Jangan Pernah Kawin Dengan Orang Meksiko (Never Marry A Mexican ~ Sandra Cisneros)

Jangan Pernah Kawin Dengan Orang Meksiko (Never Marry A Mexican ~ Sandra Cisneros)

Jangan pernah kawin dengan orang Meksiko, kata ibuku selalu. Dia mengatakannya karena ayahku. Dia mengatakannya walaupun dia juga orang Meksiko. Tapi dia dilahirkan di sini di Amerika, sementara ayahku dilahirkan di sana, dan itu tidak sama. 

Aku tidak akan kawin. Tidak dengan laki-laki yang mana pun. Aku paham laki-laki, terlalu paham. Aku sudah melihat mereka berkhianat, dan aku membantu mereka. Membuka ritsleting dan kancing dan sepakat untuk bertemu diam-diam. Aku membantu mereka merencanakan kejahatan. Aku bersalah jadi penyebab penderitaan perempuan lain. Aku pendendam dan kejam, dan aku bisa melakukan apa saja.

Kuakui, ada waktu ketika yang kuinginkan hanyalah menjadi milik seorang laki-laki. Memakai gelang emas di tangan kiri dan digandeng seorang laki-laki seperti permata mahal yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Bukan seperti laki-laki yang kugoda di bar-bar yang semuanya terlihat sama, karpet merah dengan bayangan jerjak hitam, wallpaper yang penuh, lampu gantung dari roda kayu gerobak dengan penutup kuning pucat seperti gelas minum gratisan yang kau dapat di pompa-pompa bensin.

Bar-bar gelap, lalu restoran-restoran remang-remang. Dan kalau bukan, apartemenku, dengan sikat giginya yang menancap kuat di tempat sikat gigi seperti tiang bendera di Kutub Utara. Tempat tidur terasa begitu besar karena dia tidak pernah bermalam. Tentu saja tidak.

Meminjam. Begitulah caraku mendapatkan laki-laki. Seperti krim yang cuma dicolek bagian atasnya. Cuma bagian buah yang manis, tanpa kulit pahit kehidupan sehari-hari dengan pasangan yang sewaktu-waktu bisa koyak. Mereka datang padaku kapan pun mereka menginginkan daging segar.

Jadi, tidak. Aku belum kawin dan tidak akan pernah. Bukan karena aku tidak bisa, tapi karena aku terlalu romantis untuk kawin. Perkawinan mengecewakanku, kau bisa bilang begitu. Tidak ada laki-laki yang tidak membuatku kecewa, mereka yang bisa kupercaya untuk kucintai dengan caraku. Ini karena aku terlalu percaya bahwa aku tidak percaya pada perkawinan. Lebih baik tidak kawin daripada hidup dalam kepura-puraan.

Laki-laki Meksiko, lupakan saja. Untuk beberapa waktu orang-orang yang membersihkan meja atau mencincang daging di balik lapak tukang daging atau mengemudi bus yang kutumpangi untuk ke sekolah setiap hari, mereka bukan laki-laki. Bukan laki-laki yang kuanggap pencinta yang baik. Orang Meksiko, Puerto Rico, Kuba, Chili, Kolombia, Panama, Salvador, Bolivia, Honduras, Argentina, Dominika, Venezuela, Guatemala, Ekuador, Nikaragua, Peru, Kosta Rika, Paraguay, Uruguay, aku tidak peduli. Aku tidak pernah menganggap mereka. Ibuku yang membuatku begini.

Kukira dia melakukannya untuk memberiku dan Ximena rasa sakit yang pernah dialaminya. Kawin dengan seorang laki-laki Meksiko di umur tujuh belas. Menyebabkan semua kesedihan sebuah keluarga Meksiko bisa dilakukan seorang perempuan hanya karena dia dari el otro lado, dunia lain, dan derajat ayahku turun begitu mengawininya. Seandainya ayahku kawin dengan perempuan kulit putih dari el otro lado, segalanya pasti akan berbeda. Kelasnya akan naik, bahkan kalau perempuan kulit putih tadi miskin. Tapi tidak ada yang lebih konyol daripada seorang perempuan Meksiko yang bahkan tidak bisa bicara bahasa Spanyol, yang tidak tahu cara mengatur piring untuk hidangan makan malam yang berbeda, atau cara melipat serbet, atau cara menyusun sendok dan garpu perak.

Di rumah ibuku piring selalu ditumpuk di tengah meja, pisau dan garpu dan sendok ada di dalam stoples, ambil sendiri. Semua makanan terbuka atau sudah dikupas dan tidak ada yang sama. Dan tidak ada taplak meja, tidak pernah ada. Koran ada di atas meja setiap kali kakek mengiris semangka, dan betapa malunya ibu ketika pacarnya, ayahku, datang dan koran tergeletak di seluruh lantai dapur dan meja. Dan kakekku, laki-laki pekerja Meksiko, berkata Ayo, kemari dan makan, dan mengiris semangka hijau tua itu, sepotong besar, dia tidak pelit dengan makanan. Tidak pernah, bahkan di masa krisis1. Ayo, kemari dan makan, kepada siapa pun yang datang mengetuk pintu belakang. Gelandangan-gelandangan itu duduk di meja makan dan anak-anak hanya bisa memandang dan terus memandang. Karena kakekku tidak pernah membiarkan mereka pergi dengan tangan kosong. Tepung dan beras, dalam tong atau karung. Kentang. Tas besar kacang pinto2. Dan semangka, membeli tiga atau empat buah sekaligus, disimpan bawah tempat tidurnya dan dikeluarkannya ketika kau pikir sudah tidak ada lagi yang bisa diberikannya. Kakekku melewati tiga perang, satu Meksiko, dua Amerika, dan dia tahu bagaimana rasanya hidup tanpa tujuan. Dia tahu.

Ayahku, di sisi lain, tidak. Benar, waktu pertama kali datang ke negara ini dia bekerja mengupas kerang, mencuci piring, menanam tanaman pagar, duduk di belakang bus di Little Rock dan mendengar sang sopir berteriak, Kau –duduk di sini, dan ayahku mengangkat bahunya malu-malu dan berkata, Tidak bisa bahasa Inggris.

Tapi dia bukan pengungsi ekonomi, bukan imigran pelarian perang. Ayahku lari dari rumah karena dia takut menghadapi ayahnya setelah nilai tahun pertamanya di universitas menunjukkan kalau dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain daripada belajar. Dia meninggalkan rumah di Mexico City yang tidak mewah juga tidak kumuh, tapi lebih baik dari keduanya. Seorang anak laki-laki yang akan turun dari bus kalau melihat perempuan yang dikenalnya dan dia tidak bisa membayari ongkos bus si perempuan. Itulah dunia yang ditinggalkan ayahku.

Aku membayangkan ayahku dengan setelan fanfarron-nya, karena itulah dirinya, seorang fanfarron3. Itulah yang kukira ibuku pikirkan waktu dia menoleh pada suara yang mengajaknya berdansa. Seorang tukang pamer, katanya bertahun-tahun kemudian. Tidak ada yang lain kecuali seorang tukang pamer. Tapi ibuku tidak pernah mengatakan kenapa dia mengawininya. Ayahku dengan jas biru hiunya dengan saputangan kaku di sakunya, dengan topi fedora-nya, mantel wol dengan bahu yang besar, dan ujung logam berat dengan lubang di tumit dan ujung sepatunya. Setelan yang menghabiskan banyak uang. Mahal. Itulah yang ditunjukkan dari barang-barang ayahku. Calidad. Kualitas.

Ayahku pasti merasa orang Meksiko di Amerika sangat aneh, begitu berbeda dengan semua yang dia tahu di rumahnya di Mexico City di mana pelayan menyajikan semangka di piring dengan perkakas perak dan serbet kain, atau mangga dengan garpu khususnya. Tidak seperti ini, makan dengan kaki terbuka lebar di halaman, atau di dapur mencangkung di atas koran. Ayo, datang dan makan. Tidak, tidak pernah seperti ini.

***

Bagaimana aku mencari nafkah tidak tentu. Kadang-kadang aku bekerja sebagai penerjemah. Kadang-kadang aku dibayar per kata dan kadang-kadang per jam, tergantung pekerjaannya. Aku mengerjakan ini siang hari, dan malamnya aku melukis. Aku akan melakukan apa saja siang hari supaya aku bisa terus melukis.

Aku juga bekerja sebagai guru honorer, di sekolah swasta di San Antonio. Dan ini lebih buruk daripada menerjemahkan brosur wisata dengan hurufnya yang kecil-kecil, percayalah padaku. Aku tidak suka anak-anak. Umur berapa pun. Tapi ini bisa membayar sewa.

Bagaimana pun caramu melihatnya, apa yang kulakukan untuk mencari nafkah adalah bentuk lain prostitusi. Orang-orang bilang, "Pelukis? Bagus sekali," dan ingin mengundangku ke pesta-pesta mereka, memintaku menghiasi halaman rumput mereka seperti taman anggrek. Tapi apa mereka mengerti seni?

Aku ini amfibi. Aku orang yang tidak termasuk dalam kelas yang mana pun. Orang kaya suka bergaul denganku karena mereka iri dengan kreativitasku; mereka tahu bahwa mereka tidak bisa membeli hal itu. Orang miskin tidak keberatan aku tinggal di lingkungan mereka karena mereka tahu aku miskin seperti mereka, bahkan kalau pendidikan dan caraku berpakaian menunjukkan kami berada di dunia yang berbeda. Aku tidak termasuk kelas apa pun. Bukan orang miskin, yang dengan lingkungannya aku berbagi. Bukan orang kaya, yang datang ke pameranku dan membeli karya-karyaku. Bukan kelas menengah dari mana aku dan adikku Ximena melarikan diri.

Waktu aku muda, waktu aku pertama kali meninggalkan rumah dan menyewa apartemen itu dengan adikku dan anak-anaknya selepas suaminya minggat, kupikir akan menyenangkan menjadi seniman. Aku ingin menjadi seperti Frida4 atau Tina5. Aku sudah siap untuk menderita dengan kamera dan kuas lukisku di apartemen mengerikan yang masing-masing kami sewa seharga $ 150 karena punya langit-langit yang tinggi dan skylight kaca indahnya yang meyakinkan kami kalau kami harus menyewanya. Lupakan wastafel yang tidak ada di kamar mandinya, dan kolam yang terlihat seperti sarkofagus, dan lantai kayu yang ketemu satu sama lain, dan lorong untuk menakut-nakuti orang mati. Tapi langit-langit empat-belas kakinya sudah cukup buat kami untuk menulis cek untuk dibayarkan saat itu juga. Kami pikir itu semua romantis. Kau tahu sebuah tempat, di Zarzamora di atas tempat tukang cukur dengan foto-foto Casasola6 tentang Revolusi Meksiko di dalamnya. Neon bertuliskan BIRRIA TEPATITLAN di sudutnya, dua ekor kambing saling mengadu kepala, dan semua roti Meksiko itu, Las Brisas untuk huevos rancheros dan carnitas dan barbacoa pada hari Minggu, dan susu kocok buah segarnya, dan paleta mangga, dan petunjuk-petunjuk lain yang lebih banyak memakai bahasa Spanyol daripada Inggris. Kami pikir itu hebat, sangat hebat. Barrio7 yang terlihat manis di siang hari, seperti Sesame Street8. Anak-anak bermain engklek di trotoar, bocah-bocah yang diberkati. Dan toko perkakas yang masih menjual kemoceng dari bulu burung unta, dan seluruh keluarga yang berbaris keluar dari Gereja Bunda Guadalupe9 pada hari Minggu, anak-anak perempuan dengan gaun yang berkibar-kibar dan sepatu kulit, anak-anak laki-laki dengan pakaian Stacy10 dan kemeja mengkilap mereka.

Tapi malamnya, dia tidak seperti yang kami tahu di sisi utara. Pistol menyalak seperti jaman koboi, dan saya dan Ximena dan anak-anak meringkuk bersama-sama di satu tempat tidur dengan lampu padam mendengarkan itu semua, "Tidurlah, sayang, itu cuma petasan." Tapi kami lebih tahu. Ximena akan mengatakan, "Clemencia, mungkin kita harus pulang." Dan aku akan menjawab, "Sialan!" Karena dia tahu sebagaimana saya juga tahu bahwa tidak ada lagi rumah untuk pulang. Tidak dengan ibu kami. Tidak dengan laki-laki yang dikawininya. Setelah ayah meninggal, rasanya seperti kami sudah tidak penting. Ibu begitu sibuk mengasihani dirinya sendiri, aku tidak tahu. Aku tidak seperti Ximena. Aku masih belum mengerti setelah sekian lama, bahkan setelah ibu kami mati. Saudara tiriku tinggal di rumah yang seharusnya punya kami, aku dan Ximena. Tapi itu --bagaimana kau mengatakannya?—air di bawah bendungan11? Aku tidak pernah bisa mengatakannya dengan benar meskipun aku lahir di negara ini. Kami tidak mengatakan omong kosong seperti itu di rumah kami.

Begitu ayah pergi, ibuku rasanya sudah tidak ada lagi, seperti dia juga ikut mati. Aku pernah punya seekor burung pipit kecil, memuntir satu kaki merah kecilnya di antara jeruji kandang, semua orang tahu caranya. Kaki itu lalu kering dan jatuh begitu saja. Burungku hidup lama seperti itu, cuma sepotong kaki merah kecil. Dia baik-baik saja, serius. Ingatan ibuku persis seperti itu, seperti sesuatu yang sudah mati mengering lalu jatuh, dan aku berhenti merasa kehilangan ibuku yang dulu. Seolah-olah aku tidak pernah punya ibu. Dan aku tidak malu untuk mengatakannya. Waktu dia kawin dengan laki-laki kulit putih itu, dan laki-laki itu bersama anak-anaknya pindah ke rumah ayahku, itulah saat ketika ibuku berhenti menjadi ibuku. Seolah-olah aku tidak pernah punya ibu.

Ibuku selalu sakit dan terlalu sibuk mengkhawatirkan hidupnya sendiri, dia akan menjual kami kepada iblis seandainya bisa. “Karena aku menikah terlalu muda, mija12,"katanya. Karena ayahmu, dia jauh lebih tua dariku, dan aku tidak pernah punya kesempatan menjadi muda. Sayang, cobalah untuk mengerti....” Lalu aku berhenti mendengarkan.

Laki-laki yang ditemuinya di tempat kerja itu, Owen Lambert, mandor di pabrik finishing foto, yang ditemuinya bahkan waktu ayahku sedang sakit. Bahkan setelahnya. Itulah yang tidak bisa kumaafkan.

Waktu ayahku batuk darah dan muntah dahak di rumah sakit, setengah wajahnya kaku, dan lidahnya begitu tebal sehingga dia tidak bisa bicara, dia tampak begitu kecil dengan semua tabung dan kantung plastik yang menggantung di sekelilingnya. Tapi yang paling kuingat adalah baunya, seperti kematian sudah duduk di dadanya. Dan aku ingat dokter menyaput dahak dari mulut ayahku dengan kain lap putih, dan ayahku tersedak, aku ingin berteriak, Berhenti, hentikan, dia ayahku, bangsat kau. Buatlah dia hidup. Ayah, tidak. Jangan, jangan, jangan. Dan bagaimana aku tidak bisa menahan diri, aku tidak bisa menahan diri. Rasanya seperti mereka sedang memukuliku, atau menarik seluruh jeroan-ku keluar dari lubang hidung, rasanya seperti mereka menjejaliku dengan kayu manis dan cengkeh, dan aku cuma berdiri di sana dengan mata kering di sebelah Ximena dan ibuku, Ximena di antara kami karena aku tidak akan membiarkan ibuku berdiri di sampingku. Semua orang mengulangi lagi dan lagi Ave Maria dan Padre Nuestro13. Pastor memercikkan air suci, mundo sin fin, amen14.

***

Drew, ingat waktu kau biasa memanggilku Malinalli15-mu? Itu sebuah lelucon, sebuah permainan antara kita saja, karena kau tampak seperti Cortez16 dengan jenggotmu itu. Kulit gelapku dibandingkan kulitmu. Indah, katamu. Kau bilang aku cantik, dan waktu kau bilang begitu, Drew, aku memang cantik.

Malinalliku, Malinche, kekasihku, katamu, lalu menarik kepanganku dan merengkuh kepalaku. Memanggilku dengan nama itu di antara tegukan kecil napas dan ciuman yang kau beri, tawa dari balik jenggot hitammu itu.

Sebelum fajar, kau akan pergi, sama seperti biasa, sebelum aku bahkan menyadarinya. Dan itu benar-benar seperti yang kubayangkan tentangmu, cuma bekas gigitanmu di perut dan putingku yang membuktikan kalau aku keliru.

Kulitmu pucat, tapi rambutmu lebih hitam daripada rambut seorang bajak laut. Malinalli, begitu kau memanggilku, ingat? Mi doradita. Aku suka setiap kali kau bicara kepadaku dalam bahasaku. Aku bisa mencintai diriku sendiri dan menganggap diriku layak untuk dicintai.

Anakmu. Apakah dia tahu berapa banyak yang sudah kulakukan demi kelahirannya? Aku adalah orang yang meyakinkanmu untuk membiarkannya lahir. Apakah kau katakan kepadanya, sementara ibunya berbaring telentang melahirkannya, aku berbaring di tempat tidur ibunya bercinta denganmu.

Kau bukan apa-apa tanpa aku. Aku menciptakanmu dari ludah dan debu merah. Dan aku bisa menghabisimu dengan jempol dan telunjukku kalau aku mau. Meledakkanmu sampai ke langit. Kau cuma sepercik noda cat yang kupilih untuk dilahirkan di atas kanvas bagiku. Dan waktu aku membuatmu, kau tidak lagi menjadi bagian dari ibumu, kau adalah milikku sepenuhnya. Lanskap tubuhmu kencang seperti kulit drum. Jantung di baliknya menyembunyikan ketukan demi ketukan. Tidak satu inci pun aku kembalikan.

Aku melukis dan melukismu lagi dengan cara yang kulihat paling sesuai, bahkan sekarang. Setelah sekian lama. Apakah kau tahu itu? Bocah bodoh. Kau pikir aku terseok-seok dengan hidupku, merintih dan merengek seperti gesekan gitar musik country waktu kau kembali padanya. Tapi aku sudah menunggu. Membuat dunia melihatmu dengan mataku. Dan kalau itu bukan kekuatan, lalu apa?

Setiap malam aku menyalakan semua lilin di rumah, untuk La Virgen de Guadalupe, untuk el Nifio Fidencio17, Don Pedrito Jararnillo18, Santo Nino de Atocha19, Nuestra Sefiora de San Juan de los Lagos20, dan terutama, Santa Lucia21 dengan matanya yang indah, di atas piring.

Matanya indah, katamu. Kau bilang itu adalah mata paling gelap yang pernah kaulihat dan mencium satu-satu seolah-olah keduanya bisa membuat keajaiban. Dan setelah kau pergi, aku ingin mencungkil keluar keduanya dengan sendok, menaruhnya di piring di bawah langit biru ini, untuk makanan burung gagak.

Anak itu, anakmu. Anak dengan wajah perempuan berambut merah istrimu. Anak laki-laki dengan bintik-bintik merah seperti makanan ikan yang mengambang di permukaan air di wajahnya. Anak laki-laki itu.

Aku sudah menunggu dengan sabar seperti laba-laba selama ini, sejak umurku sembilan belas dan dia baru sebuah ide yang melayang-layang di kepala ibunya, dan aku salah satu orang yang mengijinkan dan membuat hal itu terjadi, ya kan.

Karena ayahmu ingin meninggalkan ibumu dan hidup denganku. Ibumu merengek meminta anak, setidaknya begitu. Dan ayahmu terus berkata, Nanti, kita lihat, nanti. Tapi selama itu yang diinginkannya bersama adalah aku, aku, katanya.

Aku mau memberitahumu malam ini waktu kau datang untuk menemuiku. Waktu kau membual soal pakaian yang akan kau beli, dan apa yang kau suka waktu kau mulai masuk SMA dan seperti apa dirimu sekarang ketika kau hampir lulus. Dan bagaimana semua orang mengenalmu sebagai rocker, dan grup bandmu, dan gitar merah barumu yang baru saja kau dapat karena ibumu memberi pilihan, gitar atau mobil, tapi kau tidak butuh mobil, ya kan, karena aku sudah mengantarmu ke mana pun kau mau. Kau bisa saja jadi anakku seandainya kulitmu tidak begitu terang.

Ini terjadi. Dulu. Sebelum kau lahir. Waktu kau masih berupa ngengat di dalam hati ibumu, aku adalah mahasiswa ayahmu, ya, seperti dirimu yang jadi milikku sekarang. Dan ayahmu melukis dan melukis aku, karena katanya, aku adalah doradita-nya, keemasan dan terpanggang matahari sepenuhnya, dan itulah jenis perempuan yang disukainya, yang coklat seperti pasir sungai, ya. Dan dia membawaku ke bawah sayapnya dan tempat tidurnya, laki-laki itu, guru itu, ayahmu. Aku merasa terhormat dia sudah membantuku. Aku masih muda waktu itu.

Yang aku tahu aku sedang tidur dengan ayahmu di malam kau dilahirkan. Di ranjang yang sama tempatmu dikandung. Aku tidur dengan ayahmu dan tidak peduli tentang perempuan itu, ibumu. Kalau dia berkulit coklat sepertiku, hidupku mungkin bakal lebih sulit kujalani, tapi karena dia tidak berkulit coklat, aku tidak peduli. Aku sampai di sana lebih dulu, selalu. Aku selalu di sana, di cermin, di bawah kulitnya, di dalam darahnya, sebelum kau lahir. Dan dia berada di sini di hatiku sebelum aku bahkan mengenalnya. Mengerti? Ayahmu juga selalu di sini. Selalu. Larut seperti kembang sepatu, meledak seperti tali menjadi debu. Aku tidak peduli pada apa yang benar lagi. Aku tidak peduli dengan istrinya. Dia bukan kakakku.

Dan itu bukan yang terakhir kalinya aku tidur dengan seorang laki-laki di malam istrinya melahirkan. Mengapa aku melakukan itu, aku bertanya-tanya? Tidur dengan laki-laki ketika istrinya melahirkan kehidupan, dihisap oleh sesuatu yang matanya masih tertutup. Mengapa melakukan itu? Ini memberiku kegembiraan luar biasa karena bisa membunuh perempuan seperti itu, tanpa mereka sadari. Mengetahui bahwa aku sudah memiliki suami mereka ketika mereka terdampar di kamar berdinding biru rumah sakit, nyali mereka ditarik keluar, bayi mereka mengisap payudara mereka sementara suami mereka mengisap punyaku. Semua ini terjadi ketika bahkan jahitan di bokong mereka masih terasa pedih.

***

Satu kali, mabuk margarita, aku menelepon ayahmu jam empat pagi, membangunkan si perempuan jalang. Halo, ocehnya. Aku ingin bicara dengan Drew. Tunggu sebentar, katanya dengan logat bahasa Inggrisnya yang paling sopan. Sebentar. Aku menertawakan hal itu selama berminggu-minggu. Benar-benar betina bodoh memberikan telepon kepada cacing yang tertidur di sampingnya. Maaf, sayang, ini untukmu. Waktu Drew menggumamkan halo aku tertawa begitu keras sampai aku nyaris tak bisa bicara. Drew? Perempuan jalang goblok istrimu itu, kataku, dan cuma itu yang bisa kukatakan. Goblok goblok goblok. Tidak ada perempuan Meksiko yang akan berbuat seperti itu. Maaf, sayang. Itu membuatku terpingkal-pingkal.

***

Dia punya kulit yang sama, anak laki-laki itu. Semua urat biru pucat yang terlihat jelas seperti ibunya. Kulit yang mirip mawar di bulan Desember. Anak tampan. Duplikat kecil. Sedikit sel yang dibagi menjadi kau dan kau dan kau. Katakan padaku, sayang, bagian mana darimu yang berasal dari ibumu. Aku mencoba membayangkan bibir ibumu, rahangnya, kaki jenjangnya yang melilit ayahmu yang membawaku ke tempat tidurnya.

***

Ini terjadi. Aku tertidur. Atau berpura-pura begitu. Kau menatapku, Drew. Aku merasakan berat tubuhmu ketika kau duduk di sudut tempat tidur, berpakaian dan siap untuk pergi, tapi sekarang kau cuma melihatku tidur. Tidak ada. Tidak sepatah kata pun. Tidak satu ciuman pun. Cuma duduk. Kau memeriksaku. Kau pikir begitu?

Aku belum berhenti memimpikanmu. Apa kau tahu itu? Kau pikir itu aneh? Begitupun, aku tidak pernah mengatakannya. Aku menyimpannya untuk diriku sendiri seperti yang kulakukan dengan pikiranku tentangmu.

Setelah sekian lama.

Aku tidak ingin kau menatapku. Aku tidak ingin kau memeriksaku selagi aku tidur. Aku akan membuka mataku dan mengejutkanmu.

Itu dia. Apa yang sudah kukatakan? Drew? Apa itu! Tidak ada. Aku tahu kau akan bilang begitu.

Tidak usah bicara. Kita tidak ahli soal itu. Denganmu aku tidak pandai berkata-kata. Seolah-olah aku harus belajar bicara lagi, seolah-olah kata-kata yang kubutuhkan belum ditemukan. Kita ini pengecut. Kembali ke tempat tidur. Setidaknya di sana aku merasa aku memilikimu sedikit. Sejenak. Untuk merasakan nafasmu. Kau lepaskan. Kau merasa sakit dan menyentak. Kau merobek kulitku.

Kau nyaris bukan laki-laki tanpa pakaianmu. Bagaimana aku menjelaskannya? Kau begitu mirip anak-anak di tempat tidur. Bukan siapa-siapa kecuali seorang bocah besar yang butuh dipeluk. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Bajak lautku. Bocah rampingku.

Setelah sekian lama.

Aku tidak mengiranya, ya kan? Seorang Ganges, mata sang badai. Untuk sebentar saja. Ketika kita lupa diri, kau menarikku, aku melompat ke dalammu dan membelahmu seperti apel. Dibuka supaya orang bisa melihat dan tidak memberikan kembali. Sesuatu yang tadi mengeras sendiri mengendur. Tubuhmu tidak bisa berbohong. Dia tidak diam sepertimu.

Kau telanjang seperti mutiara. Kau sudah ditinggal kereta. Kau lembut, seperti hujan. Kalau aku menaruhmu di dalam mulutku kau akan mencair seperti salju.

Kau merasa malu karena telanjang. Lalu mundur. Tapi aku melihatmu apa adanya, waktu kau membuka diri untukku. Waktu kau begitu ceroboh dan membiarkan dirimu melakukannya. Aku menangkap deru nafas itu. Aku tidak gila.

Waktu kau tidur, kau menarikku ke arahmu. Kau mencariku dalam gelap. Aku tidak tidur. Setiap sel, setiap kelenjar, setiap saraf, siaga. Melihatmu mendesah dan berguling dan berbalik dan memelukku lebih dekat denganmu. Aku tidak tidur. Aku merengkuhmu waktu itu.

***

Ibumu? Cuma sekali. Bertahun-tahun setelah ayahmu dan aku berhenti bertemu. Di pameran seni. Pameran foto Eugene Atget22. Foto-foto itu, aku bisa menatapnya berjam-jam. Aku mengajak murid-muridku bersamaku.

Ayahmulah yang kulihat pertama. Dan di saat itu aku merasa semua orang di dalam ruangan itu, semua foto dengan nada sendu itu, murid-muridku, laki-laki dengan setelan bisnis, perempuan dengan sepatu jinjit, penjaga keamanan, semua orang, bisa melihatku apa adanya. Aku harus bergegas keluar, membawa murid-muridku ke galeri lain, tapi takdir sudah ditentukan bagimu.

Dia berhasil menyusul kami di tempat penitipan mantel, bergandengan tangan dengan boneka Barbie berambut merah dalam mantel bulu. Salah satu dari tipikal orang Dallas yang menakutkan, rambut dikuncir membentuk ekor kuda, muka mengkilap seperti perempuan di belakang konter kosmetik di Neiman. Itulah yang kuingat. Ibumu pasti bersamanya selama itu, hanya saja aku bersumpah aku tidak pernah melihatnya sampai saat itu.

Kau bisa melihat dari sedikit keraguannya, sedikit saja karena dia terlalu ramah untuk ragu, bahwa dia gugup. Kemudian dia berjalan ke arahku, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, cuma berdiri di sana bingung seperti binatang yang menyeberang jalan di malam hari dan sorot lampu membuat mereka terpesona.

Dan aku tidak tahu kenapa, tapi tiba-tiba aku melihat sepatuku dan merasa malu menyadari betapa lusuhnya sepatuku. Dan dia mendatangiku, sayangku, ayahmu, dengan caranya nyengir yang membuatku ingin menghajarnya, membuatku ingin bercinta dengannya, dan dia bicara dengan suara paling lembut yang pernah kau dengar, "Ah, Clemencia! Ini Megan." Tidak ada pengenalan yang lebih kejam dari ini. Ini adalah Megan. Cuma itu.

Aku tersenyum seperti anak idiot dan mengulurkan tanganku—“Halo, Megan”—dan tersenyum terlalu lebar seperti kalau kau tidak suka seseorang. Kemudian aku keluar dari sana, mengobrol seperti monyet sepanjang perjalanan dengan murid-muridku. Waktu aku sampai di rumah aku harus berbaring dengan waslap dingin di keningku dan TV yang menyala. Yang bisa kudengar cuma suara berdenyut di bawah kain lap di bagian dalam belakang mataku: Ini Megan.

Dan begitulah aku jatuh tertidur, dengan TV dan semua lampu di rumah menyala. Ketika aku bangun itu sepertinya jam tiga dini hari. Aku mematikan lampu dan TV dan pergi untuk mencari beberapa butir aspirin, dan kucing-kucing, yang tidur denganku di sofa, juga bangun dan mengikutiku ke kamar mandi seolah-olah mereka tahu apa yang terjadi. Dan kemudian mereka mengikutiku ke tempat tidur, tempat mereka tidak diperbolehkan, tapi kali ini aku membiarkan mereka, kutu dan semuanya.

***

Ini terjadi juga. Aku bersumpah aku tidak mengada-ada soal ini. Ini semua benar. Ini terakhir kalinya aku bersama ayahmu. Kami sudah sepakat. Semua untuk yang terbaik. Pastinya aku bisa mengerti, ya kan? Kebaikanku sendiri. Dukungan yang baik. Seorang gadis muda sepertiku. Seandainya aku tidak mengerti... tanggung jawab. Selain itu, dia tidak akan pernah bisa mengawiniku. Kau tidak berpikir...? Jangan pernah kawin dengan orang Meksiko. Jangan pernah kawin dengan orang Meksiko... Tidak, tentu saja tidak. Aku mengerti. Aku mengerti.

Kami punya rumah untuk kami nikmati selama beberapa hari, semua orang tahu. Kau dan ibumu pergi ke suatu tempat. Apa waktu itu Natal? Aku tidak ingat.

Aku ingat lampu dengan tutup alumunium dan kaca susu di atas meja makan. Aku mencatat segalanya di dalam kepalaku. Desain teratai Mesir di engsel pintu. Lorong sempit dan gelap tempat ayahmu dan aku bercinta satu kali. Bak mandi berkaki empat tempat dia mencuci rambutku dan membilasnya di mangkuk timah. Jendela ini. Konter itu. Kamar tidur dengan cahaya di pagi hari, sangat lembut, seperti cahaya pantulan dari uang logam yang dipoles.

Rumah itu bersih, seperti biasa, tidak sehelai pun rambut ada di sana, tidak ada serpihan ketombe atau handuk kusut. Bahkan mawar di meja ruang makan menahan napas mereka. Semacam kerapian yang menyesakkan yang selalu membuatku ingin bersin.

Kenapa aku begitu ingin tahu soal perempuan yang hidup bersamanya? Setiap kali aku ke kamar mandi, aku membuka lemari obat, melihat semua hal yang dipunyainya. Lipstik Estte Lauder-nya. Warna koral dan merah muda, tentu saja. Kuteksnya – ungu muda warna tua yang paling berani dia pakai. Bola kapas dan jepit rambut pirangnya. Sepasang sandal kulit domba warna putih tulang, sebersih seperti saat dia membelinya. Di kait pintu – jubah putih dengan label MADE IN ITALY, dan baju malam sutra dengan kancing mutiara. Aku menyentuhnya. Calidad. Kualitas.

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang kulakukan selanjutnya. Sementara ayahmu sibuk di dapur, aku kembali ke tempatku menaruh ransel, dan mengambil sekantong gummy bear yang kubawa kubeli tadi.. Dan sementara dia mengaduk-aduk panci, aku berkeliling rumah dan meninggalkan bekas permen karet di tempat yang aku yakin akan ditemukan ibumu. Satu di wadah lucite23 alat riasnya. Satu di dalam setiap botol kuteksnya. Aku memutar lipstik mahalnya sampai penuh dan menempelkan permen karet di ujungnya sebelum menatanya kembali. Aku bahkan menaruh gummy bear di dalam wadah diafragmanya24 tepat di tengah-tengah karetnya.

Kenapa bingung? Drew bisa disalahkan. Atau ayahmu bisa bilang kalau itu adalah ulah pembantu perempuan Meksiko dengan voodoonya. Aku tahu itu juga. Tidak apa-apa. Aku mendapat kepuasan yang aneh dengan berkeliling rumah meninggalkan bekas-bekas permen karet cuma supaya perempuan itu bisa melihatnya.

Dan begitu Drew berteriak, "Makan malam!" Aku melihatnya di meja. Salah satu boneka babushka kayu Drew yang dibawanya dari Rusia. Aku tahu. Dia membelikan satu yang persis seperti itu untukku.

Aku cuma melakukan yang harus kulakukan, membuka tutup boneka di dalam boneka di dalam boneka, hingga aku sampai ke pusatnya, boneka terkecil dari semua yang lain, dan ini kuganti dengan sebuah gummy bear. Dan kemudian aku menaruh boneka itu kembali, persis seperti ketika aku menemukannya, satu di dalam yang lain, di dalam yang lain. Kecuali yang paling kecil, yang kumasukkan ke dalam saku. Sepanjang makan malam aku terus memegangi saku jaket jeansku. Setiap kali aku menyentuhnya, aku merasa lebih baik.

Dalam perjalanan pulang, di jembatan di atas arroyo di Jalan Guadalupe, aku menghentikan mobil, menyalakan lampu hazard, keluar, dan membuang mainan kayu itu ke sungai berlumpur sungai tempat para pemabuk kencing dan tikus berenang. Mainan si boneka Barbie itu membusuk di tumpukan kotoran. Ini memberiku perasaan yang sama sekali lain dengan sebelumnya dan setelahnya.

Lalu aku pulang dan tidur seperti orang mati.

***

Pagi ini, aku membuat kopi untukku sendiri, susu untuk anak itu. Aku memikirkan perempuan itu, dan aku tidak bisa melihat kekasihku di anak ini, seolah-olah perempuan itu mengandungnya dan membuatnya bersih dari dosa25.

Aku tidur dengan anak ini, anak mereka. Membuatnya mencintaiku seperti aku mencintai ayahnya. Membuatnya menginginkanku, kelaparan, menggeliat ketika tidur, seolah-olah dia baru menelan gelas. Aku menaruhnya di mulutku. Ini, mi corazon. Anak laki-laki dengan paha kencang dan pantat kecil berbulu yang sedikit turun seperti ayahnya, dan itu kembali seperti sebuah valentine. Kemari, mi carinito. Datanglah pada mamita. Ini sedikit roti.

Aku tahu dari cara dia menatapku, aku sudah menguasainya. Kemari, burung pipit. Aku punya kesabaran tak berbatas. Datanglah pada mamita. Burung kecil bodohku. Aku tidak bergerak. Aku tidak mengejutkannya. Aku membiarkannya menggigit. Semua, semua untukmu. Menggosok perutnya. Membelainya. Sebelum aku menancapkan gigi-gigiku.

***

Apa yang ada di dalam diriku yang membuatku jadi gila jam 2:00 malam begini? Aku tidak bisa menyalahkan alkohol dalam darahku ketika dia tidak ada. Ini sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang meracuni darahku dan membunuhku ketika malam jatuh dan aku merasa seolah-olah langit runtuh di kepalaku.

Dan kalau aku membunuh seseorang di malam seperti ini? Dan kalau itu adalah aku yang membunuh diriku sendiri, aku akan bersalah karena masuk ke medan tempur, para pembaca yang tidak berdosa, tidakkah ini memalukan. Aku akan berjalan dengan punggungku dan kepala penuh bayangan ke perasaan bersalah tadi. Bunuh diri? Aku tidak bisa bilang. Aku tidak melihatnya.

Kecuali kalau bukan diriku sendiri yang ingin kubunuh. Ketika gravitasi sudah tepat, semuanya justru miring dan mengganggu keseimbangan yang terlihat. Dan saat itulah dia ingin keluar dari mataku. Itulah saat ketika aku mengangkat telepon, berbahaya seperti seorang teroris. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali membiarkannya datang.

Lalu. Apa yang kau pikirkan? Apa kau yakin sekarang kalau aku segila sekuntum tulip atau sebuah taksi? Seringan sebongkah awan?

Kadang-kadang langit begitu besar dan aku merasa begitu kecil di malam hari. Itulah masalahnya dengan menjadi awan. Langit begitu besar. Kenapa dia lebih buruk di malam hari, waktu aku begitu ingin bicara dan tidak ada bahasa yang bisa menampung kata-kataku? Cuma warna. Imaji. Dan kau tahu apa yang harus kukatakan tidak selalu menyenangkan.

Oh, cinta, itu dia. Aku sudah melakukannya. Apa gunanya? Baik atau buruk, aku sudah melakukan apa yang harus dan perlu kulakukan. Dan kau menjawab telepon, dan mengagetkanku seperti burung. Dan sekarang kau mungkin memaki-maki dan kembali tidur, dengan istri di sampingmu, hangat, memancarkan kehangatannya sendiri, hidup di balik pakaiannya dan turun dan berbau sedikit seperti susu dan krim tangan, dan bau itu akrab dan menyenangkanmu, oh.

Orang-orang melewatiku di jalan, dan aku ingin meraih dan memetik mereka seolah-olah mereka adalah gitar. Kadang-kadang segala hal tentang kemanusiaan ini menyergapku dengan keindahannya. Aku cuma ingin meraih dan membelai seseorang, dan mengatakan Itu dia, itu dia, itu dia, sayang. Itu dia, itu dia, itu dia.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Sandra Cisneros yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Masa krisis: Depresi Besar tahun 1930-an menghantam imigran Meksiko begitu keras. Seiring dengan krisis pekerjaan dan kekurangan pangan yang mempengaruhi semua pekerja Amerika, orang Meksiko dan Meksiko Amerika harus menghadapi ancaman tambahan: deportasi. Pengangguran menyapu AS, permusuhan terhadap pekerja imigran tumbuh, dan pemerintah memulai program pemulangan imigran ke Meksiko. Para imigran ditawarkan perjalanan kereta api gratis ke Meksiko, dan sebagian pergi secara sukarela, tapi banyak yang ditipu atau dipaksa pulang, dan beberapa warga Amerika sendiri dideportasi hanya karena dicurigai sebagai orang Meksiko. Ratusan ribu imigran Meksiko, terutama buruh tani, yang dikirim ke luar negeri selama tahun 1930-an -- banyak dari mereka adalah pekerja yang sama yang direkrut satu dekade sebelumnya.

2 Kacang pinto: phaseolus vulgaris.

3 Fanfarron: orang yang sombong, banyak bicara, pembual (Spanyol).

4 Frida: Frida Kahlo de Rivera (1907 –1954), seorang pelukis perempuan Meksiko, menikah dengan seniman terkanal Meksiko lainnya, Diego Rivera. Frida sangat dikenal karena lukisan-lukisan potret dirinya sendiri, katanya suatu kali, “Aku melukis diriku sendiri karena aku terlalu sering sendiri dan karena aku adalah subyek yang paling kukenal.”

5 Tina: Tina Modotti (1896 –1942), seorang fotografer, model, aktris, dan aktivis Komintern. Hubungan menarik antara Frida, Tina, dan Diego Rivera adalah kenyataan bahwa perkawinan Diego dengan Lupe Marin (istri kedua Diego setelah Frida meninggal) bubar karena perselingkuhannya dengan Tina. Tina juga sering jadi model lukisan Diego, mungkin cerita pendek Sandra Cisneros ini diilhami oleh kisah Tina—Diego.

6 Casasola: Agustín Víctor Casasola (1874–1928), seorang fotografer Meksiko dan salah satu pendiri Mexican Association of Press Photographers, bekerja di harian El Imparcial dan ketika El Imparcial akhirnya tutup pada tahun 1917, Casasola mengumpulkan arsip dari koran tersebut yang sebagian besar teridir dari foto yang kemudian dikenal sebagai "Album histórico gráfico" yang sebagian besar merekam Revolusi Meksiko.

7 Barrio: lingkungan.

8 Sesame Street: serial televisi anak-anak di Amerika ciptaan Joan Ganz Cooney dan Lloyd Morrisett; pertama kali ditayangkan di televisi pada tanggal 10 November 1969.

9 Our Lady of Guadalupe: juga dikenal dengan nama Virgin of Guadalupe; adalah julukan untuk Bunda Maria yang dihubungkan dengan perayaan di bangunan Basilica of Our Lady of Guadalupe di Meksiko City yang merupakan tempat ziarah yang paling banyak dikunjungi umat Katolik di dunia; tempat suci ketiga di dunia yang paling banyak dikunjungi.

10 Stacy: bahasa slang untuk keren, memesona.

11 Water under the dam: malafora (metafora campuran) dari water over the dam dan water under the bridge yang sama-sama berarti suatu perbuatan atau kejadian buruk yang sudah dilakukan atau terjadi.

12 Mija: bahasa slang; singkatan dari mi hija: anak perempuanku.

13 Padre Nuestro: doa Bapa Kami.

14 Mundo sin fin, amen: untuk selama-lamanya, amin (Spanyol).

15 Malinalli: La Malinche, juga dikenal dengan nama Malintzin atau Dona Marina, adalah seorang perempuan dari suku Nahua, salah satu dari 20 perempuan yang diserahkan oleh suku Tabasco kepada orang Spanyol sebagai hadiah pada tahun 1519, kemudian menjadi penerjemah, penasihat, perantara, sekaligus istri Hernan Cortes yang memberinya seorang putra bernama Martin yang dianggap sebagai Mestizos (keturunan campuran bangsa Eropa dengan Amerika) pertama.

16 Cortes: Hernan Cortes de Monroy y Pizarro (1485-1547), petualang asal Spanyol yang memimpin ekspedisi yang menyebabkan keruntuhan kekaisaran Astec dan menjadikan sebagian besar Meksiko berada di bawah kepemimpinan Raja Castile di awal abad ke-16.

17 El Nifio Fidencio: El Nino Fidencio (1898-1938), curandero (dukun) terkenal Meksiko dengan nama asli Jose de Jesus Fidencio Constantino Sintora, hari ini diabadikan sebagai nama gereja di Gereja Kristen Fidencista; gereja Katolik tidak mengakuinya sebagai santo, tapi pengaruhnya begitu luas di utara Meksiko sampai barat daya Amerika, sehingga dianggap sebagai 'santo rakyat'.

18 Don Pedro Jaramillo: curandero dan 'santo rakyat' dari selatan Texas, dikenal sebagai 'penyembuh dari sungai Los Olmos' dan 'el mero jefe' (pemimpin) para curandero.

19 Santo Nino de Atocha: Holy Child of Atocha adalah imej kanak-kanak Yesus dalam tradisi Katolik yang terkenal dalam kebudayaan hispanik seperti Spanyol, Amerika Latin, dan barat daya Amerika.

20 Nuestra Sefiora de San Juan de los Lagos: Our Lady of San Juan de los Lagos adalah patung dan obyek ziarah terkenal yang berada di Jalisco; sejarah tempat suci ini berawal ketika pada tahun 1543 Pastor Miguel de Bologna, seorang pastor Spanyol, membawa patung Perawan Immaculata ke daerah yang bernama San Juan Mezquititlan Baptist tapi diganti menjadi San Juan de Los Lagos di tahun1623, menurut legenda lokal, pada tahun yang sama anak perempuan seorang petani jatuh sakit lalu orang tuanya berdoa, dan putrinya --secara ajaib-- sembuh; sejak itulah patung ini mulai dihormati.

21 Santa Lucia: Lucia of Syracuse (283–304), seorang martir Kristen yang mati selama masa penyiksaan diocletianic; dia adalah satu dari delapan perempuan, bersama Bunda Maria, yang diperingati di dalam misa; hari rayanya, yang dikenal sebagai Saint Lucy's Day, dirayakan di Barat setiap tanggal 13 Desember.

22 Eugene Atget: Eugene Atget (1857–1927), seorang pionir fotografi dokumenter, dicatat untuk kegigihannya mendokumentasikan semua jalan dan arsitektur di Paris sebelum lenyap ditelan modernisasi.

23 Lucite: nama dagang untuk acrylic.

24 Diafragma: lateks atau silikon lembut alat kontrasepsi yang bekerja dengan cara menutup dinding vagina.

25 Immaculate Conception: menurut ajaran gereja Katolik, ini adalah konsep dibebaskannya Perawan Maria di dalam rahim ibunya, Santa Anna, dari dosa asal karena nubuat bahwa dia akan mengandung Yesus sehingga jiwanya dibuat bersih (immaculata); konsep ini sering disalahpahami sebagai konsep kelahiran Yesus dari Perawan Maria, untuk yang satu ini dia dikenal dengan sebutan Inkarnasi.

Comments

Populer