Hari Yang Biasa (The Common Day ~ John Cheever)
Dia berpakaian dan dengan lembut menurunkan tirai, supaya cahaya
matahari tidak membangunkan istrinya. Hari-hari Ellen di desa ini, tidak
seperti hari-harinya, tidak terbatas. Istrinya sudah berada di sini selama
musim panas dan akan tetap di sini sampai awal September, ketika dia kembali ke
kota dengan juru masak, pemecah es, dan karpet Persia.
Lantai pertama rumah besar ibu mertuanya terlihat sunyi dan bersih ketika dia
turun. Emma Boulanger, pembantu asal Perancis, sedang menyapu ruang tengah. Dia
melewati ruang makan yang suram dan membuka pintu pantry, tapi pembantu
yang lain, Agnes Shay, ada di sana untuk mencegahnya masuk lebih jauh ke daerah
kekuasaannya. "Anda bilang saja kepada saya Anda mau sarapan apa, Tuan
Brown," katanya ketus. "Greta akan membuatkannya untuk Anda."
Dia mau sarapan di dapur bersama anaknya yang berumur lima tahun, tapi
Agnes tidak membiarkannya lewat dari bagian depan rumah ke bagian yang
diperuntukkan bagi pelayan dan anak-anak. Dia mengatakan kepada perempuan itu
apa yang ingin dia makan untuk sarapan dan kembali melewati ruang makan lalu
keluar ke teras. Cahaya di sana seperti sebuah pukulan, dan udara berbau
seolah-olah serombongan gadis cantik baru saja lewat di halaman. Itu adalah
pagi musim panas yang indah dan sepertinya tidak mungkin ada yang salah. Jim
memandangi teras, kebun, dan rumah, dengan perasaan memiliki yang bodoh. Dia
bisa mendengar Nyonya Garrison --ibu mertuanya yang janda dan pemilik sah dari
segala yang dilihatnya-- sedang asyik bicara sendiri di meja potong yang jauh.
Selagi Jim sarapan, Agnes mengatakan bahwa Nils Lund ingin menemuinya.
Pemberitahuan itu menyenangkan Jim. Dia berada di New Hampshire hanya untuk
sepuluh hari dan di sana hanya sebagai tamu, tapi dia suka ditanyai oleh tukang
kebun. Nils Lund sudah bekerja untuk Nyonya Garrison bertahun-tahun. Dia
tinggal di sebuah pondok di tempat itu dan istrinya, yang sudah meninggal,
bekerja di dapur. Nils benci kenyataan bahwa tidak satu pun anak-anak laki-laki
Nyonya Garrison yang menyukai tempat itu dan dia sering mengatakan kepada Jim
betapa bahagianya dia menemukan seorang laki-laki yang dengannya dia bisa
membahas masalah-masalahnya.
Kebun Nils sudah tidak lagi menyediakan kebutuhan apapun untuk rumah itu.
Setiap musim semi dia membajak dan menanam ber-are-are sayuran dan bunga. Tunas
asparagus yang baru tumbuh adalah tanda untuk sebuah perlombaan antara sayuran
itu dan meja makan Nyonya Garrison. Nils, sebal dengan sisa tanaman yang dia
sendiri ciptakan, datang setiap malam ke pintu dapur untuk memberitahu juru
masak bahwa kecuali mereka makan lebih banyak kacang polong, lebih banyak
stroberi, kacang, selada, dan kubis, maka semua sayuran bagus yang disiraminya
dengan keringatnya sendiri akan membusuk.
Ketika Jim selesai sarapan, dia pergi berkeliling ke belakang rumah dan
Nils mengatakan kepadanya, dengan wajah kangen, bahwa sesuatu sudah memakan
jagungnya, yang baru mulai matang. Mereka sudah membahas soal hama di ladang
jagung sebelumnya. Awalnya mereka pikir itu rusa. Nils mengganti tebakannya
pagi itu dengan rakun. Dia ingin Jim datang bersamanya dan melihat kerusakan
yang sudah terjadi.
"Perangkap di gudang akan berguna kalau itu memang rakun," kata
Jim. "Dan kupikir kita punya senapan. Aku akan memasang perangkapnya nanti
malam."
Mereka berjalan sepanjang jalan menuju bukit ke kebun. Ladang di tepi
jalan terkikis lumut dan ditumbuhi juniper. Dari ladang itu tercium
aroma yang tak terlukiskan, tajam dan membius. "Lihat," kata Nils
ketika mereka sampai di ladang jagung. "Lihat, lihat..." Daun-daun,
rambut, dan tongkol jagung yang sudah dimakan separuh bertebaran dan terinjak-injak
di tanah. "Saya yang menanamnya," kata Nils, seperti suami dari istri
yang cerewet menceritakan soal kesabarannya yang tidak dihargai. "Lalu
gagak memakan benihnya. Saya yang mengolahnya. Sekarang tidak ada lagi
jagung."
Mereka mendengar Greta, juru masak, bernyanyi ketika datang di jalan itu,
membawa sisa makanan untuk ayam-ayam. Mereka berbalik untuk melihatnya. Dia
adalah seorang perempuan besar yang kuat dengan suara yang luar biasa dan dada
seorang penyanyi contralto1 opera. Sedetik setelah mereka
mendengar Greta, angin membawa suara Nyonya Garrison kepada mereka dari meja
potong. Nyonya Garrison terus bicara sendiri. Kata-kata sopan dan empatiknya
terdengar di pagi yang cerah itu seperti suara terompet. "Kenapa dia
menanam verbena ungu mengerikan ini setiap tahun? Dia tahu aku tidak
bisa memakai warna ungu. Kenapa dia menanam verbena ungu menjijikkan
ini? Aku akan menyuruhnya memindahkan arum lagi. Aku akan menaruh bunga
lili di tepi kolam renang lagi...."
Nils meludah ke tanah. "Terkutuklah perempuan itu!" Katanya.
"Terkutuklah dia!" Greta mengingatkannya kepada istrinya dan suara
berisik Nyonya Garrison mengingatkannya pada pernikahan lainnya, antara nyonya
rumah dengan tukang kebunnya, yang akan bertahan sampai kematian memisahkan
mereka. Dia tidak berusaha untuk menahan amarahnya, dan Jim terperangkap dalam
perseteruan antara solilokui ibu mertuanya dengan kemarahan tukang kebunnya.
Dia berkata bahwa dia akan pergi dan memeriksa perangkap rakunnya.
Dia menemukan perangkap di gudang dan senapan di ruang bawah tanah.
Ketika dia sedang melintasi halaman berumput, dia bertemu Nyonya Garrison. Dia
adalah seorang perempuan kurus, berambut putih, dan dia mengenakan seragam
pembantu yang robek dan topi jerami yang sudah rusak. Lengannya penuh dengan
bunga. Dia dan menantu laki-lakinya saling mengucapkan selamat pagi, menyebut
betapa ini hari yang indah, dan pergi ke arah yang berlawanan. Jim membawa
perangkap dan senapan itu ke belakang rumah. Anak laki-lakinya, Timmy, ada di
sana, bermain dokter-dokteran dengan Ingrid, anak perempuan si juru masak,
seorang gadis pucat dan kurus berumur sebelas. Anak-anak itu menatapnya
sebentar lalu kembali ke permainan mereka.
Jim meminyaki perangkap dan memasang umpannya supaya tertutup begitu
disentuh sedikit saja. Selagi dia menguji perangkap, Agnes Shay keluar, diikuti
Carlotta Bronson, cucu Nyonya Garrison yang lain. Carlotta berumur empat tahun.
Ibunya pergi ke Barat untuk bercerai musim panas itu, dan Agnes diangkat dari
posisinya sebagai pembantu menjadi pengasuh. Umurnya hampir enam puluh dan
mengasuh dengan intens. Dari pagi sampai malam, dia menggenggam tangan Carlotta
dengan tangannya.
Dia melihat perangkap itu dari balik bahu Jim dan berkata, "Anda
tahu Anda tidak seharusnya mengeluarkan perangkap itu sebelum anak-anak tidur,
Tuan Brown.... Jangan dekat-dekat perangkap itu, Carlotta. Kemari."
"Aku tidak akan memasang perangkap ini sebelum larut malam,"
kata Jim.
"Buat apa, anak-anak bisa terjebak dalam salah satu perangkap itu
dan patah kakinya," kata Agnes. "Dan Anda akan berhati-hati dengan
senapan itu juga, kan, Tuan Brown? Senjata dibuat untuk membunuh. Saya belum
pernah melihat senjata yang tidak menyebabkan kecelakaan.... Ayo, Carlotta,
kemari. Aku akan memakaikanmu celemek baru lalu kau bisa bermain di pasir
sebelum minum jus buah dan makan biskuit."
Gadis kecil itu mengikutinya masuk ke dalam rumah, dan bersama-sama
mereka naik tangga kembali ke kamar anak. Ketika mereka akhirnya tinggal
berdua, Agnes mencium anak itu di atas kepalanya dengan takut-takut,
seolah-olah takut mengganggu Carlotta dengan perhatiannya.
"Jangan sentuh aku, Agnes," kata Carlotta.
"Tidak, Sayang, aku tidak akan menyentuhmu."
Agnes Shay benar-benar punya jiwa seorang pembantu. Basah dengan air
cucian dan eau de cologne lembut, menjalani hidup di kamar sempit tanpa
cahaya matahari, di bagian belakang, tangga belakang, binatu, ruang cuci, dan
di ruang khusus pembantu yang mengingatkan orang pada penjara, jiwanya semakin
jinak sekaligus suram. Posisi baru yang diberikan kepadanya tidak sesuram
seperti di neraka. Dia tidak akan lagi menyediakan Nyonya Garrison tempat di
meja pelayan di dapur lalu Nyonya Garrison tidak menyediakan baginya tempat di
ruang makan yang suram. Agnes menyukai ritual di rumah besar. Dia menarik tirai
di ruang tamu saat gelap, menyalakan lilin di atas meja, dan membunyikan
lonceng makan malam seperti seorang anak altar yang penuh semangat. Di malam
yang cerah, ketika dia duduk di teras belakang di antara ember sampah dan kotak
sampah kayu, dia suka mengingat wajah semua juru masak yang dikenalnya. Itu
membuat hidupnya seolah berwarna.
Agnes belum pernah sebahagia itu musim panas ini. Dia menyukai
pegunungan, danau, dan langit, dan dia jatuh cinta pada Carlotta seperti
anak-anak muda jatuh cinta. Dia mencemaskan penampilannya sendiri. Dia
mencemaskan kuku-kukunya, tulisan tangannya, pendidikannya. Apakah aku pantas?
Dia bertanya-tanya. Anak yang pemberang dan tidak bahagia itu adalah
satu-satunya yang menghubungkannya dengan pagi hari, dengan matahari, dengan
segala sesuatu yang indah dan menarik. Keinginan untuk menyentuh Carlotta, meletakkan
pipinya di hangat rambut anak itu, memenuhinya dengan perasaan mendapatkan
kemudaannya kembali. Ibu Carlotta akan kembali dari Reno pada bulan September
dan Agnes sudah menyiapkan kata-kata yang akan dikatakannya kepada ibu anak
itu: "Ijinkan saya mengurus Carlotta, Nyonya Bronson! Sementara Anda
pergi, saya sudah membaca semua artikel yang ada di Daily News tentang
cara merawat anak. Saya suka Carlotta. Dia sudah terbiasa dengan saya. Saya
tahu apa yang dia inginkan...."
Nyonya Garrison tidak suka anak-anak, dan dengan Nyonya Bronson berada di
Reno, Agnes tidak punya saingan, tapi dia di terus disiksa ketakutan sesuatu
akan terjadi pada Carlotta. Dia tidak akan membiarkan gadis itu mengenakan syal
karena takut tersangkut paku atau pintu dan mencekik lehernya. Setiap tangga
curam, setiap air yang dalam, setiap salak anjing penjaga di kejauhan selalu
membuat Agnes takut. Dia bermimpi di malam itu rumah terbakar dan, tidak bisa
menyelamatkan Carlotta, dia melemparkan tubuhnya ke dalam api. Sekarang,
ditambahkan kecemasan yang lain kepadanya, perangkap baja dan senapan. Dia bisa
melihat Jim dari jendela kamar anak. Perangkap itu belum dipasang, tapi itu
tidak membuatnya jadi tidak berbahaya, tergeletak di tanah sehingga orang bisa
menginjaknya. Laki-laki itu membongkar senapan dan membersihkannya dengan lap,
tapi Agnes merasa seolah-olah senapan itu terisi dan diarahkan ke jantung
Carlotta.
Jim mendengar suara istrinya, lalu dia membawa bagian-bagian senapan itu
ke teras, tempat Ellen sedang duduk di kursi malas, setelah sarapan dari
nampan. Dia mencium istrinya, dan berpikir betapa muda, langsing, dan cantik
istrinya terlihat. Mereka sudah menghabiskan sedikit dari kehidupan pernikahan
mereka di desa ini, dan bersama saat pagi masih terang membuat mereka berdua
merasa seolah-olah mereka sudah mendapatkan kembali kebagahagiaan dari
pertemuan pertama mereka. Hangatnya matahari, seperti gairah yang terus ada dan
intens, membutakan mereka dari ketidaksempurnaan masing-masing.
Mereka berencana untuk naik ke Bukit Hitam dan menemui keluarga Emerson
pagi itu. Ellen suka mengunjungi peternakan yang terbengkalai dengan pikiran
bahwa suatu hari nanti membeli rumah di desa ini. Jim tertawa saja
mendengarnya, walaupun dia tidak benar-benar tertarik; sementara istrinya,
sebaliknya, berpikir bahwa dia sudah berhasil menipu suaminya dan suatu hari
nanti, di suatu tempat, di suatu bukit yang muram mereka akan menemukan rumah
yang akan langsung mengena di hatinya.
Mereka melaju ke Bukit Hitam begitu Ellen menyelesaikan sarapannya.
Kunjungan ke rumah-rumah yang terbengkalai memaksa mereka mengambil lebih
banyak jalan belakang yang terabaikan, tapi yang naik ke Bukit Hitam adalah
yang paling buruk yang Jim pernah lihat. Jalan itu tidak akan bisa dilewati
antara bulan Oktober dan Mei.
Ketika mereka sampai di tempat keluarga Emerson, Ellen melihat
berganti-ganti dari rumah sederhana yang lapuk ke wajah Jim, untuk melihat
reaksinya. Tak satu pun dari mereka bicara. Di tempat dia melihat pesona dan
perasaan aman, suaminya melihat sesuatu yang reyot parah dan mengurung.
Peternakan itu terletak tinggi di atas bukit tapi di dalam semacam
lipatan tanah, dan Jim melihat bahwa kontur tanah selain melindungi rumah itu
dari angin danau, tapi juga merampas segala pemandangan dari danau atau
pegunungan. Dia melihat, juga, bahwa semua pohon berukuran sedang dalam jarak
seribu yard dari ambang pintu granit sudah ditebang. Matahari jatuh di atap
seng. Di salah satu jendela depan, sesuatu seperti jimat, pikirnya, sedikit
dari kehidupan pedesaan yang dia benci, berupa stiker Palang Merah yang sudah
pudar.
Mereka meninggalkan mobil dan berjalan melintasi pekarangan. Rumput
setinggi pinggang dan penuh dengan semanggi manis. Semak berduri mengoyak
celana Jim. Kait berkarat lepas dari tangannya ketika dia mencoba pintu. Dia
mengikuti Ellen dengan tidak sabar melewati kamar gelap dan bau seperti dia
mengikuti istrinya itu melewati kamar-kamar dengan kondisi bobrok yang sama di
Maine, Massachusetts, Connecticut, dan Maryland. Ellen adalah seorang perempuan
dengan banyak ketakutan --pada lalu lintas, pada kemiskinan, dan, yang
terutama, pada perang-- dan rumah yang terpencil dan tidak layak ini memberikan
keselamatan dan keamanan baginya.
"Tentu saja, kalau kita membeli tempat ini," katanya,
"kita harus menanamkan setidaknya sepuluh ribu dolar ke dalamnya. Kita
hanya akan membeli tanahnya. Aku menyadari itu."
"Yah, aku akui enam ribu adalah harga yang baik untuk lahan seperti
ini," kata suaminya bijaksana. Dia menyalakan rokok dan melihat melalui
jendela yang pecah tumpukan mesin pertanian berkarat.
"Kau lihat, kita bisa membongkar semua partisi ini," katanya.
"Ya," kata suaminya.
"Aku semakin merasa bahwa kita harus punya rumah jauh dari New
York," katanya. "Kalau ada perang, kita akan tertangkap seperti
tikus. Tentu saja, kalau kita meninggalkan kota aku tidak yakin bagaimana kita
akan mencari nafkah. Kita bisa membuka sebuah lemari pendingin."
"Aku tidak tahu apa-apa soal freezer," kata suaminya.
Percakapan itu adalah bagian bagian dari kunjungannya ke desa itu,
pikirnya, seperti berenang dan minum-minum; dan itu akan singkat. "Berarti
kau tidak suka tempat ini?" tanyanya, dan ketika suaminya berkata tidak,
dia mendesah dan melangkah keluar dari lorong gelap itu. Suaminya mengikutinya
dan menutup pintu. Dia melihat ke belakang seolah-olah suaminya baru menutup
pintu keselamatan dirinya, lalu menggamit lengan suaminya dan berjalan di
sampingnya menuju mobil.
Nyonya Garrison, Ellen, dan Jim makan siang hari itu di teras. Ingrid dan
Timmy makan di dapur, dan Agnes Shay memberi makan Carlotta di kamar anak. Lalu
dia membuka baju gadis itu, menurunkan tirai, dan membaringkannya di tempat
tidur. Dia berbaring di lantai di samping tempat tidur dan jatuh ke dalam suara
dengkurnya sendiri. Jam tiga, dia bangkit dan membangunkan Carlotta. Gadis itu
berkeringat depan-belakang.
Ketika Carlotta selesai berpakaian, Agnes membawanya ke ruang tamu.
Nyonya Garrison menunggu di sana. Itu adalah salah satu ritual musim panas di
mana dia harus menghabiskan satu jam bersama Carlotta setiap sore. Ditinggal
sendirian dengan neneknya, gadis itu duduk dengan kaku di kursi. Nyonya
Garrison dan gadis kecil itu sama-sama bosan.
Nyonya Garrison sudah menjalani hidup yang luar biasa nyaman, ditopang
dengan sangat baik oleh teman-temannya dan dengan segala macam kesenangan yang
dia pertahankan dengan senang hati. Dia impulsif, murah hati, dan sangat baik.
Dia juga gelisah. "Apa yang harus kita lakukan, Carlotta?" tanyanya.
"Aku tidak tahu," kata anak itu.
"Haruskah aku membuatkanmu kalung bunga aster, Carlotta?"
"Iya."
"Baiklah, kau tunggu di sini, kalau begitu. Jangan menyentuh permen
atau barang-barang di mejaku, mau kan?"
Nyonya Garrison masuk ke ruang tengah lalu mengambil keranjang dan
gunting. Halaman di bawah teras berujung di taman yang ditutupi bunga aster
putih dan kuning. Dia mengisi keranjangnya dengan itu. Ketika dia kembali ke
ruang tamu, Carlotta masih duduk dengan kaku di kursinya. Nyonya Garrison tidak
percaya pada gadis itu dan memeriksa meja sebelum duduk di sofa. Dia mulai
mendorong jarum menembus bunga-bunga yang berbulu. "Aku akan membuatkanmu
kalung dan gelang dan mahkota," katanya.
"Aku tidak mau kalung bunga aster," kata Carlotta.
"Tapi kau bilang kau mau,"
"Aku mau kalung asli," kata Carlotta. "Aku mau kalung
mutiara seperti punya Bibi Ellen."
"Oh, Sayang," kata Nyonya Garrison. Dia menaruh jarum dan
bunga-bunganya. Dia mengingat mutiara pertamanya. Dia mengenakannya di sebuah
pesta di Baltimore. Itu adalah pesta yang indah dan kenangan itu membuatnya
bahagia sejenak. Lalu dia merasa tua.
"Kau belum cukup umur untuk punya mutiara," katanya kepada
Carlotta. "Kau cuma seorang gadis kecil." Dia bicara dengan tenang,
karena kenangan akan Baltimore mengingatkannya pada pesta yang lain; pesta klub
yacht di mana dia pergelangan kakinya terkilir dan di pesta topeng yang
dihadirinya dia berpakaian seperti Sir Walter Raleigh2. Hari semakin
panas. Panas membuat Nyonya Garrison mengantuk dan mendorongnya untuk
bernostalgia. Dia memikirkan Philadelphia dan Bermuda, dan menjadi begitu asyik
dengan kenangan sampai-sampai dia terkejut ketika Carlotta bicara lagi.
"Aku bukan gadis kecil," kata Carlotta tiba-tiba. "Aku
sudah besar!" Suara seraknya dan air mata mengalir dari matanya. "Aku
lebih besar dari Timmy dan Ingrid dan semua orang!"
"Kau akan cukup besar pada waktunya," kata Nyonya Garrison.
"Berhenti menangis."
"Aku mau menjadi perempuan dewasa. Aku mau jadi perempuan dewasa
seperti Bibi Ellen dan Mummy."
"Dan ketika kau besar seperti ibumu, kau akan berharap menjadi
anak-anak lagi!" kata Nyonya Garrison dengan marah.
"Aku mau jadi perempuan dewasa," gadis itu berteriak.
"Aku tidak mau jadi kecil. Aku tidak mau jadi seorang gadis kecil."
"Hentikan," seru Nyonya Garrison, "berhenti menangis. Ini
hari yang panas. Kau tidak tahu apa yang kau inginkan. Lihat aku. Aku
menghabiskan setengah waktuku berharap aku cukup muda untuk menari. Itu konyol,
seperti...." Dia melihat seberkas bayangan lewat di bawah penutup jendela.
Dia pergi ke jendela dan melihat Nils Lund turun ke taman. Dia pasti mendengar
semuanya. Ini membuatnya sangat tidak nyaman. Carlotta masih menangis. Dia
benci mendengar anak-anak menangis. Seolah-olah tujuan dari siang yang panas,
seperti juga --untuk sesaat-- hidupnya, tergantung pada kebahagiaan gadis kecil
itu.
"Apakah ada sesuatu yang ingin kau lakukan, Carlotta?"
"Tidak ada."
"Apa kau mau sepotong permen?"
"Tidak, terima kasih."
"Apa kau mau memakai mutiara saya?"
"Tidak, terima kasih."
Nyonya Garrison memutuskan untuk berhenti bertanya lalu memanggil Agnes.
* * *
Di dapur, Greta dan Agnes sedang minum kopi. Piring makan siang sudah
dicuci dan kesibukan untuk makan malam belum dimulai. Dapur itu sejuk dan
bersih dan lantainya kokoh. Mereka bertemu di sana setiap sore dan itu
saat-saat yang paling menyenangkan buat mereka.
"Di mana dia?" tanya Greta.
"Dia di sana dengan Carlotta," jawab Agnes.
"Dia bicara sendiri di taman tadi pagi," kata Greta.
"Nils mendengarnya. Sekarang dia mau Nils memindahkan bunga lili. Dia
tidak mau. Dia bahkan tidak mau memotong rumput."
"Emma membersihkan ruang tamu," kata Agnes. "Lalu dia
datang dengan semua bunga itu."
"Musim panas besok aku akan kembali ke Swedia," kata Greta.
"Apa ongkosnya masih empat ratus dolar?" tanya Agnes.
"Ya," kata Greta. Untuk menghindari mengatakan ja, dia
sedikit berbisik. "Mungkin tahun depan ongkosnya tidak semahal itu. Tapi
kalau aku tidak pulang tahun depan, Ingrid akan berusia dua belas dan dia akan
dikenakan ongkos penuh. Aku mau melihat ibuku. Dia sudah tua."
"Kau harus pulang," kata Agnes.
"Aku pulang di tahun 1927,1935, dan 1937," kata Greta.
"Aku pulang tahun 1937," kata Agnes. "Itu yang terakhir.
Ayahku sudah tua. Aku berada di sana sepanjang musim panas. Kupikir aku akan
pulang lagi tahun depannya, tapi dia bilang kalau aku pergi dia akan
memecatku, jadi aku tidak pulang. Dan pada musim dingin ayahku meninggal. Aku
ingin bertemu dengannya."
"Aku mau melihat ibuku," kata Greta.
"Mereka berbicara tentang pemandangan di sini," kata Agnes.
"Pegunungan kecil ini! Irlandia seperti taman."
"Akankah aku melakukannya lagi? Aku bertanya pada diriku
sendiri," kata Greta. "Sekarang aku sudah terlalu tua. Lihatlah
kakiku. Varises." Dia mengeluarkan salah satu kakinya dari bawah meja
supaya Agnes bisa melihatnya.
"Aku sudah tidak punya apa-apa untuk dituju pulang," kata Agnes. "Saudara-saudaraku sudah mati, kedua saudaraku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku ingin melihat ayahku."
"Oh, rasanya seperti pertama kalinya aku datang ke sini,"
teriak Greta. "Seperti pesta di atas kapal. Jadilah kaya. Pulanglah.
Jadilah kaya. Pulanglah."
"Aku juga," kata Agnes. Mereka mendengar suara guntur. Nyonya
Garrison memanggil dengan tidak sabar.
Lalu sebuah badai datang dari utara. Angin bertiup kencang, batang pohon
jatuh di halaman dan rumah itu dipenuhi teriakan dan suara jendela yang
terbanting. Ketika hujan dan petir datang, Nyonya Garrison melihat dari jendela
kamar tidurnya. Carlotta dan Agnes bersembunyi di kamar rias. Jim dan Ellen dan
anak laki-laki mereka sedang berada di pantai dan mereka melihat badai dari
pintu gudang penyimpanan perahu. Badai berlangsung selama setengah jam lalu
berhembus ke barat, meninggalkan udara yang dingin, pahit, dan bersih; dan sore
itu berakhir.
Sementara anak-anak menghabiskan makan malam mereka, Jim pergi ke ladang
jagung dan memasang umpan pada perangkapnya. Ketika dia turun bukit, dia
mencium bau kue dipanggang di dapur. Langit sudah cerah, cahaya di
gunung-gunung lembut, dan rumah itu sepertinya menemukan kembali semua
energinya untuk menghadapi makan malam. Dia melihat Nils di dekat kandang ayam
dan mengucapkan selamat malam padanya, tapi Nils tidak menjawab.
Nyonya Garrison, Jim, dan Ellen minum koktail sebelum mereka makan malam,
lalu minum anggur, dan ketika mereka membawa brendi dan kopi ke teras, mereka
sudah sedikit mabuk. Matahari terbenam.
"Aku dapat surat dari Reno," kata Nyonya Garrison.
"Florrie mau aku membawa Carlotta ke New York waktu aku pergi tanggal dua
belas nanti untuk datang di pernikahan Peyton."
"Shay akan mati," kata Ellen.
"Shay akan binasa," kata Nyonya Garrison.
Langit tampak penuh api. Mereka bisa melihat lampu merah yang sedih dari
barisan pohon pinus. Angin yang aneh yang berhembus sebelum gelap di pegunungan
membawa, dari ujung danau, lirik sebuah lagu, dinyanyikan oleh beberapa anak di
sebuah perkemahan di sana.
"Ada kemah untuk anak perempuan
Di Danau Bellows.
Kemah Massassoit
Namanya.
Dari terbitnya matahari
Sampai hari berakhir,
Ada banyak kesenangan
Di sana...."
Suara-suara itu melengking, jelas, dan jernih. Lalu angin yang berubah
arah memadamkan lagu itu dan menghembuskan bau kayu dari atap sirap ke tempat
tiga orang itu duduk. Ada suara gemuruh guntur.
"Aku tidak pernah mendengar suara guntur," kata Nyonya
Garrison, "tanpa mengingat kalau Enid Clark mati disambar petir."
"Siapa dia?" tanya Ellen.
"Dia seorang perempuan yang luar biasa tidak menyenangkan,"
kata Nyonya Garrison. "Dia mandi di depan jendela yang terbuka di satu
sore dan langsung mati disambar petir. Suaminya berselisih dengan uskup, jadi
dia tidak dikuburkan dari Katedral. Mereka menaruhnya di samping kolam renang
dan melakukan doa pemakaman di sana, dan tidak ada apa-apa untuk diminum. Kami
kembali ke New York setelah upacara dan ayahmu berhenti di jalan di tempat
pembuat minuman keras dan membeli sekardus Scotch3. Hari itu
adalah hari Sabtu sore dan ada pertandingan sepak bola dan kemacetan di luar
Princeton. Kami punya sopir orang Perancis-Kanada, dan caranya mengemudi selalu
membuatku takut. Aku bicara pada Ralph soal itu dan dia bilang aku bodoh, lalu
lima menit kemudian mobil terbalik. Aku terlempar keluar dari jendela yang
terbuka ke lapangan berbatu, dan hal pertama yang ayahmu lakukan adalah
memeriksa bagasi untuk melihat apa yang terjadi dengan Scotch-nya. Aku
di sana, berdarah dan hampir mati, dan dia sibuk menghitung botol."
Nyonya Garrison menata selimut di atas kakinya dan memicingkan matanya
melihat ke arah danau dan pegunungan. Suara langkah kaki di jalan kerikil
membuatnya siaga. Tamu? Dia berbalik dan melihat bahwa itu adalah Nils Lund.
Dia masuk ke halaman dan melewati rerumputan menuju teras, menyeret sepatu yang
terlalu besar buatnya. Jambulnya, rambut pendek pudarnya, tubuh kurusnya, dan
garis bahunya mengingatkan Jim pada seorang bocah laki-laki. Seolah-olah
pertumbuhan badan Nils ini, semangatnya, berhenti di beberapa musim panas di
masa mudanya, tapi dia bergerak kelelahan dan tanpa semangat, seperti orang tua
yang patah hati. Dia datang ke bawah teras dan bicara dengan Nyonya Garrison
tanpa melihat ke arahnya. "Saya tidak mau memindahkan lili, Nyonya Garrison."
"Apa, Nils?" perempuan itu bertanya dan membungkuk ke depan.
"Saya tidak mau memindahkan lili."
"Kenapa tidak?"
"Banyak yang harus saya kerjakan." Dia menatap perempuan itu
dan bicara dengan marah. "Sepanjang musim dingin saya sendirian di sini.
Salju sampai ke leher saya. Angin menjerit, saya tidak bisa tidur. Saya bekerja
untuk Anda tujuh belas tahun dan Anda tidak pernah sekali pun berada di sini
ketika cuaca buruk."
"Apa hubungannya musim dingin dengan bunga lili, Nils?" tanya
perempuan itu dengan tenang.
"Terlalu banyak yang harus saya kerjakan. Memindahkan lili.
Memindahkan mawar. Memotong rumput. Setiap hari Anda ingin sesuatu yang
berbeda. Kenapa? Kenapa Anda merasa lebih baik daripada saya? Anda tidak bisa
melakukan apa-apa kecuali membunuh bunga-bunga itu. Saya yang menanam bunga.
Anda membunuh mereka. Kalau sekering terbakar, Anda tidak tahu bagaimana
memperbaikinya. Kalau sesuatu bocor, Anda tidak tahu bagaimana memperbaikinya.
Anda membunuh bunga. Cuma itu yang Anda tahu. Selama tujuh belas tahun saya
menunggu Anda sepanjang musim dingin," teriaknya. "Anda menyurati
saya, 'Apakah hangat di sana? Apakah bunga-bunganya indah?' Lalu Anda datang.
Anda duduk di sini. Anda minum. Terkutuklah kalian semua. Anda sudah membunuh
istri saya. Sekarang Anda mau membunuh saya. Anda--"
"Diamlah, Nils," kata Jim.
Nils berbalik dengan cepat dan mundur melewati halaman, begitu
bersemangat dan percaya diri sampai dia terlihat lemas. Tak satu pun dari
mereka bicara, karena mereka merasa, setelah dia menghilang di balik pagar,
bahwa dia mungkin bersembunyi di sana, menunggu untuk mendengar apa yang akan
mereka katakan. Lalu Ingrid dan Greta datang ke halaman dari jalan-jalan sore,
keberatan membawa batu dan bunga liar yang mereka ambil untuk menghias kamar
mereka di atas garasi. Greta berkata pada Jim bahwa sesuatu terjebak di dalam
perangkapnya di ladang jagung. Dia pikir itu kucing.
Jim mengambil senapan dan senter lalu naik ke atas bukit menuju kebun.
Ketika dia mendekati ladang jagung, dia bisa mendengar erangan samar. Lalu
binatang itu, apa pun itu, mulai menggali lumpur. Pukulannya kuat, teratur
seperti detak jantung, dan disertai dengan suara gemeretak kecil dari rantai
perangkap. Ketika Jim sampai di ladang, dia mengarahkan senternya ke
batang-batang jagung yang rusak. Binatang itu mendesis, melompat ke arah
cahaya; tapi tidak bisa melepaskan diri dari rantai. Itu adalah rakun berpunggung
bungkuk yang gemuk. Sekarang dia bersembunyi dari cahaya dan mengacak-acak
jagung. Jim menunggu. Di bawah cahaya bintang dia bisa melihat batang-batang
jagung yang tinggi compang-camping dan ketika angin melewati daun-daun mereka
bergoyang seperti tongkat. Rakun itu, didorong oleh rasa sakit, mulai memukuli
tanah dan Jim menahan senternya di laras senapan dan menembak dua kali. Ketika
rakun itu mati, dia melepas perangkap itu dan membawanya bersama bangkai
binatang itu keluar kebun.
Malam itu adalah malam yang luar biasa, tenang, dan indah. Alih-alih
kembali ke jalan, dia mengambil jalan pintas melalui taman menuju gudang. Tanah
sangat gelap. Dia bergerak dengan hati-hati dan canggung. Bangkai berat itu
berbau seperti anjing. "Tuan Brown, Tuan Brown, oh, Tuan. Brown,"
seseorang memanggil. Itu Agnes. Suaranya terengah-engah dan cerewet. Agnes dan
Carlotta berdiri di taman. Mereka mengenakan baju tidur. "Kami mendengar
suara," kata Agnes. "Kami mendengar letusan senapan. Kami takut sudah
terjadi kecelakaan. Tentu saja saya tahu kalau Carlotta baik-baik saja. Dia
berada tepat di samping saya. Begitu kan, Sayang? Tapi kami tidak bisa tidur.
Kami tidak bisa menutup mata setelah kami mendengar suara itu. Apakah semuanya
baik-baik saja?"
"Ya," kata Jim. "Ada rakun di kebun."
"Di mana rakunnya?" tanya Carlotta.
"Rakun itu sudah pergi, pergi jauh, Sayang," kata Agnes.
"Ayolah, kemari, Sayang. Saya harap tidak ada yang lain yang akan
membangunkan kami, bukan?" Mereka berbalik dan kembali ke rumah, saling
mengingatkan soal tongkat batang jagung dan selokan dan bahaya lain di pedesaan
itu. Percakapan mereka dipenuhi dengan bisikan, ketakutan, dan ketidakjelasan.
Jim ingin membantu mereka, dia ingin segera membantu mereka, dia ingin
menawarkan senternya, tapi mereka akhirnya sampai ke rumah tanpa bantuannya dan
dia mendengar suara pintu belakang ditutup.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek John Cheever yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Contralto: jenis suara perempuan yang paling rendah.
2 Sir Walter Raleigh: penulis, penyair, tentara, politikus,
mata-mata, dan penjelajah Inggris; dikenal karena mempopulerkan tembakau di
Inggris.
3 Scotch: whiski buatan Skotlandia.

Comments
Post a Comment