Kesaksian Sukesti
"Apa kau tidak mencintaiku?" tanya saya.
"Selalu," jawabnya.
"Lalu kenapa kau tidak mendatangiku?" tanya saya lagi.
"Karena aku adalah aku," jawabnya penuh teka-teki.
Suami saya kemudian berdiri, lalu menghampiri pintu yang sedikit terbuka.
Dilihatnya tamu-tamu di pelataran rumah yang masih mendengkur dengan akur. Dia
lalu berbalik, berpakaian dengan baik, kemudian menatap saya dengan lembut. Dia
tersenyum sedikit, tapi tidak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya. Dari
situ saya tahu, malam itu, saya tidak akan tidur dengan suami saya. Padahal,
malam itu adalah malam pengantin kami. Suami saya merapikan pakaiannya sekali
lagi, lalu berlalu begitu saja. Saya menunggu, masih tetap menunggu.
Mungkin ada tiga atau empat jam setelah suami saya pergi ketika saya
mendengar suara berderit di depan kamar saya. Saya kira itu suara pintu yang
dibuka dengan hati-hati. Saya kira, suami saya sudah pulang. Suami saya memang
sudah datang, tapi dia tidak masuk ke dalam kamar, suami saya malah duduk di
pelataran, di antara tamu-tamu yang masih tertidur. Suara berderit itu datang
dari sebuah benda yang sedang dikeratnya dengan ujung tombaknya. Kelak saya
tahu, bahwa benda itu adalah belulang ayahnya sendiri.
"Apa yang sedang kaulakukan?" tanya saya.
"Aku sedang merencanakan masa depan," jawabnya dengan senyum
tertahan.
"Masa depan apa yang sedang kaurencanakan di tanganmu itu?"
saya semakin penasaran.
"Ini adalah dadu. 666 adalah angkaku, enam angka, enam warna, enam
dunia," jawabnya masih dengan senyum tertahan.
"Dadu-dadu ini kubuat dari tulang belulang ayahku sendiri,"
katanya lagi sambil berlalu ke dalam kamar.
Saya tidak bertanya lagi. Saya bergidik mendengar kata-katanya yang
terakhir, tapi saya menyusulnya juga ke dalam kamar. Bagaimana pun, laki-laki
itu adalah suami saya.
Saya selalu merasa teriris setiap kali mendengar cerita suami saya
seputar kelahirannya. Suami saya selalu berkata bahwa dirinya dilahirkan
bersama kegelapan. Ketika ibu mertua saya melahirkannya, katanya, langit
tiba-tiba mendung. Kegelapan tiba-tiba seperti mengurung seluruh jagat raya,
katanya. Orang-orang di tempatnya percaya bahwa dewa yang menguasai kejahatan
sedang menitis bersama dengan kelahirannya. Mereka kemudian dibayang-bayangi
oleh nasib buruk dan kematian. Hal ini memaksa mertua saya membuat upacara
khusus untuknya. Tiga sesaji untuknya saja. Tiga sesaji inilah yang saya kira
menjadi nama untuknya. Tiga, seumur hidupnya, suami saya kemudian begitu dekat
dengan angka ini.
"Aku tidak dilahirkan bersama dewa-dewa," katanya.
"Aku tidak dilahirkan bersama matahari, angin, ataupun hujan. Kalau
mereka tidak dilahirkan bersama-sama dengan aku, bukan aku yang rugi, tapi
mereka. Berapa banyak yang dilahirkan sebagai titisan dewa? Tidak banyak.
Kenapa? Karena mereka tidak adil. Mereka tidak mau membagi kekuatannya dengan
semua orang. Makanya, orang-orang yang terlahir biasa-biasa saja, orang-orang
seperti aku ini, harus memanjangkan jangkauan tangannya dan meluaskan akalnya
untuk membuktikan bahwa kami bisa melakukannya sendiri," kata suami saya
lagi.
Entah kenapa saya selalu terpesona setiap kali mendengar suami saya
bicara panjang lebar. Biasanya dia akan bicara sambil berdiri dan saya seperti
melihat api sedang membungkus seluruh tubuhnya. Kadang-kadang saya meragukan
ceritanya tentang kelahirannya yang dinaungi kegelapan. Saya selalu melihat
suami saya diliputi cahaya, terlebih kalau sudah dipenuhi semangat. Mungkin
suami saya hanya mengarang-ngarang cerita saja tentang kelahirannya. Laki-laki
biasanya suka begitu, suka melebih-lebihkan hal yang sebenarnya biasa saja.
Tapi saya diam saja. Laki-laki memang suka dipuja. Mungkin untuk mengimbangi
perempuan yang senang dipuji.
Saya juga pernah mendengar cerita tentang ayahnya. Suami saya berkata
bahwa dia, bersama ayah dan saudara-saudaranya, pernah dikurung bersama-sama
dan hanya diberi nasi sekepal untuk dibagi-bagi setiap hari. Suami saya tidak
bisa melupakan hal ini, terlebih karena hanya dia sendirilah yang akhirnya
masih hidup. Mungkin karena itulah dia membuat dadu dari tulang belulang
ayahnya sendiri. Saya mulai merasa bahwa masa depan yang sedang direncanakannya
akan penuh dengan kegelapan.
Seperti saya sudah bilang, takdir suami saya sangat dekat dengan angka
tiga. Dikurung bersama ayah dan saudara-saudaranya itu hanya satu dari tiga
peristiwa buruk yang pernah menimpanya. Dia jarang membicarakan soal ini, tapi
kalau sudah bicara, dia tidak bisa berhenti. Saya bisa semalam-malaman
mendengarkan ceritanya. Suami saya akan mulai dengan cerita tentang kakaknya
yang gagal menjadi istri raja, sementara kakaknya yang tertua justru tewas pada
saat yang sama. Lalu dia akan meneruskan dengan percobaan pertamanya meraih
jabatan yang juga gagal. Laki-laki dan kekuasaan, entah ada apa dengan mereka?
"Laki-laki dibangun dari ambisi, dari satu ambisi ke ambisi yang
lain," kata suami saya suatu kali.
"Apa mereka tidak pernah takut kalau suatu hari dirinya akan hangus
dibakar oleh ambisinya sendiri?" tanya saya.
"Celakalah laki-laki yang tidak punya ambisi, bahkan celakalah
perempuan yang mengawini laki-laki yang tidak punya ambisi, karena tanpa
ambisi, laki-laki cuma pejalan kaki di bawah matahari tanpa penutup kepala.
Mereka terbakar, tapi bukan oleh diri mereka sendiri. Mereka pergi, tapi tidak
tahu hendak ke mana," jawab suami saya berapi-api.
Saya memang sering tidak sependapat dengan suami saya, tapi yang bisa
saya lakukan hanya bertanya. Saya sedang menghadapi api, kalau saya juga
membawa api, maka perkawinan kami bisa habis dimakan api. Saya memilih untuk
menyiramkan air sedikit demi sedikit, tapi repotnya, suami saya selalu punya
jawaban untuk setiap pertanyaan saya. Tidak heran, di masa mudanya, dia
mengganti namanya sekali lagi. Orang-orang menyebutnya: Yang Cendekia. Sedikit
banyak, saya juga menyukainya karena kepintarannya itu.
Suami saya tidak ada bedanya dengan laki-laki lain, obsesinya cuma
tentang kekuasaan, menjadi raja dan memerintah banyak orang. Tapi semua ini, di
dalam diri suami saya, tidak tumbuh sembarangan seperti pohon banyan di tengah
hutan. Kalau kalian mengikuti cerita saya, ambisi di dalam kepala suami saya
sudah dimulai ketika langit tiba-tiba gelap di hari kelahirannya. Tiga cerita
berikutnya, tentang kakaknya yang gagal menjadi istri raja, tentang dirinya
yang gagal menjadi pejabat, tentang ayah dan saudara-saudaranya yang lain, itu
semua cuma seperti daun kering dan hujan yang jatuh di atas bibit banyan.
"Orang-orang mengira aku menaruh dendam perkara kakakku, atau ketika
aku gagal meraih jabatan, atau sedikit orang seperti dirimu mungkin berpikir
aku mendendam karena kematian ayah dan saudara-saudaraku," kata suami saya
tiba-tiba.
"Sejujurnya ya," balas saya, "sejujurnya, ambisi yang
kausebut itu lebih pantas disebut dendam. Dan buat seorang istri, itu
menakutkan."
"Bwahahahahaha...," suami saya tertawa.
"Kau salah tentang laki-laki dan obsesinya. Kekuasaan tidak pernah
menjadi obsesi laki-laki. Kekuasaan itu cuma alat supaya laki-laki bisa jatuh
cinta dengan gampang dan mati dengan tenang. Aku mengawinimu, aku mencintaimu,
kalau aku masih mengejar kekuasaan, bukan berarti aku berhenti mencintaimu, aku
cuma ingin mati dengan tenang," suami saya berkata lagi setelah reda
tawanya.
Seharusnya saya merasa senang dengan kata-kata suami saya yang terakhir,
dia ternyata mencintai saya. Tapi entah kenapa, saya justru disusupi perasaan
takut. Mungkin karena dia menyebut-nyebut soal mati. Walaupun saya tahu bahwa
semua orang akan menuju ke sana, tapi tak urung hal itu membuat saya sedikit
gentar juga. Saya kemudian mendatangi suami saya, lalu memeluknya dari
belakang. Suami saya itu, walaupun keras kepala, tapi tidak pernah menolak
pelukan saya.
Kami masih berpelukan untuk beberapa lama di belakang jendela yang
ditembus cahaya purnama. Sepertinya dia tahu bahwa saya merindukannya. Dia
tidak membalas pelukan saya atau mengelus-elus tangan saya yang melingkar di
pinggangnya seperti suami-suami lain, tapi diamnya itu pun sudah cukup
melegakan saya. Pelan-pelan saya mengendurkan pelukan saya, di luar malam
semakin larut, hanya beberapa penjaga saja yang masih mondar-mandir di depan
rumah kami.
"Tidurlah," kata saya.
"Kautahu aku tidak pernah tidur sesore ini bukan?" jawabnya
setengah bertanya.
"Aku tahu, yang aku tidak tahu, apa yang membuatmu sulit
tidur?" saya balas bertanya.
"Sebelum tidur aku masih suka berpikir," jawabnya.
"Apa yang kaupikirkan?" kejar saya.
"Dunia," balasnya singkat.
"Bahkan ketika bangun di pagi hari pun, aku selalu menemukanmu
terlihat murung," saya masih mengejarnya.
"Bangun pagi pun aku sudah berpikir," katanya lagi.
"Tentang?" saya terus mencecarnya.
"Dunia."
Saya berhenti bertanya. Suami saya ternyata masih sama saja seperti
laki-laki lainnya, dia tidak pernah bisa melepaskan pikirannya dari dunia. Saya
tahu, yang dipikirkannya sebenarnya cuma cara untuk menguasainya. Saya
membalikkan tubuh saya, tapi tiba-tiba, suami saya merebahkan tubuhnya di
sebelah saya. Dia kemudian membelai-belai kepala saya. Belum pernah suami saya
melakukan hal ini sebelumnya. Saya rasa, dia mulai bisa memahami perasaan saya,
yang terutama tentu saja, ketakutan-ketakutan saya.
"Kautahu takdirku. Aku tidak dilahirkan bersama dewa-dewa, aku hanya
laki-laki biasa. Aku harus terus-menerus memikirkan dunia, aku harus
terus-menerus memikirkan cara untuk merebutnya dari tangan orang-orang yang
mendaku bahwa dirinya adalah titisan dewa. Aku harus menyelamatkan dunia dari
orang-orang munafik itu," bisik suami saya.
Saya tidak menunggu lagi, saya langsung memejamkan mata. Tidur.
Hari-hari selanjutnya ternyata semakin mendebarkan buat saya. Orang-orang
mulai bergunjing tentang suami saya. Saya tidak tahu apa-apa. Suami saya tidak
pernah membawa gunjingan orang-orang ke rumah. Yang saya tahu, suami saya lahir
di bawah naungan kegelapan. Bintang-bintangnya semakin bercahaya belakangan
ini. Kalau orang menyebutnya sedang menyusun sebuah rencana, saya tahu, dia
sudah melakukannya jauh-jauh hari. Saya melihatnya sendiri di malam pengantin
saya. Tentang dendam, saya percaya, suami saya tidak pernah menyulam
dendam-dendamnya, dia cuma laki-laki biasa yang sedang membangun dirinya
sendiri dengan ambisi.
Desas-desus tentang suami saya semakin kencang berhembus. Orang-orang
mulai menghitung kembali masa lalu suami saya sembari menghitung masa depan
mereka sendiri. Saya pikir, negeri ini sedang berdiri di bibir jurang. Tapi
saya cuma seorang perempuan, istri dari seorang laki-laki yang tidak berhenti
memikirkan dunia, yang bisa saya lakukan hanya menunggu dan menunggu. Saya
mulai berpikir bahwa ini adalah saat yang tepat bagi seorang istri untuk mulai
menyiramkan air, mencoba memadamkan api yang membungkus para laki-laki.
"Apa kau tidak pernah memikirkan perbuatanmu?" saya mulai
membuka keran pembicaraan.
"Apa yang harus aku pikirkan?" suami saya menjawab dengan
gayanya yang khas.
"Tidakkah kaupikir bahwa perbuatanmu itu sangat-sangat jahat?"
tanya saya.
"Apa itu kebaikan dan kejahatan? Apa itu baik dan buruk? Di dunia
ini tidak ada kebaikan dan keburukan. Baik dan buruk cuma prasangka. Aku
membagi orang-orang cuma menjadi dua, yang menyedihkan dan yang menggelikan.
Ada tiga orang yang menyedihkan: yang pertama adalah orang yang tidak pernah
menepati janji-janjinya, yang kedua adalah orang yang tidak bisa membayar
hutang-hutangnya, dan yang ketiga --yang paling menyedihkan di antara
semuanya-- adalah orang yang tidak mampu membalas dendam-dendamnya," suami
saya mulai bicara panjang lebar.
"Lalu ada lagi tiga orang yang menggelikan: yang pertama adalah
orang yang tidak tahu tujuannya, yang kedua adalah orang yang tahu tujuannya,
tapi tidak tahu cara mencapainya, dan yang ketiga --yang paling menggelikan di
antara semuanya-- adalah orang yang tahu tujuannya, tahu cara mencapainya, tapi
tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah tujuannya tercapai," kata
suami saya lagi.
Lagi-lagi saya harus berhenti bertanya. Suami saya mulai bersemangat dan
api mulai berkobar di tubuhnya. Alih-alih memadamkannya, saya justru seperti
sedang menumpahkan minyak ke dalam bara. Kali ini saya tidak memeluk tubuhnya,
dia juga tidak berusaha mendatangi saya untuk memeluk atau sekadar merebahkan
tubuhnya di sisi saya. Saya cukup mengenal laki-laki yang berdiri di hadapan
saya ini, dia harus memadamkan kobar di tubuhnya terlebih dahulu sebelum bisa
disentuh oleh orang lain.
Suami saya keluar dari dalam kamar. Di ruang depan, dia hanya
mondar-mandir untuk menjinakkan dirinya sendiri. Saya ingin sekali tidur, tapi
saya tidak bisa. Saya tidak sedang resah karena ambisi suami saya ternyata
sebesar Gunung Meru atau gelisah karena tidak berhasil menenangkannya, sesuatu
yang lebih besar sedang merasuki saya dan membuat saya tidak bisa memejamkan
mata. Saya tahu apa itu, tapi saya tidak bisa mengatakannya. Saya berusaha
menolaknya sekuat tenaga. Akhirnya, saya dengar suara langkah suami saya
memasuki kamar.
"Kautahu takdirku, istriku," katanya tanpa memandang saya.
"Takdirku bukan menjadi wayang. Aku menolak menjadi wayang. Aku
bukan bayangan yang berkibar-kibar di belakang layar. Kalau ada peran yang
harus aku mainkan, maka itu adalah menjadi orang yang duduk di belakang layar
dan menggerak-gerakkan orang lain," katanya lagi.
"Kalaupun kematian harus menjemputku karena itu, maka kau
berusahalah mengerti," pungkasnya.
Mata saya mulai terasa panas, tempat tidur saya mulai basah. Saya
menangis. Saya hanya bisa menangis.
Suami saya tidak sering mendatangi saya, begitupun, saya telah memberinya
anak, tiga orang banyaknya. Dua anak laki-laki kami tumbuh seperti suami saya,
gagah, berani, pintar bicara, dan keras kepala. Yang perempuan persis seperti
saya, lebih banyak diam dan hanya bicara seperlunya. Anak perempuan kami
kemudian menikah dengan seorang laki-laki gagah dari negeri seberang. Pekerjaan
suami saya juga sedang baik, jabatannya bagus. Hidup sedang tersenyum kepada
kami, seharusnya, hidup kami bisa lebih baik sekarang. Tapi saya selalu
teringat pada kata-kata suami saya bahwa jabatannya, kekuasaannya, hanyalah
alat baginya untuk bisa jatuh cinta dan menyambut kematian dengan tenang. Satu
sudah didapatkannya, satu lagi belum.
Ketakutan-ketakutan saya yang merayap sejak malam pengantin saya, ketika
suami saya membuat dadu dengan mengerat tulang ayahnya, akhirnya menemukan
jalannya. Suami saya harus membela tuannya dalam sebuah perang yang
mempertemukan saudara dengan saudara, ayah dengan anak, adik dengan kakak,
paman dengan keponakan, sepupu dengan sepupu, mertua dengan menantu, dan lain
sebagainya. Saya tahu suami saya bukan perwira, kemampuannya hanya bicara, tapi
dia tidak pernah menunjukkan rasa takutnya. Penjagaan di rumah kami kemudian
diperketat. Orang-orang datang dan pergi tidak kenal waktu. Saya kemudian
semakin jarang memeluk suami saya dari belakang.
"Mengapa kita harus berperang?" tanya saya pada suatu
kesempatan.
"Karena mereka menyerang dan kita tidak mau menyerah bukan?"
jawab suami saya lembut.
Setelah sekian lama, suami saya akhirnya kembali bicara dengan lembut
kepada saya. Dia mulai mengambil perannya sebagai seorang suami lagi. Saya tahu
bahwa dia hanya sedang berusaha menenangkan saya. Suami saya pasti tidak yakin
bahwa perang ini bisa dimenangkannya, tapi sebagai kepala keluarga, dia harus
bisa membuat semua orang di rumah ini tetap tenang dan percaya kepadanya. Dari
kesibukannya dan tidurnya yang semakin jarang, saya juga tahu bahwa sebenarnya,
dia sendiri tidak bisa tenang.
"Tapi bukankah yang sedang kita hadapi sekarang sebenarnya adalah
saudara-saudara kita sendiri? Kau sendiri, bukankah di seberang sana, menantumu
juga mengacungkan senjatanya kepadamu?" tanya saya lagi.
"Perang besar tidak terjadi ketika seorang laki-laki, atau beberapa
orang laki-laki, pergi menghadapi musuh-musuhnya. Perang-perang besar justru
terjadi ketika saudara berhadapan dengan saudara," jawab suami saya sambil
meletakkan alat tulisnya.
"Ketika berhadapan dengan musuh, orang tidak akan ragu untuk
membunuh. Tapi ketika berhadapan dengan saudaranya sendiri, orang akan dihantui
pertanyaan tentang moral. Moral yang dibentuk orang-orang didasari oleh rasa
belas kasihan, itulah yang membuat orang, juga dirimu, mengajukan pertanyaan
tadi. Aku bukannya tidak bermoral, tapi perang adalah perang, orang harus
membunuh musuh kalau tidak mau dibunuh, bahkan kalau itu berarti harus membunuh
saudaranya sendiri," suami saya menjawab panjang lebar, tapi kali ini,
tidak ada api yang terpercik di tubuhnya.
"Lalu moral apa yang kaupunya?" saya bertanya semakin berani.
"Daduku, aku sedang memainkan dadu-daduku. Kalau orang tidak suka
padaku, mereka boleh datang ke mejaku dan memainkan dadu yang mereka
punya," jawab suami saya.
Saya melihat kilatan di mata suami saya. Saya belum pernah melihat hal
itu sebelumnya. Dia tidak marah karena saya sudah mempertanyakan moralnya,
bahkan dia tidak bicara berapi-api seperti biasanya, bicaranya tetap tenang.
Saya tahu dia tidak yakin bisa memenangkan perang, tapi ketenangannya itu
kembali mempesona saya. Saya kembali kehilangan kata-kata. Saya memang sering
memuji suami saya, tapi saya harus mengatakannya sekali lagi: dia suami saya,
laki-laki terhebat yang pernah saya tahu.
Perang semakin berlarut-larut. Kalau pada awalnya mereka diselimuti
ambisi dan kekuasaan, mungkin juga sedikit dendam, tapi sekarang yang mereka
bawa ke medan laga cuma dendam. Mereka pasti mengingat teman-teman mereka yang
roboh ditebang pedang pihak lawannya. Saya sendiri sudah kehilangan ketiga anak
saya. Anak perempuan saya tidak mungkin kembali, suaminya berdiri di sisi yang
berseberangan dengan suami saya. Anak kedua saya bersimbah darah di tanah yang
dibelanya, sementara kakaknya menyeberang ke pihak musuh dan menceritakan semua
kelemahan dan kekurangan ayahnya sendiri.
"Setiap laki-laki harus punya tujuan dan tahu cara mencapai
tujuannya. Mereka harus berjuang untuk itu. Berhasil atau gagal bukan soal,
yang menjadi soal adalah kalau mereka tidak mau berusaha. Anak-anak kita
dibesarkan dengan cara itu. Mereka tahu apa yang mereka lakukan," kata
suami saya pelan.
"Kau mungkin berduka karena mengenangkan susah payahmu melahirkan
anak-anakmu, tapi aku adalah laki-laki yang menimang dan membacakan dongeng
kepada mereka setiap malam. Aku tidak sedih melihat anak-anakku menjadi mereka
yang sekarang. Seharusnya kau juga tidak sedih," katanya lagi.
Suami saya jelas sedang berusaha menghibur saya, hanya dalam satu
peperangan saya harus kehilangan semua anak saya. Tapi saya tidak sedang
menangis, saya tahu bahwa apa yang dikatakan suami saya itu ada benarnya. Ada
sedikit bagian yang saya tidak sepakat dengan suami saya, tapi sudahlah, api di
tubuhnya sudah padam, dia sedang menggigil kedinginan. Saya tidak mungkin
menyiramkan air ke tubuhnya. Saya menggandeng tangannya dan membawanya ke
tempat tidur, sudah lama kami tidak tidur bersisian di satu ranjang. Dia
menurut saja, mungkin dia juga merindukan saya sejak lama.
Pagi-pagi benar suami saya sudah bangun, dia duduk di tepi ranjang dan
wajahnya terlihat lebih murung dari biasanya. Tidak mungkin dia sedang
memikirkan dunia seperti yang selalu dilakukannya sebelum tidur dan sesudah
bangun. Saya tidak mungkin menuduhnya sedang dilanda ketakutan, suami saya
bukan orang seperti itu. Saya bangkit perlahan-lahan, lalu memeluknya dari
belakang. Suami saya tidak pernah menolak pelukan saya.
"Apa kau tidak mencintaiku?" tanya saya.
"Selalu," jawabnya.
"Lalu kenapa kau harus pergi?" tanya saya lagi.
"Karena aku adalah aku," jawabnya lagi.
Akhir cerita saya ini semua orang sudah tahu. Suami saya akhirnya
tumbang. Tubuhnya dirobek-robek, kulitnya disayat, dipisahkan dari daging dan
tulangnya, dan lehernya digigit sampai putus. Saya tidak akan mengeluh tentang
itu. Suami saya tahu takdirnya, kemiskinan dan kematian tidak lagi membuatnya
cemas. Dia tidak peduli pada apa yang akan terjadi atau bagaimana dia akan
dikenang setelah mati. Gairahnya, hasratnya, hanya untuk membuktikan bahwa dia,
suami saya, adalah yang terbaik.
Saya cuma seorang perempuan, tidak ada yang bisa saya lakukan untuk
melawan. Saya bicara karena saya percaya, seperti suami saya juga percaya,
bahwa kata-kata akan berdiam di dunia ini lebih lama dari apapun. Saya
mencintainya, mencintai suami saya, karena cinta adalah tujuan tertinggi yang
bisa dicita-citakan oleh manusia. Saya tidak sedang melawan, saya tidak
membela, saya memberikan kesaksian. Nama saya Sukesti. Suami saya Trigantalpati
atau Harya Suman. Kalian menyebutnya: Sengkuni.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment