Lingkaran Di Api (A Circle In The Fire ~ Flannery O'Connor)
“Aku
membaca tentangnya,” katanya.
“Dia
anggota keluarga Pritchard yang menikah dengan keluarga Brookins dan merupakan
kerabat saya —kira-kira sepupu ketujuh atau kedelapan dari pernikahan saya.”
"Wah,
wah," gumam Nyonya Cope sambil melemparkan segumpal besar rumput teki ke
belakangnya. Dia menyiangi gulma dan rumput teki seolah-olah mereka adalah
iblis yang dikirim langsung oleh iblis untuk menghancurkan tempat itu.
"Karena
dia kerabat kami, kami pergi melihat tubuhnya," kata Nyonya Pritchard.
"Kami juga melihat bayi kecilnya."
Nyonya
Cope tidak berkata apa-apa. Dia sudah terbiasa dengan cerita-cerita buruk
seperti itu; katanya, cerita-cerita itu membuatnya kelelahan. Nyonya Pritchard
rela menempuh tiga puluh mil demi kepuasan melihat seseorang yang terbaring.
Nyonya
Cope selalu mengganti pokok bahasan ke sesuatu yang ceria, tapi anak itu
mengamati bahwa hal itu hanya membuat Nyonya Pritchard menjadi tidak senang.
Anak
itu merasa langit yang kosong terlihat seolah-olah sedang menekan dinding barisan
pepohonan, mencoba menerobos. Pepohonan di seberang ladang terlihat seperti perca
abu-abu dan hijau kekuningan. Nyonya Cope selalu khawatir dengan api di
hutannya. Ketika malam sangat berangin, dia akan berkata kepada anak itu,
"Ya Tuhan, berdoalah agar tidak ada kebakaran, anginnya kencang
sekali," dan anak itu akan menggerutu dari balik bukunya atau tidak
menjawab sama sekali karena dia terlalu sering mendengarnya. Di sore hari di
musim panas, ketika mereka duduk di beranda, Nyonya Cope akan berkata kepada
anak yang sedang membaca cepat untuk menangkap cahaya terakhir, "Bangun
dan lihatlah matahari terbenam, sungguh indah. Kau harus bangun dan
melihatnya," dan anak itu akan cemberut tanpa menjawab atau melirik sekali
pun ke seberang halaman dan dua padang rumput depan ke barisan pepohonan
biru-abu-abu, lalu mulai membaca lagi tanpa mengubah ekspresinya, terkadang
bergumam dengan nada jahat, "Kelihatannya seperti kebakaran. Sebaiknya kau
bangun dan mengendus, memeriksa apakah hutannya terbakar atau tidak."
"Dia
melingkarkan lengannya di peti mati," lanjut Nyonya Pritchard, tapi
suaranya tenggelam oleh suara traktor yang dikendarai si negro, Culver, dari
gudang di jalan. Gerobak terpasang di belakangnya dan seorang negro lain duduk
di belakang, melompat-lompat, kakinya bergerak naik turun sekitar satu kaki
dari tanah. Gerobak yang terpasang di traktor itu melaju melewati gerbang yang
mengarah ke ladang di sebelah kiri.
Nyonya
Cope menoleh dan melihat bahwa laki-laki itu belum melewati gerbang karena
terlalu malas untuk turun dan membukanya. Dia berjalan memutar dengan biaya yang
ditanggung Nyonya Cope. "Suruh dia berhenti dan kemari!" teriaknya.
Nyonya
Pritchard bangkit dari cerobong asap dan melambaikan tangannya dengan galak, tapi
laki-laki itu pura-pura tidak mendengar. Dia mengendap-endap ke tepi halaman
dan berteriak, "Minggir, dibilangin kok! Dia memanggilmu!"
Laki-laki
itu turun dan berjalan menuju cerobong asap, mendorong kepala dan bahunya ke
depan pada setiap langkah untuk memberikan kesan sedang terburu-buru.
Kepalanya
terjulur ke atas dalam topi kain putih yang berlumuran keringat. Pinggirannya
turun dan menyembunyikan semua kecuali bagian bawah matanya yang kemerahan.
Nyonya
Cope berlutut dan mengarahkan sekopnya ke tanah.
"Kenapa
kau tidak lewat gerbang sana?" tanyanya sambil menunggu, matanya terpejam
dan mulutnya menganga seolah-olah dia sudah siap menerima jawaban konyol apa
pun.
"Harus
menaikkan bilah pemotong rumput dulu kalau begitu," katanya, dan
tatapannya mengarah tepat ke kiri. Orang-orang negro di hadapannya sama-sama merusak
dan tidak peduli seperti rumput teki.
Matanya,
saat dia membukanya, terlihat seolah akan terus membesar hingga membuatnya
terbalik. "Angkat kalau begitu," katanya sambil menunjuk ke seberang
jalan dengan sekop.
Laki-laki
itu pun pergi.
"Itu
tidak berarti buat mereka," katanya. "Mereka tidak punya tanggung
jawab. Syukurlah semua hal ini tidak terjadi sekaligus. Mereka akan
menghancurkanku."
"Ya,
mereka pasti akan melakukannya," teriak Nyonya Pritchard melawan suara
traktor. Laki-laki itu membuka pintu gerbang, mengangkat bilah traktor, lalu
melaju masuk dan turun ke ladang; suara itu mereda saat gerobak itu menghilang.
"Saya sendiri tidak mengerti bagaimana dia bisa mengendarai benda
itu," lanjutnya dengan suara normalnya.
Nyonya
Cope membungkuk, menggali rumput teki dengan bersemangat lagi.
"Kita
punya banyak hal untuk disyukuri," katanya. "Setiap hari kita
seharusnya memanjatkan doa syukur. Apakah kau melakukannya?"
"Ya,"
kata Nyonya Pritchard. "Lihat, perempuan itu sudah memakainya empat bulan
sebelum dia akhirnya pergi. Sepertinya kalau saya memakainya, saya akan
berhenti... bagaimana menurut Anda...?"
“Setiap
hari aku mengucapkan doa syukur,” kata Nyonya Cope.
"Bayangkan
semua yang kita miliki. Tuhan," katanya sambil mendesah, "kami punya
segalanya," dan dia memandang sekeliling, ke padang rumputnya yang subur
dan bukit-bukitnya yang dipenuhi kayu, lalu menggeleng-gelengkan kepala
seolah-olah semua itu hanyalah beban yang berusaha dia singkirkan dari
punggungnya.
Nyonya
Pritchard mengamati hutan. "Yang saya punya cuma empat gigi
bernanah," katanya.
"Yah,
syukurlah kau tidak punya lima," gumam Nyonya Cope sambil melempar
segumpal rumput. "Kita semua mungkin hancur oleh badai. Aku selalu bisa
menemukan sesuatu untuk disyukuri."
Nyonya
Pritchard mengambil cangkul yang disandarkan di sisi rumah dan dengan ringan
mencabut rumput liar yang tumbuh di antara dua batu bata di cerobong asap.
"Saya yankin Anda bisa," katanya, suaranya sedikit lebih sengau dari
biasanya karena nada menghina.
"Yah,
bayangkan orang-orang Eropa yang malang," lanjut Nyonya Cope, "mereka
dimasukkan ke dalam gerbong barang seperti hewan dan menaikinya sampai ke
Siberia. Tuhan," katanya, "seharusnya kita menghabiskan separuh waktu
kita dengan berlutut."
“Saya
tahu kalau saya memakai paru-paru besi, pasti ada hal-hal yang tidak akan saya lakukan,”
kata Nyonya Pritchard sambil menggaruk pergelangan kakinya yang telanjang
dengan ujung cangkul.
“Bahkan
perempuan malang itu pun punya banyak hal untuk disyukuri,” kata Nyonya Cope.
“Dia
bisa bersyukur karena dia tidak mati.”
"Tentu
saja," kata Nyonya Cope, lalu dia mengarahkan sekopnya ke arah Nyonya
Pritchard dan berkata, "Aku punya tempat yang paling terawat di daerah
ini, dan tahukah kau kenapa? Karena aku bekerja. Aku harus bekerja keras untuk
menyelamatkan tempat ini dan menjaganya." Dia menekankan setiap kata
dengan sekopnya. "Aku tidak membiarkan apa pun menghalangiku dan aku tidak
mencari masalah. Aku menerima segalanya apa adanya."
“Kalau
semuanya terjadi sekaligus suatu saat nanti,” Nyonya Pritchard memulai.
“Tidak
akan, semuanya tidak akan terjadi sekaligus,” kata Nyonya Cope tajam.
Anak
itu bisa melihat ke arah tempat jalan tanah bertemu dengan jalan raya.
Dia
melihat sebuah truk pikap berhenti di gerbang dan menurunkan tiga anak
laki-laki yang mulai berjalan menyusuri jalan tanah merah muda. Mereka berjalan
beriringan, anak laki-laki di tengah membungkuk ke samping sambil membawa koper
hitam berbentuk babi.
“Yah,
kalau sampai itu terjadi,” kata Nyonya Pritchard, “Anda hanya bisa angkat
tangan.”
Nyonya
Cope bahkan tidak menjawabnya. Nyonya Pritchard melipat tangannya dan menatap
ke bawah jalan seolah-olah dia bisa dengan mudah melihat semua bukit indah ini
rata dengan tanah. Dia melihat ketiga anak laki-laki yang hampir sampai di jalan
depan. "Lihat ke sana," katanya.
“Menurutmu
siapa mereka?”
Nyonya
Cope bersandar dan menopang dirinya dengan satu tangan di belakangnya dan
melihat. Ketiganya datang ke arah mereka tapi seolah-olah mereka akan berjalan
melalui sisi rumah. Yang membawa koper sekarang berada di depan. Akhirnya
sekitar empat kaki darinya, dia berhenti dan meletakkannya. Ketiga anak
laki-laki itu terlihat agak mirip kecuali bahwa yang berukuran sedang
mengenakan kacamata berbingkai perak dan membawa koper. Salah satu matanya
memiliki sedikit corak sehingga tatapannya tampak datang dari dua arah
sekaligus seolah-olah mengepung mereka. Dia mengenakan kaus dengan gambar kapal
perusak yang pudar di atasnya tapi dadanya begitu cekung sehingga kapal perusak
itu patah di tengah dan seperti hampir tenggelam. Rambutnya menempel di dahinya
dengan keringat. Dia terlihat berumur sekitar tiga belas. Ketiga anak laki-laki
itu memiliki tatapan putih yang tajam. "Saya rasa Anda tidak mengingat
saya, Nyonya Cope," katanya.
"Wajahmu
sepertinya tidak asing," gumamnya sambil mengamati anak laki-laki itu.
“Sekarang
mari kita lihat…”
“Ayah
saya dulu bekerja di sini,” ujarnya.
"Boyd?"
tanyanya. "Ayahmu Tuan Boyd dan kau JC?"
"Gak,
Bu, saya Powell, anak kedua, hanya saja saya sudah tumbuh besar dan ayah saya
sudah meninggal. Benar-benar meninggal."
"Meninggal.
Baiklah, aku paham," kata Nyonya Cope seolah kematian selalu suatu hal
yang tidak biasa. "Apa masalah Tuan Boyd?"
Salah
satu mata Powell tampak berputar mengelilingi tempat itu, mengamati rumah dan
menara air putih di belakangnya, kandang ayam, dan padang rumput yang
membentang di kedua sisinya hingga bertemu barisan hutan pertama. Mata yang
lain menatap perempuan itu.
“Meninggal
di Florida,” katanya sambil mulai menendang kopernya.
"Baiklah,
aku paham," gumamnya. Sedetik kemudian, dia berkata, "Bagaimana kabar
ibumu?"
"Ngomel-ngomel."
Dia terus memperhatikan kakinya menendang koper itu.
Dua
anak laki-laki lainnya menatapnya dengan tidak sabar.
“Dan
di mana kalian semua tinggal sekarang?” tanyanya.
"Atlanta,"
katanya. "Anda tahu, di salah satu perumahan."
"Baiklah,
aku mengerti," katanya, "aku mengerti." Setelah sedetik, dia
mengatakannya lagi.
Akhirnya
dia bertanya, “Dan siapa anak laki-laki lainnya ini?” dan tersenyum kepada
mereka.
“Garfield
Smith dia, dan WT Harper dia,” katanya sambil menganggukkan kepalanya ke
belakang, pertama ke arah anak laki-laki yang besar, lalu ke arah anak
laki-laki yang kecil.
"Apa
kabar kalian?" tanya Nyonya Cope. "Ini Nyonya Pritchard. Tuan dan Nyonya
Pritchard sekarang bekerja di sini."
Mereka
mengabaikan Nyonya Pritchard yang menatap mereka dengan mata sayu. Ketiganya terlihat
terpaku di sana, menunggu, memperhatikan Nyonya Cope.
"Wah,
wah," katanya sambil melirik koper anak itu, "senang sekali kau mau
mampir dan melihatku. Kurasa kau baik sekali."
Tatapan
Powell seakan menjepitnya dengan tang. "Kembali untuk melihat keadaan Anda,"
katanya serak.
"Dengar,"
kata anak laki-laki yang paling kecil, "selama kami bersamanya, dia selalu
menceritakan tentang tempat ini. Katanya semuanya ada di sini. Katanya ada kuda
di sini. Katanya dia mengalami saat-saat terbaik dalam hidupnya di sini. Selalu
membicarakannya."
"Dia
tidak pernah menutup mulutnya tentang tempat ini," gerutu anak yang lebih
besar, sambil menarik lengannya ke hidungnya seolah-olah untuk meredam
kata-katanya.
"Selalu
membicarakan kuda-kuda yang dia tunggangi di sini," lanjut anak yang
kecil, "dan bilang dia mau kita juga naik kuda. Katanya ada satu yang bernama,
Gene."
Nyonya
Cope selalu takut ada yang terluka di tempatnya dan menuntutnya atas semua yang
dimilikinya. "Kuda-kudanya belum diberi bersepatu," katanya cepat.
"Ada yang bernama Gene, tapi dia sudah mati. Tapi aku rasa kalian tidak
boleh menunggang kuda karena bisa terluka. Mereka berbahaya," katanya,
berbicara sangat cepat.
Anak
laki-laki besar itu duduk di tanah dengan suara jijik dan mulai meraba-raba
batu dari sepatu tenisnya. Anak laki-laki kecil itu melirik ke sana kemari,
sementara Powell menatapnya tajam tanpa berkata apa-apa.
Semenit
kemudian, anak laki-laki kecil itu berkata, "Nyonya, tahukah Anda apa yang
pernah dikatakannya? Dia bilang ketika meninggal, dia ingin kembali ke
sini!"
Sesaat
Nyonya Cope tampak kosong; lalu dia tersipu; lalu raut kesakitan yang aneh
muncul di wajahnya saat dia menyadari bahwa anak-anak itu lapar. Mereka menatap
berkeliling mereka lapar! Dia hampir tersentak melihat wajah mereka, lalu dia
cepat-cepat bertanya apakah mereka mau makan. Mereka bilang mau, tapi ekspresi
mereka yang tenang dan tidak puas sama sekali tidak berubah. Mereka terlihat
seolah-olah sudah terbiasa lapar dan itu bukan urusannya.
Wajah
anak perempuan di lantai atas menjadi merah karena kegirangan.
Dia
berlutut di dekat jendela sehingga hanya mata dan dahinya yang terlihat di
balik ambang jendela. Nyonya Cope menyuruh anak-anak laki-laki itu untuk
mendekat ke sisi lain rumah tempat kursi-kursi taman berada, dan dia memimpin
jalan, diikuti Nyonya Pritchard. Anak perempuan itu berpindah dari kamar tidur
kanan, menyeberangi lorong, ke kamar tidur kiri, dan memandang ke sisi lain
rumah, tempat tiga kursi taman putih dan tempat tidur gantung merah yang
digantung di antara dua pohon hazelnut. Dia adalah seorang gadis gemuk pucat berumur
dua belas dengan mata menyipit dan mulut besar penuh kawat gigi perak. Dia
berlutut di dekat jendela.
Ketiga
anak laki-laki itu datang dari sudut rumah dan yang berbadan besar melemparkan
dirinya ke dalam tempat tidur gantung dan menyalakan sebatang rokok sisa.
Anak
laki-laki yang kecil menjatuhkan diri di rumput di samping koper hitam dan
menyandarkan kepalanya di atasnya, sementara Powell duduk di tepi salah satu
kursi, seolah-olah berusaha melingkupi seluruh ruangan dalam satu tatapan yang
mengitarinya. Anak perempuan itu mendengar ibunya dan Nyonya Pritchard
berbincang-bincang pelan di dapur. Dia bangkit, keluar ke lorong, dan bersandar
di pegangan tangga.
Kaki
Nyonya Cope dan Nyonya Pritchard saling berhadapan di aula belakang.
"Anak-anak malang itu kelaparan," kata Nyonya Cope dengan suara
datar.
"Anda
lihat koper mereka?" tanya Nyonya Pritchard. "Bagaimana kalau mereka
berniat menginap di rumah Anda?"
Nyonya
Cope memekik pelan. "Aku tidak bisa menerima tiga anak laki-laki di sini,
hanya aku dan Sally Virginia," katanya. "Aku yakin mereka akan pergi
setelah aku memberi mereka makan."
“Saya
hanya tahu bahwa mereka membawa koper,” kata Nyonya Pritchard.
Anak
perempuan itu bergegas kembali ke jendela. Anak laki-laki yang besar berbaring
di tempat tidur gantung dengan pergelangan tangan bersilang di bawah kepala dan
puntung rokok di tengah mulutnya. Dia meludahkannya membentuk lengkungan tepat
ketika Nyonya Cope muncul di sudut rumah sambil membawa sepiring biskuit. Dia
langsung berhenti seolah-olah ada ular yang menghalangi jalannya.
"Ashfield!" katanya. "Tolong pungut itu. Aku takut
kebakaran."
"Gawfield!"
teriak anak laki-laki yang kecil dengan marah. "Gawfield!"
Anak
laki-laki besar itu berdiri tanpa sepatah kata pun dan berjalan tertatih-tatih
ke arah puntung rokok. Dia mengambilnya, memasukkannya ke dalam saku, lalu
berdiri membelakangi perempuan itu, mengamati tato hati di lengan bawahnya.
Nyonya Pritchard datang sambil memegang tiga Coca-Cola di leher dengan satu
tangan dan memberikan satu kepada masing-masing.
“Saya
ingat segalanya tentang tempat ini,” kata Powell sambil melihat ke arah mulut
botolnya.
“Kalian
pergi ke mana setelah meninggalkan tempat ini?” tanya Nyonya Cope sambil
meletakkan piring berisi biskuit di lengan kursinya.
Anak
itu melihatnya tapi tidak mengambil satu pun. Dia berkata, "Saya ingat itu
satu nama, Gene, dan satu nama, George. Kami pergi ke Florida dan ayah saya, Anda
tahu, meninggal, lalu kami pergi ke rumah saudara perempuan saya, lalu ibu saya,
Anda tahu, marah-marah, dan kami di sana sejak saat itu."
“Ada
biskuit,” kata Nyonya Cope lalu duduk di kursi di seberangnya.
"Dia
tidak suka di Atlanta," kata anak laki-laki yang kecil, sambil duduk dan
meraih biskuit dengan acuh tak acuh. "Dia tidak pernah suka dengan
tempatnya, kecuali tempat ini. Biar kuberi tahu apa yang akan dia lakukan, Nyonya.
Kami akan main bola, lihat, di tempat ini, di kompleks perumahan ini, kami
harus main bola, lihat, dan dia akan berhenti main dan berkata, 'Sialan, ada
kuda di sana, namanya Gene, dan kalau aku membawanya ke sini, aku akan
menghancurkan beton ini dan menungganginya sampai ke neraka!'"
"Aku
yakin Powell tidak menggunakan kata-kata seperti itu, kan, Powell?" tanya
Nyonya Cope.
"Tidak,
Bu," kata Powell. Kepalanya menoleh ke samping seolah-olah sedang
mendengarkan suara kuda di padang rumput. "Saya tidak suka biskuit jenis
itu," kata anak laki-laki itu sambil mengembalikan biskuitnya ke piring
dan berdiri.
Nyonya
Cope bergeser di kursinya. "Jadi kalian tinggal di salah satu kompleks
perumahan baru yang bagus itu," katanya.
"Satu-satunya
cara untuk mengenali rumahmu sendiri adalah dari baunya," kata anak
laki-laki yang kecil. "Tingginya empat lantai dan jumlahnya ada sepuluh,
satu di belakang yang lain. Ayo kita lihat kuda-kuda itu," katanya.
Powell
menatap Nyonya Cope dengan tatapan tajam. "Kami pikir kami akan menginap
saja di lumbung Anda," katanya. "Paman saya membawa kami sejauh ini
dengan truk pikapnya dan dia akan mampir lagi besok pagi."
Ada
saat di mana perempuan itu tidak mengatakan apa pun dan anak perempuan di
jendela berpikir: dia akan terbang dari kursi itu dan menabrak pohon.
“Yah,
aku rasa kau tidak bisa melakukan itu,” katanya, sambil tiba-tiba berdiri, “Lumbung
itu penuh dengan jerami dan aku takut api akan muncul dari rokokmu.”
“Kami
tidak akan merokok,” katanya.
“Aku
rasa kalian tidak bisa bermalam di sana,” ulangnya seolah-olah dia berbicara
sopan kepada seorang gangster.
"Baiklah,
kalau begitu kita bisa berkemah di hutan," kata anak laki-laki yang kecil.
"Kita bawa selimut sendiri. Itu yang kita bawa di koper. Ayo."
"Di
hutan!" kata perempuan itu. "Oh, tidak! Hutannya sekarang sangat
kering, aku tidak bisa membiarkan orang merokok di hutanku. Kalian harus
berkemah di ladang, di ladang ini di sebelah rumah, di mana tidak ada
pohon."
“Di
mana dia bisa mengawasimu,” kata anak itu lirih.
“Hutannya,”
gumam anak laki-laki yang besar dan keluar dari tempat tidur gantung.
"Kita
tidur di ladang saja," kata Powell, tapi tidak terlalu serius seolah-olah
sedang berbicara dengan perempuan itu. "Sore ini aku akan menunjukkan
tempat ini pada mereka." Dua anak lainnya sudah berjalan pergi, dan Powell
bangkit dan berlari mengejar mereka, sementara kedua perempuan itu duduk dengan
koper hitam di antara mereka.
“Tidak,
terima kasih, tidak, tidak, tidak, tidak,” kata Nyonya Pritchard.
“Mereka
hanya bermain dengan apa yang kita berikan untuk dimakan,” kata Nyonya Cope
dengan nada terluka.
Nyonya
Pritchard menyarankan bahwa mereka mungkin tidak menyukai minuman ringan.
“Mereka
terlihat lapar,” kata Nyonya Cope.
Menjelang
matahari terbenam, mereka muncul dari hutan, kotor dan berkeringat, lalu pergi
ke teras belakang dan meminta air. Mereka tidak meminta makanan, tapi Nyonya
Cope tahu mereka menginginkannya. "Aku cuma punya ayam guinea2 yang
sudah dingin," katanya. "Kalian mau ayam guinea dan roti lapis?"
"Aku
tidak akan makan apa pun yang botak seperti ayam guinea," kata anak
laki-laki yang kecil. "Aku akan makan ayam atau kalkun, tapi tidak ayam guinea."
"Anjing
tidak mau memakannya," kata anak laki-laki yang besar. Dia sudah melepas
bajunya dan menyelipkannya di belakang celananya seperti ekor. Nyonya Cope
dengan hati-hati menghindari tatapannya. Anak laki-laki yang kecil terluka di
lengannya.
"Kalian
anak-anak tidak menunggang kuda saat aku melarang kalian, kan?" tanyanya
curiga dan mereka semua menjawab, "Tidak, Bu!" serentak dengan suara
keras dan antusias seperti kata Amin yang diucapkan di gereja-gereja di desa.
Dia
masuk ke dalam rumah dan membuatkan mereka roti lapis. Sambil melakukannya, dia
mengobrol dengan mereka dari dapur, menanyakan pekerjaan ayah mereka, berapa
jumlah saudara laki-laki dan perempuan mereka, dan di mana mereka bersekolah.
Mereka menjawab dengan kalimat-kalimat pendek yang meledak-ledak, saling
mendorong bahu, dan tertawa terbahak-bahak seolah-olah pertanyaan-pertanyaan
itu memiliki makna yang tidak dia ketahui. "Dan apakah di sekolahmu ada
guru laki-laki atau perempuan?" tanyanya.
“Ada
yang keduanya, ada yang tidak bisa dibedakan,” teriak anak yang besar.
“Dan
apakah ibumu bekerja, Powell?” tanyanya cepat.
"Dia
nanya, apa ibumu bekerja!" teriak anak laki-laki yang kecil.
"Pikirannya terganggu oleh kuda-kuda yang dilihatnya," katanya.
"Ibunya kerja di pabrik dan meninggalkannya untuk mengurus anak-anak
yang lain, tapi dia tidak terlalu peduli pada mereka. Biar kukasih tau,
Bu, suatu kali dia mengunci adiknya di dalam kotak dan membakarnya."
"Aku
yakin Powell tidak akan melakukan hal seperti itu," katanya, keluar sambil
membawa sepiring roti lapis dan meletakkannya di tangga.
Mereka
langsung mengosongkan piring itu, dan perempuan itu mengambilnya lalu berdiri
memegangnya, menatap matahari yang terbenam di depan mereka, hampir di atas
barisan pepohonan. Matahari itu menggembung, berwarna merah menyala, dan
menggantung dalam jaring awan yang compang-camping, seolah-olah bisa terbakar kapan
saja dan jatuh ke hutan. Dari jendela lantai atas, anak perempuannya melihatnya
menggigil dan menggenggam kedua lengannya. "Kita punya banyak hal untuk
disyukuri," katanya tiba-tiba dengan nada sedih dan takjub. "Apakah
kalian semua bersyukur kepada Tuhan setiap malam atas semua yang sudah Dia
lakukan untuk kalian? Apakah kalian bersyukur kepadaNya atas segalanya?"
Hal
ini langsung membuat mereka terdiam. Mereka menggigit roti lapis mereka
seolah-olah sudah kehilangan selera makan.
"Ya
kan?" desaknya.
Mereka
diam seperti pencuri yang bersembunyi. Mereka mengunyah tanpa suara.
"Baiklah,
aku tahu," katanya akhirnya, lalu berbalik dan kembali ke rumah dan anak perempuannya
melihat bahu anak-anak laki-laki itu lemas.
Anak
yang besar merentangkan kakinya seolah-olah sedang melepaskan diri dari
jebakan. Matahari membakar begitu cepat sehingga seolah-olah berusaha membakar
semua yang terlihat. Menara air putih berkilap merah muda dan rumputnya
berwarna hijau tidak alami seolah-olah berubah menjadi kaca. Anak perempuan itu
tiba-tiba menjulurkan kepalanya jauh ke luar jendela dan berseru,
"Ugggghhrhh," dengan suara keras, menyilangkan mata dan menjulurkan
lidahnya sejauh mungkin seolah-olah dia akan muntah.
Anak
laki-laki yang besar mendongak dan menatapnya. "Yesus," gumamnya,
"perempuan lain."
Anak
perempuan itu mundur dari jendela dan berdiri menyandarkan punggungnya ke
dinding, menyipitkan matanya tajam seolah-olah wajahnya baru saja ditampar dan
tidak bisa melihat siapa pelakunya. Begitu mereka meninggalkan tangga, dia
turun ke dapur tempat Nyonya Cope sedang mencuci piring. "Kalau saja aku menangkap
anak yang besar itu, aku pasti sudah menghajarnya habis-habisan," katanya.
"Jauhi
anak-anak laki-laki itu," kata Nyonya Cope, sambil menoleh tajam. "Perempuan
tidak bisa menghajar orang seenaknya. Jauhi mereka. Mereka akan pergi besok
pagi."
Tapi,
keesokan paginya mereka tidak pergi.
Ketika
perempuan itu keluar ke teras setelah sarapan, mereka berdiri di dekat pintu
belakang, menendang-nendang tangga. Mereka mencium aroma daging asap yang dia
makan untuk sarapan. "Wah, anak-anak!" katanya. "Kukira kalian
akan bertemu paman kalian." Mereka memasang ekspresi lapar yang sama
seperti yang menyiksanya kemarin, tapi hari ini dia merasa sedikit
terprovokasi.
Anak
laki-laki yang besar langsung berbalik dan anak laki-laki yang kecil berjongkok
dan mulai menggaruk pasir. "Tidak," kata Powell.
Anak
laki-laki yang besar menolehkan kepalanya sedikit untuk melihat sebagian kecil
tubuhnya dan berkata, “Kami tidak akan mengganggu apa pun milikmu.”
Dia
tidak bisa melihat bagaimana mata perempuan itu membesar, tapi dia bisa
menangkap keheningan yang berarti. Semenit kemudian, perempuan itu berkata
dengan suara yang berubah, "Kalian mau sarapan?"
"Kami
punya cukup makanan," kata anak laki-laki yang besar. "Kami tidak
menginginkan apa pun darimu."
Perempuan
itu terus menatap Powell. Wajahnya yang pucat pasi tampak berkonfrontasi, tapi
tidak benar-benar melihatnya. "Kalian tahu aku senang kalian datang,"
katanya, "tapi aku harap kalian bersikap baik. Aku harap kalian bersikap
seperti laki-laki sejati." Mereka berdiri di sana, masing-masing memandang
ke arah yang berbeda, seolah menunggunya pergi. "Lagipula," katanya
dengan suara tiba-tiba melengking, "ini rumahku."
Anak
laki-laki yang besar mengeluarkan suara yang tidak jelas dan mereka berbalik
dan berjalan menuju lumbung, meninggalkannya di sana dengan ekspresi terkejut
seakan-akan dia disorot lampu sorot di tengah malam.
Tidak
lama kemudian, Nyonya Pritchard datang dan berdiri di pintu dapur dengan pipi
menempel di tepinya. "Saya rasa Anda tahu mereka menunggang kuda sepanjang
kemarin sore," katanya. "Mencuri kekang dari ruang pelana dan berkuda
tanpa pelana karena Hollis melihat mereka. Dia lari ngecek ke lumbung
pukul sembilan tadi malam, lalu dia lari ngecek ke ruang susu pagi ini
dan ada susu di seluruh mulut mereka seperti mereka habis minum langsung dari
kaleng."
"Aku
tidak bisa menerima ini," kata Nyonya Cope sambil berdiri di wastafel
dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya. "Aku tidak bisa menerima
ini," raut wajahnya sama seperti saat dia mencabut rumput teki.
“Tidak
ada yang bisa Anda lakukan,” kata Nyonya Pritchard.
"Yang
kuharapkan, kau akan menjaga mereka selama seminggu atau lebih sampai sekolah
dimulai. Mereka hanya ingin berlibur di pedesaan dan kau tak bisa berbuat
apa-apa selain pasrah."
"Aku
tidak akan menyerah," kata Nyonya Cope. "Suruh Tuan Pritchard
memasukkan kuda-kuda ke dalam kandang."
“Dia sudah melakukannya. Anda tahu, anak laki-laki berumur tiga belas bisa sama jahatnya dengan laki-laki yang dua kali lipat umurnya. Anda tidak akan tahu apa yang dia pikirkan untuk dilakukan. Anda tidak akan tahu di mana dia akan menyerang selanjutnya. Pagi ini Hollis melihat mereka di belakang kandang sapi dan anak yang besar nanya apakah mereka bisa mandi di sana dan Hollis bilang tidak, bukan, dan Anda tidak ingin ada anak yang buang puntung rokok di hutanmu dan dia bilang, 'Dia tidak memiliki hutan itu,' dan Hollis bilang, 'Itu punyanya,' dan anak yang kecil bilang,
'Bro, Tuhan yang punya hutan, termasuk perempuan itu juga,'
dan anak yang berkacamata bilang, 'Kurasa dia juga yang punya langit
di atas tempat ini,' dan anak yang kecil bilang, 'Punya langit dan gak
boleh ada pesawat terbang lewat tanpa ijinnya,' kemudian anak yang besar bilang,
'Aku belum pernah melihat tempat dengan begitu banyak perempuan sialan di
atasnya, bagaimana kau bisa bertahan di sini?' dan Hollis bilang dia sudah
cukup dengan omong besar mereka saat itu dan dia berbalik dan berjalan pergi
tanpa memberikan jawaban apa pun.”
"Aku
akan keluar dan memberi tahu anak-anak itu bahwa mereka bisa pergi dari sini
dengan truk susu," kata Nyonya Cope sambil keluar melalui pintu belakang,
meninggalkan Nyonya Pritchard dan anak perempuannya di dapur.
"Dengar,"
kata anak itu. "Aku bisa menangani mereka lebih cepat dari itu."
"Oh,
ya?" gumam Nyonya Pritchard, menatapnya lama dengan saksama.
"Bagaimana kau menangani mereka?"
Anak
itu menggenggam kedua tangannya dan membuat ekspresi wajah tegang seolah-olah
sedang mencekik seseorang.
“Mereka
akan mengalahkanmu,” kata Nyonya Pritchard dengan puas.
Anak
itu mundur ke jendela lantai atas untuk menghindar dan melihat ke bawah, tempat
ibunya berjalan menjauh dari ketiga anak laki-laki yang berjongkok di bawah
menara air sambil makan sesuatu dari kotak biskuit. Dia mendengar ibunya masuk
dari pintu dapur dan berkata, "Katanya mereka mau naik truk susu, dan
pantas saja mereka tidak lapar —koper mereka setengahnya penuh makanan."
“Mungkin
mereka juga mencuri semuanya,” kata Nyonya Pritchard.
Ketika
truk susu datang, ketiga anak laki-laki itu tidak terlihat, tapi begitu truk
itu pergi tanpa mereka, ketiga wajah mereka muncul, mengintip dari celah di
atas kandang sapi. "Bisakah kau mengatasi itu?" tanya Nyonya Cope,
berdiri di salah satu jendela lantai atas dengan tangan di pinggul.
"Bukannya aku tidak senang menerima mereka —tapi sikap mereka."
"Kau
tidak pernah suka dengan sikap siapa pun," kata anak perempuannya.
"Aku akan memberi tahu mereka bahwa mereka punya waktu lima menit untuk
meninggalkan tempat ini."
“Kau
tidak boleh mendekati anak-anak itu, apa kau dengar?” kata Nyonya Cope.
“Kenapa?”
tanya anak itu.
"Aku
akan keluar dan memberi tahu mereka yang aku mau," kata Nyonya Cope.
Anak
itu mengambil alih posisi di jendela dan dalam beberapa menit dia melihat topi
hijau kaku memantulkan cahaya matahari saat ibunya menyeberang jalan menuju
kandang sapi. Ketiga wajah itu langsung menghilang dari celah jendela, dan
sedetik kemudian anak laki-laki yang besar berlari melintasi halaman, diikuti
dua wajah lainnya.
Nyonya
Pritchard keluar dan kedua perempuan itu mulai berjalan menuju rerimbunan pohon
tempat anak-anak laki-laki itu menghilang. Tidak lama kemudian, kedua topi
matahari itu menghilang di hutan dan ketiga anak laki-laki itu keluar di sisi
kirinya dan berjalan santai melintasi ladang menuju petak hutan lainnya.
Pada
saat Nyonya Cope dan Nyonya Pritchard tiba di ladang, ladang itu sudah kosong
dan tidak ada yang bisa mereka lakukan selain kembali pulang ke rumah.
Nyonya
Cope belum lama berada di dalam rumah ketika Nyonya Pritchard berlari ke arah
rumah, meneriakkan sesuatu. "Mereka melepaskan sapi!" teriaknya.
"Melepaskan sapi!" Dan sedetik kemudian dia diikuti oleh sapi itu langsung,
berjalan pelan, hitam dan santai, dengan empat angsa mendesis di belakangnya. Sapi
jantan itu tidak ganas sampai dia dikejar-kejar dan Tuan Pritchard dan dua
orang negro membutuhkan waktu setengah jam untuk membawanya kembali ke
kandangnya. Sementara para laki-laki itu sibuk dengan itu, anak-anak laki-laki
itu mengeluarkan oli dari ketiga traktor lalu menghilang lagi ke dalam hutan.
Dua
urat biru muncul di kedua sisi dahi Nyonya Cope, dan Nyonya Pritchard
mengamatinya dengan puas. "Seperti yang saya katakan," katanya,
"tidak ada yang bisa Anda lakukan."
Nyonya
Cope menyantap makan malamnya dengan tergesa-gesa, tanpa menyadari bahwa dia masih
memakai topi matahari. Setiap kali mendengar suara, dia langsung melompat.
Nyonya Pritchard datang segera setelah makan malam dan berkata, "Nah, Anda
ingin tahu di mana mereka sekarang?" sambil tersenyum penuh arti dan
merasa dihargai.
"Aku
ingin tahu sekarang juga," kata Nyonya Cope, memberikan perhatian yang
hampir seperti sikap militer.
"Turun
ke jalan, melempari kotak surat Anda dengan batu," kata Nyonya Pritchard,
bersandar dengan nyaman di pintu. "Sudah hampir menjatuhkannya dari
tempatnya."
“Naik
ke mobil,” kata Nyonya Cope.
Anak
itu pun ikut naik mobil dan mereka bertiga berkendara menyusuri jalan menuju
gerbang. Anak-anak laki-laki itu duduk di tanggul di seberang jalan raya,
mengarahkan batu ke kotak surat di seberang jalan.
Nyonya
Cope menghentikan mobil tepat di depan mereka dan mendongak ke luar jendela.
Ketiganya menatapnya seolah belum pernah melihatnya sebelumnya, anak laki-laki yang
besar dengan tatapan cemberut, anak laki-laki yang kecil dengan tatapan sayu
dan tanpa senyum, dan Powell dengan tatapan kosongnya yang seperti kaca,
menatap kosong ke arah gambar kapal perusak di bajunya.
"Powell,"
katanya, "aku yakin ibumu pasti malu padamu," dan dia berhenti dan
menunggu hal itu memberi pengaruh. Wajah Powell terlihat sedikit berubah, tapi dia
terus menatap kosong ke arahnya.
"Aku
sudah menahan ini selama yang aku bisa," katanya. "Aku sudah berusaha
bersikap baik kepada kalian. Bukankah aku sudah bersikap baik kepada
kalian?"
Mungkin
ada tiga patung, kecuali patung yang besar itu, yang hampir tidak membuka
mulutnya, berkata, “Kami bahkan tidak berada di sisi jalanmu, Nyonya.”
"Tidak
ada yang bisa Anda lakukan," desis Nyonya Pritchard keras. Anak perempuannya
duduk di kursi belakang, dekat dengan kursi samping. Wajahnya tampak marah dan
geram, tapi dia tetap memalingkan kepalanya dari jendela agar mereka tidak bisa
melihatnya.
Nyonya
Cope berbicara perlahan, menekankan setiap katanya. "Aku rasa aku sudah
sangat baik kepada kalian, anak-anak. Aku sudah memberi kalian makan dua kali.
Sekarang aku akan pergi ke kota dan kalau kalian masih di sini saat aku
kembali, aku akan memangil sheriff3," dan setelah itu, perempuan
itu pergi. Anak perempuannya, sambil berbalik cepat agar bisa melihat ke luar
jendela belakang, memperhatikan bahwa mereka tidak bergerak; mereka bahkan
tidak menoleh.
“Anda
sudah membuat mereka marah sekarang,” kata Nyonya Pritchard, “dan tidak ada
yang tahu apa yang akan mereka lakukan.”
“Mereka
akan pergi saat kita kembali,” kata Nyonya Cope.
Nyonya
Pritchard tidak tahan dengan antiklimaks. Dia harus ‘merasakan darah’ untuk
menjaga keseimbangannya. "Saya kenal seorang laki-laki yang istrinya
diracuni oleh anak yang diadopsinya karena kebaikan hatinya," katanya.
Sekembalinya dari kota, anak-anak laki-laki itu tidak berada di tanggul dan dia
berkata, "Saya lebih suka melihat mereka daripada tidak melihat mereka.
Saat kita melihat mereka, kita tahu apa yang mereka lakukan."
"Konyol,"
gerutu Nyonya Cope. "Aku sudah membuat mereka takut, mereka sudah pergi,
dan sekarang kita bisa melupakan mereka."
"Saya
gak akan melupakan mereka," kata Nyonya Pritchard. "Saya gak
akan terkejut kalau mereka bawa pistol di dalam kopernya."
Nyonya
Cope bangga dengan caranya menangani pola pikir Nyonya Pritchard. Ketika Nyonya
Pritchard melihat tanda dan firasat, dia menyingkapnya dengan tenang sebagai
khayalan belaka, tapi sore ini sarafnya menegang dan dia berkata, "Aku
sudah muak. Anak-anak itu sudah pergi, sudah cukup."
“Baiklah,
kita tunggu saja,” kata Nyonya Pritchard.
Suasana
hening sepanjang sisa sore itu, tapi saat makan malam, Nyonya Pritchard datang
dan mengatakan bahwa dia mendengar suara tawa yang melengking dan ganas dari
balik semak-semak dekat kandang babi. Suara tawa itu jahat, penuh kelicikan
yang disengaja, dan dia sendiri sudah mendengarnya tiga kali dengan jelas.
“Aku
tidak mendengar apa-apa,” kata Nyonya Cope.
“Saya
memperkirakan mereka akan menyerang tepat setelah gelap,” kata Nyonya
Pritchard.
Malam
itu, Nyonya Cope dan anak itu duduk di beranda hingga hampir pukul sepuluh,
tanpa ada yang terjadi. Suara-suara yang terdengar hanyalah katak pohon dan
seekor burung cabak yang berkicau semakin cepat dari titik gelap yang sama.
"Mereka sudah pergi," kata Nyonya Cope, "kasihan mereka,"
dan dia mulai memberi tahu anak perempuannya betapa mereka patut bersyukur,
karena menurutnya mereka mungkin terpaksa tinggal di perumahan, atau mereka mungkin
orang negro, atau mereka mungkin hidup di paru-paru besi, atau mungkin mereka
orang Eropa yang dinaikkan ke gerbong barang seperti hewan. Dengan suara
tertahan, dia pun mulai memanjatkan doa berkat, yang tidak didengarkan oleh
anak itu, yang sedang berusaha keras untuk mendengar jeritan tiba-tiba di
kegelapan.
Keesokan
paginya pun anak-anak laki-laki itu tidak terlihat. Deretan pepohonan itu
berwarna biru granit keras, angin bertiup kencang semalaman, dan matahari
terbit dengan warna emas pucat. Musim sedang berganti.
Bahkan
perubahan cuaca sekecil apa pun membuat Nyonya Cope bersyukur, tapi ketika
musim berganti, dia terlihat seperti ketakutan akan keberuntungannya karena
lolos dari apa pun yang mengejarnya. Seperti yang terkadang dia lakukan ketika
satu hal selesai dan hal lain akan dimulai, dia mengalihkan perhatiannya kepada
anak yang sudah mengenakan baju kodok4 di atas gaunnya dan memakai
topi felt5 tua laki-laki hingga menutupi kepalanya, lalu
mempersenjatai dirinya dengan dua pistol di sarung pistol berhias yang dia
ikatkan di pinggangnya. Topi itu sangat ketat dan seolah-olah menekan kemerahan
ke wajahnya. Warnanya hampir mencapai ujung kacamatanya. Nyonya Cope menatapnya
dengan tatapan tragis. "Kenapa kau harus terlihat seperti orang
bodoh?" tanyanya. "Bagaimana kalau ada tamu? Kapan kau akan dewasa?
Apa yang akan terjadi padamu? Aku melihatmu dan aku ingin menangis! Kadang-kadang
kau terlihat seperti anak Nyonya Pritchard!"
"Biarkan
aku sendiri," kata anak itu dengan nada tinggi dan kesal. "Biarkan
aku sendiri. Biarkan saja aku sendiri. Aku bukan kau," dan dia pun masuk
ke dalam hutan seolah sedang mengintai musuh, kepalanya menjulur ke depan dan
masing-masing tangannya menggenggam pistol.
Nyonya
Pritchard menghampiri dengan nada masam, karena dia tidak punya cerita buruk
apa pun. "Kesengsaraan terpampang di wajah saya hari ini," katanya,
sambil memegang apa pun yang bisa dia pegang. "Gigiku ini. Rasanya kayak
bisul."
***
Anak
perempuan itu menerobos hutan, membuat dedaunan yang berguguran terdengar
mengancam di bawah kakinya. Matahari sudah terbit sedikit dan terlihat seperti
lubang putih, seperti celah bagi angin untuk keluar melalui langit yang sedikit
lebih gelap dari dirinya sendiri, dan puncak-puncak pohon tampak hitam di bawah
cahaya yang menyilaukan. "Aku akan menangkapmu satu per satu dan
menghajarmu sampai babak belur. Berbaris. BERBARIS!" katanya dan
mengacungkan salah satu pistol ke sekelompok pohon pinus panjang berbatang
gundul, empat kali tingginya, saat dia melewati mereka. Dia terus bergerak,
bergumam dan menggeram pada dirinya sendiri dan sesekali memukul dengan salah
satu pistol ke cabang yang menghalangi jalannya. Dari waktu ke waktu dia
berhenti untuk menyingkirkan tanaman berduri yang tersangkut di bajunya dan dia
akan berkata, "Biarkan aku sendiri, sudah kubilang. Biarkan aku
sendiri," dan menembakkan pistolnya lalu mengendap-endap.
Tidak
lama kemudian, dia duduk di atas tunggul pohon untuk menenangkan diri, tapi dia
menjejakkan kedua kakinya dengan hati-hati dan kokoh di tanah. Dia mengangkat
dan menurunkannya beberapa kali, menghentakkannya dengan keras ke tanah
seolah-olah sedang meremukkan sesuatu di bawah tumitnya. Tiba-tiba dia
mendengar suara tawa.
Dia
duduk tegak, kulitnya merinding. Suara itu datang lagi. Dia mendengar suara
cipratan air dan dia berdiri, tidak yakin ke mana harus lari. Dia tidak jauh
dari tempat petak hutan ini berakhir dan padang rumput belakang dimulai. Dia
berjalan perlahan menuju padang rumput, berhati-hati agar tidak menimbulkan
suara, dan tiba-tiba sampai di tepinya, dia melihat ketiga anak laki-laki itu,
tidak sampai enam meter jauhnya, sedang mencuci di palung sapi. Pakaian mereka
ditumpuk di atas koper hitam, jauh dari jangkauan air yang mengalir di sisi
tangki. Anak laki-laki yang besar berdiri dan yang kecil mencoba naik ke
bahunya. Powell duduk, menatap lurus ke depan melalui kacamata yang terciprat
air. Dia tidak memperhatikan kedua anak lainnya. Pepohonan itu pasti tampak
seperti air terjun hijau melalui kacamatanya yang basah. Anak perempuan itu
berdiri tersembunyi di balik batang pohon pinus, sisi wajahnya menempel di
kulit kayu.
“Andai
aku tinggal di sini!” teriak anak laki-laki yang kecil sambil menjaga
keseimbangan dengan lututnya memeluk kepala anak laki-laki yang besar.
"Aku
bersyukur aku gak tinggal di sini," kata anak laki-laki yang besar terengah-engah,
lalu melompat untuk melepaskannya.
Powell
duduk tanpa bergerak, seolah tidak menyadari dua orang lainnya ada di
belakangnya, dan menatap lurus ke depan seperti hantu yang bangkit tegak di
peti matinya. "Kalau tempat ini tidak ada lagi," katanya, "kau tidak
perlu lagi memikirkannya."
“Dengar,”
kata anak laki-laki yang besar, sambil duduk dengan tenang di dalam air dengan anak
laki-laki yang kecil masih terikat di bahunya, “ini bukan milik siapa-siapa.”
“Ini
milik kita,” kata anak yang kecil.
Anak
perempuan di balik pohon tidak bergerak.
Powell
melompat keluar dari palung dan mulai berlari. Dia berlari mengelilingi ladang
seolah ada sesuatu yang mengganggunya, dan saat dia melewati tangki lagi, kedua
temannya melompat keluar dan berlari bersamanya, sinar matahari menyinari tubuh
mereka yang panjang dan basah. Anak laki-laki yang besar berlari paling cepat
dan menjadi pemimpin. Mereka berlari mengelilingi ladang dua kali, akhirnya
jatuh terlentang dengan pakaian mereka dan berbaring di sana dengan rusuk
mereka bergerak naik turun. Setelah beberapa saat, anak laki-laki yang besar
berkata dengan suara serak, "Tahukah kau apa yang akan kulakukan dengan
tempat ini kalau aku punya kesempatan?"
“Tidak,
apa?” kata anak laki-laki yang kecil sambil duduk dan memberikan perhatian
penuh padanya.
“Aku
akan buat tempat parkir yang besar di sini, atau semacam itu,” gumamnya.
Mereka
mulai berpakaian. Matahari menciptakan dua bintik putih di kacamata Powell dan
mengaburkan matanya. "Aku tahu apa yang harus kita lakukan," katanya.
Dia mengambil sesuatu yang kecil dari sakunya dan menunjukkannya kepada mereka.
Selama hampir semenit mereka duduk memandangi apa yang ada di tangannya. Lalu
tanpa diskusi lebih lanjut, Powell mengambil kopernya dan mereka berdiri,
melewati anak perempuan itu, dan memasuki hutan tidak lebih dari tiga meter
dari tempatnya berdiri, agak jauh dari pohon sekarang, dengan jejak kulit kayu
yang timbul merah dan putih di sisi wajahnya.
Dia
menatap dengan tatapan bingung saat mereka berhenti dan mengumpulkan semua
korek api yang mereka miliki, lalu mulai membakar semak belukar itu. Mereka
mulai melompat-lompat, bersorak-sorai, dan menutup mulut dengan tangan dan dalam
beberapa detik, garis api yang sempit pun menyala di antara dia dan anak-anak
laki-laki itu. Sementara dia memperhatikan, api menjalar dari semak belukar,
menyambar dan menggigit cabang-cabang pohon yang paling rendah. Angin
menerbangkan potongan-potongan kayu lebih tinggi, dan anak-anak laki-laki itu
menghilang sambil berteriak-teriak di baliknya.
Dia
berbalik dan mencoba berlari melintasi ladang, tapi kakinya terlalu berat dan dia
berdiri di sana, terbebani oleh kesengsaraan baru yang tidak terarah, yang
belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tapi akhirnya dia mulai berlari.
Nyonya
Cope dan Nyonya Pritchard sedang berada di ladang di belakang lumbung ketika
Nyonya Cope melihat asap mengepul dari hutan di seberang padang rumput. Dia
menjerit dan Nyonya Pritchard menunjuk ke jalan tempat anak perempuan itu
berlari kencang sambil berteriak, "Mama, Mama, mereka akan membangun
tempat parkir di sini!"
Nyonya
Cope mulai berteriak memanggil orang-orang negro sementara Nyonya Pritchard,
yang terburu-buru, berlari menyusuri jalan sambil berteriak. Tuan Pritchard
keluar dari ujung gudang yang terbuka dan dua orang negro berhenti mengisi
penabur pupuk kandang di halaman dan mulai menghampiri Nyonya Cope dengan sekop
mereka. "Cepat, cepat!" teriaknya. "Mulai taburkan tanah di
atasnya!" Mereka melewatinya hampir tanpa melihatnya dan berjalan perlahan
melintasi ladang menuju asap. Dia berlari mengejar mereka agak jauh, sambil
berteriak, "Cepat, cepat, apa kalian tidak melihatnya! Apa kalian tidak
melihatnya!"
"Kami
akan sampai kalau sudah waktunya nyampe," kata Culver dan mereka
mendorong bahu mereka sedikit ke depan dan melanjutkan berjalan dengan
kecepatan yang sama.
Anak
perempuan itu berhenti di samping ibunya dan menatap wajahnya seolah-olah dia
belum pernah melihatnya sebelumnya. Wajah itu adalah wajah kesengsaraan baru
yang dirasakannya, tapi pada ibunya, wajah itu terlihat tua dan terlihat seperti
wajah semua orang, orang negro atau orang Eropa atau Powell sendiri. Anak itu
menoleh cepat, dan melewati sosok-sosok negro yang berjalan lamban, dia bisa
melihat kepulan asap membubung dan melebar tidak terkendali di dalam barisan
pohon granit. Dia berdiri tegak, mendengarkan, dan hanya bisa menangkap di
kejauhan beberapa jeritan kegembiraan yang liar dan melengking seolah-olah para nabi sedang menari di tungku api, dalam lingkaran yang sudah disiapkan oleh malaikat
untuk mereka.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Flannery O'Connor yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan
kaki:
1 Paru-paru besi: sejenis
ventilator tekanan negatif, alat bantu pernapasan ketika kontrol otot hilang,
yang disebabkan oleh penyakit termasuk polio dan botulisme dan racun tertentu
(misalnya, barbiturat dan tubokurarin).
2 Ayam guinea: guinea fowl, ayam
mutiara, burung dari keluarga Numididae dalam ordo Galliformes. Mereka endemik
di Afrika dan termasuk di antara burung-burung gallinaceous tertua. Sementara
spesies ayam mutiara modern endemik di Afrika, ayam mutiara berhelm telah
diperkenalkan sebagai burung peliharaan secara luas di tempat lain.
3 Sheriff: pejabat pemerintah
dengan berbagai tugas, yang bertugas di beberapa negara yang memiliki hubungan
historis dengan Inggris, tempat jabatan tersebut berasal. Sheriff di
Amerika Serikat adalah kepala petugas penegak hukum di suatu daerah. Seorang sheriff
biasanya dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh badan terpilih.
4 Baju kodok: overall atau overall
bib-and-brace, juga disebut dungaree dalam bahasa Inggris
Britania, adalah jenis pakaian yang biasanya digunakan sebagai pakaian
pelindung saat bekerja. Pakaian ini umumnya disebut sebagai "pasangan
overall" dengan analogi "pasangan celana panjang".
5 Felt: kain yang dibuat dengan menekan dan memadatkan serat wol atau serat sintetis hingga padat dan halus. Topi yang dibuat dengan jenis kain ini biasanya berbentuk fedora, homburg, bowler.

Comments
Post a Comment