Dante Dan Lobster (Dante And the Lobster ~ Samuel Beckett)
Hari
sudah pagi dan Belacqua1 masih terjebak di canti pertama di bulan2.
Dia begitu terpaku sehingga tidak bisa bergerak maju maupun mundur. Beatrice3 yang bahagia ada di sana, begitu pula Dante4, dan dia menjelaskan bintik-bintik di bulan kepadanya. Dia pertama-tama menunjukkan letak kesalahannya, lalu dia memberikan penjelasannya sendiri. Dia mendapatkannya dari Tuhan, sehingga dia bisa mengandalkan keakuratannya dalam setiap detail. Yang harus dia lakukan hanyalah mengikuti langkah demi langkahnya. Bagian pertama, sanggahan, berjalan lancar. Dia menyampaikan maksudnya dengan jelas, dia mengatakan apa yang ingin dia katakan tanpa bertele-tele atau membuang waktu. Tapi bagian kedua, demonstrasi, begitu padat sehingga Belacqua tidak bisa memahaminya. Sanggahan, teguran, itu nyata. Kemudian sampailah pada bukti, sebuah singkatan cepat dari fakta-fakta yang sebenarnya, dan Belacqua benar-benar terpaku. Dia juga bosan, tidak sabar untuk melanjutkan ke Piccarda5. Tetap saja dia menekuni teka-teki itu, dia tidak mau menyerah begitu saja, dia ingin mengerti sedikitnya makna kata-kata itu, urutan pengucapannya dan hakikat kepuasan yang mereka berikan kepada penyair yang salah informasi itu, sehingga ketika kata-kata itu berakhir dia merasa segar dan bisa mengangkat kepalanya yang berat, bermaksud untuk menyampaikan rasa terima kasih dan mencabut secara resmi pendapat lamanya.
Dia
masih memikirkan bagian yang sulit dipahami itu ketika mendengar suara lonceng
tengah hari. Seketika dia mengalihkan pikirannya dari tugas itu. Dia menyendok
buku itu dengan jari-jarinya dan menyekopnya hingga seluruh buku itu berada di atas
telapak tangannya. Divine Comedy6 menghadap ke atas di atas panggung
yang terbentuk dari telapak tangannya. Lalu dia mengangkatnya sampai ke bawah
hidungnya dan membantingnya hingga tertutup rapat. Dia mengangkatnya
tinggi-tinggi sejenak, menyipitkan matanya dengan marah, menekan sampul
kerasnya ke dalam dengan telapak tangannya. Lalu dia meletakkan buku itu di sisinya.
Dia
bersandar di kursinya untuk merasakan pikirannya mereda dan rasa gatal akan quodlibet7
yang remeh itu mereda. Tidak ada yang bisa dilakukan sampai pikirannya membaik
dan tenang, yang perlahan-lahan memang demikian. Lalu dia memberanikan diri
untuk mempertimbangkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Selalu ada
sesuatu yang harus dilakukan selanjutnya. Tiga kewajiban besar muncul. Pertama
makan siang, lalu lobster, lalu pelajaran bahasa Italia. Itu sudah cukup untuk dilakukan
selanjutnya. Setelah pelajaran bahasa Italia, dia tidak punya ide yang jelas. Tidak
diragukan lagi ada jadwal tidak penting yang sudah disusun seseorang untuk sore
dan malam hari, tapi dia tidak tahu apa. Bagaimanapun, itu tidak penting. Yang
penting adalah: satu, makan siang; dua, lobster; tiga, pelajaran bahasa Italia.
Itu lebih dari cukup untuk dilakukan.
Makan
siang, seandainya jadi, adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Kalau makan
siangnya ingin dinikmati, dan memang bisa sangat nikmat, dia harus dibiarkan
dalam ketenangan total untuk menyiapkannya. Tapi, kalau dia terganggu, kalau
ada tukang gosip yang datang tiba-tiba dengan ide atau permohonan besar, lebih
baik dia tidak makan sama sekali, karena makanan itu akan terasa pahit di
lidahnya, atau, lebih buruk lagi, tidak ada rasanya. Dia harus dibiarkan
sendirian, dia harus memiliki ketenangan dan privasi penuh, untuk menyiapkan
makan siangnya.
Hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengunci pintu. Sekarang tidak seorang pun
bisa mendekatinya. Dia mengeluarkan Herald8 lama dan menggelarnya di
atas meja. Wajah McCabe9 si pembunuh yang agak tampan menatapnya.
Kemudian dia menyalakan kompor gas dan melepaskan panggangan roti persegi, panggangan
dengan asbes, dari pakunya, lalu meletakkannya tepat di atas api. Dia menyadari
bahwa dia harus mengecilkan api. Memanggang roti tidak boleh dilakukan terlalu
cepat. Agar roti terpanggang sempurna, harus dilakukan dengan api kecil yang
stabil. Kalau tidak, dia hanya akan menghanguskan bagian luarnya dan membiarkan
isinya basah kuyup seperti sebelumnya. Kalau ada satu hal yang lebih dia benci
daripada yang lain, itu adalah merasakan giginya bertemu dengan genangan adonan
dan serat hambar. Dan sangat mudah untuk melakukannya dengan benar. Jadi,
pikirnya, setelah mengatur aliran udara dan menyetel panggangan roti, saat
rotinya dipotong, semuanya akan tepat. Sekarang roti panjang itu keluar dari
kaleng biskuit dan ujungnya diratakan di atas wajah McCabe. Dua kali memotong
tanpa henti dengan pisau roti dan sepasang roti mentah yang rapi, elemen utama
makanannya, terhampar di hadapannya, menunggu kenikmatannya. Sisa roti itu
kembali ke kurungannya, remah-remahnya, seolah tidak ada burung pipit di dunia
ini, disapu dengan cepat, dan potongan-potongan roti itu diambil dan dibawa ke panggangan
roti. Semua persiapan itu sangat tergesa-gesa dan dengan dingin.
Sekarang,
keahlian yang sesungguhnya mulai dibutuhkan, dan pada titik inilah rata-rata
orang mulai mengacaukan seluruh prosesnya. Dia menempelkan pipinya ke roti yang
lembut, terasa kenyal dan hangat, hidup. Tapi, sebentar lagi dia akan segera
menghilangkan kemewahan itu, demi Tuhan, dia akan segera menghilangkan tampilan
putih gemuk roti itu dari wajahnya. Dia mengecilkan gas sedikit dan meletakkan
satu potong roti lembek yang menggembung di atas kain yang berkilau, dengan
sangat rapi dan presisi, sehingga keseluruhannya mirip bendera Jepang. Lalu di
atasnya lagi, karena tidak ada ruang untuk meletakkan dua potong roti secara berdampingan,
dan kalau kau tidak melakukannya secara merata, kau mungkin juga tidak perlu
repot-repot melakukannya sama sekali, potongan yang lain dihangatkan. Ketika potongan
pertama selesai, yang dianggap selesai kalau sudah hitam seluruhnya, dia
bertukar tempat dengan potongan roti yang lain, sehingga sekarang pada
gilirannya dia berbaring di atas, dipanggang sampai selesai, hitam dan berasap,
menunggu sampai hal yang sama dilakukan pada potongan roti yang lain.
Bagi
sang petani, segalanya sederhana, dia mewarisinya dari ibunya. Noda-noda itu
adalah Kain10 dengan ikatan durinya, dirampas, dikutuk dari bumi, menjadi
buronan dan gelandangan. Bulan adalah wajah yang terpuruk dan ditandai,
terbakar dengan stigma pertama belas kasihan Tuhan, agar orang yang terbuang
tidak cepat mati. Itu adalah kekacauan dalam pikiran sang petani, tapi itu
tidak penting. Kalau itu sudah cukup baik untuk ibunya, maka itu sudah cukup
baik untuknya.
Belacqua
berlutut di depan api, mengamati panggangan, mengendalikan setiap tahapan pemanggangan.
Memang butuh waktu, tapi kalau sesuatu layak dilakukan, maka itu harus
dilakukan dengan baik, itulah pepatah yang benar. Jauh sebelum semuanya selesai,
ruangan itu sudah penuh asap dan bau terbakar. Dia mematikan gas, setelah semua
upaya dan keterampilan manusia sudah dilakukan, dan mengembalikan panggangan
roti ke tempatnya semula. Itu adalah tindakan yang merusak, karena sudah membuatn
goresan besar di kertas dindingnya. Itu adalah hooliganisme11
murni dan sederhana. Apa pedulinya dia? Apakah itu dindingnya? Kertas dinding yang
sama yang tanpa harapan itu sudah berada di sana selama lima puluh tahun. Buram
dimakan usia. Tidak bisa diperbaiki.
Selanjutnya,
oleskan pasta kental Savora12, garam, dan Cayenne13 pada
setiap roti bundar, ratakan selagi pori-pori masih terbuka karena panas. Tanpa
mentega, dilarang Tuhan, cukup sedikit moster, garam, dan merica pada setiap
roti bundar. Mentega adalah kesalahan besar, membuat roti panggang jadi lembek.
Roti panggang bermentega tidak masalah buat orang-orang tua dan para Salvationis14,
buat mereka yang cuma memiliki gigi palsu di kepala mereka. Roti panggang itu
sama sekali tidak cocok untuk mawar muda yang cukup kuat seperti Belacqua.
Makanan yang dengan begitu susah payah dia siapkan ini, dia akan melahapnya
dengan rasa gembira dan kemenangan, rasanya seperti memukul orang Polandia yang sedang berseluncur di atas es15. Dia akan menggigitnya dengan mata
tertutup, dia akan menggerusnya hingga menjadi bubur, dia akan menghancurkannya
sepenuhnya dengan taringnya. Kemudian, rasa pedas yang menyiksa, gigitan
rempah-rempah, setiap suapan terasa mati, membakar langit-langit mulutnya,
membuatnya menangis.
Tapi,
dia belum siap sepenuhnya, masih banyak yang harus dilakukan. Dia sudah
membakar persembahannya, dia belum mengolahnya sepenuhnya. Ya, dia sudah
meletakkan kuda di depan gerobak.
Dia
menepuk-nepuk roti panggang itu, menyatukannya dengan rapi seperti simbal,
saling menempel di atas pasta kental Savora. Lalu dia membungkusnya untuk
sementara dengan selembar kertas bekas. Kemudian dia bersiap untuk melakukan perjalanan.
Sekarang,
hal yang paling penting adalah menghindari gangguan. Dihentikan pada tahap ini
dan diganggu oleh obrolan akan menjadi bencana. Seluruh tubuhnya terpacu unutk maju
menuju kegembiraan yang menanti. Kalau dia diganggu sekarang, dia mungkin akan
langsung membuang makan siangnya ke selokan dan berjalan pulang. Terkadang rasa
laparnya, lebih karena pikiran, tidak perlu kukatakan, daripada karena tubuhnya,
karena makanan itu begitu gila sehingga dia tidak ragu untuk menyerang siapa
pun yang cukup gegabah untuk menghalangi dan menghalanginya, dia akan langsung
menyingkirkannya dari jalan tanpa basa-basi. Celakalah orang yang mengganggunya
ketika pikirannya benar-benar tertuju pada makanan itu.
Dia
berjalan cepat, kepalanya tertunduk, menyusuri labirin lorong-lorong yang
familier, lalu tiba-tiba masuk ke sebuah toko swalayan kecil milik keluarga. Di
toko, mereka tidak terkejut. Hampir setiap hari, di jam-jam seperti ini, dia
menyelinap masuk dari jalan dengan cara seperti ini.
Sepotong
keju sudah disiapkan. Terpisah sejak pagi dari potongannya, dia cuma menunggu
Belacqua memanggil dan mengambilnya. Keju Gorgonzola16. Dia mengenal
seorang laki-laki yang berasal dari Gorgonzola, namanya Angelo. Dia lahir di
Nice, tapi seluruh masa mudanya dihabiskan di Gorgonzola. Dia tahu di mana
mencarinya. Setiap hari, keju itu ada di sana, di sudut yang sama, menunggu
untuk dipanggil. Mereka adalah orang-orang yang sangat baik dan ramah.
Dia
menatap potongan keju itu dengan skeptis. Dia membaliknya untuk melihat apakah
sisi lainnya lebih baik. Sisi lainnya lebih buruk. Mereka sudah meletakkannya
dengan sisi yang lebih baik di atas, mereka sudah mempraktikkan tipuan kecil
itu sejak lama. Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Dia menggosoknya. Keju itu
berkeringat. Itu sesuatu. Dia membungkuk dan menciumnya. Aroma samar
pembusukan. Apa gunanya itu? Dia tidak menginginkan wewangian, dia bukan
penikmat makanan, dia menginginkan bau yang harum. Yang dia inginkan adalah
segumpal keju Gorgonzola hijau yang busuk dan bau, hidup, dan demi Tuhan dia
akan mendapatkannya.
Dia
menatap tajam ke arah penjual bahan makanan itu.
"Apa
ini?" tanyanya.
Si
pedagang menggeliat.
“Baiklah?”
tanya Belacqua, dia tidak takut ketika dibangunkan, “apa ini yang terbaik yang
bisa kau berikan?”
“Di
seluruh Dublin,” kata si pedagang, “Anda tidak akan menemukan bagian yang lebih
busuk saat ini.”
Belacqua
sangat marah. Si anjing kurang ajar ini, satu alasan kecil lagi saja, dia akan
menyerangnya.
"Tidak
bisa," teriaknya, "kau dengar aku? Sama sekali tidak bisa. Aku tidak
mau." Dia menggertakkan giginya.
Si
pedagang, alih-alih sekadar mencuci tangan seperti Pilatus17, malah
merentangkan tangannya, seperti sedang memohon dengan sangat. Dengan cemberut,
Belacqua membuka bungkusnya dan menyelipkan potongan keju yang sudah membusuk
itu di antara lembaran roti panggang hitam yang keras dan dingin. Dia
tertatih-tatih menuju pintu, lalu berbalik.
"Kau
mendengarku?" teriaknya.
"Tuan,"
kata si pedagang. Itu bukan pertanyaan, juga bukan ungkapan persetujuan. Nada
bicaranya membuatnya mustahil untuk mengetahui apa yang ada di benak laki-laki
itu. Itu adalah balasan yang sangat cerdik.
"Sudah
kubilang," kata Belacqua dengan nada sangat marah, "ini sama sekali
tidak bisa. Kalau kau tidak bisa memberikan yang lebih baik dari ini," dia
mengangkat tangan yang memegang bungkusan itu, "aku terpaksa pergi membeli
keju di tempat lain. Kau mengerti?"
“Tuan,”
kata si pedagang.
Dia
tiba di ambang pintu tokonya dan memperhatikan pelanggan yang kesal itu
tertatih-tatih pergi. Belacqua berjalan pincang, kakinya remuk, dia terus-menerus
menderita karenanya. Bahkan di malam hari, kakinya tidak beristirahat, atau
hampir tidak pernah beristirahat sama sekali. Karena kemudian kram mengambil
alih dari kapalan dan jari-jari kakinya yang bengkok, dan terus berlanjut.
Sehingga dia akan menekan ujung kakinya mati-matian ke pagar ujung tempat tidur
atau, lebih baik lagi, mengulurkan tangan dan menariknya ke atas dan ke
belakang menuju punggung kaki. Keterampilan dan kesabaran bisa menghilangkan
rasa sakit, tapi rasa sakit itu tetap ada, mempersulit istirahat malamnya.
Si
pedagang, tanpa menutup mata atau mengalihkan pandangan dari sosok yang
menjauh, membuang ingusnya di ujung celemeknya. Sebagai manusia yang baik hati,
dia merasa simpati dan kasihan kepada pelanggan aneh itu yang selalu tampak
sakit dan murung. Tapi di saat yang sama, dia adalah pedagang kecil, jangan
lupakan itu, dengan harga diri seorang pedagang kecil. Tiga sen, dia membuangnya,
keju senilai tiga sen per hari, satu shilling enam sen per minggu. Tidak, dia tidak
akan menjilat siapa pun untuk itu, tidak, bahkan pada orang yang terbaik di
negeri ini. Dia punya harga diri.
Tertatih-tatih
sepanjang jalan berliku menuju masyarakat rendahan tempat dia diharapkan, dalam
artian bahwa kedatangan sosoknya yang aneh tidak akan memancing komentar atau
tawa, Belacqua perlahan-lahan meredakan amarahnya. Sekarang, setelah makan
siang terasa seperti fait accompli18, karena orang-orang
bodoh yang tidak terkendali dari kelasnya sendiri, yang ingin menyampaikan ide
besar atau memaksakan janji bertemu, jarang berkeliaran di kawasan kumuh kota
ini, dia bebas mempertimbangkan hal kedua dan ketiga, lobster dan pelajarannya,
secara lebih rinci.
Pukul
tiga kurang seperempat dia harus tiba di sekolah. Kira-kira pukul tiga kurang
lima. Pub sudah tutup, penjual ikan buka kembali, pukul setengah tiga. Dengan
asumsi bibinya yang sudah tua dan menyebalkan sudah memberikan pesan agar tepat
waktu pagi itu, dengan aturan ketat bahwa pesanan harus siap dan menunggu agar
anak buahnya yang bandel tidak boleh terlambat ketika dia memesannya pagi-pagi
sekali, masih cukup waktu kalau dia meninggalkan pub saat toko tutup, dia bisa
tetap di sana sampai saat-saat terakhir. Benissimo19. Dia
punya setengah crown. Itu sudah cukup untuk dua gelas bir draft dan mungkin
sebotol untuk dihabiskan. Bir stout botolan mereka sangat enak dan penuh. Dan
dia masih punya cukup uang untuk membeli Herald dan naik trem kalau dia merasa
lelah atau dikejar waktu. Tentu saja, dia selalu berasumsi bahwa lobster sudah
siap untuk diserahkan. Sialan para pedagang ini, pikirnya, kau tidak pernah
bisa mengandalkan mereka. Dia belum melakukan latihan, tapi itu tidak masalah.
Profesornya begitu menawan dan luar biasa. Signorina20 Adriana
Ottolenghi! Dia tidak percaya seorang perempuan bisa lebih cerdas atau lebih
berpengetahuan daripada si kecil Ottolenghi. Maka dia menempatkannya di atas satu
tempat di benaknya, terpisah dari perempuan lain. Kemarin dia berkata bahwa
mereka akan membaca Il Cinque Maggio21 bersama. Tapi, sang
profesor tidak keberatan kalau dia mengatakan, seperti yang dia usulkan, dalam
bahasa Italia, bahwa dia akan merangkai kalimat gemilang dalam perjalanannya
meninggalkan pub, bahwa dia lebih suka menunda Cinque Maggio di
kesempatan lain. Manzoni22 adalah perempuan tua, Napoleon23
juga. Napoleone di mezza calzetta, fa l'amore a Giacominetta24.
Mengapa dia menganggap Manzoni sebagai perempuan tua? Mengapa dia
memperlakukannya dengan tidak adil? Pellico25 adalah perempuan lain.
Mereka semua perawan tua, pejuang hak pilih perempuan. Dia harus bertanya
kepada Signorina-nya dari mana dia bisa mendapatkan kesan itu, bahwa
abad ke-19 di Italia penuh dengan perempuan tua yang mencoba berkokok seperti
Pindar26. Carducci27 juga begitu. Juga tentang
bintik-bintik di bulan. Kalau pprofesornya itu tidak bisa menceritakannya saat
itu juga, dia akan menutupinya, dengan senang hati, di lain waktu. Semuanya
sudah siap sekarang dan teratur. Kecuali, tentu saja, lobsternya, yang pasti
tetap menjadi faktor yang tidak terhitung. Dia cuma harus berharap yang
terbaik. Dan bersiap menghadapi yang terburuk, pikirnya riang, terjun ke tengah
pub, seperti biasa.
Belacqua
mendekati sekolah, cukup bahagia, karena semuanya berjalan lancar. Makan siang
itu sukses besar, dan akan menjadi standar di benaknya. Sungguh, dia tidak bisa
membayangkan rasanya akan tergantikan. Dan sepotong keju pucat seputih sabun
itu ternyata begitu kuat! Dia cuma bisa menyimpulkan bahwa selama
bertahun-tahun dia sudah menyiksa dirinya sendiri dengan menghubungkan kekuatan
keju secara langsung dengan warna hijaunya. Kita hidup dan belajar, pepatah itu
benar. Gigi dan rahangnya juga serasa berada di surga, serpihan roti panggang
yang hancur berhamburan di setiap gigitan. Rasanya seperti makan kaca. Mulutnya
terasa terbakar dan sakit karena eksploitasi itu. Kemudian, makanan itu semakin
terasa lezat dengan informasi, yang disampaikan dengan suara rendah dan tragis
dari seberang meja oleh Oliver, si tukang servis, bahwa permohonan belas
kasihan pembunuh Malahide, yang ditandatangani oleh separuh negeri, sudah
ditolak. Laki-laki itu harus digantung saat fajar di Mountjoy28 dan
tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Ellis29, sang algojo, bahkan sedang
sedang dalam perjalanan. Belacqua, sambil mengunyah roti lapis dan menenggak
bir hitam yang nikmat, merenungkan McCabe di selnya.
Lobsternya
sudah siap, laki-laki itu langsung menyerahkannya, dengan senyum yang begitu
ramah. Sungguh, sedikit kesopanan dan niat baik sangat berarti di dunia ini.
Senyum dan kata-kata ceria dari seorang pekerja biasa, membuat wajah dunia
menjadi cerah. Dan itu begitu mudah, cuma soal kendali otot.
"Lepping30,"
katanya riang sambil menyerahkannya.
"Lepping?"
tanya Belacqua. "Apa itu?"
“Lepping
dengan segar, Tuan,” kata laki-laki itu, “segar sekali pagi ini.”
Sekarang
Belacqua, dengan analogi tentang ikan tenggiri dan ikan-ikan lainnya yang
pernah didengarnya yang digambarkan melompat-lompat segar padahal baru
ditangkap satu atau dua jam sebelumnya, mengira bahwa yang dimaksudkan laki-laki
itu adalah lobster yang baru saja dibunuh.
Signorina
Adriana Ottolenghi sedang menunggu di ruang depan kecil di luar aula, yang
Belacqua lebih suka menganggapnya sebagai ruang depan. Itu kamarnya, kamar
Italia. Di sisi yang sama, tapi di bagian belakang, adalah kamar Prancis. Entah
di mana kamar Jerman. Lagipula, siapa yang peduli dengan kamar Jerman?
Dia
menggantung mantel dan topinya, meletakkan bungkusan kertas coklat panjang yang
benjol-benjol di meja lorong, dan segera masuk menemui Ottolenghi.
Setelah
sekitar setengah jam berdiskusi, profesornya memuji pemahamannya terhadap
bahasa tersebut.
"Kau
membuat kemajuan pesat," katanya dengan suara seraknya.
Di
sana terdapat sosok Ottolenghi sebaik yang mungkin diharapkan dari seorang perempuan
pada usia tertentu yang menganggap menjadi muda, cantik, dan murni lebih
membosankan daripada hal lainnya.
Belacqua,
menyembunyikan kesenangannya yang besar, mengungkap soal masalah bulan.
"Ya,"
katanya. "Aku tahu bagian itu. Itu adalah godaan yang terkenal. Sejujurnya
aku tidak bisa memberitahumu, tapi aku akan mencarinya nanti saat aku
pulang."
Makhluk
manis itu! Dia akan mencarinya di Dante besarnya saat pulang nanti. Perempuan
yang luar biasa!
"Terlintas
dalam pikiranku," katanya, "entah apa, bahwa kau mungkin lebih baik kalau
mencoba melengkapi gerakan belas kasih Dante yang jarang di Hell. Dulu
itu" —ekspresi wakunya selalu sedih— "pertanyaan favorit."
Dia
mengutarakan ekspresi yang mendalam.
“Dalam
kaitannya dengan itu,” katanya, “aku ingat satu peribahasa yang bagus: ‘quivive la pietà quando è ben morta31....’ ”
Profesornya
tidak mengatakan apa-apa.
“Bukankah
itu peribahasa yang bagus?” katanya dengan penuh semangat.
Profesornya
tidak mengatakan apa-apa.
"Sekarang,"
katanya seperti orang bodoh, "Aku penasaran bagaimana kau bisa
menerjemahkannya?"
Profesornta
tetap tidak berkata apa-apa. Lalu, “Apakah menurutmu,” gumamnya, “benar-benar
perlu untuk menerjemahkannya?”
Suara-suara
seperti konflik terdengar dari aula. Lalu hening. Sebuah ketukan di pintu, lalu
pintu itu terbuka dan ternyata Mlle32 Glain, sang guru bahasa Prancis
perempuan, mencengkeram kucingnya, matanya menatap tajam ke arah tangkai, dalam
keadaan sangat gelisah.
"Oh,"
dia tersentak. "Maafkan aku. Aku mengganggu, tapi apa isi tas itu?"
“Tas?”
tanya Ottolenghi.
Mlle
Glain mengambil langkah maju ala Prancis.
“Bungkusan”
dia membenamkan wajahnya di kucing ‘bungkusan di aula.’
Belacqua
berbicara dengan tenang.
“Milikku,”
katanya, “seekor ikan.”
Dia
tidak mengerti bahasa Prancis untuk lobster. Ikan akan sangat baik. Ikan sudah cukup baik buat Yesus, Putra Allah, Sang Juruselamat33. Ikan juga
cukup buat bagi Mlle Glain.
"Oh,"
kata Mlle Glain, lega tidak terlukiskan, "Aku menangkapnya tepat
waktu." Dia menepuk kucing itu. "Dia pasti sudah
mencabik-cabiknya."
Belacqua
mulai merasa sedikit cemas.
"Apakah
dia benar-benar berhasil melakukannya?" tanyanya.
"Tidak,
tidak," kata Mlle Glain. "Aku menangkapnya tepat waktu. Tapi aku
tidak tahu," sambil terkekeh, "apa isi paket itu, jadi kupikir
sebaiknya aku datang dan bertanya."
Dasar
perempuan jalang yang suka menguping.
Ottolenghi
sedikit terhibur.
“Puisqu'il
n'y a pas de mal34...,” katanya dengan sangat lelah dan anggun.
“Heureusement35,”
langsung terlihat jelas bahwa Mlle Glain adalah orang yang religius dengan “heureusement”-nya.
Setelah
menegur kucing itu dengan tepukan ringan, dia pergi. Rambut putih
keperawanannya menjerit pada Belacqua. Seorang perawan berkaus kaki biru36
yang religius, mengasah diri demi skandal senilai satu sen.
“Sampai
di mana kita tadi?” tanya Belacqua.
Tapi
kesabaran orang Napoli ada batasnya.
“Sampai
di mana kita?” teriak Ottolenghi “kita berada, sebagaimana kita berada sekarang.”
Belacqua
semakin dekat ke rumah bibinya. Kita sebut saja musim dingin, supaya senja
segera tiba dan bulan terbit. Di sudut jalan, seekor kuda terkapar dan seorang laki-laki
duduk di atas kepalanya. Aku tahu, pikir Belacqua, bahwa itu dianggap hal yang
benar untuk dilakukan. Tapi mengapa? Seorang tukang lampu melintas dengan
sepedanya, memiringkan tongkatnya ke arah standar, mengadu lampu kuning kecilnya
dengan senja. Sepasang kekasih berpakaian buruk berdiri di ceruk sebuah gerbang
yang megah, yang perempuan bersandar di pagar, kepalanya tertunduk, sementara
Belacqua berdiri menghadapnya. Belacqua berdiri dekat dengannya, tangannya
terkulai di samping tubuhnya. Di mana kita berada, pikir Belacqua, sebagaimana kita
berada sekarang. Belacqua terus berjalan sambil menggenggam bungkusannya.
Mengapa tidak kebajikan dan belas kasihan bersama, bahkan di bawah sana?
Mengapa tidak belas kasihan dan kesalehan bersama-sama? Sedikit belas kasihan
dalam tekanan pengorbanan, sedikit belas kasihan untuk bersukacita melawan
penghakiman. Dia memikirkan Yunus dan labu dan belas kasihan Tuhan yang cemburu pada Niniwe37. Dan McCabe yang malang, dia akan tertimpa masalah
saat fajar. Apa yang sedang dia lakukan sekarang, bagaimana perasaannya? Dia
akan menikmati satu kali makan lagi, satu malam lagi.
Bibinya
sedang berada di kebun, merawat bunga-bunga yang layu di musim seperti itu. Dia
memeluknya dan bersama-sama mereka turun ke perut bumi, ke dapur di ruang bawah
tanah. Dia mengambil bungkusan itu dan membukanya, dan tiba-tiba lobster itu
ada di atas meja, di atas taplak minyak, terbuka.
“Mereka
meyakinkan aku bahwa ini segar,” kata Belacqua.
Tiba-tiba
dia melihat makhluk itu bergerak, makhluk yang netral ini. Jelas sekali ia
mengubah posisinya. Tangannya terjulur ke mulutnya.
“Ya
Tuhan Yesus!” katanya, “dia hidup.”
Bibinya
memandangi lobster itu. Lobster itu bergerak lagi. Lobster itu bergerak
samar-samar dengan gugup di atas kain minyak. Mereka berdiri di atasnya,
memandanginya dari atas, tubuhnya yang terbuka membentuk salib di atas kain
minyak. Lobster itu bergetar lagi. Belacqua merasa dia akan muntah.
"Ya
Tuhan," rengeknya, "dia masih hidup, apa yang harus kita
lakukan?" Sang bibi cuma bisa tertawa. Dia bergegas ke dapur untuk
mengambil celemeknya yang rapi, meninggalkannya terbelalak melihat lobster,
lalu kembali dengan celemeknya dan lengan baju tergulung, seolah-olah dia
sedang bekerja.
“Yah,”
katanya, “memang seharusnya begitu.”
"Jadi
selama ini," gumam Belacqua. Lalu, tiba-tiba menyadari peralatan bibinya
yang mengerikan, "Apa yang akan kau lakukan?" teriaknya.
"Merebus
binatang itu," katanya, "apa lagi?"
“Tapi
dia belum mati,” protes Belacqua, “kau tidak bisa merebusnya seperti itu.”
Bibinya
menatapnya dengan heran. Apakah dia sudah kehilangan akal sehatnya?
"Sadarlah,"
katanya tajam, "lobster selalu direbus hidup-hidup. Selalu begitu." Dia
mengambil lobster itu dan membaringkannya. Lobster itu gemetar. "Mereka
tidak merasakan apa-apa," katanya.
Dari
kedalaman laut, dia merayap ke dalam panci yang kejam. Selama berjam-jam, di
tengah musuh-musuhnya, dia bernapas diam-diam. Dia selamat dari kucing
perempuan Prancis itu dan cengkeramannya yang bodoh. Sekarang dia terjun
hidup-hidup ke dalam air mendidih. Dia harus. Menghirup napasku yang tenang ke
udara.
Belacqua
memandangi perkamen tua di wajah bibinya yang kelabu di dapur yang
remang-remang.
"Kau
ribut sendiri," katanya dengan marah, "dan membuatku kesal, lalu kau akan
melahapnya untuk makan malammu."
Bibinya
mengangkat lobster itu dari meja. Lobster itu cuma punya waktu sekitar tiga
puluh detik untuk bertahan hidup.
Baiklah,
pikir Belacqua, kematian yang cepat, semoga Tuhan menyelamatkan kita semua.
Tapi
tidak.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Belacqua dalam Divine Comedy
karya Dante Alighieri adalah tokoh minor dalam Purgatorio Canto IV. Dia
dianggap sebagai lambang kelambanan dan kemalasan, tapi dia diselamatkan dari
hukuman neraka dalam Inferno dan sering dianggap sebagai elemen komedi
dalam puisi tersebut karena kecerdasannya.
2 Ini merujuk langsung pada Paradiso
karya Dante Alighieri dalam Divine Comedy, di mana "canto"
(atau bagian) pertama berlatar di bulan.
3 Beatrice "Bice" di Folco
Portinari (1265–1290): perempuan Italia yang secara umum diidentifikasi
sebagai inspirasi utama untuk Vita Nuova karya Dante Alighieri, dan juga
diidentifikasikan dengan Beatrice yang bertindak sebagai pembimbingnya dalam
buku terakhir puisi naratifnya Divine Comedy, Paradiso, dan
selama kesimpulan dari Purgatorio sebelumnya. Dalam Comedy,
Beatrice melambangkan rahmat ilahi dan teologi.
4 Dante Alighieri (1265–1321):
penyair, penulis, dan filsuf Italia. Karyanya Divine Comedy, yang
aslinya disebut Commedìa (Italia) yang kemudian dinamai Divina
oleh Giovanni Boccaccio, secara luas dianggap sebagai salah satu puisi
terpenting Abad Pertengahan dan karya sastra terbesar dalam bahasa Italia.
5 Piccarda Donati: bangsawan dan
perempuan religius abad pertengahan dari Firenze, Italia. Dia muncul sebagai
tokoh dalam Divine Comedy karya Dante Alighieri.
6 Divine Comedy: puisi naratif
Italia karya Dante Alighieri. Puisi ini dibagi menjadi tiga bagian: Inferno,
Purgatorio, dan Paradiso.
7 Quodlibet: apa pun yang kau mau (Latin); dalam konteks filosofis dan
teologis, quodlibet mengacu pada debat atau diskusi yang memperdebatkan
topik apa pun, bahkan yang tampaknya sepele.
8 The Herald: surat kabar tabloid
kelas menengah nasional yang berkantor pusat di Dublin, Irlandia, dan
diterbitkan oleh Independent News & Media, anak perusahaan Mediahuis.
Surat kabar ini terbit Senin–Sabtu. Sebelumnya dikenal sebagai Evening Herald
hingga namanya diubah pada tahun 2013. Herald dikenal karena para
penjajanya yang berjualan di jalanan Dublin.
9 Kemungkinan mengacu kepada Henry McCabe, terdakwa pembunuh dalam kasus
pembunuhan sadis di Malahide, Dublin.
10 Kain: tokoh Alkitab dalam Kitab
Kejadian dalam agama-agama Abrahamik. Kakak laki-laki Habel, putra sulung Adam
dan Hawa, pasangan pertama dalam Alkitab. Dia adalah seorang petani yang
mempersembahkan hasil panennya kepada Tuhan, tapi Tuhan tidak berkenan dan
lebih menyukai persembahan Habel daripada persembahan Kain. Karena iri hati,
Kain membunuh saudaranya, yang karenanya dia dihukum oleh Tuhan dengan kutukan
dan diberi tanda. Sebuah legenda abad pertengahan menceritakan tentang Kain
yang tiba di bulan, tempat dia menetap selamanya dengan seikat ranting berduri.
Hal ini berawal dari fantasi populer yang menafsirkan bayangan di bulan sebagai
sebuah wajah. Contoh kepercayaan ini bisa ditemukan dalam Paradiso karya
Dante Alighieri, di mana ungkapan "Kain dan ikatan duri" digunakan
sebagai kiasan untuk "bulan".
11 Hooliganisme: perilaku
mengganggu atau melanggar hukum seperti kerusuhan, perundungan, dan vandalisme,
yang sering kali berkaitan dengan kerumunan orang di acara olahraga.
12 Savora: merek saus mustard khas
Prancis.
13 Cayenne pepper: sejenis
cabai bubuk yang sangat pedas.
14 Salvasionis: anggota Salvation
Army, gereja Kristen Protestan dan organisasi amal internasional yang
didirikan dan berkantor pusat di London, Inggris. Di Indonesia, gereja Salvation
Army diterjemahkan menjadi Bala Keselamatan.
15 Memukul
orang Polandia yang sedang berseluncur di atas es:
kalimat dari Hamlet karya Shakespeare, Babak 1, Adegan 1, yang diucapkan oleh
Horatio, merujuk pada kemenangan Raja Hamlet I atas Norwegia di masa lalu.
16 Keju Gorgonzola: keju biru
Italia yang terbuat dari susu sapi tanpa lemak, diyakini sudah dibuat sejak
abad ke-9. Keju ini mengambil namanya dari kota Lombardia Gorgonzola, Milan.
17 Pontius Pilatus: pejabat Romawi
yang menjabat sebagai prefek (gubernur) provinsi Yudea di Kekaisaran Romawi
dari tahun 26 hingga 36 Masehi. Dia paling dikenal melalui perannya dalam
pengadilan dan penyaliban Yesus Kristus di mana dia mencuci tangannya
sebagaimana tercatat dalam keempat Injil Perjanjian Baru.
18 Fait accompli: sesuatu yg tidak
bisa dipersoalkan lagi karena sudah selesai atau dilaksanakan (Prancis).
19 Benissimo: sangat bagus
(Italia).
20 Signorina: nona (Italia).
21 Il Cinque Maggio (Lima Mei):
puisi berbahasa Italia karya Lissander Manzon tentang kematian Napoleon
Bonaparte. Ditulis pada 16 Mei 1821, setelah mengetahui kematian Sang Kaisar di
Pulau St. Helena.
22 Alessandro Francesco Tommaso
Antonio Manzoni (1785–1873): penyair, novelis, dan filsuf Italia.
23 Napoleon Bonaparte (1769–1821):
jenderal dan negarawan Prancis yang menjadi terkenal selama Revolusi Prancis
dan memimpin serangkaian kampanye militer di seluruh Eropa selama Perang
Revolusi Prancis dan Perang Napoleon dari tahun 1796 hingga 1815.
24 Napoleone di mezza calzetta, fa
l'amore a Giacominetta: Napoleon setengah telanjang, bercinta dengan
Giacominetta (Italia).
25 Silvio Pellico (1789–1854): penulis, penyair, dramawan, dan
patriot Italia yang aktif dalam penyatuan Italia.
26 Pindar (518 SM–438 SM):
penyair lirik Yunani Kuno dari Thebes.
27 Giosuè Alessandro Giuseppe Carducci
(1835–1907): penyair, penulis, kritikus sastra, dan guru berkebangsaan
Italia. Dia sangat berpengaruh, dan dianggap sebagai penyair nasional resmi
Italia modern.
28 Mountjoy : penjara terkenal di
Irlandia.
29 William Ellis: algojo
Irlandia di abad 19, eksekutor yang mengeksekusi Henry McCabe.
30 Lepping: melompat (Irlandia).
31 Qui vive la pietà quando è ben morta: di sini belas kasih masih hidup, padahal dia sudah mati (Italia); dari Inferno Canto XX.
32 Mlle: singkatan dari Mademoiselle yang berarti Nona dalam bahasa
Prancis
33 Ini mengacu kepada kisah yang dikenal sebagai
mukjizat lima roti dan dua ikan, yaitu peristiwa ketika Yesus menggandakan
lima roti dan dua ekor ikan untuk memberi makan lebih dari 5.000 orang di
daerah dekat Betsaida.
34 Puisqu'il n'y a pas de mal:
karena tidak ada yang salah (Prancis).
35 Heureusement: syukurlah
(Prancis).
36 Kaus kaki biru (blue-stocking):
istilah untuk perempuan terpelajar dan intelektual, yang awalnya merupakan
anggota Blue Stockings Society dari Inggris pada abad ke-18 yang dipimpin oleh
perempuan penghibur dan kritikus Elizabeth Montagu (1718–1800),
37 Kisah Yunus dan labu terjadi setelah Yunus dimuntahkan oleh ikan yang menelannya dan pergi ke Niniwe. Yunus yang kesal dengan orang Niniwe, duduk di pondok di daratan yang tandus, Tuhan menumbuhkan sejenis pohon labu untuknya, Yunus gembira, tapi keesokan harinya pohon itu layu dimakan ulat, lalu Yunus pun marah kepada Tuhan.

Comments
Post a Comment