Kesaksian Sukesti

Kesaksian Sukesti

Malam itu, saya ingat betul, bulan penuh dan langit sangat teduh. Tamu-tamu masih bergelimpangan di pelataran, tersungkur akibat terlalu banyak menenggak anggur. Pintu di kamar kami tidak tertutup rapat, sedikit menganga, membuat angin bisa menyelipkan dirinya ke dalam kamar. Kain kelambu mendayu-dayu, melambai-lambai dengan sendu, tertiup angin yang sedikit itu. Itu malam pengantin kami, tapi kami berdua tidak tidur. Dia, suami saya, terjaga dan sepertinya memang tidak punya rencana untuk tidur dengan saya. Saya hanya bisa menunggu.

"Apa kau tidak mencintaiku?" tanya saya.

"Selalu," jawabnya.

"Lalu kenapa kau tidak mendatangiku?" tanya saya lagi.

"Karena aku adalah aku," jawabnya penuh teka-teki.

Suami saya kemudian berdiri, lalu menghampiri pintu yang sedikit terbuka. Dilihatnya tamu-tamu di pelataran rumah yang masih mendengkur dengan akur. Dia lalu berbalik, berpakaian dengan baik, kemudian menatap saya dengan lembut. Dia tersenyum sedikit, tapi tidak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya. Dari situ saya tahu, malam itu, saya tidak akan tidur dengan suami saya. Padahal, malam itu adalah malam pengantin kami. Suami saya merapikan pakaiannya sekali lagi, lalu berlalu begitu saja. Saya menunggu, masih tetap menunggu.

Mungkin ada tiga atau empat jam setelah suami saya pergi ketika saya mendengar suara berderit di depan kamar saya. Saya kira itu suara pintu yang dibuka dengan hati-hati. Saya kira, suami saya sudah pulang. Suami saya memang sudah datang, tapi dia tidak masuk ke dalam kamar, suami saya malah duduk di pelataran, di antara tamu-tamu yang masih tertidur. Suara berderit itu datang dari sebuah benda yang sedang dikeratnya dengan ujung tombaknya. Kelak saya tahu, bahwa benda itu adalah belulang ayahnya sendiri.

"Apa yang sedang kaulakukan?" tanya saya.

"Aku sedang merencanakan masa depan," jawabnya dengan senyum tertahan.

"Masa depan apa yang sedang kaurencanakan di tanganmu itu?" saya semakin penasaran.

"Ini adalah dadu. 666 adalah angkaku, enam angka, enam warna, enam dunia," jawabnya masih dengan senyum tertahan.

"Dadu-dadu ini kubuat dari tulang belulang ayahku sendiri," katanya lagi sambil berlalu ke dalam kamar.

Saya tidak bertanya lagi. Saya bergidik mendengar kata-katanya yang terakhir, tapi saya menyusulnya juga ke dalam kamar. Bagaimana pun, laki-laki itu adalah suami saya.

Saya selalu merasa teriris setiap kali mendengar cerita suami saya seputar kelahirannya. Suami saya selalu berkata bahwa dirinya dilahirkan bersama kegelapan. Ketika ibu mertua saya melahirkannya, katanya, langit tiba-tiba mendung. Kegelapan tiba-tiba seperti mengurung seluruh jagat raya, katanya. Orang-orang di tempatnya percaya bahwa dewa yang menguasai kejahatan sedang menitis bersama dengan kelahirannya. Mereka kemudian dibayang-bayangi oleh nasib buruk dan kematian. Hal ini memaksa mertua saya membuat upacara khusus untuknya. Tiga sesaji untuknya saja. Tiga sesaji inilah yang saya kira menjadi nama untuknya. Tiga, seumur hidupnya, suami saya kemudian begitu dekat dengan angka ini.

"Aku tidak dilahirkan bersama dewa-dewa," katanya.

"Aku tidak dilahirkan bersama matahari, angin, ataupun hujan. Kalau mereka tidak dilahirkan bersama-sama dengan aku, bukan aku yang rugi, tapi mereka. Berapa banyak yang dilahirkan sebagai titisan dewa? Tidak banyak. Kenapa? Karena mereka tidak adil. Mereka tidak mau membagi kekuatannya dengan semua orang. Makanya, orang-orang yang terlahir biasa-biasa saja, orang-orang seperti aku ini, harus memanjangkan jangkauan tangannya dan meluaskan akalnya untuk membuktikan bahwa kami bisa melakukannya sendiri," kata suami saya lagi.

Entah kenapa saya selalu terpesona setiap kali mendengar suami saya bicara panjang lebar. Biasanya dia akan bicara sambil berdiri dan saya seperti melihat api sedang membungkus seluruh tubuhnya. Kadang-kadang saya meragukan ceritanya tentang kelahirannya yang dinaungi kegelapan. Saya selalu melihat suami saya diliputi cahaya, terlebih kalau sudah dipenuhi semangat. Mungkin suami saya hanya mengarang-ngarang cerita saja tentang kelahirannya. Laki-laki biasanya suka begitu, suka melebih-lebihkan hal yang sebenarnya biasa saja. Tapi saya diam saja. Laki-laki memang suka dipuja. Mungkin untuk mengimbangi perempuan yang senang dipuji.

Saya juga pernah mendengar cerita tentang ayahnya. Suami saya berkata bahwa dia, bersama ayah dan saudara-saudaranya, pernah dikurung bersama-sama dan hanya diberi nasi sekepal untuk dibagi-bagi setiap hari. Suami saya tidak bisa melupakan hal ini, terlebih karena hanya dia sendirilah yang akhirnya masih hidup. Mungkin karena itulah dia membuat dadu dari tulang belulang ayahnya sendiri. Saya mulai merasa bahwa masa depan yang sedang direncanakannya akan penuh dengan kegelapan.

Seperti saya sudah bilang, takdir suami saya sangat dekat dengan angka tiga. Dikurung bersama ayah dan saudara-saudaranya itu hanya satu dari tiga peristiwa buruk yang pernah menimpanya. Dia jarang membicarakan soal ini, tapi kalau sudah bicara, dia tidak bisa berhenti. Saya bisa semalam-malaman mendengarkan ceritanya. Suami saya akan mulai dengan cerita tentang kakaknya yang gagal menjadi istri raja, sementara kakaknya yang tertua justru tewas pada saat yang sama. Lalu dia akan meneruskan dengan percobaan pertamanya meraih jabatan yang juga gagal. Laki-laki dan kekuasaan, entah ada apa dengan mereka?

"Laki-laki dibangun dari ambisi, dari satu ambisi ke ambisi yang lain," kata suami saya suatu kali.

"Apa mereka tidak pernah takut kalau suatu hari dirinya akan hangus dibakar oleh ambisinya sendiri?" tanya saya.

"Celakalah laki-laki yang tidak punya ambisi, bahkan celakalah perempuan yang mengawini laki-laki yang tidak punya ambisi, karena tanpa ambisi, laki-laki cuma pejalan kaki di bawah matahari tanpa penutup kepala. Mereka terbakar, tapi bukan oleh diri mereka sendiri. Mereka pergi, tapi tidak tahu hendak ke mana," jawab suami saya berapi-api.

Saya memang sering tidak sependapat dengan suami saya, tapi yang bisa saya lakukan hanya bertanya. Saya sedang menghadapi api, kalau saya juga membawa api, maka perkawinan kami bisa habis dimakan api. Saya memilih untuk menyiramkan air sedikit demi sedikit, tapi repotnya, suami saya selalu punya jawaban untuk setiap pertanyaan saya. Tidak heran, di masa mudanya, dia mengganti namanya sekali lagi. Orang-orang menyebutnya: Yang Cendekia. Sedikit banyak, saya juga menyukainya karena kepintarannya itu.

Suami saya tidak ada bedanya dengan laki-laki lain, obsesinya cuma tentang kekuasaan, menjadi raja dan memerintah banyak orang. Tapi semua ini, di dalam diri suami saya, tidak tumbuh sembarangan seperti pohon banyan di tengah hutan. Kalau kalian mengikuti cerita saya, ambisi di dalam kepala suami saya sudah dimulai ketika langit tiba-tiba gelap di hari kelahirannya. Tiga cerita berikutnya, tentang kakaknya yang gagal menjadi istri raja, tentang dirinya yang gagal menjadi pejabat, tentang ayah dan saudara-saudaranya yang lain, itu semua cuma seperti daun kering dan hujan yang jatuh di atas bibit banyan.

"Orang-orang mengira aku menaruh dendam perkara kakakku, atau ketika aku gagal meraih jabatan, atau sedikit orang seperti dirimu mungkin berpikir aku mendendam karena kematian ayah dan saudara-saudaraku," kata suami saya tiba-tiba.

"Sejujurnya ya," balas saya, "sejujurnya, ambisi yang kausebut itu lebih pantas disebut dendam. Dan buat seorang istri, itu menakutkan."

"Bwahahahahaha...," suami saya tertawa.

"Kau salah tentang laki-laki dan obsesinya. Kekuasaan tidak pernah menjadi obsesi laki-laki. Kekuasaan itu cuma alat supaya laki-laki bisa jatuh cinta dengan gampang dan mati dengan tenang. Aku mengawinimu, aku mencintaimu, kalau aku masih mengejar kekuasaan, bukan berarti aku berhenti mencintaimu, aku cuma ingin mati dengan tenang," suami saya berkata lagi setelah reda tawanya.

Seharusnya saya merasa senang dengan kata-kata suami saya yang terakhir, dia ternyata mencintai saya. Tapi entah kenapa, saya justru disusupi perasaan takut. Mungkin karena dia menyebut-nyebut soal mati. Walaupun saya tahu bahwa semua orang akan menuju ke sana, tapi tak urung hal itu membuat saya sedikit gentar juga. Saya kemudian mendatangi suami saya, lalu memeluknya dari belakang. Suami saya itu, walaupun keras kepala, tapi tidak pernah menolak pelukan saya.

Kami masih berpelukan untuk beberapa lama di belakang jendela yang ditembus cahaya purnama. Sepertinya dia tahu bahwa saya merindukannya. Dia tidak membalas pelukan saya atau mengelus-elus tangan saya yang melingkar di pinggangnya seperti suami-suami lain, tapi diamnya itu pun sudah cukup melegakan saya. Pelan-pelan saya mengendurkan pelukan saya, di luar malam semakin larut, hanya beberapa penjaga saja yang masih mondar-mandir di depan rumah kami.

"Tidurlah," kata saya.

"Kautahu aku tidak pernah tidur sesore ini bukan?" jawabnya setengah bertanya.

"Aku tahu, yang aku tidak tahu, apa yang membuatmu sulit tidur?" saya balas bertanya.

"Sebelum tidur aku masih suka berpikir," jawabnya.

"Apa yang kaupikirkan?" kejar saya.

"Dunia," balasnya singkat.

"Bahkan ketika bangun di pagi hari pun, aku selalu menemukanmu terlihat murung," saya masih mengejarnya.

"Bangun pagi pun aku sudah berpikir," katanya lagi.

"Tentang?" saya terus mencecarnya.

"Dunia."

Saya berhenti bertanya. Suami saya ternyata masih sama saja seperti laki-laki lainnya, dia tidak pernah bisa melepaskan pikirannya dari dunia. Saya tahu, yang dipikirkannya sebenarnya cuma cara untuk menguasainya. Saya membalikkan tubuh saya, tapi tiba-tiba, suami saya merebahkan tubuhnya di sebelah saya. Dia kemudian membelai-belai kepala saya. Belum pernah suami saya melakukan hal ini sebelumnya. Saya rasa, dia mulai bisa memahami perasaan saya, yang terutama tentu saja, ketakutan-ketakutan saya.

"Kautahu takdirku. Aku tidak dilahirkan bersama dewa-dewa, aku hanya laki-laki biasa. Aku harus terus-menerus memikirkan dunia, aku harus terus-menerus memikirkan cara untuk merebutnya dari tangan orang-orang yang mendaku bahwa dirinya adalah titisan dewa. Aku harus menyelamatkan dunia dari orang-orang munafik itu," bisik suami saya.

Saya tidak menunggu lagi, saya langsung memejamkan mata. Tidur.

Hari-hari selanjutnya ternyata semakin mendebarkan buat saya. Orang-orang mulai bergunjing tentang suami saya. Saya tidak tahu apa-apa. Suami saya tidak pernah membawa gunjingan orang-orang ke rumah. Yang saya tahu, suami saya lahir di bawah naungan kegelapan. Bintang-bintangnya semakin bercahaya belakangan ini. Kalau orang menyebutnya sedang menyusun sebuah rencana, saya tahu, dia sudah melakukannya jauh-jauh hari. Saya melihatnya sendiri di malam pengantin saya. Tentang dendam, saya percaya, suami saya tidak pernah menyulam dendam-dendamnya, dia cuma laki-laki biasa yang sedang membangun dirinya sendiri dengan ambisi.

Desas-desus tentang suami saya semakin kencang berhembus. Orang-orang mulai menghitung kembali masa lalu suami saya sembari menghitung masa depan mereka sendiri. Saya pikir, negeri ini sedang berdiri di bibir jurang. Tapi saya cuma seorang perempuan, istri dari seorang laki-laki yang tidak berhenti memikirkan dunia, yang bisa saya lakukan hanya menunggu dan menunggu. Saya mulai berpikir bahwa ini adalah saat yang tepat bagi seorang istri untuk mulai menyiramkan air, mencoba memadamkan api yang membungkus para laki-laki.

"Apa kau tidak pernah memikirkan perbuatanmu?" saya mulai membuka keran pembicaraan.

"Apa yang harus aku pikirkan?" suami saya menjawab dengan gayanya yang khas.

"Tidakkah kaupikir bahwa perbuatanmu itu sangat-sangat jahat?" tanya saya.

"Apa itu kebaikan dan kejahatan? Apa itu baik dan buruk? Di dunia ini tidak ada kebaikan dan keburukan. Baik dan buruk cuma prasangka. Aku membagi orang-orang cuma menjadi dua, yang menyedihkan dan yang menggelikan. Ada tiga orang yang menyedihkan: yang pertama adalah orang yang tidak pernah menepati janji-janjinya, yang kedua adalah orang yang tidak bisa membayar hutang-hutangnya, dan yang ketiga --yang paling menyedihkan di antara semuanya-- adalah orang yang tidak mampu membalas dendam-dendamnya," suami saya mulai bicara panjang lebar.

"Lalu ada lagi tiga orang yang menggelikan: yang pertama adalah orang yang tidak tahu tujuannya, yang kedua adalah orang yang tahu tujuannya, tapi tidak tahu cara mencapainya, dan yang ketiga --yang paling menggelikan di antara semuanya-- adalah orang yang tahu tujuannya, tahu cara mencapainya, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah tujuannya tercapai," kata suami saya lagi.

Lagi-lagi saya harus berhenti bertanya. Suami saya mulai bersemangat dan api mulai berkobar di tubuhnya. Alih-alih memadamkannya, saya justru seperti sedang menumpahkan minyak ke dalam bara. Kali ini saya tidak memeluk tubuhnya, dia juga tidak berusaha mendatangi saya untuk memeluk atau sekadar merebahkan tubuhnya di sisi saya. Saya cukup mengenal laki-laki yang berdiri di hadapan saya ini, dia harus memadamkan kobar di tubuhnya terlebih dahulu sebelum bisa disentuh oleh orang lain.

Suami saya keluar dari dalam kamar. Di ruang depan, dia hanya mondar-mandir untuk menjinakkan dirinya sendiri. Saya ingin sekali tidur, tapi saya tidak bisa. Saya tidak sedang resah karena ambisi suami saya ternyata sebesar Gunung Meru atau gelisah karena tidak berhasil menenangkannya, sesuatu yang lebih besar sedang merasuki saya dan membuat saya tidak bisa memejamkan mata. Saya tahu apa itu, tapi saya tidak bisa mengatakannya. Saya berusaha menolaknya sekuat tenaga. Akhirnya, saya dengar suara langkah suami saya memasuki kamar.

"Kautahu takdirku, istriku," katanya tanpa memandang saya.

"Takdirku bukan menjadi wayang. Aku menolak menjadi wayang. Aku bukan bayangan yang berkibar-kibar di belakang layar. Kalau ada peran yang harus aku mainkan, maka itu adalah menjadi orang yang duduk di belakang layar dan menggerak-gerakkan orang lain," katanya lagi.

"Kalaupun kematian harus menjemputku karena itu, maka kau berusahalah mengerti," pungkasnya.

Mata saya mulai terasa panas, tempat tidur saya mulai basah. Saya menangis. Saya hanya bisa menangis.

Suami saya tidak sering mendatangi saya, begitupun, saya telah memberinya anak, tiga orang banyaknya. Dua anak laki-laki kami tumbuh seperti suami saya, gagah, berani, pintar bicara, dan keras kepala. Yang perempuan persis seperti saya, lebih banyak diam dan hanya bicara seperlunya. Anak perempuan kami kemudian menikah dengan seorang laki-laki gagah dari negeri seberang. Pekerjaan suami saya juga sedang baik, jabatannya bagus. Hidup sedang tersenyum kepada kami, seharusnya, hidup kami bisa lebih baik sekarang. Tapi saya selalu teringat pada kata-kata suami saya bahwa jabatannya, kekuasaannya, hanyalah alat baginya untuk bisa jatuh cinta dan menyambut kematian dengan tenang. Satu sudah didapatkannya, satu lagi belum.

Ketakutan-ketakutan saya yang merayap sejak malam pengantin saya, ketika suami saya membuat dadu dengan mengerat tulang ayahnya, akhirnya menemukan jalannya. Suami saya harus membela tuannya dalam sebuah perang yang mempertemukan saudara dengan saudara, ayah dengan anak, adik dengan kakak, paman dengan keponakan, sepupu dengan sepupu, mertua dengan menantu, dan lain sebagainya. Saya tahu suami saya bukan perwira, kemampuannya hanya bicara, tapi dia tidak pernah menunjukkan rasa takutnya. Penjagaan di rumah kami kemudian diperketat. Orang-orang datang dan pergi tidak kenal waktu. Saya kemudian semakin jarang memeluk suami saya dari belakang.

"Mengapa kita harus berperang?" tanya saya pada suatu kesempatan.

"Karena mereka menyerang dan kita tidak mau menyerah bukan?" jawab suami saya lembut.

Setelah sekian lama, suami saya akhirnya kembali bicara dengan lembut kepada saya. Dia mulai mengambil perannya sebagai seorang suami lagi. Saya tahu bahwa dia hanya sedang berusaha menenangkan saya. Suami saya pasti tidak yakin bahwa perang ini bisa dimenangkannya, tapi sebagai kepala keluarga, dia harus bisa membuat semua orang di rumah ini tetap tenang dan percaya kepadanya. Dari kesibukannya dan tidurnya yang semakin jarang, saya juga tahu bahwa sebenarnya, dia sendiri tidak bisa tenang.

"Tapi bukankah yang sedang kita hadapi sekarang sebenarnya adalah saudara-saudara kita sendiri? Kau sendiri, bukankah di seberang sana, menantumu juga mengacungkan senjatanya kepadamu?" tanya saya lagi.

"Perang besar tidak terjadi ketika seorang laki-laki, atau beberapa orang laki-laki, pergi menghadapi musuh-musuhnya. Perang-perang besar justru terjadi ketika saudara berhadapan dengan saudara," jawab suami saya sambil meletakkan alat tulisnya.

"Ketika berhadapan dengan musuh, orang tidak akan ragu untuk membunuh. Tapi ketika berhadapan dengan saudaranya sendiri, orang akan dihantui pertanyaan tentang moral. Moral yang dibentuk orang-orang didasari oleh rasa belas kasihan, itulah yang membuat orang, juga dirimu, mengajukan pertanyaan tadi. Aku bukannya tidak bermoral, tapi perang adalah perang, orang harus membunuh musuh kalau tidak mau dibunuh, bahkan kalau itu berarti harus membunuh saudaranya sendiri," suami saya menjawab panjang lebar, tapi kali ini, tidak ada api yang terpercik di tubuhnya.

"Lalu moral apa yang kaupunya?" saya bertanya semakin berani.

"Daduku, aku sedang memainkan dadu-daduku. Kalau orang tidak suka padaku, mereka boleh datang ke mejaku dan memainkan dadu yang mereka punya," jawab suami saya.

Saya melihat kilatan di mata suami saya. Saya belum pernah melihat hal itu sebelumnya. Dia tidak marah karena saya sudah mempertanyakan moralnya, bahkan dia tidak bicara berapi-api seperti biasanya, bicaranya tetap tenang. Saya tahu dia tidak yakin bisa memenangkan perang, tapi ketenangannya itu kembali mempesona saya. Saya kembali kehilangan kata-kata. Saya memang sering memuji suami saya, tapi saya harus mengatakannya sekali lagi: dia suami saya, laki-laki terhebat yang pernah saya tahu.

Perang semakin berlarut-larut. Kalau pada awalnya mereka diselimuti ambisi dan kekuasaan, mungkin juga sedikit dendam, tapi sekarang yang mereka bawa ke medan laga cuma dendam. Mereka pasti mengingat teman-teman mereka yang roboh ditebang pedang pihak lawannya. Saya sendiri sudah kehilangan ketiga anak saya. Anak perempuan saya tidak mungkin kembali, suaminya berdiri di sisi yang berseberangan dengan suami saya. Anak kedua saya bersimbah darah di tanah yang dibelanya, sementara kakaknya menyeberang ke pihak musuh dan menceritakan semua kelemahan dan kekurangan ayahnya sendiri.

"Setiap laki-laki harus punya tujuan dan tahu cara mencapai tujuannya. Mereka harus berjuang untuk itu. Berhasil atau gagal bukan soal, yang menjadi soal adalah kalau mereka tidak mau berusaha. Anak-anak kita dibesarkan dengan cara itu. Mereka tahu apa yang mereka lakukan," kata suami saya pelan.

"Kau mungkin berduka karena mengenangkan susah payahmu melahirkan anak-anakmu, tapi aku adalah laki-laki yang menimang dan membacakan dongeng kepada mereka setiap malam. Aku tidak sedih melihat anak-anakku menjadi mereka yang sekarang. Seharusnya kau juga tidak sedih," katanya lagi.

Suami saya jelas sedang berusaha menghibur saya, hanya dalam satu peperangan saya harus kehilangan semua anak saya. Tapi saya tidak sedang menangis, saya tahu bahwa apa yang dikatakan suami saya itu ada benarnya. Ada sedikit bagian yang saya tidak sepakat dengan suami saya, tapi sudahlah, api di tubuhnya sudah padam, dia sedang menggigil kedinginan. Saya tidak mungkin menyiramkan air ke tubuhnya. Saya menggandeng tangannya dan membawanya ke tempat tidur, sudah lama kami tidak tidur bersisian di satu ranjang. Dia menurut saja, mungkin dia juga merindukan saya sejak lama.

Pagi-pagi benar suami saya sudah bangun, dia duduk di tepi ranjang dan wajahnya terlihat lebih murung dari biasanya. Tidak mungkin dia sedang memikirkan dunia seperti yang selalu dilakukannya sebelum tidur dan sesudah bangun. Saya tidak mungkin menuduhnya sedang dilanda ketakutan, suami saya bukan orang seperti itu. Saya bangkit perlahan-lahan, lalu memeluknya dari belakang. Suami saya tidak pernah menolak pelukan saya.

"Apa kau tidak mencintaiku?" tanya saya.

"Selalu," jawabnya.

"Lalu kenapa kau harus pergi?" tanya saya lagi.

"Karena aku adalah aku," jawabnya lagi.

Akhir cerita saya ini semua orang sudah tahu. Suami saya akhirnya tumbang. Tubuhnya dirobek-robek, kulitnya disayat, dipisahkan dari daging dan tulangnya, dan lehernya digigit sampai putus. Saya tidak akan mengeluh tentang itu. Suami saya tahu takdirnya, kemiskinan dan kematian tidak lagi membuatnya cemas. Dia tidak peduli pada apa yang akan terjadi atau bagaimana dia akan dikenang setelah mati. Gairahnya, hasratnya, hanya untuk membuktikan bahwa dia, suami saya, adalah yang terbaik.

Saya cuma seorang perempuan, tidak ada yang bisa saya lakukan untuk melawan. Saya bicara karena saya percaya, seperti suami saya juga percaya, bahwa kata-kata akan berdiam di dunia ini lebih lama dari apapun. Saya mencintainya, mencintai suami saya, karena cinta adalah tujuan tertinggi yang bisa dicita-citakan oleh manusia. Saya tidak sedang melawan, saya tidak membela, saya memberikan kesaksian. Nama saya Sukesti. Suami saya Trigantalpati atau Harya Suman. Kalian menyebutnya: Sengkuni.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.

***

Comments

Populer