Atrahasis: Tablet II (Mitologi Babilonia)
Enam
ratus tahun berlalu, dan enam ratus tahun lagi berlalu, dan negeri itu menjadi
terlalu luas, orang-orangnya juga banyak sekali. Negeri itu riuh seperti auman
banteng. Dewa menjadi gelisah dengan keributan mereka, Ellil harus mendengarkan
kebisingan mereka. Dia menyapa para dewa besar,
“Jangan
kalian membuat penyakit pada mereka lagi, jumlah manusia tidak berkurang dan
kebisingan manusia lebih banyak daripada sebelumnya, aku jadi kehilangan tidur
karena keributan mereka. Hentikan makanan dari orang-orang, biarkan
tumbuh-tumbuhan menjadi terlalu sedikit untuk perut mereka! Biarkan Adad di
atas membuat hujannya langka, biarkan dia menghalangi di bawah, dan tidak
menaikkan air dari mata air! Biarkan ladang mengurangi hasilnya, biarkan
Nissaba memalingkan dadanya, biarkan ladang-ladang yang gelap menjadi putih,
biarkan pedesaan yang luas menumbuhkan alkali, biarkan bumi menjepit rahimnya
sehingga tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada biji-bijian yang tumbuh. Biarkan asakku
ditimpakan pada manusia, biarkan rahim mereka menjadi terlalu sempit untuk
mengeluarkan bayi!"
Maka Adad
dan Nisaba menghentikan makanan untuk manusia, tumbuh-tumbuhan menjadi terlalu
sedikit untuk perut mereka. Adad di atas membuat hujannya langka, dia
menghalangi di bawah, dan tidak menaikkan air dari mata air. Ladang mengurangi
hasilnya, Nissaba memalingkan dadanya, ladang-ladang yang gelap menjadi putih,
pedesaan yang luas menumbuhkan alkali, dan bumi menjepit rahimnya sehingga
tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada biji-bijian yang tumbuh. Penyakit asakku
menimpa manusia, rahim mereka menjadi terlalu sempit untuk mengeluarkan bayi.
Pada
tahun pertama mereka memakan biji-bijian tua, pada tahun kedua mereka menguras
gudang penyimpanan. Ketika tahun ketiga tiba, penampilan mereka berubah karena
kelaparan, wajah mereka penuh dengan koreng seperti malt. Mereka tetap hidup
tapi wajah mereka tampak pucat. Ketika tahun keempat tiba, mereka keluar di
depan umum dengan tubuh bungkuk, bahu mereka yang terbentuk dengan baik pun
merosot, tubuh mereka yang tegak sekarang membungkuk.
Ketika
tahun kelima tiba, seorang anak perempuan akan memperhatikan ibunya yang
datang, seorang ibu bahkan tidak mau membukakan pintu untuk anak perempuannya.
Seorang anak perempuan akan mengawasi timbangan ibunya, seorang ibu akan
memperhatikan timbangan anak perempuannya. Ketika tahun keenam tiba, mereka
menyajikan seorang anak perempuan untuk makan malam, menyajikan seorang anak
laki-laki sebagai makan malam. Hanya satu atau dua rumah tangga yang tersisa.
Laki-laki
yang bijaksana, Atrahasis, tetap mendengarkan tuannya Ea. Dia kembali berbicara dengan tuannya, dan tuannya Ea akan
berbicara dengannya. Atrahasis membuat suaranya terdengar dan berbicara,
berkata kepada Ea, tuannya, “Tuanku, berapa lama lagi para dewa akan membuat
kami menderita? Apakah mereka akan membuat kami menderita kelaparan selamanya?
Mengapa Adad menghentikan hujannya, mengapa dia menghentikan banjirnya yang
subur? Manusia saling memakan, tidak ada yang selamat. Kebahagiaan tidak lagi
ada di negeri ini."
Enki
membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada pembantunya, “Panggillah para
tetua, orang-orang senior! Mulailah pemberontakan di rumahmu sendiri. Biarkan
para pembawa pesan mengumumkan, biarlah mereka membuat suara keras di bumi,
‘Janganlah kau menghormati dewa-dewamu, jangan berdoa kepada dewi-dewimu, tapi
carilah pintu Adad dan Nisaba. Bawalah roti panggang ke hadapan mereka. Semoga
persembahan tepung itu sampai pada mereka, semoga mereka malu dengan hadiahnya,
dan menyeka tangan mereka.”
Atrahasis
menerima perintah itu, mengumpulkan para tetua di pintunya. Atrahasis membuat
suaranya didengar dan berbicara kepada para tetua, “Aku sudah memanggil para
tetua, orang-orang senior! Mulailah pemberontakan di rumahmu sendiri. Biarkan
para pembawa pesan mengumumkan, biarlah mereka membuat suara keras di bumi,
‘Janganlah kau menghormati dewa-dewamu, jangan berdoa kepada dewi-dewimu, tapi
carilah pintu Adad dan Nisaba. Bawalah roti panggang ke hadapan mereka. Semoga
persembahan tepung itu sampai pada mereka, semoga mereka malu dengan hadiahnya,
dan menyeka tangannya mereka.”
Para
tetua mendengarkan kata-katanya, mereka membangun sebuah kuil untuk Adad dan
Nisaba di kota itu. Para pembawa pesan mengumumkan, mereka membuat suara keras
di bumi. Mereka tidak menghormati dewa-dewa mereka, tidak berdoa kepada
dewi-dewi mereka, tapi mencari pintu Adad dan Nisaba, membawa roti panggang ke
hadapan mereka. Persembahan tepung itu sampai kepada mereka. Dan mereka merasa
malu dengan hadiah-hadiah itu, dan menyeka tangannya mereka. Kekeringan meninggalkan
mereka, dan para dewa kembali ke persembahan rutin mereka.
Ellil
menjadi sangat marah kepada para Igigi, “Kita, Anunna yang agung, kita semua,
sudah menyetujui bersama sebuah rencana. An dan Adad akan mengunci langit di
atas, aku akan mengunci bumi di tengah. Dan baut yang menutup lautan, Ea
bersama makhluk lahmu-nya akan tetap menguncinya. Ke mana Enki pergi,
dia bertugas melepaskan rantai dan membebaskan kita, dia bertugas melepaskan
hasil panen bagi manusia, dia bertugas mengendalikan dengan memegang
keseimbangan. Tapi Enki malah menganugerahkan kepada manusia, rahasia surga
kita, dia adalah orang yang menyebabkan pengetahuan bertambah, dia sudah
merusak manusia. Enki harus disalahkan atas kesengsaraan kita.”
Ellil
membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada menteri Nusku, “'Suruh Enki
menghadapku! Suruh dia segera datang ke hadapanku!” Enki dipanggil untuknya.
Dia diminta menunggu di depan majelis. Lalu sang dewa menjadi gelisah saat dia
duduk, di tengah pertemuan para dewa, kekhawatiran menggerogoti dirinya. Lalu
Enki menjadi gelisah saat dia duduk, di tengah pertemuan para dewa,
kekhawatiran menggerogoti dirinya.
Mereka
saling marah satu sama lain, Enki dan Ellil. Akhirnya Ellil berbicara kepada
Enki, “Kita, Anunna yang agung, kita semua, sudah menyetujui bersama sebuah
rencana. An dan Adad akan mengunci langit di atas, aku akan mengunci bumi di
tengah. Dan baut yang menutup lautan, Ea bersama makhluk lahmu-nya akan
tetap menguncinya. Ke mana kau pergi, kau bertugas melepaskan rantai dan
membebaskan kita, kau bertugas melepaskan hasil panen bagi manusia, kau
bertugas mengendalikan dengan memegang keseimbangan.”
“Tapi
sebaliknya, kau malah menganugerahkan kepada manusia, rahasia surga kita, dia
adalah orang yang menyebabkan pengetahuan bertambah, dia sudah merusak manusia.
Makhluk ciptaanmu merusak bumi. Kau menyetujui rencana yang berbeda, kau
mengkhianati para dewa dengan mengajarkan manusia untuk mempermalukan para
dewa, kau menyebabkan Adad melepaskan hujannya, dan Namtar menahan penyakitnya,
bertentangan dengan keinginan suci para dewa.”
“Kau yang
sudah memaksakan beban-bebanmu pada manusia, kau yang sudah memberikan
kebisingan kepada manusia, kau sudah mengorbankan satu dewa bersama dengan
kecerdasanya miliknya, sekarang kau harus menggunakan kekuatanmu untuk
menciptakan banjir. Sebagai hukumanmu, kekuatanmu yang akan digunakan melawan
rakyatmu! Kau menyetujui rencana yang salah! Aku akan membatalkannya! Mari kita
buat Enki yang berpandangan jauh bersumpah untuk tujuan ini, bahwa kekuatannya
akan membanjiri bumi dan menghapus semua kehidupan.”
Enki
membuat suaranya terdengar dan berbicara kepada saudara-saudaranya para dewa,
“Mengapa kau harus membuatku bersumpah? Mengapa aku harus menggunakan
kekuatanku melawan rakyatku? Banjir yang kau sebutkan, apa itu? Aku bahkan
tidak tahu! Bisakah aku menciptakan banjir? Itu adalah tugas Ellil! Biarkan dia
memilih jagoannya. Biarkan Shullat dan Hanish maju ke depan, biarkan Erakal
menarik keluar tiang tambatan, biarkan Ninurta maju, biarkan dia membuat
bendungan meluap.”
Majelis
para dewa mendengarkan kata-katanya, tapi mereka tidak mendengarkan
permohonannya. Para dewa memberikan perintah khusus. Enki dipaksa untuk
bersumpah, dan Ellil melakukan perbuatan buruk kepada manusia.
***
Kalau Anda kebetulan 'tersesat' di sini, Anda mungkin ingin membaca kisah mitologi ini dari awal di sini; atau membaca kelanjutannya di sini.
***

Comments
Post a Comment