Mesin Terbang (The Flying Machine ~ Ray Bradbury)
Pagi-pagi sekali di hari pertama minggu pertama bulan kedua tahun baru,
Kaisar Yuan sedang menyeruput teh dan mengipasi tubuhnya untuk melawan udara
panas ketika seorang pelayan berlari melintasi ubin taman berwarna kirmizi dan
biru, sambil berseru, "Oh, Kaisar, Kaisar, sungguh sebuah keajaiban!"
"Ya," kata Sang Kaisar, "udaranya segar pagi ini."
"Tidak, tidak, keajaiban!" kata pelayan itu sambil membungkuk
cepat.
"Dan teh ini enak di mulutku, itu adalah keajaiban."
“Tidak, tidak, Yang Mulia.”
“Biarkan aku menebak kalau begitu --matahari terbit dan hari baru sudah tiba.
Atau laut berwarna biru. Itulah keajaiban terbaik sekarang."
“Yang Mulia, seseorang sedang terbang!”
"Apa?" Sang Kaisar menghentikan kipasnya.
“Saya melihatnya di langit, seseorang sedang terbang. Saya mendengar
suara dari langit, dan ketika saya mendongak, dia ada di sana, seekor naga di langit
dengan seseorang ada di mulutnya, seekor naga dari kertas dan bambu, diwarnai
seperti matahari dan rumput."
"Masih pagi," kata Sang Kaisar, "dan kau baru sadar dari
mimpimu."
"Memang masih pagi, tapi saya melihat apa yang saya lihat! Ayo, Anda
juga akan melihatnya."
“Duduklah bersamaku di sini,” kata Sang Kaisar. "Minumlah dulu.
Pasti aneh, kalau memang benar, melihat seseorang terbang. Kau harus
benar-benar memastikannya, sama seperti aku harus mempersiapkan diri terlebih
dahulu untuk menghadapi pemandangan itu." Mereka minum teh.
"Mari," kata pelayan itu pada akhirnya, "kalau tidak, dia
akan pergi."
Sang Kaisar bangkit sambil berpikir. "Sekarang, tunjukkan padaku apa
yang kaulihat."
Mereka berjalan ke sebuah taman, melintasi padang rumput, melewati sebuah
jembatan kecil, melewati sekelompok kecil pepohonan, dan mendaki sebuah bukit
kecil.
"Itu dia!" kata pelayan itu.
Sang Kaisar menatap ke langit.
Dan di angkasa, tertawa begitu tinggi sehingga kau hampir tidak bisa
mendengar suara tawanya, ada seseorang; orang itu mengenakan kertas cerah dan
buluh untuk membuat sayap dan ekor kuning yang indah, dan dia terbang tinggi
seperti burung paling besar di dunia, seperti naga dari tanah naga kuno.
Orang itu memanggil mereka dari atas langit pagi yang dingin. "Aku
terbang, aku terbang!"
Pelayan itu melambaikan tangannya. "Ya, ya!"
Kaisar Yuan tidak bergerak. Dia justru menatap Tembok Besar Cina yang
kini mulai muncul dari kabut terjauh di perbukitan hijau, ular batu yang
meliuk-liuk di seluruh Cina. Tembok megah yang sudah melindungi mereka dari
musuh dan menjaga perdamaian selama tahun-tahun yang tak terhitung. Dia melihat
ke arah kota, yang terhimpit oleh sungai, jalan, dan bukit, mulai muncul.
"Katakan padaku," katanya kepada pelayannya, "apakah ada
orang lain yang melihat manusia terbang ini?"
“Saya satu-satunya, Yang Mulia,” kata pelayan itu, tersenyum ke langit
dan melambaikan tangan.
Sang Kaisar mengamati langit selama satu menit lagi, lalu berkata, "Suruh
dia turun."
"Hei, turunlah, turunlah! Kaisar ingin bertemu denganmu!"
panggil pelayan itu, tangannya ditangkupkan ke mulutnya.
Sang Kaisar melirik ke segala arah sementara orang yang terbang itu turun
mengikuti angin pagi. Dia melihat seorang petani, pagi-pagi di ladangnya,
sedang memandangi langit, dan dia memperhatikan tempat petani itu berdiri.
Manusia terbang itu muncul dengan gemerisik kertas dan derit buluh bambu.
Dia datang dengan bangga ke hadapan Sang Kaisar, kikuk dengan peralatannya,
akhirnya bersujud di hadapan laki-laki tua itu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sang Kaisar.
"Saya terbang di langit, Yang Mulia," jawab orang itu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sang Kaisar lagi.
"Saya sudah mengatakannya kepada Anda!" seru orang itu.
"Kau tidak memberitahuku apa pun." Sang Kaisar mengulurkan
tangan kurusnya untuk menyentuh kertas cantik itu dan lunas alat itu yang
menyerupai burung. Baunya sejuk, seperti angin.
“Indah bukan, Yang Mulia?”
"Ya, sangat indah."
"Ini satu-satunya di dunia!" orang itu tersenyum. "Dan saya
adalah penemunya."
"Satu-satunya di dunia?"
"Saya bersumpah!"
"Siapa lagi yang tahu tentang ini?"
"Tidak seorang pun. Bahkan istri saya, yang mengira saya sedang
marah pada anak kami. Dia pikir saya sedang membuat layang-layang. Saya bangun
di malam hari dan berjalan ke tebing yang jauh. Dan ketika angin pagi bertiup
dan matahari terbit, saya memberanikan diri, Yang Mulia, melompat dari tebing. Saya
terbang! Tapi istri saya tidak tahu."
"Baiklah, kalau begitu," kata Sang Kaisar. "Ayo
ikut."
Mereka berjalan kembali ke rumah besar. Matahari kini bersinar penuh di
langit, dan aroma rumput menyegarkan.
Sang Kaisar, sang pelayan, dan manusia terbang itu berhenti sejenak di
dalam taman yang luas.
Sang Kaisar menjulurkan tangan.
“Hei, pengawal!” Para pengawal berlari. "Tahan orang ini." Para
pengawal menangkap manusia terbang itu. "Panggil algojo," kata Sang Kaisar.
"Ada apa ini!" teriak manusia terbang itu, bingung. "Apa
yang sudah saya lakukan?" Dia mulai menangis, sehingga alat kertas yang
indah itu bergemirisik.
"Ini adalah orang yang sudah menciptakan sebuah mesin," kata Sang
Kaisar, "tapi bertanya kepada kita apa yang sudah dia ciptakan. Dia
sendiri tidak tahu. Dia cuma menciptakan, tanpa tahu kenapa dia melakukannya,
atau apa yang bisa dilakukan benda ini."
Sang algojo berlari sambil membawa kapak perak tajam. Dia berdiri dengan
lengan telanjangnya yang berotot besar, wajahnya ditutupi topeng putih yang kaku.
"Tunggu sebentar," kata Sang Kaisar. Dia berbalik ke meja yang
di atasnya tergeletak mesin ciptaannya sendiri. Sang Kaisar mengambil sebuah
kunci emas kecil dari rantai di lehernya. Dia memasang kunci itu pada mesin
kecil itu dan memutarnya. Kemudian dia menyalakan mesin itu.
Mesin itu adalah miniatur taman dari logam dan permata. Saat bergerak,
burung-burung berkicau di pohon-pohon logam kecil, serigala-serigala berjalan
menembus hutan-hutan mini, dan manusia-manusia kecil berlarian di bawah sinar
matahari dan bayangan, mengipasi diri mereka dengan kipas mini, mendengarkan
kicauan burung zamrud kecil, dan berdiri di dekat air mancur yang sangat kecil tapi
bergemerincing.
"Indah bukan?" tanya Sang Kaisar. "Kalau kau bertanya apa
yang sudah kulakukan di sini, aku bisa menjawabnya dengan baik. Aku membuat
burung-burung berkicau, aku membuat hutan berbisik, aku membuat orang-orang
berjalan di hutan ini, menikmati dedaunan, bayangan, dan bernyanyi. Itulah yang
sudah kulakukan."
"Tapi, oh, Kaisar!" manusia terbang itu memelas, berlutut, air
mata mengalir di wajahnya. "Saya sudah melakukan hal yang sama! Saya menemukan
keindahan. Saya terbang mengikuti angin pagi. Saya mengamati ke bawah, ke semua
rumah dan kebun yang masih tidur. Saya mencium aroma laut dan bahkan
melihatnya, di balik bukit-bukit, dari tempat yang tinggi. Dan saya terbang
bagai burung; oh, saya tidak bisa mengatakan betapa indahnya di atas sana, di
langit, dengan angin di sekeliling saya, angin yang menerbangkan saya seperti
bulu, di atas sana seperti kipas, seperti aroma langit pagi! Dan betapa
bebasnya perasaan seseorang! Itu indah, Kaisar, itu juga indah!"
"Ya," kata Sang Kaisar sedih, "aku tahu itu pasti benar.
Karena aku merasakan hatiku bergerak bersamamu di udara dan aku bertanya-tanya:
Seperti apa rasanya? Bagaimana kolam-kolam yang jauh terlihat dari ketinggian
seperti itu? Dan bagaimana rumah-rumahku dan pelayan-pelayanku? Seperti semut?
Dan bagaimana kota-kota yang belum terbangun?
"Kalau begitu, ampunilah saya!"
"Tapi ada kalanya," kata Sang Kaisar, lebih sedih lagi,
"seseorang harus kehilangan sedikit keindahannya untuk mempertahankan keindahan
yang sudah dimilikinya. Aku tidak takut padamu, tapi aku takut pada orang
lain."
“Orang yang mana?”
"Orang lain yang, melihatmu, akan membuat sesuatu dari kertas dan
bambu yang berkilau seperti ini. Tapi orang itu punya niat yang jahat, dan keindahan
itu akan hilang. Aku takut pada orang seperti ini."
"Kenapa? Kenapa?"
“Siapa yang bisa mengatakan bahwa suatu hari nanti orang seperti itu,
dengan peralatan seperti itu yang terbuat dari kertas dan buluh, bisa tidak
terbang di langit dan menjatuhkan batu-batu besar ke Tembok Besar China?"
kata Sang Kaisar.
Tidak seorang pun bergerak atau mengucapkan satu kata pun.
"Penggal kepalanya," kata Sang Kaisar.
Sang algojo memutar kapak peraknya.
“Bakar layang-layang itu dan pembuatnya, lalu kubur abunya bersama-sama,”
kata Sang Kaisar.
Para pelayan mundur dan patuh.
Sang Kaisar menoleh kepada pelayannya, yang sudah melihat manusia terbang
itu. "Tutup mulutmu. Itu semua mimpi, mimpi yang sangat indah sekaligus buruk.
Dan petani di ladang yang jauh yang juga melihat itu, katakan padanya bahwa
lebih baik baginya untuk mengatakannya sebagai penampakan. Kalau berita ini
sampai tersebar, kau dan petani itu akan mati dalam hitungan jam."
"Anda penuh belas kasihan, Kaisar."
"Bukan, bukan penuh belas kasihan," kata laki-laki tua itu. Di
balik tembok taman, dia melihat para penjaga membakar mesin indah yang terbuat
dari kertas dan buluh yang beraroma angin pagi itu. Dia melihat asap hitam
mengepul ke langit. "Bukan, cuma sangat bingung dan takut." Dia
melihat para penjaga menggali lubang kecil tempat untuk menguburkan abunya.
"Apalah arti hidup satu orang dibandingkan dengan hidup sejuta orang
lainnya? Aku harus terhibur dengan pikiran itu."
Dia mengambil kunci dari rantai yang melingkari lehernya dan sekali lagi
memutar taman mini yang indah itu. Dia berdiri memandang ke seberang daratan,
ke Tembok Besar, kota yang damai, padang-padang hijau, sungai dan anak-anak
sungai. Dia menghela nafas. Taman kecil itu menderukan mesin-mesinnya yang
tersembunyi dan halus, lalu mulai bergerak; manusia-manusia mungil berjalan di
hutan, wajah-wajah mungil berlarian di padang rumput yang disinari matahari
dengan bulu-bulu indah yang berkilauan, dan di antara pepohonan mungil itu terdengarlah
kicauan-kicauan kecil yang merdu dan sesuatu yang berwarna biru dan kuning
cerah, terbang, terbang, dan terbang di langit kecil itu.
"Oh," kata Sang Kaisar sambil menutup matanya, "lihat
burung-burung itu, lihat burung-burung itu!"
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Ray Bradbury yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***

Comments
Post a Comment