-laki yang dilahirkan buta, lalu dia datang dan cuma menyentuh kelopak matanya dan penglihatan langsung sembuh. Itu semua adalah cerita-cerita istri tua, bukan?" Dia bertanya kepadaku, terbata-bata ketakutan, lalu tiba-tiba terbaring diam dan meringkuk di sisi tempat tidur.

Aku mulai berkata, "Tentu saja, mereka semua berbohong," tapi lalu aku berhenti, karena sudah tidak perlu lagi. Yang bisa kulakukan hanya turun ke bawah dan menyuruh ibunya untuk naik dan menutup mata anaknya itu. Aku tidak akan menyentuh kedua mata itu bahkan kalau dibayar dengan semua uang di dunia ini. Sudah lama aku mengingat hari itu, berabad-abad yang lalu, ketika aku merasakan sentuhan dingin seperti ludah pada kelopak mataku dan membuka mataku melihat seorang laki-laki seperti pohon yang dikelilingi pohon-pohon lain berjalan pergi.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Comments

Populer