Batu Kebodohan (The Folly Stone ~ Fernando Arrabal)
Seorang tukang
obat datang untuk melihat ibu saya dan mengatakan kepadanya bahwa saya ini
tolol.
Kemudian ibu saya
mengikat saya di kursi. Tukang obat itu membuat lubang di belakang leher saya
dengan sebuah pisau bedah dan mengeluarkan batu kebodohan dari sana.
Kemudian mereka
membawa saya, dengan tangan dan kaki terikat, sejauh perahu orang-orang bodoh1.
Di belakang ada
seorang suster dan sebuah penggorengan di atas api. Saya pikir dia sedang
membuat omlet, karena saya melihat dua telur raksasa di dekatnya. Saya
mendekat, dia menatap saya dengan tajam dan sekilas saya melihat celana
kodoknya2 alih-alih setiwel3.
Di dalam
penggorengan ada seorang laki-laki dengan aura berbeda. Laki-laki itu terus
mengeluarkan satu kakinya --mungkin dia merasa panas-- tapi suster itu
menghentikannya. Sekarang laki-laki itu tidak bergerak sama sekali dan semacam
kaldu dengan bau consomme4 menutupi seluruh tubuhnya. Sup itu
semakin kental, saya tidak bisa melihatnya lagi
Suster itu
menyuruh saya untuk pergi ke sebuah sudut. Saya ke sana bersama-sama dengannya.
Dia mulai bicara kepada saya dan mengatakan hal-hal kotor tentang saya. Supaya
lebih paham, saya mendekat kepadanya. Saya merasa dia sedang membelai alat
vital saya tapi saya tidak berani protes. Seseorang tertawa di belakang kami.
Saya melirik tangan suster itu dan melihat sepasang kaki kodok.
Saya telanjang.
Saya takut saya akan terlihat dalam keadaan seperti ini. Dia berkata kepada
saya untuk masuk ke dalam penggorengan supaya tidak ada seorang pun yang akan
terkejut melihat saya. Saya masuk. Kaldu di dalam penggorengan itu semakin lama
semakin panas: Saya mencoba mengeluarkan satu kaki dari penggorengan tapi
suster itu menghentikan saya. Tiba-tiba consomme menutupi seluruh tubuh
saya dan saya merasa panas penggorengan ini terus naik.
Sekarang saya
terbakar.
Seorang gadis
kecil telanjang di punggung kuda menyuruh saya untuk pergi ke lapangan.
Saya pergi. Saya
melihat orang-orang sedang bermain dengan bola yang mereka lempar dan tangkap
kembali karena sifatnya yang sangat elastis. Ketika saya menyeberangi lapangan
itu mereka semua berhenti bermain dan menunjuk kepada saya, tertawa. Kemudian
saya mulai berlari dan mereka melemparkan beberapa bola yang menggelinding di
tanah di dekat saya tanpa mengenai saya: bola-bola itu terbuat dari besi.
Saya segera
melompat tanpa melihat ke jalan pertama yang saya temui. Saya sadar,
setelahnya, bahwa saya sudah memilih jalan buntu. Saya kembali ke arah
lapangan.
Seekor kuda
menyerang saya; saya bersembunyi di belakang pohon dengan beberapa batang,
untuk melarikan diri darinya. Kuda itu melemparkan dirinya ke arah saya tapi
sebagai tahanan pohon tadi, cabang-cabang pohon itu menghalanginya. Saya
membuka mata dan melihat gadis kecil yang telanjang.
Saya mencoba
membebaskan kuda itu; dia menggigit tangan saya, mengoyak pergelangan tangan
saya. Dia meringkik dan terlihat seperti tertawa. Orang-orang mulai melempar
bola-bola besi kepada saya dan gadis telanjang di atas kuda itu menyembunyikan
wajahnya supaya tidak terlihat sedang bergetar karena tawa.
"Anakku,
anakku."
Akhirnya dia
menemukan sebuah lampu kecil dan saya bisa melihat tubuhnya, bukan wajahnya,
hilang ditelan kegelapan.
Saya berkata
kepadanya, "Mama."
Dia meminta saya
meraihnya. Saya meraihnya dan merasakan kuku-kukunya menancap di bahu saya:
darah segera menyembur, basah.
Dia berkata kepada
saya, "Anakku, anakku, cium aku."
Saya mendekat dan
menciumnya dan saya merasakan gigi-giginya terbenam di leher saya dan darah
terus mengucur.
Kemudian saya
menyadari apa yang dipakainya, tergantung di tali pinggangnya, sebuah sangkar
dengan burung pipit di dalamnya. Burung itu terluka tapi sedang bernyanyi:
darahnya adalah darah saya.
Perempuan itu
memberi saya buket, memakaikan sebuah rompi merah kepada saya dan membuat saya
menaiki bahunya. Dia berkata: "Karena dia cebol dia punya masalah
inferioritas yang parah," dan orang-orang tertawa.
Perempuan itu
berjalan begitu cepat dan saya berpegangan erat pada dahinya supaya tidak
terjatuh. Di sekeliling kami ada banyak anak-anak dan tidak ada bedanya saya
menaiki perempuan itu, saya tidak pernah bisa setinggi lutut mereka.
Ketika saya merasa
lelah dia memberi saya secangkir minuman, penuh dengan cairan merah yang
rasanya mirip Coca-Cola. Segera setelah saya menghabiskannya dia mulai berlari
lagi. Dan orang-orang tertawa, kau mungkin berpikir kalau mereka sedang
berkotek. Dia menyuruh mereka untuk tidak tertawa lagi karena saya sangat
sensitif. Dan tawa orang-orang pecah.
Dia berlari
semakin cepat dan saya bisa melihat buah dadanya yang terbuka dan pakaiannya
yang diterbangkan angin. Orang-orang tertawa lebih keras dari sebelumnya.
Akhirnya dia
menurunkan saya dan menghilang. Sekelompok ayam betina merah dalam jumlah besar
mendatangi saya, berkotek. Saya tidak lebih besar dari paruh-paruh yang sedang
mendekat untuk mematuk saya.
Kadang-kadang
tangan kanan saya lepas sendiri dari lengan mulai dari pergelangan dan
bergabung dengan tangan kiri. Saya memegangnya erat, untuk mencegahnya jatuh,
kalau tidak saya bisa kehilangan tangan kanan. Saya harus terus mengawasinya
untuk menghindari, ketika saya lupa, memasang tangan kanan secara terbalik,
dengan telapak tangan menghadap ke atas.
Saya menaruh
kompas yang menunjuk perut perempuan itu dan saya mengikuti jejak beberapa
lingkaran konsentris daripada menempatkan beberapa di lututnya dan beberapa di
pusarnya atau beberapa lagi di hatinya.
Jadi supaya tidak
lupa wajahnya, saya membayangkan wajahnya penuh dengan angka.
Kemudian hujan
mulai turun, lalu dia naik ke atas kuda, berdiri, telanjang.
Saya menggenggam
tali kekangnya. Ikan berjatuhan dari langit dan mereka lewat, tertawa, di
antara kedua kakinya.
Seorang laki-laki
berpakaian seperti uskup, sebuah cemeti di tangannya, berkata kepada saya untuk
masuk ke dalam gereja. Bagi saya ini seperti beranda yang terbentuk dari
sepasang paha raksesi yang sedang berlutut.
Di sebuah sudut,
di depan saya, seorang perempuan berdansa, tersembunyi di balik kerudung,
sehingga saya hanya bisa menerka-nerka bentuk tubuhnya. Saya ingin mencari
altar tapi saya sedang menonton tarian perempuan itu. Dia mendatangi saya dan
menyuruh saya untuk menyentuh buah dadanya; saya takut seseorang akan menangkap
kami tapi saya mematuhinya. Kemudian dia menyingkap satu kerudungnya dan di
bawah tangan saya, di buah dadanya, saya merasakan kepala seorang bayi yang
baru dilahirkan. Kepala itu tertawa. Saya menarik tangan saya dan bayi itu
jatuh ke tanah. Dia mulai menangis, tapi ketika saya membungkuk untuk
mengambilnya, dia menghilang.
Kemudian perempuan
itu meraih saya. Saya takut terlihat. Saya mencoba untuk melepaskan diri, tapi
tidak berhasil. Ketika saya bergelut, saya merobek satu kerudungnya, dan saya
melihat tangannya adalah dahan besar tidak berdaun, dan wajahnya buat saya terlihat
begitu pucat dan penuh kerutan. Dia tertawa, menunjukkan mulutnya yang tidak
bergigi.
Saya mendengar
anak tadi berteriak, "Itu dia." Saya berbalik dan melihat pandangan
dari kepalanya di tangan seorang laki-laki yang berpakaian seperti uskup, yang
menatap saya dengan tajam. Saya ingin lari, tapi dahan perempuan itu menahan
saya seperti catut.
Saya memukul
kepala laki-laki tua itu dengan sebuah kapak dan perempuan itu muncul dari
dalam lubangnya, telanjang. Dia mendatangi saya dan saya memberinya katak yang
disusuinya.
Laki-laki tua itu
menutup tengkoraknya yang terbelah dengan tangannya. Kemudian api menyembur
dari kakinya. Perempuan itu datang dan menelan api tersebut.
Perempuan itu dan
saya masuk ke dalam rumah, tapi kami segera menyadari bahwa itu adalah sebuah
telur besar yang tembus pandang. Kami berpelukan, dan, ketika saya ingin
menjauh darinya, saya merasa kami sudah menjadi satu tubuh dengan dua kepala.
Laki-laki tua itu
meniup telur itu dan menerbangkannya, membawa kami berdua di dalamnya.
Kami berdua berada
di dalam bioskop. Alih-alih menonton film, saya memandangi perempuan itu. Saya
membelai rambut ikalnya dan mengusap-usap bulu matanya. Kemudian saya mencium
lututnya dan meletakkan di perutnya burung kertas yang saya buat dari tiket bioskop.
Perempuan itu
menonton film dan tertawa. Kemudian saya membelai dadanya dan setiap saya
menekan salah satu buah dadanya seekor ikan berwarna biru keluar dari sana.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Ship of Fools:
alegori yang cukup sering digunakan dalam literatur Barat, berasal dari buku Ship
of Fools (1494) dari Sebastian Brant, menceritakan tentang kapal yang
berisi orang-orang gila, sembrono, atau sekedar lupa bahwa kapal yang mereka
tumpangi tidak punya nakhoda, dan tampaknya mereka juga tidak peduli pada arah
dan tujuan mereka sendiri.
2 Frog's of
thighs: jenis celana perempuan, saya membayangkan celana jaman dulu dengan
model paha yang lebar dan menyempit di bagian yang lebih ke bawah.
3 Legs: setiwel;
dalam kamus Bahasa Inggris hanya disebut sebagai bagian pakaian, terutama
celana, untuk menutupi paha, sementara setiwel sendiri menurut KBBI adalah
kulit penutup kaki. Saya mengambil terjemahan ini sembari membayangkan celana
kulit ketat yang dipakai untuk berkuda untuk memberi kontras dengan 'frog's
of thighs'.
4 Consomme:
sup bening dengan bermacam-macam bahan di dalamnya.

Comments
Post a Comment