Gila
Keliat Wattampone merasa seseorang ingin keluar dari tubuhnya. Entah
siapa. Keliat Wattampone tidak berani berandai-andai bahwa orang itu adalah
dirinya sendiri. Kalau begitu, Keliat Wattampone pasti mati saat dirinya keluar
dari tubuhnya. Yang paling menakutkan Keliat Wattampone adalah keinginan orang itu.
Orang itu ingin menembus waktu, kembali ke masa lalu, dan melakukan halhal yang
berbeda dengan yang sudah dilakukan Keliat Wattampone.
Malam ini akan menjadi malam yang sama sekali lain, baik buat Amri
Tadjudin maupun Keliat Wattampone. Keliat Wattampone yang gelisah dengan orang yang
ingin keluar dari tubuhnya memutuskan untuk pergi ke taman. Di taman, Keliat Wattampone
berharap bisa meredam keinginan
orang yang ingin
keluar dari tubuhnya. Siapa pun dia. Sementara Amri Tadjudin juga sedang
resah. Kunang-kunang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Amri Tadjudin mulai
berdiri dan berjalan mondar mandir di sekitar bangku taman yang tadi
didudukinya.
Keliat Wattampone mencari-cari bangku yang kosong. Tidak gampang, karena
hampir semua bangku taman ditempati anak-anak muda yang sedang pacaran.
Sepasang-sepasang. Keliat Wattampone tidak berani duduk di dekat salah satu
pasangan itu. Keliat Wattampone takut orang yang ingin keluar dari tubuhnya
benar-benar keluar dan memperkosa perempuan yang ada di dekatnya. Seandainya
begitu, akan sangat merepotkan menjelaskan kepada pasangan mereka kalau bukan Keliat
Wattampone yang memperkosa pasangannya.
Salah satu bangku terlihat kosong. Ada seseorang yang sedang mondar mandir
di dekatnya, Amri Tadjudin. Tapi Amri Tadjudin tidak sedang duduk di sana. Kalaupun
Amri Tadjudin duduk di sana, setidaknya Amri Tadjudin tidak membawa pasangannya.
Amri Tadjudin tidak sedang pacaran. Cepat saja Keliat Wattampone sampai di
bangku itu lalu duduk. Keliat Wattampone berusaha untuk tenang, meredam keinginan
orang di dalam tubuhnya. Keliat Wattampone memejamkan mata.
Amri Tadjudin heran ada orang yang duduk di bangku tamannya. Bangku taman
ini milik umum, siapa saja boleh duduk, tapi hampir setiap malam Amri Tadjudin
duduk di sana dan selama ini belum pernah ada orang duduk di dekatnya. Amri
Tadjudin melihat Keliat Wattampone memejamkan mata. Mungkin tidur. Amri
Tadjudin tidak ingin mengganggu Keliat Wattampone, tapi Amri Tadjudin tidak
bisa pindah ke bangku taman lain, selain sudah dipenuhi anak-anak muda yang
sedang pacaran, Amri Tadjudin selalu bertemu dengan kunang-kunang yang ditunggunya di sini. Di bangku taman ini.
Maka Amri Tadjudin duduk. Keliat Wattampone masih memejamkan mata. Amri
Tadjudin tak tahu harus bagaimana. Amri Tadjudin ikut memejamkan mata. Dibukanya
lagi. Kalau Amri Tadjudin memejamkan mata, maka dia tidak bisa melihat
kunang-kunang datang. Amri Tadjudin semakin resah. Akhirnya Amri Tadjudin
membuat keputusan. Amri Tadjudin akan mengajak Keliat Wattampone bicara.
“Aku Amri Tadjudin, siapakah namamu, hai kawan yang memejamkan mata?”
Keliat Wattampone membuka mata. Amri Tadjudin yang tadi berjalan mondar
mandir sekarang sudah duduk. Amri Tadjudin tidak melihat ke arah Keliat Wattampone,
tapi di sini tidak ada orang lain, maka Keliat Wattampone mengambil kesimpulan
bahwa Amri Tadjudin adalah Amri Tadjudin yang tadi memperkenalkan diri.
“Aku Keliat Wattampone. Baik sekali dirimu mau mengajakku bicara, hai Amri
Tadjudin.”
Keliat Wattampone juga tidak melihat ke arah Amri Tadjudin ketika bicara.
Malah, Keliat Wattampone kembali memejamkan mata sekarang. Amri Tadjudin ikut
memejamkan mata. Dibukanya lagi. Amri Tadjudin takut kunang-kunang datang dan
dia tidak bisa melihat mereka kalau memejamkan mata. Amri Tadjudin mulai
merangkai kalimat-kalimat lain untuk membuka mata Keliat Wattampone. Amri
Tadjudin mulai merasa seperti Abu Nawas yang membuka gua penyamun dengan kalimat
ajaibnya.
Seorang pedagang asongan lewat di depan Amri Tadjudin dan Keliat
Wattampone. Namanya tidak penting karena pedagang asongan itupun hanya akan satu
kali tampil, sekarang, ketika Amri Tadjudin sedang merangkai beberapa kalimat.
Yang penting dari pedagang asongan itu adalah beberapa bungkus rokok yang
dibawanya. Amri Tadjudin membuat pedagang asongan itu penting dengan menghentikannya
dan membeli beberapa batang rokok. Eceran.
Ketika Amri Tadjudin kembali ke bangku taman tempatnya duduk tadi, Keliat
Wattampone masih ada di sana, masih duduk, tapi kali ini membuka mata.
“Rokok?” Amri Tadjudin menawarkan rokoknya.
Keliat Wattampone sebenarnya tidak merokok, tapi rokok yang ditawarkan Amri
Tadjudin diterimanya saja. Mungkin Keliat Wattampone berpikir kalau rokok bisa meredam
keinginan orang yang ingin keluar dari tubuhnya. Atau bisa jadi Keliat
Wattampone yang menerima rokok Amri Tadjudin tadi adalah orang lain yang sudah keluar
dari tubuh Keliat Wattampone dan melakukan hal-hal yang berbeda dengan
keinginan Keliat Wattampone. Bahkan Keliat Wattampone mulai bicara dengan Amri Tadjudin.
“Apa yang kaulakukan di sini, Amri Tadjudin, di taman ini, di bangku taman
ini?”
“Aku sedang menunggu kunang-kunang, Keliat Wattampone.”
“Kau seperti anak-anak, Amri Tadjudin. Apa yang kaulakukan dengan kunang-kunang
itu, menikmati cahaya yang mereka keluarkan, atau justru mengejarnya ke sana ke
mari?”
“Aku bicara dengan mereka, Keliat Wattampone. Untuk urusan bicara,
anak-anak dan kita, tidak ada bedanya.”
“Tentu ada bedanya, Amri Tadjudin. Anak-anak tidak bisa berhenti bicara, sementara
kita tidak bisa bicara walaupun sudah berhenti.”
“Bwahahahahaha...,” Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone tertawa bersamaan.
Anak-anak muda yang sedang pacaran di taman ini mengalihkan pandangannya
ke arah Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone. Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone
memang tertawa keras sekali. Tapi sebentar saja. Anak-anak muda itu kembali
asik dengan pasangannya masing-masing dan tenggelam dalam suara-suara yang lirih,
bujuk rayu yang kering, tanpa nada, tanpa tawa. Gombal.
“Tapi apa yang kalian bicarakan, kau, Amri Tadjudin, dengan kunang-kunang
itu?”
“Banyak, banyak sekali, Keliat Wattampone. Kunang-kunang itu bukan
diriku, sementara aku juga bukan mereka. Kami ingin tahu satu sama lain, maka kami
menceritakan tentang diri kami sendiri, setiap pikiran, setiap perjumpaan, setiap
langkah, segala sesuatu tentang diri kami sendiri.”
“Kupikir, Amri Tadjudin, sekarang kau pasti ingin jadi kunang-kunang,
sementara kunang-kunang itu ingin jadi dirimu, bukan begitu?”
“Tidak sepenuhnya keliru, Keliat Wattampone. Aku memang ingin jadi
kunang-kunang, tapi mereka tidak mau jadi aku. Yang lebih buruk, mereka tidak mau
menerimaku seandainya benar aku jadi kunang-kunang.”
“Bwahahahahaha...,” kembali Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone tertawa bersamaan.
Anak-anak muda yang sedang pacaran di taman ini kembali mengalihkan pandangannya
ke arah Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone. Beberapa laki-laki mendengus.
Gombal-gombal mereka sepertinya dirusak oleh tawa Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone.
Tapi, baik Amri Tadjudin maupun Keliat Wattampone tak peduli.
“Kau sendiri, Keliat Wattampone, apa yang kaulakukan di sini?”
“Aku ingin lari, Amri Tadjudin. Lari dari diriku sendiri.”
“Kalau begitu, Keliat Wattampone, bukankah seharusnya kautinggalkan
dirimu? Kau tidak bisa lari dari dirimu sendiri kalau dirimu masih kaubawa
kemanamana. Dirimu akan berlari sama kencangnya dengan kau, Keliat Wattampone.”
“Tapi seseorang ingin keluar dari tubuhku, Amri Tadjudin. Kalau diriku
kutinggalkan, maka orang itu bisa keluar dengan mudah. Itu tidak boleh terjadi.”
“Apa yang kautakutkan, Keliat Wattampone, seandainya benar orang itu
keluar?”
“Orang itu bisa merusak nama baikku, Amri Tadjudin. Dia bisa melakukan banyak
hal tanpa sepengetahuanku. Bahkan aku tak berani membayangkan kalau dia keluar lalu
memperkenalkan diri sebagai Keliat Wattampone. Tentu aku tidak bisa mengaku sebagai Amri Tadjudin, bukan?”
“Kalau begitu, Keliat Wattampone, kau harus membuat Keliat Wattampone berseri.
Keliat Wattampone Satu dan Keliat Wattampone Dua.”
“Baiklah kalau kau memaksa, Amri Tadjudin, tapi ada satu masalah lagi,
aku belum siap jadi ibu.”
“Bwahahahahaha...,” lagi-lagi Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone tertawa
bersamaan.
Malam itu akhirnya tidak ada kunang-kunang yang datang. Anak-anak muda masih pacaran di bangku-bangku taman. Sepasang-sepasang. Tapi, baik Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone akhirnya menemukan. Amri Tadjudin menemukan kunang-kunang yang ditunggunya: Keliat Wattampone. Sementara Keliat Wattampone menemukan orang yang ingin keluar dari tubuhnya: Amri Tadjudin.
Amri Tadjudin dan Keliat Wattampone sekarang tidak sendiri, mereka sekarang berdua, dan dua-duanya: GILA.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment