Laki-Laki Yang Digantung (The Hanged Man ~ Edward Bryant)
“Ya,”
kataku, “demi Tuhan.”
Rockaway
belum terlalu mabuk untuk tidak bisa menikmati sindiran yang bagus. "Kau terlalu
banyak membaca Poe1, dasar sastrawan bajingan tidak berperasaan.
Apa, tidak ada roti panggang Amontillado untuk adegan kematian2?"
"Sherry3
pucat tidak cocok," kataku. "Mungkin yang lebih kaya rasa dan
berwarna sanguin4." Dia tidak menjawab dan kami tetap diam.
Bosan, aku mengulurkan tangan untuk mendorong wajahnya yang terbalik dengan pelan.
Rockaway mencoba menggigit jariku. Aku menempelkan ujung jariku ke dahinya dan
mendorongnya menjauh. Sesaat kemudian tubuhnya terayun kembali dan aku
mendorong lagi. Ini permainan yang bagus. Ujung tali yang lain diikatkan ke
dahan sekitar tiga meter di atas batang pohon. Setiap kali tubuh Rockaway
berayun, dahan pohon kapas itu berderit.
"Hentikan,"
kata Rockaway. "Aku mulai mual."
"Kurasa."
“Kau
rasa apa.”
"Kurasa
aku akan berhenti," kataku. "Aku mulai bosan lagi."
“Coba
variasi yang lain.”
Aku
terkejut sekaligus senang dengan sikapnya yang tenang. Sambil memegang
kepalanya di kedua telinganya, aku mulai mengayunkan Rockaway dalam lingkaran. Laki-laki
itu tertawa. "Sudah kubilang," katanya, lalu mulai muntah. Aku
melompat mundur dan menghindari hal terburuk. Tapi, sesuatu yang basah dan
berbau sosis baru mendarat di lengan bajuku dan aku harus mengikisnya dengan
ranting pohon kapas yang sudah mati.
Rockaway
muntah-muntah dan pandangannya menjadi aneh. Dia meludah ke tanah dan
mengerang. Matanya terpejam rapat. Aku berjongkok di tempat teduh dan menunggu
sementara tubuhnya melambat dan berhenti.
Akhirnya
dia membuka matanya dan menatapku. "Kau gila."
"Mungkin,"
aku mengakui, "tapi setidaknya aku duduk di sini, di tempat teduh. Di sana
kau berayun-ayun dengan mata kakimu, menunggu gagak datang mematuk
matamu."
"Tidak
ada burung gagak," kata Rockaway sabar. "Kami sudah memakan
semuanya."
"Baiklah,
burung shrike," kataku. "Burung jagal."
“Owen,
ada sifat abnormal yang kuat di dalam dirimu.”
Aku
mengabaikannya. "Burung shrike adalah teman bermainku waktu aku berumur
sekitar sepuluh tahun. Kami tinggal di peternakan di utara Tucson dan
burung-burung itu akan terbang dari Kanada selama musim dingin."
“Apakah
itu sebelum adikmu terbunuh?” tanya Rockaway.
"Burung-burung
hitam kelabu yang menjijikkan," kataku, "dengan paruh bengkok yang
selalu tampak siap menyergap mata yang lengah. Salah satunya bersarang di pohon
dekat lumbung dan aku menghabiskan banyak waktu mengamatinya berburu. Kau tahu
bagaimana burung shrike menyiapkan makanannya?"
Rockaway
menguap kesakitan dan darah mengalir ke kumisnya yang tebal.
"Suatu
hari burung itu membawa seekor tikus sawah," lanjutku, "masih hidup.
Burung shrike itu menusukkannya ke duri pagar kawat paling atas. Tikus itu
tergantung dengan duri yang menusuk lipatan kulitnya yang kendur. Dia meronta-ronta
lemah. Matanya gelap dan lembap, terbuka lebar. Burung shrike itu mematuknya;
lalu terbang entah ke mana. Aku menunggu dan memperhatikan tikus itu. Tikus itu
mencoba mengikutiku dengan bekas matanya yang berdarah. Burung shrike itu segera
kembali dan mulai mencabik-cabik tikus itu. Aku memperhatikan hingga hanya
tersisa sehelai bulu abu-abu di duri pagar dan beberapa isi perut yang jatuh di
tanah di bawahnya.”
“Jadi
apa intinya?” kata Rockaway.
"Burung
shrike itu kejam," kataku, "tapi kicauannya indah. Tahukah kau kalau
aku bisa bernyanyi?"
Rockaway
menggeleng pelan. "Kau memang suka mendramatisir."
"Mau
dengar pilihan lagunya? Harus a cappella5."
“Owen,
jangan berlebihan.”
Dari
tempatku berjongkok, mata Rockaway sejajar dengan mataku. Sudah lama aku iri
pada matanya. Matanya biru dan khas Islandia, selalu terbuka dan apa adanya.
Aku menyadari sesuatu yang aneh. "Kumismu terkulai ke arah yang
salah," kataku.
"Darah
membuat ujung-ujungnya berat. Sebentar lagi aku akan membuat pola Pollock6
di tanah."
Sesudah
beberapa saat, Rockaway berkata, "Aku hampir tidak bisa mendengarmu.
Suaramu tenggelam di laut."
"Laut?"
“Suara
ombak yang menghancurkan istana pasir.”
"Itu
adalah darah yang mengalir deras di telingamu," kataku. "Pernahkah
kau mendengarkan suara laut dari dalam cangkang kerang?"
“Aku
tidak pernah tinggal sedekat itu dengan pantai.”
"Aku
juga tidak," kataku, "tapi suatu kali orang tuaku mengajak kami ke
pantai. Aku dan adikku. Kami menyeberangi perbatasan dan menyusuri Rio de la
Concepcion ke Desemboque di Teluk. Itu cuma perjalanan akhir pekan, tapi aku
belum pernah melihat air sebanyak itu sebelumnya."
“Di
situkah kau dapatkan kerangmu?” tanya Rockaway.
"Akhirnya.
Itu sesudah malam kedua ketika adikku jatuh dari dermaga. Hari sudah gelap dan
kami sedang bermain sementara orang tuaku menghabiskan kerang dan remis mereka
di restoran."
"Kecelakaan?"
Aku
mengangkat bahu. "Kau bermain, kau bersemangat, mungkin kau terlalu
memaksakan diri. Itu biasa terjadi. Serahkan analisisnya pada orang
dewasa."
“Dan
kerangmu?”
“Besoknya.
Aku membelinya dari seorang anak laki-laki di pantai. Bertahun-tahun kemudian,
aku menutup pintu kamarku dan menempelkan cangkang itu ke telingaku. Sesekali
aku mendengar adikku tertawa di dalam cangkang itu, mengeluarkan suara-suara
menggelembung yang tidak senonoh.
"Laut,"
kata Rockaway dengan penuh harap. "Sekarang lihat di mana kita
berada."
"Ya,"
kataku, "lihat." Aku memutarnya pelan agar dia bisa berputar
sepenuhnya. Tidak banyak yang bisa dilihat. Sesudah beberapa meter, rerumputan
tipis berhenti dan tanah menjadi berkapur. Dataran itu membentang hingga
cakrawala yang tajam dan langit biru tanpa cela. Alam semesta sepertinya sudah
tidak punya apa-apa lagi.
“Aku
rasa tidak ada laut di luar sana,” kata Rockaway dengan sedih.
"Bahkan
tidak sampai di cakrawala," aku setuju. "Dunia ini terbatas."
Rockaway
berhenti berputar. Dia kembali menghadapku. "Siapa yang menentukan
batasnya?"
Aku
tidak yakin. "Giliran siapa yang menjadi Tuhan?"
"Sekarang
kita punya sesuatu," katanya.
“Aku akan gila kalau menganggap diriku Tuhan.”
“Belum tentu,” kata Rockaway.
“Aku pasti gila kalau menganggap kau adalah Tuhan.”
"Mungkin."
“Satu
sifat yang selalu aku kagumi,” kataku, “adalah keputusanmu untuk langsung
menjawab.”
"Kau
malas," kata Rockaway. "Kurasa kau seorang obskurantis7.
Cari tahu sendiri jawabannya."
"Kalau
begitu aku gila. Itu yang paling gampang." Aku menunggu argumen; tidak ada
yang muncul. "Yah, memangnya aku tidak gila?" Laki-laki yang tergantung
itu diam saja. "Jangan merajuk, Rockaway." Dia diam saja. Darah mulai
menetes dari ujung kumisnya yang meruncing ke bawah.
Tidak
satu pun dari kami berbicara selama yang kuperkirakan berlangsung satu jam. Aku
merasa kesepian. "Rockaway—" aku memulai. Sesuatu berdengung dari
balik pohon; seekor lalat besar terbang berputar malas ke arah wajahku.
Biru-hitam dan berkilau, serangga itu hinggap di pergelangan tanganku dan mulai
menggesekkan kaki depannya. Aku menangkupkan tanganku yang lain dan
perlahan-lahan mengarahkannya ke atas dan ke belakang lalat itu. Lalat itu
melihat bayangan itu, tentu saja, dan menghilang ketika telapak tanganku menghantam.
Dengungan
itu berhenti dan kulihat lalat itu hinggap di hidung Rockaway yang terbalik.
Aku diam-diam mengangkat tanganku, tapi lalat itu menghilang di balik rambut
salah satu lubang hidungnya yang menganga. Aku menunggu dengan sabar, tapi
penjelajah gua itu tidak muncul kembali. Sementara itu, Rockaway bahkan tidak
bergerak sedikit pun.
Aku
bertahan selama satu jam lagi dalam keheningan Rockaway sebelum memutuskan
untuk melanjutkan separuh dialogku sendirian. "Meski aku tidak terbiasa
berbicara solipsistik8..." Hal itu membuatku begitu tertekan
hingga aku kembali diam untuk beberapa saat lagi. Lalu, "Rockaway,
Rockaway, apa aku gila?" berulang-ulang. Suaranya terdengar bernada,
hampir seperti nyanyian.
"Sialan,
ya? Aku ingin jawaban terakhir."
Di
atas tanah, bayangan merah tua berkumpul.
“Rockaway
yang malang, diam saja tidak akan menyelamatkanmu. Aku akan mendapatkan
jawabanmu. Waktu kecil, apa kau pernah bermain dengan bandul ajaib? Ingat?
Pegang sebuah benda pada seutas tali di atas sebuah titik yang digambar dengan
pensil. Fokuslah pada pertanyaannya. Kalau jawabannya ya, bandul itu akan mulai
bergerak maju mundur dalam busur sederhana. Kalau jawabannya tidak, bandul itu
akan bergerak melingkari titik itu. Sekarang kaulah bandul ajaibnya, Rockaway.
Dan kegilaanku adalah pertanyaannya.”
Akhirnya
aku menjadi tidak sabar. Aku tidak bisa mendeteksi gerakan apa pun, baik maju-mundur
maupun melingkar. Bosan menunggu, aku bernyanyi sendiri. Awalnya lagu-lagu itu
kudengar di radio. Lalu aku menyanyikan lagu-lagu masa kecil, yang diajarkan
ibuku.
“Seorang
anak dengan kepala labu raksasa,
Kuncir
abu-abu dan kumis merah muda,”
Aku
menduga hari sudah berlalu. Matahari tidak bersinar, tapi langit sesekali menjadi
gelap.
“Apa
perlunya mengatakan betapa kita menolaknya?
Demi
Tuhan, tenggelamkan saja atau bakar saja!”
Ibuku
punya kecintaan yang salah tempat terhadap terjemahan yang buruk dari penyair
Jerman yang bagus, seperti Heine9. Dia juga menyukai Baudelaire10.
Bukankah
sudah kubilang, aku bernyanyi dengan bagus?
Aku
memejamkan mata dan menjelajahi wajah Rockaway dengan ujung jariku. Apa yang
kurasakan sama sekali berbeda dengan apa yang kubayangkan ketika mataku
terbuka. Kulitnya tegang, menggelembung karena cairan. Aku mendekat begitu
dekat, pipiku menyentuh lembut janggut tipis di dagunya. Lidahku mengatakan
bahwa mata kanannya terbuka.
Dengan
kelembutan yang luar biasa, kubiarkan bibirku menangkup rongga matanya. Kugigit
membran di antara gigi taring dan salah satu gigi bawahku. Cairan itu muncrat
ke dalam mulutku. Cairan itu terasa asin dan licin di lidahku. Kuhisap hingga tidak
ada lagi yang bisa kuambil dengan cara itu; lalu berharap ada sendok.
Melihat
dia bergelantungan: Rockaway, daging beku yang terayun-ayun di kail. Kau tentu
tidak ingin menggantung mantelmu di kail seperti itu; ujung yang dipoles bisa
merobek kainnya. Persis seperti saat kail itu menusuk dagingnya. (Bayangkan?
Kail itu masuk tepat di bawah tulang belikat, rasa sakitnya segera reda karena
guncangan. Impuls kinestetik dari pergerakan kail adalah tekanan saat
logam meluncur di antara tendon dan ligamen, serta di sepanjang tulang.
Ujungnya keluar di bawah tulang selangka. Lukanya berwarna kebiruan dan
berkerut.) Berat badannya ditopang secara tidak merata, jadi cara
bergelantungan seperti itu sangat tidak nyaman.
"Ambilkan
aku sesuatu untuk berdiri," kata Rockaway. "Tolong." Jari-jari
kakinya mungkin kurang dari empat inci untuk menyentuh lantai semen.
Dengan
kesal aku mendongak dari bukuku. "Kau keberatan? Aku sedang membaca
Thevenot11. Dengar: 'Ada pohon apel di tepi Laut Mati yang berbuah lebat, tapi di dalamnya penuh abu12.'"
"Kau
penuh omong kosong."
"Kesal,"
kataku lembut. "Aku tidak pernah melihatnya di dalam dirimu."
"Ini
sakit, bukan kesal. Aku bisa merasakan otot-ototku menegang."
“Yah,
tidak ada tempat untukmu berdiri.”
“Buku
itu.”
"Aku
sedang membacanya."
"Beri
aku waktu istirahat."
"Tidak
ada jeda," kataku. "Apa itu?"
Gigi
Rockaway bergemeletuk. "Aku tidak bisa menahannya," katanya.
"Aku kedinginan."
“Kau
bisa membakar empat puluh kalori per jam, sambil menggigil.”
"Apa
aku peduli?" Dia mencoba mengangkat bahu dan wajahnya berubah.
"Mungkin
tidak. Aku sama sekali tidak peduli." Aku tidak mengalihkan pandangan dari
halaman itu.
Sebuah
desahan. "Kau tidak pernah peduli."
Aku
menutup buku itu. Aku berdiri dan menghadap Rockaway, sedikit memiringkan
daguku agar bisa menatap matanya. "Diam!"
"Ada
apa, Owen? Terlalu sensitif untuk hal-hal yang biasa saja?" Sudut-sudut
mulutnya terangkat membentuk senyum mengerikan.
Aku
berbalik dan menatap dinding di dekatnya. Air dingin menetes di batu sejangkauan
tangan. Kutulis inisialku dalam gulungan basah. Lalu kusentuhkan ujung jariku
ke dahi dan merasakan kesejukan itu menembus sekilas. Sel tertutup yang kecil
itu terasa lembap dan dingin, tapi aku demam. Apinya sudah berkobar tidak
terkira. Dari mana datangnya bahan bakar, dan ke mana perginya bara api?
“Aku
melihatmu di cermin,” kata Rockaway.
Tanpa
menoleh, "Secara nyata?"
"Di
cerminku. Kau mirip sekali dengan kakakmu."
"Begitulah
kata bibi dan pamanku. Aku tidak akan pernah bisa melihatnya."
“Di
atas mata kirimu,” kata Rockaway, “ada bekas luka tipis—”
Aku
sudah melupakannya. "Waktu aku umur sepuluh tahun. Dia delapan tahun. Kami
sedang bermain di lereng bukit yang mengarah ke sungai kecil. Kami punya ember
minyak tanah setengah galon berisi air. Adikku mengayunkannya dengan pegangan
kawat melingkar untuk memastikan airnya tidak tumpah. Dia melepaskannya di
titik puncak dan pinggirannya mengenai mataku. Darahnya luar biasa banyak.
Ayahku mengantarku ke kota dan dokter menjahit sembilan jahitan."
“Dan
kau tidak pernah lupa.”
Aku
berkata dengan lesu, "Tentu saja aku lupa. Kita semua memendam masa kecil
kita. Tapi kau menarik talinya dan aku ingat."
“Kau
mengingatnya dengan cepat.”
Aku
mengatupkan bibirku rapat-rapat.
"Biarkan
aku berdiri di atas buku itu sebentar," kata Rockaway. "Kau tidak
membacanya."
"Begitulah."
Aku membungkuk untuk mengambil buku itu, membukanya secara acak. "Aku
sedang membaca beberapa karya Genet13."
“Owen,
kau tidak tahu betapa sakitnya ini—”
Aku
tersenyum simpatik.
“—tapi
kau akan merasakannya.”
Aku
berkata, “Itu adalah pas de deux14 yang menarik, tapi
aku lebih suka membaca.”
"Aku
ingin bicara," kata Rockaway. "Mari kita bicara tentang cinta."
“Omong
kosong.”
“Bagiaman
dengan perenungan lainnya?”
“Tidak
berdasar.”
Rockaway
berkata, “Bagaimana dengan kegilaan?”
"Selalu
kembali ke situ, ya?" Aku membolak-balik halaman secara acak dari Genet ke
Berkeley15. "Kau menggoda tapi tidak pernah berhasil."
Tiba-tiba aku tersadar akan bau apak dari halaman-halaman itu. Ruangan itu
lembap sekali; bagaimana aku bisa mencegah pembusukan?
"Kau
naif," kata Rockaway. "Kau mencari pencerahan dalam teks itu."
“Ini
sepertinya tempat yang logis untuk mencari,” kataku.
“Coba
cari di halaman sampulnya.”
Aku
meliriknya. Laki-laki yang tergantung itu memamerkan giginya dengan polos, lalu
meringis. Aku membolak-balik buku itu, sekilas melihat dedikasinya, lalu
melewati daftar isi. Tertempel di halaman sampulnya sebuah label. Huruf-huruf
hitam pekat: "Ex Libris16, Owen Rockaway."
"Percayalah,"
katanya. Dan aku melakukannya, sudah, dan berapa kali? Lihat dia tergantung di
kail, terikat pada rantai berkarat, tertancap kail bersimbah darah.
Dari
tempatnya berdiri, dia mengasihaniku: “Kau bajingan yang malang dan waras.”
Matang
dan menggoda, apel-apel Sodom17 menjuntai di dahan. Tapi, di
dalamnya hanya abu.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Edgar Allan Poe (1809–1849):
penulis, penyair, penyunting, dan kritikus sastra Amerika yang paling dikenal
karena puisi dan cerita pendeknya, terutama kisah-kisahnya yang melibatkan
misteri dan hal-hal mengerikan. Dia secara luas dianggap sebagai salah satu
tokoh utama Romantisisme dan fiksi Gotik di Amerika Serikat dan sastra Amerika
awal. Poe adalah salah satu praktisi cerita pendek pertama yang sukses di
negara itu, dan secara umum dianggap sebagai penemu genre fiksi detektif.
Selain itu, dia dianggap berkontribusi secara signifikan terhadap kemunculan
fiksi ilmiah.
2 Dalam "The Cask of Amontillado",
cerita pendek karya Edgar Allan Poe, "bersulang" di adegan kematian
merupakan momen ironi verbal yang ekstrem. Montresor dan Fortunato yang mabuk
bersulang dan saling mengejek sambil turun ke katakombe, yang menandakan
kematian Fortunato yang sudah dekat.
3 Sherry: anggur yang diperkaya
yang diproduksi dari anggur putih yang tumbuh di sekitar kota Jerez de la
Frontera di Andalusia, Spanyol. Dalam terminologi anggur, "pucat" (pale)
menggambarkan warna paling terang atau intensitas warna rendah, suatu
karakteristik yang biasanya menunjukkan anggur yang lebih muda dan segar untuk
anggur putih, atau gaya yang lebih kering dan renyah untuk anggur rosé.
4 Dalam terminologi anggur, istilah
"sanguin" menggambarkan warna merah darah atau aroma dengan nada besi
atau metalik yang khas, seperti yang ditemukan dalam beberapa anggur Syrah.
5 A cappella: musik yang dibawakan
sepenuhnya tanpa iringan alat musil, hanya menggunakan vokal untuk menciptakan
melodi, harmoni, dan ritme. Frasa Italia "a la cappella"
berarti "seperti gaya kapel" dan secara historis merujuk pada musik
gereja tanpa iringan alat musik, tapi sekarang mencakup semua bentuk musik yang
dibawakan hanya dengan vokal, termasuk musik sekuler dan gaya yang menggunakan
perkusi vokal untuk meniru alat musik.
6 Pola Pollock: pola fraktal dan
chaos yang diciptakan oleh seniman Amerika, Jackson Pollock, terutama melalui
teknik melukis tetesnya.
7 Obskurantis: orang yang sengaja
membuat suatu hal menjadi tidak jelas, menyembunyikan kebenaran, dan menolak
atau menghalangi penyebaran pengetahuan.
8 Solipsistik: egois atau
mementingkan diri sendiri.
9 Christian Johann Heinrich Heine
(1797–1856): penyair, penulis, dan kritikus sastra Jerman. Dia paling
dikenal di luar Jerman karena puisi lirik awalnya, yang digubah menjadi musik
dalam bentuk Lieder (lagu-lagu seni) oleh komposer seperti Robert
Schumann dan Franz Schubert. Sekarang, Heine paling dikenang karena menciptakan
frasa, "Di mana buku terbakar, di situ manusia terbakar."
10 Charles Pierre Baudelaire
(1821–1867): penyair Prancis, penulis esai, penerjemah, dan kritikus seni
Prancis. Puisi-puisinya digambarkan menunjukkan penguasaan ritme dan rima,
mengandung eksotisme yang diwarisi dari kaum Romantis, dan didasarkan pada
pengamatan kehidupan nyata.
11 Jean de Thévenot (1633–1667):
penjelajah Prancis di Asia, banyak menulis tentang perjalanannya. Dia juga
seorang ahli bahasa, ilmuwan alam, dan ahli botani.
12 The travels of Monsieur de Thevenot
into the Levant in three parts, viz. into I. Turkey, II. Persia, III. the
East-Indies.
13 Jean Genet (1910–1986):
novelis, dramawan, penyair, eseis, dan aktivis politik berkebangsaan Prancis.
Awal kehidupannya adalah seorang pengembara dan pelaku kriminal kecil-kecilan,
tapi kemudian dia memilih menjadi seorang penulis. Karya-karya utamanya antara
lain novel Querelle of Brest, The Thief's Journal, dan Our Lady of
the Flowers, dan naskah drama The Balcony, The Blacks, The Maids and The
Screens.
14 Pas de deux: istilah balet
dari bahasa Prancis yang berarti "langkah dua", yang merujuk pada
sebuah tarian duet yang dibawakan oleh dua penari, biasanya seorang laki-laki
dan seorang perempuan.
15 Anthony Berkeley Cox (1893–1971):
penulis kriminal Inggris. Dia menulis dengan beberapa nama pena, termasuk
Francis Iles, Anthony Berkeley dan A. Monmouth Platts.
16 Ex Libris: dari
perpustakaan (Latin).
17 Apel Sodom (Calotropis procera): spesies tanaman berbunga dalam famili Apocynaceae yang berasal dari
Laut Mati dan Sodom, Israel, dan wilayah gurun lainnya. Buahnya
yang hijau mengandung getah susu beracun yang sangat pahit dan berubah menjadi
zat seperti lateks, yang tahan terhadap sabun. Tanaman ini dikaitkan dengan
kisah Sodom dan Gomora dalam tradisi Yahudi dan Kristen.

Comments
Post a Comment