Pertemuan-Pertemuan di Persimpangan

Pertemuan-Pertemuan di Persimpangan

Maret 1966

Seekor kuda melompat keluar dari dalam dadaku. Lalu berlari. Kencang. Seratus kilometer per jam. 100 km/jam. Surainya yang mengkilat berkibar-kibar. Tertiup angin. Debu mengepul di belakang kakinya. Menjelma kabut. Kabut yang naik ke langit, bukan yang turun dari mendung. Tiba-tiba, dengan kecepatan yang sama, kuda itu kembali. Berlari ke dalam dadaku. Melesak. Membuatku terhenyak.

“Bubarkan! Bubarkan!”

Teriakan-teriakan itulah yang membawa kudaku kembali ke dalam dadaku. Aku masih termangu memandang punggung sebuah truk. Di dalamnya, beberapa wajah terlihat suram. Sesuram mendung. Wajah-wajah yang mengandung hujan. Kurasa, mereka tidak punya lagi kuda di dalam dadanya.

Seorang perempuan juga ada di sana. Wajahnya juga suram. Juga sesuram mendung. Juga mengandung hujan. Hanya saja, hanya saja, rambutnya basah. Di suatu tempat, perempuan itu pasti telah berjalan di bawah hujan.

“Bubarkan! Bubarkan!”

Teriakan-teriakan itu semakin panjang. Sementara truk yang kupandangi terus berlari. Menjauh. Lalu hujan turun. Aku masih terpaku. Hanya tanganku yang terangkat separuh. Aku tidak menemukan keberanian untuk mengangkatnya penuh. Dan melambai. Aku terlalu takut. Tapi jari-jariku sempat terentang sedikit. Perempuan dengan rambut basah itu sempat melirik sebentar. Lalu truk itu hilang di sebuah persimpangan. Lalu hujan semakin deras. Lalu hujan membasahi seluruh tubuhku.

***

Januari 1974

Laki-laki memang bodoh. Mereka suka berdiri berlama-lama di bawah matahari. Berharap bisa membakar hari. Mereka yang selalu berpikir bahwa dirinya adalah Prometheus, laki-laki yang membawa api. Mereka hanya segerombolan Sishypus, laki-laki yang mendorong batu ke bukit-bukit dewa. Hanya untuk gagal. Hanya untuk gagal. Berulang-ulang kali. Bodoh sekali.

Aku ingat seorang laki-laki bodoh yang lain. Laki-laki dari masa delapan tahun yang lalu. Laki-laki yang menggenggam hujan. Laki-laki itu berdiri saja di bawah langit yang meludahinya, memandangiku tanpa lepas. Entah apa yang dipikirkannya. Mesra juga kalau diingat-ingat. Tapi aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri saat itu. Dan laki-laki hujan itu, jelas aku tidak punya waktu untuk memikirkannya.

Kali ini aku melihat laki-laki yang juga bodoh. Dia yang terbodoh dari semua laki-laki yang ada di sana. Laki-laki itu berdiri di atas semacam panggung. Mereka membuatnya dari tumpukan meja. Berdiri setinggi itu, dia adalah laki-laki yang paling dekat dengan matahari. Kepalanya akan terbakar lebih dulu. Tidak bisa tidak.

“Bubar! Bubar!”

Sebuah teriakan membuat para laki-laki bodoh itu berlarian tak tentu arah. Termasuk laki-laki paling bodoh yang tadi berdiri paling tinggi. Lucu juga sebenarnya. Tapi teriakan itu juga melemparkanku. Jauh. Kembali ke masa delapan tahun yang lalu. Melewati laki-laki hujan yang tadi kuingat. Ingatan akan sebuah truk. Truk yang bergoyang-goyang sepanjang jalan. Truk yang membawaku entah ke mana. Ke mana itu adalah sebuah tujuan, tapi entah adalah peta tanpa panduan. Truk itu membuatku tersesat. Delapan tahun lamanya.

“Bubar! Bubar!”

Teriakan itu terdengar lagi. Kali ini teriakan itu membuat bis yang kutumpangi jadi gila. Bis ini dan penumpangnya jadi gila. Histeris. Laki-laki yang tadi berdiri paling tinggi, sekarang berlari ke arah bis ini. Dia sempat melompat naik sebelum beberapa tangan kekar menariknya kembali. Di sisi lain, toko-toko mulai terbakar, jalanan mulai terbakar. Bersama beberapa mobil yang terguling. Hari mulai terbakar. Bahkan matahari sendiri mulai terbakar.

***

Mei 1998

Aku tidak pernah menyangka akan berada di sini, hari ini. Pun aku tidak menyangka bahwa orang-orang yang naik karena kami, karena aku, akan membuatku berada di sini, hari ini. Di sini, hari ini, anak-anak muda menjelma menjadi peluru. Mereka berlari kencang dan tidak kembali. Persis seperti kami dulu. Bedanya hanya satu: kami menemukan jalan kembali, mereka tidak.

Di sudut yang lain, seorang perempuan sedang menyusuri jalan. Lampu-lampu kota menyala satu demi satu bersama langkahnya yang berat. Beberapa toko di belakangnya masih menyala. Wajah perempuan itu suram. Sesuram mendung. Dan mengandung hujan. Dan mengandung hujan. Tapi, rambutnya basah. Di suatu tempat, perempuan itu pasti telah berjalan di bawah hujan.

Aku yakin, perempuan itu juga sedang mencari anaknya yang sudah menjelma menjadi peluru. Anak yang berlari kencang dan tidak akan kembali. Di tiap langkahnya, perempuan itu pasti sedang berhitung. Sama denganku. Berhitung di setiap langkah. Sudah berapa? Ah, aku tak tahu. Dua puluh tahunan kukira. Dua puluh tahunan dan toko-toko masih terbakar. Dua puluh tahunan dan anak-anak muda yang menjelma menjadi peluru. Dan tak kembali. Dan tak kembali.

***

Desember 2000 dari sisi A

Bayangan perempuan itu tidak pernah bisa lepas dari kepalaku. Perempuan dengan rambut basah. Perempuan dengan wajah suram. Perempuan dengan wajah mengandung hujan. Dan semua wajah di belakang sebuah truk dari tiga puluh tahunan yang lalu, tentu saja. Bayangan-bayangan yang membuatku tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa lari ke mana-mana, kecuali ke Bilik Tuhan ini. Meratap.

Orang-orang mengira mereka butuh penebusan dengan  datang  ke  tempat ini. Lalu bersimpuh di depan altar. Tapi sebenar-benarnya, akulah yang sedang mencari penebusan itu. Aku yang hanya mengangkat tangan separuh. Aku yang membiarkan wajah-wajah itu berlalu dan menghilang di sebuah persimpangan. Aku yang membiarkan hujan membasahi tubuhku, sementara hujan jatuh dari wajah-wajah suram di atas truk itu. Akulah yang butuh penebusan. Bukan orang-orang lain.

Bertahun-tahun aku menyusuri jalan-jalan kegelapan. Menyalakan sebatang lilin untuk siapa pun yang bisa kutemui di sana. Tapi bertahun-tahun juga aku menemukan bahwa jalan-jalan kegelapan ini semakin panjang dan orang-orang yang terjerembab di sana semakin banyak. Begitupun, aku belum pernah berpapasan dengan perempuan berwajah suram dari masa tiga puluh tahunan yang lalu itu.

Tidak ada pentingnya juga aku bertemu dengan mereka dari masa tiga puluh tahunan yang lalu itu. Bahkan dengan perempuan berambut basah itu. Tapi setidaknya, aku bisa mengucapkan maaf untuk tanganku yang hanya terangkat separuh. Apakah maaf itu bisa membuat bayangan mereka pergi dari kepalaku? Aku tak tahu. Aku belum pernah punya kesempatan untuk mencobanya.

Tapi hari ini seorang perempuan dengan wajah suram datang ke Rumah Tuhan ini. Langkahnya berat. Entah berapa panjang jalan yang sudah disusurinya. Wajah suramnya mengingatkanku pada wajah suram dari masa lalu. Dan, dan, dan rambutnya, dan rambutnya: basah!

Aku berlari untuk menyambutnya. Aku harus berlari untuk menyambutnya!

***

Desember 2000 dari sisi B

Entah kenapa aku harus mengalami hal ini berulang-ulang kali. Aku mulai berpikir kalau aku inilah yang sebenarnya Sishypus. Sishypus perempuan. Tiga puluh empat tahun dan aku masih mengalami hal yang sama. Orang-orang membakar rumahku seperti mereka membakar hari. Seperti mereka membakar hati mereka sendiri. Dua tahun aku harus berjalan dari satu kota ke kota yang lain. Langkahku semakin lama semakin berat. Tidak bisa tidak, usia tua bukan sahabat untuk pejalan kaki yang lelah, yang kalah.

Hari ini aku sampai di sebuah rumah. Orang-orang menyebutnya Rumah Tuhan. Aku tidak percaya Tuhan ada di sana. Tuhan sudah lama pergi dari sini. Aku tidak yakin dia mau berumah di sini. Tapi aku terlalu lelah untuk memikirkan itu semua. Jalanku jauh. Tiga puluh empat tahun dan aku belum pernah berhenti. Sama sekali.

Seorang laki-laki menyambutku dengan berlari. Jubahnya berkibar-kibar ditiup angin. Ada lingkaran cahaya di atas kepalanya. Tapi dia bukan Tuhan. Aku yakin seratus persen. Lingkaran cahaya di atas kepalanya pun bukan matahari. Satu tangannya memegang jubahnya yang berkibar, tangan yang  lain,  tangan yang lain ... terangkat separuh! Dia laki-laki dari tiga puluh empat tahun yang lalu!

Aku tak tahu harus bagaimana, berlari atau diam saja. Laki-laki itu dulu tidak berlari mengejarku. Selain itu, kaki-kakiku juga tidak bisa digerakkan lagi. Jalanku sudah terlalu jauh, terlalu jauh. Kaki-kakiku sudah terlalu lelah, terlalu lelah.

Bum!

Tiba-tiba semua gelap. Aku tergeletak di lantai. Juga laki-laki yang tadi berlari menyambutku. Juga orang-orang lain yang ada di sana. Laki-laki itu tidak bergerak. Tangannya masih terangkat separuh, hanya saja, kali ini tangan itu tergeletak di lantai. Beberapa orang mengerang. Api menyala di beberapa sudut Rumah Tuhan ini. Aku tidak bisa bergerak, juga tidak bisa mengerang.

Di luar sana, seorang laki-laki berdiri di bawah matahari. Senyumnya dingin, sorot matanya dingin, seluruh wajahnya dingin. Tapi sesuatu yang aneh dari wajah yang dingin itu adalah api yang menyala di sana. Api menyala di kepalanya. Kepala  laki-laki itu terbakar matahari!

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.

***

Comments

Populer