Afrika Membunuh Mataharinya (Africa Kills Her Sun ~ Ken Saro Wiva)

Afrika Membunuh Mataharinya (Africa Kills Her Sun ~ Ken Saro Wiva)

Dear
Zole,

Kau akan terkejut, pasti, menerima surat ini. Tapi aku tidak bisa meninggalkan duniamu yang indah ini tanpa mengucapkan selamat tinggal kepadamu yang ditakdirkan untuk hidup di dalamnya. Aku tahu beberapa orang mungkin akan menganggap tindakanku sedikit menyedihkan, seperti teman-temanku, Sazan dan Jimba, yang momen-momen terbaik kami baru terjadi dua atau tiga minggu lalu. Tapi, bagiku, surat ini adalah sebuah perayaan, sebuah pernyataan cinta terakhir, sebuah kualitas yang, terlepas dari karierku, terlepas dari esok pagi, tidak pernah banyak kumiliki, dan kuhargai. Karena, aku selalu menghargai banyak momen bahagia yang kita habiskan bersama di masa muda kita ketika dunia masih baru dan ikan-ikan berenang-renang di kolam keemasan. Dalam cinta yang kita bagi saat itu, aku menemukan kebahagiaan, tempat peristirahatan sejati, tempat berlindung dari berbagai badai yang sudah menerjang hidupku yang singkat. Kapan pun aku merasa sangat sendiri, kapan pun aku terkoyak oleh konflik dan rasa sakit, aku berpaling pada cinta untuk ketetapan yang sudah menopang dan mendampingiku melewatinya. Ini mungkin mengejutkanmu, mengingat cinta ini tidak pernah terwujud dan kau mungkin sudah melupakanku, tidak pernah melihatku setelah sepuluh tahun berlalu. Aku masih mengingatmu, selalu mengingatmu, dan wajar saja kalau malam ini sebelum esok menjelang, aku menulis surat untukmu untuk meminta sedikit bantuanmu. Tapi yang lebih penting, mengetahui bahwa aku sudah mencurahkan isi hatiku kepadamu akan membuat peristiwa esok pagi sama menyenangkan dan menggairahkannya buatku, seperti halnya buat ribuan penonton yang akan menyaksikannya.

Aku tahu surat ini akan sampai kepadamu karena sipir penjara sudah disuap sangat banyak untuk menyampaikannya. Seharusnya dia bersama kami di hadapan regu tembak besok. Tapi dia dikutuk, seperti kebanyakan orang, untuk hidup, untuk memainkan peran yang ditugaskan kepadanya di duniamu yang seperti neraka ini. Aku melihatnya menghabiskan hidupnya yang membosankan dan tidak bisa dia pahami, melakukan pekerjaan kasarnya demi upah kecil dan suap selama bertahun-tahun ke depan. Aku kasihan dengan ketidaktahuannya dan tidak bisa iri dengan kepuasan dirinya. Besok pagi, dengan surat ini dan suap kami di sakunya, dia akan memanggil kami, Sazan, Jimba, dan aku. Seperti biasa, dia akan mengacaukan panggilan nama kami: dia selalu memanggil Sazan 'Sajim' dan Jimba 'Samba'. Tapi itu tidak akan jadi masalah. Kami akan mematuhinya, dan sambil berjalan menuju kematian kami, kami akan menertawakan kecanggungannya, kebodohannya yang nyata. Seperti kami menertawakan pencuri lainnya, Hakim Pengadilan Tinggi.

Kau pasti sudah melihatnya di koran juga. Kami melihatnya berkat teman kami yang menerima suap, sipir penjara, yang mengirimkan surat kabar tempat berita itu dimuat. Kaui bukan karena bangsa yang tidak punya perasaan ini, di antara orang-orang yang terbiasa dengan kejahatan dan menikmati kesenangan sadis atas hilangnya nyawa orang, beberapa pertanyaan mungkin akan muncul. Tidak diragukan lagi, banyak yang akan bertanya, tapi mereka akan melakukannya dengan aman dan nyaman di rumah mereka, sambil menenggak berbotol-botol bir tanpa henti, menonton tanpa mengerti program-program televisi mereka yang membosankan dan murahan, program-program apkiran Eropa dan Amerika, yang diimpor untuk mengisi kekosongan mereka. Mereka akan menenangkan hati nurani mereka dengan lebih banyak botol bir, menelan semua jawaban dengan kerongkongan mereka dan membuang pertanyaan, hati nurani, dan jawaban ke dalam selokan terbuka mereka yang penuh dengan kotoran dan kegelapan yang pekat. Lalu mereka akan lupa.

Tapi, aku yakin Hakim Pengadilan Tinggi sendiri tidak akan pernah melupakannya. Dia pasti akan mengingatnya seumur hidup. Karena aku mengamatinya dengan saksama pada pagi pertama itu. Dan aku tidak bisa menggambarkan keterkejutan dan ketidakpercayaan yang terpancar di wajahnya. Kacamatanya jatuh ke meja dan dengan susah payah dia berusaha untuk kembali tenang. Pasti itu adalah pertama kalinya dalam seluruh pengalamannya dia mendapati seseorang yang didakwa atas tuduhan yang hukumannya kalau terbukti bersalah adalah mati, mengaku bersalah dan menuntut agar mereka dihukum dan ditembak tanpa penundaan lebih lama.

Sazan, Jimba, dan aku sudah melatihnya dengan saksama. Selama berbulan-bulan kami ditahan di penjara sementara para jaksa penuntut mempersiapkan kasus mereka, kami sepakat untuk tidak membiarkan persidangan yang panjang, atau kemungkinan mereka menjatuhkan hukuman yang berbeda kepada kami: membebaskan satu orang, menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada yang lain, dan hukuman mati kepada yang lain lagi.

Kami juga tidak ingin para pengacara berjubah pemakaman hitam mereka yang aneh itu berkesempatan untuk bergurau, berargumen demi kesenangan, terlibat dalam perdebatan yang tidak berguna. Tidak. Kami memilih hukuman mati. Lagipula, kami perampok bersenjata, bandit. Kami tahu itu. Kami tidak ingin memberi hukum kesempatan untuk membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang bodoh. Kami jujur pada diri kami sendiri, pada panggilan kami, pada negara kami, dan pada umat manusia.

‘Hukum mati kami segera dan kirim kami ke hadapan regu tembak tanpa penundaan lebih lama,’ teriak kami serempak. 

Hakim, setelah pulih dari keterkejutan awalnya, meminta kami dibawa pergi hari itu juga, ‘karena mengganggu persidangan saya.’ Kurasa dia ingin tahu apakah kami mau menginap dan mengubah pembelaan kami. Kami tidak mau. Ketika mereka membawa kami kembali keesokan harinya, kami mengatakan hal yang sama dengan suara lebih keras. Kami bilang kami sudah merampok dan membunuh. Kami bersalah. Keren! Hakim itu terikat tangan dan kakinya dan melakukan apa yang harus dilakukannya. Kami memaksanya untuk jujur dengan panggilannya, pada hukum negara dan pada jalannya keadilan. Itu bukan prestasi yang mudah. Aula pengadilan tercengang; para penjaga kami sangat kagum saat kami berjalan keluar dari pengadilan, sambil tersenyum. ‘Penjahat kelas kakap,’ ‘bandit,’ kudengar mereka berkata saat kami beriringan keluar dari pengadilan. Seorang penonton benar-benar meludahi kami saat kami berjalan menuju Si Hitam Maria1 yang sudah menunggu!

Dan sekarang setelah aku mengaku sebagai bandit, kau akan bertanya mengapa aku melakukannya. Aku akan menjawab pertanyaan itu dengan menceritakan kembali kisah pelacur muda dan cantik yang aku temui di St. Pauli di Hamburg ketika kapal kami berlabuh di sana beberapa tahun yang lalu. Aku sudah menceritakan kisah itu kepada teman-temanku beberapa kali. Aku bertanya kepadanya, setelah kejadian itu, mengapa dia ada di tempat itu. Dia menjawab bahwa beberapa gadis memilih menjadi sekretaris di kantor, yang lain menjadi perawat. Dia memilih prostitusi sebagai karier. Keren. Aku tersentuh dengan kejujurannya. Dan dia membuat aku berpikir. Apakah aku bekerja di kapal dagang karena pilihan atau karena itu adalah pekerjaan pertama yang muncul dengan sendirinya ketika aku meninggalkan sekolah? Ketika kami kembali ke rumah, aku meninggalkan pekerjaan di kapal, berkat pelacur St. Pauli, dan mengambil posisi sebagai juru tulis di Kementerian Pertahanan.

Di sanalah aku berhadapan langsung dengan penjarahan nyata kekayaan negara, yang cara-caranya tidak terlukiskan tanpa membangkitkan emosi terdalam dan yang paling dasar dalam diriku. Semua orang melakukan hal itu dan tidak ada yang bisa aku keluhkan. Setiap orang yang kuajak bicara berkata kepadaku: 'kalau kau tidak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka.' Aku tidak berniat bergabung dengan siapa pun; aku ingin mengalahkan mereka dan memutuskan untuk berperang melawan mereka. Tidak lama kemudian mereka menyingkirkanku. Memecatku. Aku tidak punya pilihan selain bergabung dengan mereka saat itu. Aku harus membuat pilihan. Aku menjadi perampok bersenjata, bandit. Itu pilihanku, jawabanku. Dan aku tidak menyesalinya.

Tahukah aku bahwa itu berbahaya? Beberapa gadis menjadi sekretaris, yang lain memilih menjadi pelacur. Beberapa pemuda memilih menjadi tentara dan polisi, yang lain dokter dan pengacara; aku memilih menjadi perampok. Setiap pekerjaan memiliki risikonya masing-masing. Seorang sopir taksi mungkin menemui ajalnya di jalan; seorang pengusaha mungkin meninggal dalam kecelakaan pesawat; seorang perampok mati di hadapan regu tembak. Itu bukan masalah besar. Kalau kau bertanya kepadaku, kematian yang kupilih mungkin lebih dramatis, lebih kualitatif, lebih indah daripada mati di tempat tidur karena hati yang pecah akibat terlalu banyak minum alkohol. Ya? Tapi perampok itu antisosial, katamu? Sebuah perbuatan yang jelas melanggar hukum. Aku tidak ingin membuat alibi. Tapi coba bayangkan berapa banyak laki-laki dan perempuan yang melanggar atau membengkokkan hukum di semua pantai dan iklim. Carilah The Guardian edisi 19 September. Itu adalah edisi ketika pembelaan kami kepada hakim dimuat. Kau akan menemukan di sana kisah pejabat pemerintah yang mencuri lebih dari tujuh juta naira2. Tujuh juta. Keren. Dia antisosial juga, kan? Berapa banyak orang seperti dia yang kau kenal? Dan berapa banyak lagi yang tidak ketahuan? Kukatakan, kalau pekerjaanku antisosial, aku berada di kelompok yang benar. Dan kelompok itu terdiri dari para presiden, organisasi transnasional, pegawai negeri sipil, laki-laki maupun perempuan, tinggi maupun rendah. Satu-satunya perbedaan adalah aku siap menanggung akibatnya, yang lain tidak. Paham?

Aku tidak meminta pengertian atau simpatimu. Aku tidak membutuhkannya, baik sekarang maupun nanti. Aku mengatakannya apa adanya. Benar? Keren. Aku berharap kau akan mengatakan bahwa perampokan bersenjata adalah pekerjaan yang dilakukan oleh sampah masyarakat. Bahwa tidak ada orang dengan pendidikan sepertiku yang pantas menjadi bandit. Untuk itu aku akan menjawab bahwa sudah saatnya orang-orang yang kaya dan terlatih melakukannya. Mereka akan membawa kualitas romantis ke dalam profesi ini, kemahiran yang pada akhirnya akan membawa manfaat buat masyarakat. Tidak, aku tidak gila. Sungguh. Dulu, pengelolaan negara-negara Afrika yang merusak berada di tangan politisi yang setengah terpelajar. Sekarang, orang-orang kaya dan yang terlatih lebih baik sudah mengambil alih tugas tersebut. Dan lihat betapa baiknya mereka melakukannya. Jadi bahkan dalam hal itu, hati nuraniku bisa tidur nyenyak. Mengerti?

Bicara soal tidur, kau seharusnya membayangkan Sazan dan Jimba di lantai penjara yang dingin dan keras, mendengkur keras seolah hidup itu sendiri bergantung pada dengkuran yang baik. Melihat mereka seperti itu, mustahil untuk percaya bahwa mereka akan menghadapi regu tembak besok. Mereka orang-orang yang berani. Letnan yang terhormat. Sayang sekali kemampuan mereka akan hilang dari masyarakat selamanya, besok pagi. Sazan bisa menjadi Jenderal Angkatan Darat yang hebat kapan saja, mungkin presiden negara kita seperti Idi Amin3 atau Bokassa4. Orang Eropa dan Amerika akan menganggapnya sebagai sekutu yang berguna dalam degradasi progresif Afrika. Jimba akan menjadi Inspektur Jenderal Polisi yang hebat, dia sangat berpengalaman dalam hal kepolisian! Kau tahu, tentu saja, bahwa Sazan adalah Sersan yang diberhentikan dari tentara kebanggaan bangsa kita. Dan Jimba pernah menjadi Kopral di kepolisian. Ketika kami bertemu, kami memiliki alasan yang sama untuk menyatukan bakat kami. Dan sungguh sebuah tim yang hebat yang kami buat. Sekarang kami semua berada di sel kematian penjara berkeamanan maksimum, dan mereka mendengkur di lantai yang dingin dan bau selama berjam-jam terakhir hidup mereka. Sungguh melegakan melihat mereka begitu meremehkan hidup. Gaya mereka adalah bahan pembuat sejarah. Di masa dan negara lain, mereka akan menjadi Sir Francis Drake5, Courtes6, atau Sir Walter Raleigh7. Mereka akan membangun kerajaan dan meraih penghargaan nasional. Tapi di sini, hidup kami adalah bencana besar, tragedi tidak berujung. Kepahlawanan tidak ada di bintang kami. Kami seperti kaki seribu yang merayap di lantai hutan yang lembap dan basah. Jadi Sazan dan Jimba akan mati tanpa tanda jasa. Paham?

Satu hal. Kami bersumpah untuk tidak pernah membunuh. Dan kami tidak pernah melakukannya. Bahkan, kami tidak ikut serta dalam 'operasi' khusus yang menjadi alasan kami ditahan, Sazan, Jimba, dan aku. Operasi itu akan berjalan cukup baik kalau saja Kepala Polisi memenuhi janjinya. Karena dia terlibat dengan kami. Polisi terlibat dalam setiap perampokan yang terjadi. Mereka tahu seluruh komplotannya, geng-gengnya. Kami tidak akan berhasil kalau tidak bekerja sama dengan mereka. Sazan, Jimba, dan aku adalah bosnya. Kami tidak ikut 'operasi'. Biasanya anak buah kami yang melakukannya. Dan mereka memang ikut operasi pada saat itu. Kepala Polisi seharusnya menjauhkan pengawalan polisi dari kendaraan yang membawa gaji pekerja hari itu. Entah mengapa, dia gagal melakukannya. Dan polisi itu menembak anak-anak buah kami. Anak-anak itu membalas dan menembak mati dia dan para penjaga perusahaan keamanan. Anak-anak itu memang mendapatkan uangnya. Tapi, pembunuhan itu bertentangan dengan kesepakatan kami dengan polisi. Kami harus membayar. Polisi tidak akan menoleransi anak buah mereka terbunuh. Mereka mengambil semua uang kami, lalu mengejar anak buah kami. Kami menolak. Anak-anak itu sudah bertindak sesuai perintah. Kami mengajukan diri untuk menggantikan mereka. Polisi menerima kami dan membuat banyak kegaduhan di depan umum tentang hal itu. Anak-anak buah itu, aku tahu, akan membuat keputusan mereka nanti. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Kepala Polisi. Tapi dia harus melihat ke dalam dirinya sendiri. Jadi, kalau itu bisa menghiburmu, kau boleh tenang karena tahu bahwa aku tidak menumpahkan darah. Tidak, aku tidak akan melakukannya. Aku juga tidak menyimpan hasil rampasan itu. Entah bagaimana, apa pun yang kami ambil dari orang-orang –orang-orang kaya– selalu dibagi oleh geng, yang hampir selalu berada di garis kemiskinan. Sazan, Jimba, dan aku tidak kaya.

Oleh karena itu, banyak yang akan menuduh kami nekat, atau ceroboh dalam menjalani hidup. Dan memang mungkin begitu. Aku rasa aku mewakili teman-temanku yang sedang tidur ketika aku mengatakan bahwa kami terjun ke dunia kami karena kami tidak melihat perbedaan mendasar antara apa yang kami lakukan dan apa yang dilakukan kebanyakan orang lain di seluruh negeri saat ini. Dalam setiap aspek kehidupan kami –dalam politik, perdagangan, dan profesi– perampokan adalah hal yang biasa. Dan sudah begitu sejak dulu. Pada masa-masa awal, nenek moyang kita menjual kerabat mereka sebagai budak untuk barang-barang kecil seperti manik-manik, cermin, alkohol, dan tembakau. Sekarang, situasinya sama saja, cuma barang-barangnya yang berubah menjadi mobil, radio transistor, dan rekening bank. Tidak ada yang berubah, dan tidak akan ada yang berubah dalam waktu dekat. Tapi itulah masalah buat mereka yang akan hidup melampaui hari esok, Zole.

Ayam jantan sudah berkokok dan aku tahu fajar akan segera menyingsing. Aku tidak sedang berusaha puitis. Di dalam sel ini, kegelapan masih menyelimuti, kecuali cahaya lilin yang kugunakan untuk menulis. Sazan dan Jimba masih tertidur lelap. Begitu juga sipir penjara. Dia tidur sepanjang malam dan tidak merepotkan kami. Kami bisa, kalau mau, melarikan diri dari sini, saking longgarnya penjagaan para sipir. Tapi kami menganggap itu tidak perlu, karena apa yang akan terjadi nanti pagi adalah kelegaan yang akan disambut baik dari beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Para sipir dan kau yang masih hiduplah yang berada di penjara, penjara terdalam yang tidak bisa kau hindari karena kau tidak tahu bahwa kau dipenjara. Kebahagiaanmuadalah kebahagiaan dari ketidaktahuan dan ketidaktahuanmulah yang membuatmu tetap berada di penjara, yaitu hidup kalian. Saat malam ini berganti siang, Sazan, Jimba, dan aku akan bebas. Sazan dan Jimba tidak akan meninggalkan apa pun. Setidaknya aku akan meninggalkan surat ini, yang, tolong, simpanlah untuk generasi mendatang.

Zole, apa aku mengomel? Apa aku mencurahkan isi hatiku kepadamu dengan nada getir? Jangan salahkan aku karena aku akan ditembak regu tembak. Kalau dipikir-pikir lagi, kau bisa, kau tahu. Lagipula, melihat kematian dengan begitu jelas di hadapanku mungkin bisa membuatku lebih tajam, kan? Tapi aku selalu melihat hal-hal ini dengan jelas di mata pikiranku. Aku tidak pernah membicarakannya, tidak pernah membahasnya. Aku lebih suka membiarkannya membebaniku, mengerti?

Jadi, dalam beberapa jam lagi kami akan dipanggil. Kami akan naik bersama yang lain ke dalam truk menyedihkan yang masih mereka sebut Si Hitam Maria. Perhatikan bagaimana segala sesuatu yang menyedihkan dikaitkan dengan kita. Kambing hitam. Si Hitam Maria, Ilmu hitam. Kaki hitam8. Lubang Hitam Kalkuta9. Si Hitam Maria akan membawa kami ke pantai atau ke stadion. Aku yakin pasti ke stadion. Aku lebih suka pantai. Jadi setidaknya bisa melihat lautan sekali lagi. Karena aku masih memiliki rasa sayang terhadap laut yang berasal dari masa-masaku di kapal dagang. Aku mencintai hamparannya yang luas, anonimitasnya, kekuatannya, kedalamannya yang tidak terduga. Dan mungkin setelah menembak kami, mereka mungkin memutuskan untuk membuang tubuh kami ke laut. Kami kemudian akan dimakan oleh hiu yang pada gilirannya akan ditangkap oleh nelayan Jepang dan Rusia, didinginkan, dikemas dalam karton dan dijual ke pedagang India dan kemudian untuk keuntungan besar bagi rakyat kita. Dengan begitu, aku akan membantu menjaga orang-orang tetap hidup sedikit lebih lama. Tapi mereka tidak akan melakukan kebaikan itu kepada kami. Aku yakin mereka akan membawa kami ke Stadion. Untuk memberikan tontonan yang sesungguhnya bagi para pengangguran yang suka bersenang-senang. Untuk menjauhkan mereka dari masalah. Untuk menjauhkan mereka dari berpikir. Untuk membuat mereka tertawa. Dan menari.

Kami akan berada di sana dengan pakaian kotor yang sekarang kami kenakan. Barang-barang kami belum dicuci satu bulan ini. Mereka akan mengikat kami ke tiang pancang, seolah-olah itu perlu. Karena kalaupun kami berniat melarikan diri, ke mana kami akan lari? Aku rasa mereka juga ingin menutup mata kami. Sazan dan Jimba sudah mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan mata mereka ditutup. Aku setuju dengan mereka. Aku ingin melihat para eksekutor aku, berdiri tegak dengan gagah berani di hadapan moncong senjata mereka, melihat langit terbuka, matahari, siang hari. Melihat dan mendengar rakyat senegaraku saat mereka menyoraki kami hingga mati. Menuju kebebasan dan kemerdekaan.

Stadion akan penuh sesak. Dan banyak yang tidak akan mendapat tempat. Mereka akan memanjat pohon dan berkeliaran di balkon rumah-rumah di sekitar untuk melihat kami dengan jelas. Untuk menikmati pertunjukan gratis. Keren!

Lalu pendeta akan mendatangi kami, entah untuk berdoa atau menanyakan apakah kami punya permintaan terakhir. Sazan bilang dia akan minta rokok. Aku yakin mereka akan memberikannya. Aku bisa melihatnya mengisap rokok itu dalam-dalam sebelum peluru menmbus tubuhnya. Dia bilang dia akan menikmati rokok itu lebih dari apa pun yang pernah dia nikmati seumur hidupnya. Jimba bilang dia akan tetap diam merengut sebagai tanda penghinaannya. Aku akan berteriak kepada pendeta itu. Aku akan bilang, 'Pergi ke neraka, kau munafik, pezina, dan mesum.' Aku akan berteriak sekeras-kerasnya berharap penonton akan mendengarku. Betapa aku berharap ada mikrofon yang akan bergema di stadion, bahkan di seluruh negeri! Maka tawa akan tertuju pada pendeta itu dan mereka yang mengirimnya!

Pendeta itu akan mendoakan jiwa kami. Tapi bukan kami yang seharusnya dia doakan. Dia seharusnya berdoa untuk mereka yang masih hidup, untuk mereka yang hidupnya adalah siksaan setiap hari. Di antara doa-doa itu dan saat tembakan dibunyikan, akan ada keheningan yang mematikan. Keheningan kuburan. Transisi antara hidup dan mati. Dan akan terlihat bahwa perbedaan di antara keduanya setipis kertas. Jurang antara kami yang bernapas seperti orang lain di stadion dan kami sebagai daging untuk makanan cacing, oh, begitu tipis, hingga membuat hidup seperti kematian berjalan! Tapi aku akan senang terbebas dari dunia, dari eksistensi tidak berarti yang semakin suram setiap harinya. Tapi, aku akan merindukan Sazan dan Jimba. Akan sangat disayangkan melihat para laki-laki terhormat itu dibantai dan dihancurkan. Dan aku juga akan merindukanmu, gadisku sayang. Tapi itu tidak akan berarti apa-apa buat para penonton.

Mereka akan berbondong-bondong keluar dari stadion, menuruni pohon dan balkon rumah-rumah, seolah-olah baru pulang dari menonton pertandingan sepak bola. Mereka akan kembali ke lubang tikus mereka dengan perut kosong, dengan cerita-cerita yang cukup untuk mengisi sabtu malam. Orang-orang malang!

Orang-orang yang akan membawa kami keluar dari kehidupan ini kemudian akan melepaskan ikatan di tubuh kami dan membuangnya ke dalam truk, lalu ke kuburan umum yang terbuka. Itu pasti tugas yang sangat menjijikkan. Aku tidak akan melakukannya demi satu juta dolar. Tapi, beberapa orang malang akan melakukannya demi gaji yang sangat rendah di akhir bulan. Gaji yang akan mereka tambah dengan suap, kalau mereka ingin tetap hidup damai. Kukatakan, aku sungguh kasihan pada mereka. Paham?

Koran-koran akan dengan setia memuat kejadian penembakan kami. Kalau ada ruang, mungkin mereka akan memuat foto kami untuk menghiasi sarapanmu.

Aku ingat dulu pernah membaca di koran tentang seorang laki-laki yang meminta seorang pendeta untuk dikuburkan bersama tongkat jalannya –teman setianya selama bertahun-tahun. Dia digambarkan terkulai lemas, menggenggam erat tongkat jalan kesayangannya. Persahabatan sejati, begitulah. Nah, Zole, kalau kau pernah melihat fotoku seperti itu, potonglah. Berikan kepada pematung dan mintalah dia membuat patung seperti yang ada di foto. Dia harus membuat representasiku setepat mungkin. Aku harus tegas dalam karakter dan pantang menyerah. Aku punya sedikit uang di bank dan sudah memerintahkan bank untuk membayar kepadamu untuk keperluan membuat patung yang kuceritakan...

Waktu hampir habis, Zole. Sazan dan Jimba sudah bangun sekarang. Dan mereka terkejut aku tidak tidur semalaman. Sazan bilang setidaknya aku seharusnya tidur nyenyak di malam terakhirku di bumi. Aku bertanya padanya apakah aku tidak akan tidur nyenyak, selamanya, dalam beberapa jam lagi? Ini, menurutku, seharusnya menjadi malam kami yang paling terjaga. Sazan tidak seoakat dengan itu. Jimba juga tidak. Mereka berdiri, menguap, meregangkan tubuh, dan menggosok mata mereka. Lalu mereka duduk mengelilingiku. Mereka memintaku membacakan apa yang sudah kutulis. Aku tidak bisa melakukan itu, kataku pada mereka. Ini surat cinta! Dan di ambang kematian! Sazan bilang aku sudah gila. Jimba bilang dia yakin aku takut mati dan menatapku dengan keras dan lama untuk membenarkan kecurigaannya. Kukatakan aku tidak gila atau takut mati. Aku cuma memberi tahu pacar masa kecilku bagaimana perasaanku pada malam istimewa ini. Dan mengutusnya untuk tugas penting. Jimba bilang aku tidak pernah memberi tahu mereka kalau aku punya pacar. Aku bilang dia tidak penting sebelum momen ini.

Aku bahkan belum bertemu dengannya selama sepuluh tahun, aku ulangi. Kebutuhan yang sangat mendesak untuk menulis surat kepadanya adalah bahwa pada malam yang sangat istimewa ini aku merasakan kebutuhan untuk dekat dengan seseorang yang hidup, seseorang yang bisa memahami mengapa kami melakukan apa yang kami lakukan di dalam dan di luar pengadilan.

Sazan bilang dia sepenuhnya setuju denganku. Dia bilang dia juga ingin menuliskan pemikirannya. Apa aku punya kertas untuk dipinjamkan? Aku bilang tidak. Lagipula, waktunya sudah habis. Hari sudah siang dan aku bahkan belum menyelesaikan suratku. Apa mereka keberatan membiarkanku sendiri sebentar? Aku ingin sekali menyelesaikan surat ini, membungkusnya, dan memberikannya kepada sipir penjara sebelum dia benar-benar bangun dari tidur dan ingat untuk menjalankan tugas resminya yang berat.

Jimba dan Sazan, mereka orang-orang baik. Sazan bilang, beri tahu putriku untuk tidak punya anak karena percuma saja membawa kehidupan baru ke dalam kerasnya dunia. Jimba bilang, mintalah putriku meneteskan air mata untuknya kalau dia bisa melakukannya untuk orang yang tidak dikenalnya. Mereka berdua terkekeh dan mundur ke pojok sel, dan aku ditinggal sendirian untuk menyelesaikan suratku.

Nah, tadi aku cerita soal patungku. Jenazahku tidak akan bisa kau bawa. Kau tetap akan membuatkan makam untukku. Dan letakkan patung itu di batu nisan. Dan sekarang aku sampai pada bagian yang kuanggap paling penting dari surat ini. Epitafku10.

Aku sudah memikirkannya, kau tahu. Sungguh. Apa pendapatmu tentang perampok yang ditembak di stadion di hadapan penonton yang bersorak-sorai? Bahwa dia orang baik yang kemudian tersesat? Bahwa dia pantas dihukum mati? Bahwa dia bajingan? Seorang gelandangan? Seorang pembunuh yang hukumannya tidak cukup berat? 'Di sini terbaring X, yang ditembak di depan umum oleh regu tembak karena merampok sebuah van dan menembak para penjaga di siang bolong. Dia menjadi contoh bagi semua pencuri dan calon pencuri!'

Siapa yang peduli dengan epitaf? Mereka mungkin akan menganggapnya lelucon. Tidak. Itu tidak akan diterima. Aku akan puas dengan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sederhana dan masuk akal. Atau sesuatu yang benar-benar samar dan pantas untuk seseorang yang ditembak mati di depan umum atas pilihannya sendiri oleh regu tembak.

Bukan berarti aku peduli. Mati dengan cara yang akan kulakukan satu atau dua jam ke depan sungguh bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Aku berada di antara orang-orang yang luar biasa. Aku seharusnya tercatat dalam sejarah kita. Sejarah kekerasan, pembunuhan, dan ketidakpedulian terhadap kehidupan. Kenikmatan dalam menimbulkan rasa sakit –sadisme. Apakah itu kata yang tepat? Dunia ini seharusnya kutinggalkan dengan senang hati. Tapi tidak tanpa sebuah epitaf.

Aku ingat, bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih kecil, aku membaca di koran tentang seorang pemimpin Afrika yang berdiri di atas makam seorang letnan yang sudah meninggal dan sambil menangis berkata: 'Afrika membunuh putra-putranya.' Aku tidak tahu apa maksudnya, dan meskipun aku sudah cukup lama memikirkannya, aku belum mampu mengungkap misteri di balik kata-kata itu. Sekarang, hari ini, saat ini, kata-kata itu kembali membanjiri aku. Dan aku ingin meminjam darinya. Aku ingin kau menuliskan ini di batu nisanku sebagai sebuah epitaf: 'Afrika Membunuh Mataharinya.' Sebuah epitaf yang bagus, ya? Sebuah makam. Tentu saja. Sebuah gebrakan jenius, menurutku. Aku yakin kau akan setuju denganku. 'Afrika Membunuh Mataharinya!' Itulah mengapa dia digambarkan sebagai Benua Gelap? Ya?

Jadi, sekarang, gadisku sayang, aku sudah selesai. Hatiku seringan cahaya siang yang menyelinap diam-diam ke dalam sel gelap kami. Kudengar sipir penjara menggoyang-goyangkan kuncinya, memasukkannya ke lubang kunci. Sebentar lagi dan memutarnya dan memanggil kami keluar. Waktu kami sudah habis. Waktuku sudah habis dan aku harus mengirimkan semua cintaku kepadamu. Selamat tinggal.

Milikmu selamanya,

Bana.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Si Hitam Maria (Black Maria): istilah untuk mobil polisi yang digunakan untuk mengangkut tahanan yang berasal dari Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Afrika.

2 Naira: mata uang Nigeria.

3 Idi Amin Dada Oumee (1928–2003): perwira militer dan politikus Uganda yang menjabat sebagaipresiden ketiga Uganda dari tahun 1971 hingga penggulingannya pada tahun 1979. Dia memerintah sebagai diktator militer penguasa lalim paling brutal dalam sejarah dunia modern.

4 Jean-Bédel Bokassa (1921–1996): politikus dan perwira militer Afrika Tengah yang menjabat sebagai presiden Republik Afrika Tengah (CAR), setelah merebut kekuasaan dalam kudeta Saint-Sylvestre pada 1 Januari 1966. Dia kemudian mendirikan Kekaisaran Afrika Tengah (CAE) dengan dirinya sendiri sebagai kaisar, memerintah sebagai Bokassa I hingga penggulingannya dalam kudeta tahun 1979.

5 Sir Francis Drake (1540–1596): penjelajah dan bajak laut Inggris yang terkenal karena melakukan pelayaran keliling dunia kedua dalam satu ekspedisi antara tahun 1577 dan 1580 (menjadi ekspedisi Inggris pertama yang berhasil). Dia juga dikenal karena berpartisipasi dalam pelayaran perbudakan Inggris awal yang dipimpin sepupunya, John Hawkins, dan John Lovell. Berawal dari seorang pelaut biasa, pada tahun 1588 dia menjadi bagian dari pertempuran melawan Armada Spanyol sebagai wakil laksamana.

6 Hernán Cortés de Monroy y Pizarro Altamirano (1485–1547): penakluk Spanyol yang memimpin ekspedisi yang menyebabkan jatuhnya Kekaisaran Aztec dan membawa sebagian besar wilayah daratan Meksiko saat ini di bawah kekuasaan Raja Kastilia pada awal abad ke-16. Cortés adalah bagian dari generasi penjelajah dan penakluk Spanyol yang memulai fase pertama kolonisasi Spanyol di Amerika.

7 Sir Walter Raleigh (1553–1618): negarawan, prajurit, penulis, dan penjelajah Inggris. Salah satu tokoh paling terkenal di era Elizabethan, dia memainkan peran utama dalam kolonisasi Inggris di Amerika Utara, menekan pemberontakan di Irlandia, membantu mempertahankan Inggris melawan Armada Spanyol dan memegang posisi politik di bawah Elizabeth I.

8 Kaki hitam (Black leg): pengkhianat atau penjilat.

9 Lubang Hitam Kalkuta: penjara bawah tanah di Fort William, Kalkuta, berukuran 4,3 m × 5,5 m, tempat pasukan Siraj-ud-Daulah, Nawab Benggala, pada malam 20 Juni 1756 menahan tawanan perang Inggris semalaman dalam kondisi yang sangat sempit sehingga banyak orang meninggal karena mati lemas dan kelelahan karena panas, dan 123 dari 146 tawanan perang yang dipenjara di sana meninggal dunia.

10 Epitaf: tulisan di batu nisan.

Comments

Populer