Pose (The Pose ~ Anwar Khan)
Hari
sudah malam. Jalanan penuh sesak, tapi orang-orang begitu sibuk berjalan
sehingga tidak seorang pun menyadari apa yang baru saja dilakukannya.
Kenapa
dia melakukannya? Dia sendiri mungkin tidak tahu alasannya. Memang, dia agak
pemberani di masa kecilnya. Tapi sekarang dia sudah dewasa, seorang mahasiswi,
cerdas, berkelas, dan sopan. Bahkan pemuda-pemuda paling berani di kampus pun ragu-ragu
untuk mendekatinya. Apa yang baru saja dilakukannya, yah, terjadi begitu saja.
Benar-benar tanpa rencana.
Berdiri di etalase, dia merasakan kenyamanan yang aneh menyelimutinya.
Bagaimanapun, dia
sekarang menjadi bagian dari pasar yang ramai ini. Dia juga bisa mengamati
tempat itu, seluruhnya, berdiri di satu tempat, tanpa harus bergerak. Berjalan
di antara kerumunan atau saat berbelanja, dia tidak pernah merasa menjadi
bagian dari kehidupan di sekitarnya —kehidupan yang riang, ramai, penuh
semangat, dan kegembiraan.
Tubuhnya
yang tegang perlahan-lahan mulai rileks, dan senyum spontan tersungging di
bibirnya. Dia agak menyukainya —berdiri dengan satu kaki sedikit ke depan,
ujung sarinya menutupi kepalanya lalu turun hingga melingkari siku kanannya. Dia
terlihat sangat menawan. Dia bisa berdiri dalam postur barunya selamanya,
pikirnya, dihampiri oleh sekilas ide, meskipun lututnya sudah mulai terasa
nyeri karena tekanan.
Dia
baru saja mempertimbangkan untuk sedikit bersantai ketika matanya menangkap
seorang petani yang tiba-tiba menerobos kerumunan di trotoar dan datang ke etalase,
lalu mulai melongo menatapnya dengan mata penuh nafsu sekaligus takjub. Matanya
seolah berkata —luar biasa! Pembuat patung ini begitu terampil! Mereka bisa
membuat patung yang terlihat seperti orang sungguhan!
Untung
saja panel kaca itu berdiri di antara mereka, kalau tidak, orang desa itu pasti
akan menyentuhnya.
Petani
itu mungkin ingin berlama-lama, tapi tatapan tajam orang-orang yang lewat
memaksanya untuk pergi. Begitu petani itu beranjak, dia sedikit mengendurkan
kakinya. Bahkan menggoyangkannya sedikit. Tapi sekarang bibirnya mulai terasa
kering. "Sebentar lagi," bisiknya kepada bibirnya, "lalu aku
akan mengajakmu ke restoran dan mentraktirmu segelas air es, diikuti secangkir
teh hangat yang mengepul." Rasa hausnya sedikit berkurang dan dia kembali
ke pose semula.
Dia
jelas tidak ingin memamerkan dirinya seperti ini kepada para pejalan kaki.
Mungkin pikiran itu bahkan tidak pernah terlintas di benaknya. Sebaliknya, dia
senang membayangkan bahwa dia sekarang menjadi bagian penuh dari kehidupan yang
ramai di sekitarnya. Perasaan itu aneh. Dia belum pernah merasakannya
sebelumnya.
“Ya
Tuhan!” —ekspresi itu keluar dari bibir dua orang mahasiswi— “betapa nyatanya!”
Suara
mereka, yang merambat di sepanjang panel kaca dan tersaring melalui
lubang-lubang pada bilah baja yang menahan bingkai, terdengar lembut olehnya,
seakan-akan dari jarak yang sangat jauh.
Kedua
gadis itu melongo kagum sambil bertukar kata di antara mereka, sementara dia
menatap mereka dengan penuh kasih. Dia bahagia, luar biasa bahagia. Tidak
seorang pun pernah memandangnya dengan apresiasi seperti itu sebelumnya,
setidaknya tidak di hadapannya. Layaknya seorang ratu yang baik hati dan penuh
kasih yang menerima pujian dari rakyatnya, dia mempertahankan pose anggunnya
hingga kedua gadis itu kembali melebur ke dalam kerumunan dan menghilang dari
pandangan.
“Mari
kita lihat siapa yang datang berikutnya?” pikirnya dalam hati.
Kakinya
mulai protes lagi. Tapi, kali ini, dia memberi mereka peringatan, yang agak
keras: Bajingan, diam di tempat! Tidak bisakah kalian menunggu sedikit saja? Dia
tidak akan mempedulikan sedikit pun protes mereka, pikirnya.
Dia
masih memuji dirinya sendiri atas tekadnya yang teguh ketika dia melihat
seorang polisi yang baru saja memisahkan diri dari kerumunan dan setelah
mengambil sejumput tembakau kunyah dari kotak yang dipegangnya, dia
menggosok-gosoknya dengan ibu jarinya. Saat polisi itu melihatnya, tangannya
langsung berhenti, mulutnya menganga, dan matanya melebar. Dia menatap polisi
itu dengan manis. Bulu mata polisi itu mulai berkedip-kedip kagum, dia
menggosok tembakau dengan cepat dan menjepitnya di antara bibir bawah dan
giginya, lalu menempelkan matanya ke kaca jendela.
Dia
diliputi keinginan kuat untuk tertawa, tapi berhasil menahannya dengan susah
payah. Tiba-tiba kakinya mulai gatal tidak tertahan. Bahkan ada sedikit gemetar
tak sadar. Tapi polisi itu mengira itu cuma ilusi, atau efek tembakaunya.
Polisi
itu menatapnya lama. Polisi itu mundur sedikit, lalu kembali dan memeriksanya
dengan saksama. Hal ini berlangsung begitu lama hingga dia mulai lelah. Apakah idiot
itu akan pergi, pikirnya? Dia merasa tidak nyaman. Dia tahu dia tidak bisa
terus-terusan berdiri dalam pose itu. Tapi, dia juga tahu bahwa dia aman di
dalam etalase. Di mana dia bisa menemukan tempat perlindungan seperti ini di
luar sana?
Syukurlah
polisi itu akhirnya memutuskan untuk pergi, dan dia menarik napas lega,
mengendurkan tangan dan kakinya, meluruskan punggungnya yang tegang, bahkan
memijatnya sedikit. Malam semakin dekat dan kerumunan sudah menipis hingga cuma
tersisa beberapa pejalan kaki yang berlari cepat.
Sebentar
lagi hari akan gelap, pikirnya. Sebaiknya dia pergi dari sini selagi masih ada
cahaya. Toko kain pasti sudah mulai sepi. Seseorang mungkin melihatnya keluar
dari etalase. Dia harus sangat berhati-hati... dan cepat. Tapi, ada kenyamanan
yang begitu nyata di dalam etalase itu! Betapa dia bermandikan kenikmatan itu!
Sepuluh menit lagi? Kenapa tidak.
Dia
masih memikirkan hal ini ketika melihat kekasihnya, Sheyama, di trotoar. Dia
langsung melompat ke posisi semula dan menahan napas. Sheyama meliriknya dengan
acuh tak acuh, dan karena pikirannya melayang ke tempat lain, untungnya, bahaya
itu bisa dihindari. Pikiran bahwa beberapa kenalannya mungkin melihatnya di
sini baru terlintas di benaknya ketika Sheyama datang. Tepatnya saat kakak
laki-lakinya pulang kerja, pikirnya dengan takut. Kakaknya mengidap penyakit
jantung. Bagaimana kalau dia melihat ‘kehormatan’ keluarga terekspos tanpa
malu-malu di jalan? Tidakkah dia akan mati mendadak?
Dua
anak laki-laki muncul di pandangannya. Mereka baru saja pulang sekolah, tas
mereka menempel di punggung. Mereka menatap dengan rasa ingin tahu yang membara
dan menempelkan wajah mereka —mata dan semuanya— pada kaca. "Hei, dia
nyata," suara salah satu anak laki-laki samar-samar terdengar di
telinganya. Sekali lagi dia ingin tertawa.
"Bodoh,
itu plastik," kata anak laki-laki yang satunya. "Siapa yang akan
mekakai model hidup?"
"Tapi
dia terlihat sangat nyata. Sepertinya dia akan membuka mulut dan mulai bicara
kapan saja."
"Itu
karena malam hari. Kalau pencahayaannya bagus, kau bisa lihat."
"Hai!"
kata anak laki-laki itu sambil mengedipkan mata nakal padanya.
Yang
satunya tertawa terbahak-bahak. Lalu dia melambaikan tangan dan berkata,
"Sampai jumpa!", lalu keduanya menghilang dari pandangannya.
Begitu
mereka pergi, dia tiba-tiba mulai tertawa, tapi juga tiba-tiba menjadi sangat
gugup.
Seorang
pemuda menatapnya dengan tatapan bingung dari seberang kaca. Ketika mata mereka
bertemu, pemuda itu tersenyum. Dia balas tersenyum, hanya untuk menyembunyikan
rasa takutnya. Dia segera meraih boneka plastik yang lain, dan mencoba
memasangnya, berpura-pura menjadi salah satu pramuniaga toko.
Mata
pemuda itu masih terpaku padanya.
Sambil
merapikan sari di sekeliling manekin itu, dia melirik pemuda itu dari sudut
matanya untuk melihat siapa yang sedang ditatapnya. Tatapan pemuda itu sejenak
tertuju pada figur plastik itu, lalu memantul dan terpaku padanya.
Dia
mundur, dengan sangat percaya diri, membuka pintu etalase dan berjalan keluar.
Tidak
seorang pun pelayan toko melihatnya pergi, atau kalaupun mereka melihatnya, dia
begitu lincah dan cepat sehingga mereka tidak tahu apa yang terjadi. Penjaga
pintu tidak menyadarinya, karena sedang sibuk mengobrol dengan salah satu
pramuniaga.
Dengan
percaya diri dia melangkah pergi, cepat tapi ringan, bahagia dan puas. Seolah
baru saja melepaskan seluruh beban tubuh dan jiwanya yang mengganggu. Setelah
berjalan agak jauh, dia berbalik dan melihat ke belakang. Pemuda itu masih
menatapnya, mungkin dengan heran.
Dia
segera berbelok ke jalan lain.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***

Comments
Post a Comment