Gilgamesh, Enkidu, Dan Dunia Bawah (Mitologi Sumeria)
Pada
waktu itu, hanya ada satu pohon, satu pohon halub, satu pohon, yang
tumbuh di tepi sungai Efrat yang jernih, yang diairi oleh Efrat. Kekuatan angin
selatan mencabutnya dan merontokkan cabang-cabangnya, dan Efrat mengangkatnya
dan membawanya pergi. Seorang perempuan, yang menghormati kata-kata An, berjalan
di sepanjang sungai, seorang perempuan, yang menghormati kata-kata Enlil,
berjalan di sepanjang sungai, dan mengambil pohon itu dan membawanya ke Uruk,
ke taman Inanna yang subur.
Perempuan
itu tidak menanam pohon itu dengan tangannya, dia menanamnya dengan kakinya.
Perempuan itu tidak menyiram pohon itu dengan tangannya, dia menyiramnya dengan
kakinya. Dia berkata, "Kapan ini bisa menjadi kursi mewah tempat aku bisa
duduk?" Dia berkata, "Kapan ini bisa menjadi tempat tidur mewah
tempat aku bisa berbaring?" Lima tahun, sepuluh tahun berlalu, pohon itu
tumbuh besar, tapi tidak seorang pun bisa membelah kulitnya. Di akarnya, seekor
ular yang kebal terhadap mantra membuat sarang. Di dahannya, burung Anzu
meletakkan anak-anaknya. Di batangnya, Ardat-lili membangun tempat tinggal
untuk dirinya sendiri, perempuan yang tertawa dengan hati gembira. Tapi, Inanna
yang suci menangis!
Ketika
fajar menyingsing, ketika langit mulai cerah, ketika burung-burung kecil, saat
fajar menyingsing, mulai berkicau, ketika Utu keluar dari kamar tidurnya,
saudara perempuannya yang suci Inanna berkata kepada pahlawan yang gagah berani
Utu, "Saudaraku, pada hari-hari ketika takdir ditentukan, ketika
kelimpahan melimpah di seluruh negeri, ketika An sudah menguasai surga, ketika Enlil
sudah menguasai mengambil bumi, ketika dunia bawah sudah diberikan kepada Ereshkigal
sebagai hadiah, ketika dia berlayar, ketika dia berlayar, ketika sang bapa
berlayar menuju alam baka, ketika Enki berlayar menuju alam baka -- melawan
sang raja badai hujan es kecil muncul, melawan Enki badai hujan es besar
muncul. Yang kecil seperti palu ringan, yang besar seperti batu ketapel. Lunas
perahu kecil Enki bergetar seperti diseruduk kura-kura, ombak di haluan perahu
menerjang sang raja dengan gagah melahapnya seperti serigala dan ombak di
buritan perahu menyerang Enki seperti seekor singa.”
“Pada
waktu itu, ada satu pohon, satu pohon halub, satu pohon, yang tumbuh di
tepi sungai Efrat yang jernih, yang diairi oleh Efrat. Kekuatan angin selatan
mencabutnya dan merontokkan cabang-cabangnya, dan Efrat mengangkatnya dan
membawanya pergi. Aku, seorang perempuan, yang menghormati kata-kata An, berjalan
di sepanjang sungai, seorang perempuan, yang menghormati kata-kata Enlil,
berjalan di sepanjang sungai, dan mengambil pohon itu dan membawanya ke Uruk,
ke taman Inanna yang subur.”
“Aku,
perempuan itu, yang tidak menanam pohon itu dengan tanganku, aku menanamnya
dengan kakiku. Aku, perempuan itu, yang tidak menyiram pohon itu dengan
tanganku, aku menyiramnya dengan kakiku. Aku berkata, ‘Kapan ini bisa menjadi
kursi mewah tempat aku bisa duduk?’ Aku berkata, ‘Kapan ini bisa menjadi tempat
tidur mewah tempat aku bisa berbaring?’ Lima tahun, sepuluh tahun berlalu,
pohon itu tumbuh besar, tapi kulitnya tidak bisa dibelah. Di akarnya, seekor
ular yang kebal terhadap mantra membuat sarang. Di dahannya, burung Anzu
meletakkan anak-anaknya. Di batangnya, Ardat-lili membangun tempat tinggal
untuk dirinya sendiri, perempuan yang tertawa dengan hati gembira. Tapi, Inanna
yang suci menangis!” Tapi, saudara laki-lakinya, sang pahlawan yang gagah berani,
Utu, tidak membantunya sama sekali.
Ketika
fajar menyingsing, ketika langit mulai cerah, ketika burung-burung kecil, saat
fajar menyingsing, mulai berkicau, ketika Utu keluar dari kamar tidurnya,
saudara perempuannya yang suci Inanna berkata kepada pahlawan Gilgamesh,
"Saudaraku, pada hari-hari ketika takdir ditentukan, ketika kelimpahan
melimpah di seluruh negeri, ketika An sudah menguasai surga, ketika Enlil sudah
menguasai mengambil bumi, ketika dunia bawah sudah diberikan kepada Ereshkigal
sebagai hadiah, ketika dia berlayar, ketika dia berlayar, ketika sang bapa
berlayar menuju alam baka, ketika Enki berlayar menuju alam baka -- melawan
sang raja badai hujan es kecil muncul, melawan Enki badai hujan es besar
muncul. Yang kecil seperti palu ringan, yang besar seperti batu ketapel. Lunas
perahu kecil Enki bergetar seperti diseruduk kura-kura, ombak di haluan perahu
menerjang sang raja dengan gagah melahapnya seperti serigala dan ombak di
buritan perahu menyerang Enki seperti seekor singa.”
“Pada
waktu itu, ada satu pohon, satu pohon halub, satu pohon, yang tumbuh di
tepi sungai Efrat yang jernih, yang diairi oleh Efrat. Kekuatan angin selatan
mencabutnya dan merontokkan cabang-cabangnya, dan Efrat mengangkatnya dan
membawanya pergi. Aku, seorang perempuan, yang menghormati kata-kata An, berjalan
di sepanjang sungai, seorang perempuan, yang menghormati kata-kata Enlil,
berjalan di sepanjang sungai, dan mengambil pohon itu dan membawanya ke Uruk,
ke taman Inanna yang subur.”
“Perempuan
itu tidak menanam pohon itu dengan tangannya, dia menanamnya dengan kakinya.
Inanna tidak menyiram pohon itu dengan tangannya, dia menyiramnya dengan
kakinya. Dia berkata, ‘Kapan ini bisa menjadi kursi mewah tempat aku bisa
duduk?’ Dia berkata, ‘Kapan ini bisa menjadi tempat tidur mewah tempat aku bisa
berbaring?’ Lima tahun, sepuluh tahun berlalu, pohon itu tumbuh besar, tapi
tidak seorang pun bisa membelah kulitnya. Di akarnya, seekor ular yang kebal
terhadap mantra membuat sarang. Di dahannya, burung Anzu meletakkan
anak-anaknya. Di batangnya, Ardat-lili membangun tempat tinggal untuk dirinya
sendiri, perempuan yang tertawa dengan hati gembira. Tapi, Inanna yang suci
menangis!” Mendengar cerita saudara perempuannya kepadanya, saudara laki-lakinya,
pahlawan Gilgamesh, bersedia membantunya.
Dia
mengikatkan kain ibbaru seberat lima puluh mina di pinggangnya – lima
puluh mina baginya tampak seperti tiga puluh shekel. Dia mengambil kapak
perunggu yang digunakan dalam petualangannya, yang beratnya tujuh talenta dan
tujuh mina, di tangannya. Dia membunuh ular yang kebal terhadap mantra yang
hidup di akarnya. Burung Anzu yang hidup di dahannya mengambil anak-anaknya dan
diusirnya pergi ke pegunungan. Ardat-lili yang tinggal di batangnya melarikan
diri ke hutan belantara. Sementara pohon itu, dia mencabutnya dan mematahkan cabang-cabangnya,
dan anak-anak dari kotanya, yang ikut bersamanya, memotong cabang-cabangnya dan
mengikatnya menjadi satu ikatan. Dia memberikan kepada saudara perempuannya
yang suci, Inanna, kayu untuk kursinya. Dia memberikan kepadanya kayu untuk
tempat tidurnya. Untuk dirinya sendiri, dari akarnya dia membuat ellag,
dan dari cabangnya dia membuat ekidma.
Dia
memainkan ellag di lapangan yang luas, tidak pernah ingin berhenti
memainkannya, Dia memainkan ekidma di lapangan yang luas, tidak pernah
ingin berhenti memainkannya. Para pemuda di kotanya memainkan ellag. Dia
membentuk tim anak-anak para janda, mereka meratap, "O leherku! O
pinggulku!" Bagi mereka yang memiliki ibu, sang ibu membawakan roti untuk
putranya, bagi mereka yang memiliki saudara perempuan, sang saudara perempuan
menuangkan air untuk saudara laki-lakinya. Saat malam tiba, dia menandai tempat
ellag diletakkan, dan dia mengambil ellag-nya dan
membawanya pulang ke rumahnya. Tapi, pagi-pagi sekali ketika dia sedang
menunggang kuda di tempat dia membuat tanda itu, tuduhan para janda dan keluhan
para gadis muda, ellag dan ekidma-nya jatuh ke dasar dunia
bawah. Dia mengulurkan tangannya, tapi dia tidak bisa meraihnya, dia
menjulurkan kakinya, tapi dia tidak bisa menjangkaunya.
Di
gerbang Ganzer, di depan dunia bawah, dia duduk. Gilgamesh menangis
tersedu-sedu, "O ellag-ku! O ekidma-ku! O, ellag-ku,
aku masih belum puas dengan pesonanya, permainan dengannya belum membuatku
bosan! Kalau saja ellag-ku masih ada di rumah tukang kayu! Kalau
saja ekidma-ku masih ada di rumah tukang kayu! Kalau saja mereka masih
ada di sana, aku akan memperlakukan istri tukang kayu itu seperti ibuku
sendiri! Kalau saja mereka masih ada di sana, aku akan memperlakukan anak
perempuan tukang kayu itu seperti adik perempuanku! Ellag-ku jatuh
ke dunia bawah -- siapa yang bisa mengambilnya untukku? Ekidma-ku jatuh
ke Ganzer -- siapa yang bisa mengambilnya untukku?"
Pelayannya Enkidu berkata, "Tuanku, engkau menangis tersedu-sedu, mengapa hatimu gelisah? Hari ini aku akan mengambil ellag-mu dari dunia bawah, aku akan mengambil ekidma-mu dari Ganzer."
Gilgamesh
menjawab Enkidu, "Kalau hari ini kau akan turun ke dunia bawah, biarkan
aku memberi petunjuk kepadamu! Petunjukku harus diikuti. Biarkan aku
memberitahumu sesuatu! Perhatikan kata-kataku!"
"Jangan
kenakan pakaianmu yang paling bersih, mereka akan langsung mengenalimu sebagai
penyusup. Jangan mengurapi tubuhmu dengan minyak wangi dari buli-buli, mereka
akan mengelilingimu karena baunya. Jangan melempar tongkat ke dunia bawah,
mereka yang terkena tongkat lempar akan mengepungmu. Jangan memegang tongkat
dari kayu willow di tanganmu, roh-roh akan merasa terhina olehmu. Jangan
memakai sandal di kakimu. Jangan berteriak-teriak di dunia bawah. Jangan
mencium istrimu yang kau cintai. Jangan memukul istrimu meskipun kau kesal
padanya. Jangan mencium anakmu yang kau cintai. Jangan memukul anakmu meskipun
kau kesal padanya. Kalau tidak, teriak-teriakan yang ditimbulkan akan menahanmu
di alam baka."
"Dia
yang berbaring di sana, dia yang berbaring di sana, ibu Ninazu yang berbaring
di sana – tidak ada kain yang menutupi bahunya yang indah, tidak ada kain yang
menutupi dadanya yang indah. Jari-jarinya seperti beliung perunggu, dia
mencabuti rambutnya seperti daun bawang."
Akan
tetapi, Enkidu tidak mengindahkan kata-kata tuannya. Dia mengenakan pakaiannya
yang paling bersih dan mereka mengenalinya sebagai penyusup. Dia mengurapi
tubuhnya dengan minyak wangi dari buli-buli dan mereka mengelilinginya karena
baunya. Dia melemparkan tongkat ke dunia bawah dan mereka yang terkena tongkat
lempar mengepungnya. Dia memegang tongkat dari kayu willow di tangannya
dan roh-roh merasa terhina olehnya. Dia memakai sandal di kakinya. Dia
berteriak-teriak di dunia bawah. Dia mencium istrinya yang dicintainya dan
memukul istrinya ketika dia merasa kesal padanya. Dia mencium anaknya yang
dicintainya dan memukul anaknya ketika dia merasa kesal padanya. Dia
menimbulkan kegaduhan dan ditahan di alam baka.
Dari hari
yang jahat itu sampai hari ketujuh, pelayannya Enkidu tidak muncul dari dunia
bawah. Sang raja meratap, sambil menangis tersedu-sedu, “Pelayan kesayanganku,
teman setiaku, penasehatku, dunia bawah menahannya. Namtar tidak menangkapnya,
Asag tidak menangkapnya, tapi dunia bawah menahannya di sana. Setan udug dari
Nergal, yang tidak mengampuni siapa pun, tidak menangkapnya, tapi dunia bawah
menahannya di sana. Dia tidak gugur dalam pertempuran di medan perang, tapi
dunia bawah menahannya di sana."
Pahlawan
Gilgamesh, putra Ninsumun, mengarahkan langkahnya sendiri ke Ekur, kuil Enlil.
Dia berseru di hadapan Enlil, "Bapa Enlil, ellag-ku jatuh ke
dunia bawah, ekidma-ku jatuh ke Ganzer. Enkidu turun untuk mengambilnya
tapi dunia bawah menahannya di sana. Namtar tidak menangkapnya, Asag tidak
menangkapnya, tapi dunia bawah menahannya di sana. Setan udug dari
Nergal, yang tidak mengampuni siapa pun, tidak menangkapnya, tapi dunia bawah
menahannya di sana. Dia tidak gugur dalam pertempuran di medan perang, tapi
dunia bawah menahannya di sana." Bapa Enlil tidak membantunya dalam hal
ini, jadi ia pergi ke Eridu.
Di Eridu,
dia mengarahkan langkahnya sendiri ke kuil Enki. Dia berseru di hadapan Enki,
"Bapa Enki, ellag-ku jatuh ke dunia bawah, ekidma-ku
jatuh ke Ganzer. Enkidu turun untuk mengambilnya tapi dunia bawah
menahannya di sana. Namtar tidak menangkapnya, Asag tidak menangkapnya, tapi
dunia bawah menahannya di sana. Setan udug dari Nergal, yang tidak
mengampuni siapa pun, tidak menangkapnya, tapi dunia bawah menahannya di sana.
Dia tidak gugur dalam pertempuran di medan perang, tapi dunia bawah menahannya
di sana." Bapa Enki bersedia membantunya dalam hal ini.
Dia
berkata kepada pahlawan yang gagah berani Utu, putra yang dilahirkan oleh
Ningal, "Bukalah sebuah lubang di dunia bawah, lalu bawalah pelayannya
dari dunia bawah!" Utu membuka sebuah lubang di dunia bawah dan membawa
pelayan Gilgamesh dengan anginnya dari dunia bawah.
Mereka
berpelukan dan berciuman. Mereka saling mengkhawatirkan satu sama lain dan
mengajukan pertanyaan, "Apa kau melihat tatanan dunia bawah? Kalau saja
kau mau menceritakannya kepadaku, temanku, kalau saja kau mau
memberitahuku!"
"Kalau aku harus memberitahumu tatanan dunia bawah, duduklah dan menangislah!"
"Aku akan duduk dan menangis!"
"Ketika tangan menyentuh penis, hatimu bersukacita
karenanya! Penis itu seperti balok yang lapuk, dimakan rayap."
Dia
berkata, “Di mana vulvanya? Biarkan aku pergi ke sana!”
“Vulva
itu seperti celah, penuh dengan debu.”
“Aduh!”
kata sang raja lalu duduk di atas tanah.
“Apa kau
melihat orang yang memiliki satu orang anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
menangis tersedu-sedu di patok kayu yang ditancapkan di dindingnya.”
“Apa kau
melihat orang yang memiliki dua orang anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
duduk di atas dua batu bata dan makan roti.”
“Apa kau
melihat orang yang memiliki tiga orang anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
minum dari kantung air yang tergantung di pengait pelana.”
“Apa kau
melihat orang yang memiliki empat orang anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Seperti
orang yang memiliki empat keledai untuk dikendarai, hatinya gembira.”
“Apa kau
melihat orang yang memiliki lima orang anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Seperti
juru tulis yang baik, dia tak kenal lelah, dia memasuki istana dengan mudah.”
“Apa kau
melihat orang yang memiliki enam orang anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Seperti
orang yang menarik bajak, hatinya gembira.”
“Apa kau
melihat orang yang memiliki tujuh orang anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
duduk di singgasana bersama para dewa dan mendengarkan jalannya persidangan.”
“Apa kau
melihat orang yang tidak memiliki anak?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia memakan roti yang seperti batu bata yang
dibakar.”
“Apa kau
melihat kasim istana?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Seperti
periuk ḫurum yang mengeluarkan bunyi karena tongkat alala, dia
disandarkan di sudut.”
“Apa kau
melihat perempuan yang tidak melahirkan?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Seperti
periuk yang berkarat, dia dibuang begitu saja, tidak ada laki-laki yang senang
kepadanya.”
“Apa kau
melihat pemuda yang tidak pernah menanggalkan pakaian istrinya?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
menyelesaikan talinya, dan dia menangis tersedu-sedu di atas tali itu.”
“Apa kau
melihat gadis muda yang tidak pernah menanggalkan pakaian suaminya?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
menyelesaikan tikar buluhnya, dan dia menangis tersedu-sedu di atas tikar buluh
itu.”
“Apa kau
melihat orang yang dimakan singa?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
menangis tersedu-sedu, 'O tanganku! O kakiku!’”
“Apa kau
melihat orang yang jatuh dari atap?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Mereka
tidak bisa mengobati tulangnya.”
“Apa kau
melihat orang yang tersapu banjir Iskur?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
membengkak seperti lembu, sementara cacing-cacing memakannya.”
“Apa kau
melihat orang yang sakit kusta?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
"Makanannya
dipisahkan, airnya dipisahkan, dia memakan makanan yang diberikan kepadanya,
dia meminum air yang diberikan kepadanya, dia tinggal di luar kota."
“Apa kau
melihat orang yang gugur dalam pertempuran?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Ayah dan
ibunya tidak ada di sana untuk memegang kepalanya, dan istrinya menangis
tersedu-sedu.”
“Apa kau
melihat orang yang mayatnya tergeletak di padang rumput?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
ditutupi dengan kain.”
“Apa kau
melihat roh orang yang tidak diberi persembahan?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
memakan sisa-sisa makanan dalam mangkuk besar dan roti yang sudah dipecah-pecah
menjadi potongan-potongan kecil yang berserakan dan dibuang ke jalan.”
“Apa kau
melihat orang yang terhantam kayu kapal?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“’Aduh,
ibuku!’ teriak laki-laki itu ketika dia menarik papan kapal keluar.”
“Apa kau
melihat orang yang tidak menghormati perkataan ayah dan ibunya?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
terus menerus berteriak, 'Oh tubuhku! Oh tubuhku!'”
“Apa kau
melihat orang yang dikutuk ayah dan ibunya?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
kehilangan pewaris, rohnya mengembara ke mana-mana.”
“Apa kau
melihat orang yang menghina nama tuhannya?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?"
“Rohnya
makan roti pahit, minum air pahit.”
“Apa kau
melihat orang yang mati atas nama tuhannya?”
“Aku
melihatnya.”
“Bagaimana
keadaannya?”
“Dia
berbaring di ranjang para dewa.”
“Apa kau
melihat anak-anakku yang lahir mati yang tidak tahu namanya sendiri?”
“Aku
melihat mereka.”
“Bagaimana
keadaan mereka?”
“Mereka
menikmati sirup dan mentega di meja emas dan perak.”
“Apa kau
melihat orang yang terbakar sampai mati?”
“Aku
tidak melihatnya.
“Rohnya
tidak ada di sana. Asapnya membubung ke langit.”
***
Kalau Anda menyukai kisah mitologi ini, Anda mungkin ingin membaca kisah mitologi Sumeria lainnya di sini; atau membandingkannya dengan versi Babilonia di sini.
***

Comments
Post a Comment