Punggung Parker (Parker’s Back ~ Flannery O'Connor)

Punggung Parker (Parker’s Back ~ Flannery O'Connor)

Istri Parker sedang duduk di lantai teras depan, menjentikkan kacang dengan jarinya. Parker duduk di undakan, agak jauh, memandanginya dengan cemberut. Istrinya polos, sangat polos. Kulit wajahnya setipis kulit bawang dan matanya berwarna abu-abu dan tajam seperti sepasang ujung catut es. Parker tahu kenapa dia menikahi istrinya --dia tidak mungkin bisa mendapatkannya dengan cara lain-- tapi dia tidak tahu kenapa dia tinggal bersamanya sekarang. Istrinya hamil dan perempuan hamil bukan favoritnya. Begitupun, dia tetap tinggal seakan-akan istrinya sudah menyihirnya. Dia bingung dan merasa malu pada dirinya sendiri.

Di rumah yang mereka sewa berdiri dengan tenang sebatang pohon pecan tinggi di bantaran sungai yang menghadap ke jalan. Sesekali sebuah mobil lewat di bawahnya dan mata istrinya akan melotot curiga mendengarnya lalu kembali pada koran penuh kacang di pangkuannya. Salah satu hal yang tidak disukainya adalah mobil. Selain hal-hal lain yang menurutnya buruk, dia selalu berusaha menjauhi dosa. Dia tidak merokok atau berenang, minum wiski, mengucapkan kata-kata yang buruk atau mengrias wajahnya, padahal Tuhan tahu bahwa riasan bisa memperbaiki wajahnya, pikir Parker. Dia menolak segala macam riasan, dan hal itu semakin luar biasa ketika dia menikahi suaminya. Kadang-kadang dia berpikir bahwa istrinya menikahinya karena ingin menyelamatkannya. Lain waktu, dia curiga bahwa istrinya benar-benar menyukai semua hal yang katanya tidak disukainya. Dia bisa menjelaskan kepada istrinya dengan satu atau lain cara; tapi dirinya sendirilah yang tidak bisa dia mengerti.

Istrinya menoleh ke arahnya dan berkata, "Tidak ada alasan kau tidak bisa bekerja seperti layaknya seorang laki-laki. Tidak harus jadi perempuan dulu."

"Aduh, tutuplah mulutmu sebentar saja," gumam Parker.

Kalau dia yakin istrinya cemburu pada perempuan di tempatnya bekerja dia pasti senang, tapi sepertinya istrinya justru khawatir dengan dosa yang akan terjadi kalau dia dan perempuan itu saling menyukai satu sama lain. Dia sudah mengatakan kepada istrinya bahwa perempuan itu adalah seorang perempuan pirang muda bertubuh besar dan kuat; sebenarnya perempuan itu sudah berumur tujuh puluh dan terlalu kering untuk punya ketertarikan pada apapun kecuali untuk mendapatkan lebih banyak pekerjaan darinya sebisa mungkin. Bukan berarti seorang perempuan tua kadang-kadang tidak tertarik pada seorang pemuda, terutama kalau dia semenarik Parker, menurut Parker, tapi perempuan tua itu melihatnya seperti melihat traktor tuanya --seolah-olah dia harus mempertahankannya karena hanya itu satu-satunya harta yang dimilikinya. Traktor itu rusak di hari kedua Parker menggunakannya dan perempuan itu segera menyuruhnya memotong semak-semak, berkata dari mulutnya kepada si negro, "Semua yang disentuhnya, dirusaknya." Perempuan itu juga menyuruhnya untuk mengenakan kemejanya ketika dia bekerja; Parker melepaskannya walaupun hari itu tidak gerah; dia memakainya lagi dengan enggan.

Perempuan jelek yang Parker nikahi itu adalah istri pertamanya. Dia punya perempuan lain tapi dia sudah berencana untuk tidak mengikatkan dirinya secara legal. Dia pertama kali melihat perempuan itu di satu pagi ketika truknya mogok di jalan. Dia berhasil menariknya keluar dari jalan ke halaman yang tersapu bersih tempat sebuah rumah dua kamar dengan tembok yang mengelupas. Dia keluar dan membuka kap truk dan mulai memeriksa mesinnya. Parker punya indra keenam yang memberitahunya bahwa saat itu ada seorang perempuan di dekatnya yang sedang mengawasinya. Setelah dia membungkuk di atas mesin selama beberapa menit, lehernya mulai pegal. Dia mengarahkan pandangannya ke halaman dan teras kosong rumah itu. Seorang perempuan yang tidak bisa dilihatnya berada entah di dekat rimbun kembang terompet atau di dalam rumah, memperhatikannya di luar jendela.

Tiba-tiba Parker melompat-lompat dan melemparkan tangannya seolah-olah baru saja terjepit mesin. Dia membungkuk dan memegangi tangannya di dekat dadanya. "Bajingan!" raungnya, "Bangsat! Keparat! Bajingan!" dia melanjutkan, melontarkan sumpah serapah berulang-ulang sekeras yang dia bisa.

Tiba-tiba, sebentuk cakar yang ganas menghantam sebelah wajahnya dan dia terjatuh ke belakang di kap truk. "Kau tidak boleh bicara kotor di sini!" sebuah suara di dekatnya memekik.

Penglihatan Parker kabur sehingga untuk sesaat dia mengira baru diserang oleh makhluk dari langit, seorang malaikat raksasa bermata elang dengan senjata khasnya. Ketika penglihatannya sudah jelas, dia melihat di depannya seorang perempuan kurus tinggi membawa sapu.

"Aku melukai tanganku," katanya. "Aku MELUKAI tanganku." Dia begitu marah sehingga lupa bahwa bukan dia yang melukai tangannya. "Tanganku mungkin patah," geramnya walaupun suaranya masih gemetar.

"Biarkan aku memeriksanya," kata perempuan itu.

Parker menjulurkan tangannya dan perempuan itu mendekat dan melihatnya. Tidak ada luka di telapak tangannya dan perempuan itu meraih tangannya dan membalikkannya. Tangannya sendiri kering dan panas dan kasar dan Parker merasa dirinya kembali hidup karena sentuhan perempuan itu. Dia menatapnya lebih dekat. Aku tidak mau berurusan dengan perempuan seperti ini, pikirnya.

Mata tajam perempuan itu mengintip dari balik tangan gemuk kemerahan yang dipegangnya. Di sana dalam warna merah dan biru adalah sebuah tato seekor elang yang bertengger di atas sebuah meriam. Lengan baju Parker digulung sampai ke siku. Di atas elang itu seekor ular melilit sebuah perisai dan di antara elang dan ular itu ada gambar hati, beberapa di antaranya ditembus panah. Di atas ular itu ada gambar kartu yang terbuka. Setiap ruang di kulit lengan Parker, dari pergelangan sampai sikunya, terbungkus gambar yang ramai. Perempuan itu menatapnya dengan wajah tercengang, seolah-olah dia baru saja tanpa sengaja memegang seekor ular berbisa; perempuan itu langsung membuang tangannya

"Aku membuat sebagian besarnya di luar negeri," kata Parker. "Ini yang kebanyakan kubuat di Amerika. Aku membuat yang pertama waktu aku baru berumur lima belas."

"Jangan berkata apa-apa," kata perempuan itu, "aku tidak menyukainya. Aku tidak membutuhkannya."

"Kau harus melihat satu yang tidak bisa kau lihat," kata Parker sambil mengedipkan mata. Dua lingkaran merah muncul seperti apel di pipi perempuan itu dan melembutkan penampilannya. Parker penasaran. Dia untuk sesaat tidak berpikir bahwa perempuan itu tidak menyukai tatonya. Dia belum pernah bertemu perempuan yang tidak tertarik pada tatonya.

Parker berumur empat belas ketika melihat seorang laki-laki berpakaian rapi, bertato dari kepala sampai kaki. Kecuali pinggangnya yang digambari seekor panther yang sedang bersembunyi, kulit laki-laki itu berpola seperti yang terlihat dari tempat Parker --dia berada di dekat bagian belakang tenda, berdiri di bangku-- sebuah desain warna-warna cemerlang yang rumit. Laki-laki itu, yang kecil dan tegap, berjalan di atas panggung, melemaskan otot-ototnya sehingga motif-motif dan binatang dan bunga di kulitnya seperti bergerak sendiri. Parker dipenuhi emosi, yang bangkit seperti pada beberapa orang ketika dilewati bendera. Dia adalah anak laki-laki yang mulutnya sering terbuka. Dia berat dan teguh, seperti sepotong roti. Ketika pertunjukan selesai, dia tetap berdiri di bangkunya, menatap ke tempat laki-laki bertato itu berada, sampai tenda itu hampir kosong.

Parker belum pernah merasakan sedikit pun keajaiban dalam dirinya. Sampai dia melihat laki-laki itu di pertunjukan tadi, yang terlintas di kepalanya bukan sesuatu yang luar biasa tentang kenyataan bahwa laki-laki seperti itu ada. Bahkan setelah itu pun tidak ada yang terlintas di kepalanya, kecuali kegelisahan yang aneh yang tinggal di dalam dirinya. Seolah-olah seorang anak laki-laki buta yang pelan-pelan berbelok ke arah yang berbeda sehingga dia tidak tahu bahwa tujuannya sudah berubah.

Dia membuat tato pertamanya beberapa saat setelah kejadian itu --seekor elang yang bertengger di atas meriam. Itu dibuat oleh tukang tato lokal. Sedikit menyakitkan, cukup untuk memberi kesan pada Parker bahwa hal itu layak untuk dilakukan. Ini juga aneh karena sebelumnya dia berpikir bahwa hanya perbuatan yang tidak menyakitkan yang layak untuk dilakukan. Tahun berikutnya dia keluar dari sekolah karena umurnya sudah enam belas dan karena dia mau. Dia belajar di sekolah dagang sebentar, lalu keluar dari sekolah itu dan bekerja selama enam bulan di bengkel. Satu-satunya alasan dia bekerja adalah supaya bisa membayar lebih banyak tato. Ibunya bekerja di binatu dan bisa menghidupinya, tapi ibunya tidak mau membayari tato apapun kecuali tato namanya di sebuah hati, yang dibuatnya sambil menggerutu. Tapi, nama ibunya Betty Jean dan tidak ada yang tahu itu nama ibunya. Dia menyadari bahwa tatonya menarik buat gadis-gadis yang disukainya yang tidak pernah menyukainya sebelumnya. Dia mulai minum bir dan berkelahi. Ibunya menangis memikirkan apa yang terjadi padanya. Satu malam ibunya membawanya pergi ke kebangunan rohani, tanpa memberitahukan ke mana mereka akan pergi. Ketika melihat gereja besar yang terang itu, dia menyentakkan tangannya dari genggaman ibunya dan lari. Keesokan harinya dia berbohong soal umurnya dan bergabung dengan angkatan laut.

Parker sudah cukup besar untuk memakai celana ketat pelaut tapi topi putih konyolnya, yang bertengger rendah di dahinya, membuat wajahnya dengan kontras terlihat bijaksana dan bersemangat sekaligus. Setelah satu atau dua bulan di angkatan laut, mulutnya berhenti menganga. Tubuhnya mengeras menjadi seperti tubuh seorang laki-laki. Dia bergabung di angkatan laut selama lima tahun dan terlihat seperti bagian dari kapal abu-abu mekanik itu, kecuali matanya, yang sepucat warna samudra dan mencerminkan ruang-ruang yang sangat luas di sekelilingnya seolah-olah keduanya adalah mikrokosmos lautan yang misterius. Di pelabuhan Parker berkeliling membandingkan tempat-tempat kumuh tempat dia pernah berada di Birmingham, Alabama. Ke mana pun dia pergi, dia membuat lebih banyak tato.

Dia berhenti membuat tato benda mati seperti jangkar dan senapan bersilang. Dia punya tato macan dan panther di masing-masing bahunya, seekor kobra melingkar di atas obor di dadanya, elang di pahanya, Elizabeth II1 dan Philip2 masing-masing di atas perut dan hatinya untuk menghormati mereka. Dia tidak peduli gambarnya selama itu penuh warna; di perutnya dia punya tato beberapa kata-kata kotor tapi hanya karena itu sepertinya tempat yang tepat untuk itu. Parker akan senang dengan setiap tato selama sekitar sebulan, lalu sesuatu yang membuatnya senang pada tatonya itu akan luntur. Kapan saja ada cermin berukuran layak, dia akan mendatanginya dan melihat keseluruhan penampilannya. Kesenangannya datang bukan dari motif-motif warnanya yang rumit tapi juga sesuatu yang serampangan dan kacau. Ketidakpuasan akan melandanya dan dia akan pergi dan mencari tukang tato lain lalu ada satu ruang lagi yang terisi. Tubuh bagian depan Parker hampir tertutup rapat tapi tidak ada tato di punggungnya. Dia tidak punya keinginan untuk membuat tato di tempat dia tidak bisa dengan mudah melihatnya sendiri. Seiring dengan ruang di bagian depan tubuhnya untuk tato yang semakin berkurang, ketidakpuasannya mulai tumbuh dan menjadi kebiasaannya.

Setelah salah satu cuti, dia tidak kembali ke angkatan laut dan tetap pergi tanpa cuti resmi, mabuk, di sebuah penginapan di kota yang tidak dikenalnya. Ketidakpuasannya, dari kronis dan laten, tiba-tiba menjadi akut dan mengamuk di dalam dirinya. Seolah panther dan singa, ular dan elang dan rajawali menembus kulitnya dan tinggal di dalam dirinya dalam kecamuk perang. Angkatan laut menjemputnya, memasukkannya ke dalam sel selama sembilan bulan lalu memecatnya dengan tidak hormat.

Setelah itu Parker memutuskan bahwa udara pedesaan adalah satu-satunya udara yang layak untuk dihirup. Dia menyewa gubuk di bantaran sungai dan membeli truk tuanya dan mengambil bermacam-macam pekerjaan yang dipertahankannya selama itu cocok dengan keinginannya. Ketika dia bertemu dengan calon istrinya, dia membeli apel bersama tempatnya dan menjualnya dengan harga yang sama setiap pound-nya kepada orang yang mengisolasi dirinya di belakang jalan desa.

"Semua ada di sana," kata perempuan itu sambil menunjuk lengannya, "tidak lebih baik dari seorang Indian tolol. Itu adalah tumpukan kesia-siaan." Sepertinya perempuan itu sudah menemukan kata yang tepat. "Kesia-siaan dari kesia-siaan," katanya.

Baiklah apa yang harus kupedulikan dengan apa yang perempuan ini pikirkan? Parker bertanya pada dirinya sendiri, tapi dia terlihat bingung. "Kurasa kau suka yang ini lebih dari yang lain," katanya, menyangkal sambil memikirkan sesuatu yang akan membuat perempuan itu terkesan. Dia mendorong lengannya ke arahnya. "Mana yang paling kau sukai?"

"Tidak satu pun," katanya, "tapi ayamnya tidak seburuk yang lainnya."

"Ayam apa?" Parker hampir berteriak.

Perempuan itu menunjuk elangnya.

"Ini elang," kata Parker. "Orang bodoh macam apa yang membuang waktu membuat tato ayam di tubuhnya?"

"Orang bodoh macam apa yang membuat tato?" kata perempuan itu lalu berbalik

Perempuan itu perlahan kembali ke rumah dan meninggalkannya sendiri di sana. Parker tetap di sana selama hampir lima menit, melihat dengan mulut ternganga ke pintu gelap yang baru saja dimasuki perempuan itu.

Keesokan harinya dia kembali dengan sekeranjang apel. Dia tidak mau kalah dengan perempuan seperti itu. Dia menyukai perempuan dengan daging di tubuhnya, jadi kau tidak merasakan otot mereka, apalagi tulang tua mereka. Ketika dia sampai, perempuan itu sedang duduk di undakan paling atas dan halamannya ramai dengan anak-anak, semuanya sekurus dan semiskin perempuan itu; Parker ingat bahwa hari itu hari Sabtu. Dia benci bercumbu dengan perempuan ketika ada anak-anak, tapi beruntung dia membawa turun keranjang apel dari truknya. Ketika anak-anak itu mendekatinya untuk melihat apa yang dibawanya, dia memberi setiap anak sebutir apel dan menyuruh mereka pergi; dengan cara itu dia menyapu bersih kerumunan itu.

Perempuan itu tidak melakukan apa-apa untuk menyambut kedatangannya. Dia seperti seekor babi liar atau kambing yang berkeliaran di halaman dan perempuan itu terlalu lelah untuk mengambil sapu dan mengusirnya. Dia meletakkan keranjang apel di sampingnya di undakan. Dia duduk di undakan yang lebih rendah.

"Ambil sendiri," katanya sambil mengangguk ke keranjang; lalu diam.

Perempuan itu mengambil sebutir apel dengan cepat seolah keranjang itu akan lenyap kalau dia tidak cepat. Orang lapar membuat Parker gugup. Dia selalu punya banyak makanan untuk dimakan sendiri. Dia menjadi sangat tidak nyaman. Dia beralasan bahwa dia tidak punya alasan untuk membicarakan apa-apa, kenapa dia harus bicara? Sekarang dia tidak bisa memikirkan alasan kedatangannya atau kenapa dia tidak pergi sebelum menyia-nyiakan sekeranjang apel lain di tengah kerumunan anak-anak. Dia mengira mereka adalah adik-adik perempuan itu.

Perempuan itu mengunyah apel perlahan tapi dengan semacam konsentrasi, sedikit membungkuk tapi melihat ke depan. Pemandangan dari teras terbentang dari sebuah tonjolan panjang yang dipenuhi rumput besi dan melintasi jalan raya menuju perbukitan yang luas dan satu gunung kecil. Pemandangan yang panjang itu menekan Parker. Kau melihat ke ruang seperti itu dan kau akan mulai merasa seolah-olah ada seseorang yang sedang mengejarmu, angkatan laut atau pemerintah atau agama.

"Apakah anak-anak yang bersamamu tadi anakmu?" katanya akhirnya.

"Aku belum kawin," katanya. "Mereka anak-anak momma." Dia mengatakannya seolah-olah cuma masalah waktu sebelum akhirnya dia menikah.

Siapa yang demi Tuhan mau menikahinya? pikir Parker.

Seorang perempuan besar telanjang kaki dengan wajah bergigi lebar tampak di pintu di belakang Parker. Rupanya dia sudah berada di sana selama beberapa menit.

"Selamat sore," kata Parker.

Perempuan itu melintasi teras dan mengambil apa yang tersisa di keranjang apel. "Kami berterima kasih," katanya dan kembali dengan apel di tangannya ke rumah.

"Itu ibumu?" gumam Parker.

Perempuan itu mengangguk. Parker tahu banyak hal tajam yang bisa dikatakannya seperti 'Aku kasihan padamu,' tapi dia diam saja. Dia hanya duduk di sana, melihat pemandangan. Dia pikir dia harus memulai dengan sesuatu.

"Kalau aku memetik buah persik besok aku akan membawakanmu beberapa," katanya.

"Aku akan sangat berterima kasih padamu," kata perempuan itu.

Parker tidak berniat mengambil sekeranjang persik tapi keesokan harinya dia melakukannya. Dia dan gadis itu hampir tidak bicara sepatah kata pun satu sama lain. Satu-satunya hal yang bisa dia katakan adalah, "Aku tidak punya tato di punggung."

"Lalu ada apa di sana?" kata perempuan itu.

"Bajuku," kata Parker. "Hmm."

"Hmm, hmm," kata perempuan itu sopan.

Parker mulai berpikir dia sudah gila. Dia tidak bisa percaya bahwa dia tertarik pada perempuan seperti itu. Perempuan itu tidak menunjukkan ketertarikan pada apapun kecuali pada apa yang dibawanya sampai dia datang ketiga kalinya dengan dua melon kuning. "Siapa namamu?" tanya perempuan itu.

"O. E. Parker," katanya.

"Apa kepanjangan O. E.?"

"Kau bisa memanggilku OE saja," kata Parker. "Atau Parker. Tidak ada yang memanggil namaku."

"Apa kepanjangannya?" perempuan itu memaksa.

"Sudahlah," kata Parker. "Siapa namamu?"

"Akan kuberitahu kalau kau memberitahuku kepanjangan namamu," kata perempuan itu. Ada sedikit nada genit dalam suaranya dan itu langsung hinggap di kepala Parker. Dia tidak pernah memberitahukan namanya kepada laki-laki atau perempuan mana pun, kecuali untuk catatan angkatan laut dan pemerintah, dan ketika baptisannya yang didapatnya ketika berumur satu bulan; ibunya adalah penganut Methodis3. Ketika namanya bocor dari berkas angkatan laut, Parker nyaris membunuh laki-laki yang memanggilnya dengan nama itu.

"Kau akan mengolok-oloknya," katanya.

"Aku bersumpah aku tidak akan pernah memberitahu siapa pun," katanya. "Demi Tuhan aku bersumpah." Parker duduk beberapa menit lamanya. Lalu dia meraih leher perempuan itu, mendekatkan telinganya ke mulutnya dan menyebut namanya dengan suara pelan.

"Obadiah," bisik perempuan itu. Wajahnya perlahan-lahan berubah cerah seolah-olah nama itu datang sebagai tanda padanya. "Obadiah," katanya.

Nama itu memalukan menurut Parker.

"Obadiah Elihue," kata perempuan itu dengan suara penuh hormat.

"Kalau kau memanggil namaku dengan keras, aku akan langsung memecahkan batok kepalamu," kata Parker. "Siapa namamu?"

"Sarah Ruth Cates," kata perempuan itu.

"Senang bertemu denganmu, Sarah Ruth," kata Parker.

Ayah Sarah Ruth adalah seorang pendeta gereja Straight Gospel tapi dia sedang pergi, keliling Florida. Ibunya sepertinya tidak keberatan pada kedekatannya dengan perempuan itu sepanjang dia membawakan sekeranjang barang setiap kali datang. Sedangkan Sarah Ruth sendiri, jelas bagi Parker setelah dia mengunjunginya tiga kali bahwa perempuan itu tergila-gila padanya. Perempuan itu menyukainya walaupun dia bersikeras bahwa gambar di kulit adalah kesia-siaan dari kesia-siaan dan bahkan setelah mendengarnya memaki-maki, dan bahkan setelah perempuan itu bertanya kepadanya apakah dia sudah 'diselamatkan' dan dia menjawab bahwa dia merasa tidak ada yang perlu diselamatkan. Setelah itu, sebuah ide melintas, lalu Parker berkata, "Aku akan cukup terselamatkan kalau kau mau menciumku."

Perempuan itu merengut. "Itu bukan keselamatan," katanya.

Tidak lama kemudian perempuan itu setuju untuk ikut dengan truknya. Parker memarkir kendaraannya di jalan yang sepi dan mengajak perempuan itu berbaring bersama di belakangnya.

"Tidak sampai kita menikah," kata perempuan itu --begitu saja.

"Oh, itu tidak perlu," kata Parker dan ketika dia meraih perempuan itu, perempuan itu mendorongnya sekuat tenaga sampai-sampai pintu truk itu terbuka dan dia mendapati dirinya sudah tergeletak telentang di tanah. Dia memutuskan bahwa mulai saat itu dia sudah tidak punya hubungan apapun dengan perempuan itu.

Mereka menikah di kantor catatan sipil karena Sarah Ruth menganggap gereja-gereja adalah penyembah berhala. Parker tidak punya pendapat lain. Kantor catatan sipil itu penuh dengan kardus dan buku catatan dengan selembar kertas kuning berdebu yang tergantung di atasnya. Petugas pencatatnya adalah seorang perempuan tua berambut merah yang sudah menjabat selama empat puluh tahun dan terlihat sekokoh buku-bukunya. Dia menikahkan mereka dari balik kisi-kisi besi meja dan begitu selesai, dia berkata dengan penuh semangat, "Tiga dolar lima puluh sen dan sampai kematian memisahkan kalian berdua!" dan menarik beberapa lembar formulir dari sebuah mesin.

Pernikahan tidak mengubah Sarah Ruth dan itu membuat Parker lebih murung daripada sebelumnya. Setiap pagi dia memutuskan semuanya sudah cukup dan tidak akan pulang ke rumah malamnya; dan setiap malam dia selalu pulang. Kapan pun Parker tidak tahan dengan apa yang dia rasakan, dia akan membuat tato lagi, tapi satu-satunya ruang yang tersisa sekarang adalah punggungnya. Untuk melihat tato di punggungnya sendiri, dia harus punya dua cermin dan berdiri di antara keduanya dalam posisi yang benar dan ini buat Parker adalah cara yang baik untuk membuat dirinya terlihat seperti orang idiot. Sarah Ruth yang, kalau dia punya perasaan, bisa menikmati tato di punggungnya, bahkan tidak mau melihat tato yang dia punya di tempat lain. Ketika dia mencoba menunjukkan detailnya, istrinya itu akan menutup matanya rapat-rapat dan membalikkan tubuhnya. Kecuali dalam kegelapan, dia lebih suka Parker yang memakai pakaian dan dengan lengan baju yang tidak digulung.

"Di pengadilan Tuhan, Yesus akan bertanya kepadamu, 'Apa yang sudah kau lakukan sepanjang hidupmu selain membuat tato di seluruh tubuhmu?'" katanya.

"Kau tidak bisa menipuku," kata Parker, "kau cuma takut perempuan besar di tempatku bekerja begitu menyukaiku sampai-sampai dia akan berkata, 'Ayolah, Tuan Parker, ayo kau dan aku....'"

"Kau melakukan dosa," katanya, "dan di pengadilan Tuhan kau harus menjawabnya juga. Kau seharusnya kembali menjual buah-buahan."

Parker tidak banyak melakukan apa-apa kalau berada di rumah kecuali mendengarkan hukuman yang akan diberikan pengadilan Tuhan kalau dia tidak mengubah jalan hidupnya. Kalau dia bisa, dia akan memotong cerita itu dengan cerita tentang perempuan besar di tempat kerjanya. "'Tuan Parker,'" perempuan itu berkata, katanya, 'Aku mempekerjakanmu untuk otakmu.'" (Perempuan itu menambahkan, "Jadi kenapa kau tidak menggunakannya?")

"Dan kau seharusnya melihat wajahnya waktu pertama kali melihatku tidak memakai baju," katanya. "'Tuan Parker,' katanya, 'kau seperti model celana!'" Itu, sebenarnya, lebih pas dikatakan untuk perempuan itu tapi itu justru keluar dari mulutnya.

Ketidakpuasan mulai tumbuh besar di dalam diri Parker sehingga tidak bisa tidak harus ditampung dengan membuat tato lagi. Dan itu harus di punggungnya. Tidak ada lagi yang lain. Sebuah ide samar melintas di kepalanya. Dia membayangkan membuat tato yang tidak bisa ditolak oleh Sarah Ruth --tato yang religius. Dia memikirkan tato sebuah buku terbuka dengan tulisan ALKITAB di bawahnya dan sebuah ayat yang tercetak di halamannya. Ini sepertinya hanya akan bertahan sebentar; lalu dia akan mulai mendengar istrinya berkata, "Bukankah aku sudah punya Alkitab yang asli? Apa yang membuatmu berpikir aku mau membaca ayat yang sama berulang-ulang ketika aku bisa membaca satu buku?" Dia membutuhkan sesuatu yang lebih baik daripada Alkitab! Dia begitu memikirkannya sampai tidak bisa tidur. Dia semakin kurus --Sarah Ruth cuma menumpahkan makanan ke dalam panci dan merebusnya. Tidak tahu pasti kenapa dia terus tinggal dengan seorang perempuan yang jelek dan hamil dan tidak bisa memasak membuatnya sangat tertekan dan mudah tersinggung, dan dia mulai punya kedutan di wajahnya.

Sekali dua kali dia mendapati dirinya membalikkan badan tiba-tiba seolah-olah ada yang mengikutinya. Dia punya seorang kakek yang berakhir di rumah sakit jiwa negara bagian, yang walaupun sampai umur tujuh puluh lima belum pernah membuat tato, tapi begitu merasa ingin dia langsung membuat tato, sama persis dengan dirinya yang langsung membuat tato yang tepat yang membuat Sarah Ruth naik pitam. Sambil terus memikirkannya, matanya menatap kosong. Perempuan tua di tempatnya bekerja memberitahunya bahwa kalau dia tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya, perempuan itu tahu tempat dia bisa menemukan anak laki-laki berumur empat belas yang bisa melakukannya. Parker terlalu asyik untuk tersinggung. Sebelumnya, dia pasti akan meninggalkan perempuan itu saat itu juga, dan berkata datar, "Baiklah, silahkan saja dan carilah anak itu."

Dua atau tiga hari kemudian dia mengemas jerami dengan mesin pengemas yang menyedihkan milik perempuan tua itu dan traktornya yang rusak di ladang yang luas, membersihkannya untuk satu pohon tua besar yang berdiri di tengahnya. Perempuan tua itu adalah jenis orang yang tidak akan menebang pohon tua besar itu karena itu adalah pohon tua yang besar. Perempuan itu menunjukkannya kepada Parker seolah-olah dia tidak punya mata dan menyuruhnya untuk berhati-hati supaya tidak menghantam pohon itu ketika mesin itu memungut jerami di dekatnya. Parker mulai dari luar ladang dan membuat lingkaran ke arah pohon itu. Dia harus turun dari traktor sesekali dan melepaskan kabel baling-baling atau menendang batu keluar dari ladang itu. Perempuan tua itu menyuruhnya membawa batu-batu ke tepi lapangan, yang dilakukannya kalau perempuan itu ada di sana mengawasinya. Ketika dia mengira dia akan bisa berhasil, dia mempercepat pekerjaannya. Ketika dia mengelilingi lapangan, pikirannya berada pada desain tato yang sesuai untuk punggungnya. Matahari, seukuran bola golf, mulai pindah dari berada di depannya ke belakangnya, tapi dia sepertinya bisa melihat matahari di kedua tempat itu seolah-olah dia punya mata di belakang kepalanya. Tiba-tiba dia melihat pohon itu berusaha memeluknya. Suara gemuruh yang keras melemparkannya ke udara, dan dia mendengar dirinya sendiri berteriak dengan suara yang luar biasa keras, "YA TUHAN!"

Dia mendarat di punggungnya sementara traktornya menabrak dan terbalik di pohon itu dan terbakar. Hal pertama yang dilihat Parker adalah sepatunya, yang dengan cepat dilalap api; satu terlihat di bawah traktor, yang satu lagi agak jauh, terbakar sendiri. Dia tidak ada di atasnya. Dia bisa merasakan embusan panas pohon yang terbakar di wajahnya. Dia bergegas mundur, masih duduk, matanya nanar, dan kalau dia tahu bagaimana membuat salib di dadanya, dia pasti akan melakukannya.

Truknya berada di jalan tanah di pinggir ladang. Dia bergerak ke arahnya, masih duduk, masih mundur, tapi semakin cepat dan semakin cepat; di tengah jalan dia bangkit dan mulai berlari sambil membungkuk yang membuatnya jatuh berlutut dua kali. Kakinya merasakan dua kisi-kisi berkarat sebuah selokan tua. Dia sampai di truk dan akhirnya pergi dengan mengendarainya, berzigzag di jalan. Dia melewati rumahnya di bantaran sungai dan langsung menuju kota, lima puluh mil jauhnya.

Parker tidak berpikir sama sekali ketika menempuh perjalanan ke kota. Dia hanya tahu bahwa ada perubahan besar dalam hidupnya, sebuah lompatan menuju sesuatu yang belum diketahui, dan bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya. Itulah yang dibutuhkannya agar tujuannya tercapai.

Tukang tato itu punya dua kamar besar yang berantakan di atas kantor seorang chiropodis4 di sebuah gang. Parker, yang masih bertelanjang kaki, diam-diam menemuinya sesaat setelah pukul tiga sore. Tukang tato itu, yang kira-kira seumuran Parker --dua puluh delapan-- tapi kurus dan botak, berada di belakang sebuah meja gambar kecil, menelusuri sebuah desain dengan tinta hijau. Dia mendongak dengan tatapan kesal dan sepertinya tidak mengenali Parker yang berada di hadapannya.

"Coba kulihat buku yang kau punya yang ada gambar Tuhannya," kata Parker terengah-engah. "Buku agama."

Tukang tato itu menatapnya dengan tatapan intelektual dan superiornya. "Aku tidak membuatkan tato untuk pemabuk," katanya.

"Kau kenal aku!" teriak Parker marah. "Aku O.E. Parker! Kau sudah melakukan pekerjaan untukku sebelumnya dan aku selalu membayar! "

Tukang tato itu menatapnya beberapa saat lagi seolah-olah dia sama sekali tidak yakin. "Kau pasti baru jatuh," katanya. "Kau pasti baru keluar dari penjara."

"Kawin," kata Parker.

"Oh," kata tukang tato itu. Dari cermin terlihat seniman itu punya tato burung hantu kecil di atas kepalanya, sempurna dalam setiap detailnya. Ukurannya kira-kira setengah dollar dan dia membuatnya menjadi semacam pameran. Ada tukang tato murah di kota tapi Parker tidak pernah menginginkan tato kecuali dari yang terbaik. Tukang tato itu pergi ke lemari di bagian belakang ruangan dan mulai melihat-lihat beberapa buku seni. "Siapa yang kau mau?" katanya, "santo, malaikat, Yesus atau siapa?"

"Tuhan," kata Parker.

"Bapa, Putera atau Roh Kudus?"

"Tuhan saja," kata Parker tidak sabar. "Yesus. Aku tidak peduli. Pokoknya Tuhan."

Tukang tato itu kembali dengan sebuah buku. Dia memindahkan beberapa lembar kertas ke meja lain dan meletakkan buku itu di atasnya dan menyuruh Parker duduk dan melihat apa yang disukainya. "Yang paling up-to-date ada di belakang," katanya.

Parker duduk dengan buku itu dan membasahi jempolnya. Dia mulai membuka-buka buku itu, mulai dari belakang tempat foto-foto terbaru. Beberapa dikenalinya --Sang Gembala, Biarkan Mereka Datang Kepada-Ku, Yesus Tersenyum, Yesus Sang Penyembuh, tapi dia terus membalik halaman buku itu dengan cepat dan gambar-gambar di sana menjadi semakin tidak meyakinkan. Satu gambar menunjukkan wajah hijau tirus orang mati yang penuh darah. Satu gambar lagi berwarna kuning dengan mata memar yang kuyu. Jantung Parker mulai berdetak lebih cepat dan semakin cepat sampai seolah-olah mengaum di dalam dadanya seperti sebuah generator raksasa. Dia membalik-balik halaman dengan cepat, merasa bahwa kalau dia sampai di gambar yang ditakdirkan untuknya, sebuah tanda akan muncul. Dia terus membalik sampai hampir di halaman depan buku itu. Di salah satu halaman, sepasang mata meliriknya sekilas. Parker semakin cepat, lalu berhenti. Detak jantungnya juga seperti berhenti; ada keheningan yang dalam. Sebuah kata jelas terdengar seolah-olah keheningan itu adalah bahasanya, KEMBALI.

Parker kembali ke gambar itu --gambar Yesus dari Bizantium dengan lingkaran halo di kepala dengan tatapan memelas. Dia duduk dengan gemetar; jantungnya perlahan-lahan kembali berdetak seolah-olah baru dihidupkan lagi oleh sebuah kekuatan yang tak kasat mata.

"Sudah ketemu yang kau mau?" tanya si tukang tato.

Tenggorokan Parker terlalu kering untuk bicara. Dia bangkit dan menyerahkan buku itu ke tukang tato, membuka gambar tadi.

"Harganya lumayan," kata si tukang tato. "Kau tidak butuh semua blok kecil itu, cuma garis luarnya dan sedikit tambahan yang lebih baik."

"Harus persis seperti ini," kata Parker, "persis atau tidak sama sekali."

"Kau menggali kuburmu sendiri," kata tukang tato itu, "tapi aku tidak melakukan pekerjaan seperti ini gratis."

"Berapa?" tanya Parker.

"Ini butuh dua hari kerja."

"Berapa?" kata Parker.

"Bayar nanti atau kontan?" tanya si tukang tato. Pekerjaan lain Parker dibayar berkala, tapi dia sudah dibayar.

"Sepuluh sekarang dan sepuluh lagi setiap harinya sampai selesai," kata tukang tato itu.

Parker mengeluarkan sepuluh dolar dari dompetnya; dia masih punya tiga dolar lagi.

"Kembalilah besok pagi," kata tukang tato itu sambil memasukkan uang itu ke kantongnya. "Aku harus mencetak dari buku ini dulu."

"Tidak, tidak!" kata Parker. "Cetak sekarang atau kembalikan uangku," dan tatapan matanya menunjukkan kalau dia siap untuk berkelahi.

Tukang tato itu setuju. Semua orang yang cukup bodoh untuk mentato gambar Yesus di punggungnya, menurutnya, sepertinya tidak akan mengubah pikiran mereka, tapi begitu pekerjaan itu dimulai mereka akan melakukannya.

Selagi dia mengerjakan pencetakan, dia menyuruh Parker mencuci punggungnya di wastafel dengan sabun khusus yang dipakainya. Parker melakukannya dan kembali mondar-mandir di seberang ruangan, dengan gugup meregangkan bahunya. Dia ingin melihat foto itu lagi tapi pada saat yang bersamaan dia tidak mau. Si tukang tato akhirnya berdiri dan menyuruh Parker berbaring di atas meja. Dia mengusap punggung Parker dengan etil klorida lalu mulai menggambar garis utama gambar kepala itu di atasnya dengan pensil yodium. Satu jam lagi berlalu sebelum dia mengambil alat tatonya. Parker tidak merasakan sakit. Di Jepang dia pernah membuat tato Sang Buddha di lengan atasnya dengan jarum gading; di Burma, seorang laki-laki kecil berkulit coklat menggambar seekor merak di kedua lututnya dengan menggunakan kayu runcing kecil, sepanjang dua kaki; tukang tato amatir mentatonya dengan pin dan jelaga. Parker biasanya begitu santai dan tenang di bawah tangan seorang tukang tato sampai dia bisa tertidur, tapi kali ini dia tetap terjaga, setiap ototnya menegang. Tengah malam tukang tato itu berkata bahwa dia mau berhenti. Dia menyandarkan sebuah cermin, empat kaki persegi, di atas meja di dekat dinding dan mengambil cermin yang lebih kecil di dinding toilet dan menaruhnya di tangan Parker. Parker berdiri dengan punggung menghadap cermin di atas meja dan menggerak-gerakkan yang lain sampai dia melihat kilatan warna yang muncul dari punggungnya. Tato itu hampir tertutup penuh dengan sedikit warna merah dan biru dan kuning gading dan kuning kunyit kecil; dari semua itu dia melihat sebuah garis wajah --sebuah mulut, ujung sebuah alis yang tebal, sebatang hidung yang mancung, tapi wajahnya masih kosong; matanya belum digambar. Kesannya saat itu seolah-olah si tukang tato sudah menipunya dan menggambar Sang Penyembuh.

"Tidak ada matanya," teriak Parker.

"Nanti akan ada," kata si tukang tato, "pada waktunya. Kita masih punya hari untuk melakukannya."

Parker menghabiskan malam di sebuah pondok di Gereja Misi Haven of Light. Dia menemukan bahwa itu adalah tempat terbaik untuk menginap di kota ini karena gratis dan masih diberi makanan pula. Dia mendapat tempat tidur terakhir yang tersedia dan karena dia bertelanjang kaki, dia menerima sepasang sepatu bekas yang, dalam kebingungannya, dipakainya tidur; dia masih terguncang dengan semua kejadian yang menimpanya. Sepanjang malam dia terjaga di asrama panjang dengan bayangan-bayangan gelap di dindingnya. Satu-satunya cahaya berasal dari salib yang berpendar di ujung ruangan. Pohon itu mengulurkan tangan untuk menangkapnya lagi, lalu terbakar; sepatunya terbakar sendiri; mata di buku itu mengatakan KEMBALI kepadanya dengan jelas dan pada saat yang bersamaan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia berharap dia tidak berada di kota ini, tidak di Gereja Haven of Light ini, tidak sendirian di tempat tidur ini. Dia sangat merindukan Sarah Ruth. Mulut tajamnya dan tatapan dingin matanya adalah satu-satunya hiburan yang bisa diingatnya. Dia merasa kehilangan itu semua. Tatapan mata istrinya tampak lembut dan kecil dibandingkan dengan mata di buku itu, karena walaupun dia tidak bisa mengingat ekspresi mata itu dengan tepat, dia masih bisa merasakan tatapannya. Dia merasa seolah-olah, di bawah tatapan mata itu, dia sebening sayap seekor lalat.

Tukang tato sudah berpesan untuk tidak datang sebelum pukul sepuluh pagi, tapi dia datang jam sepuluh, Parker duduk di lorong yang gelap di lantai, menunggu si tukang tato. Dia bangkit dan memutuskan untuk, begitu tato itu selesai, dia tidak akan melihatnya, bahwa semua keingannya hari-hari sebelumnya adalah keinginan seorang gila dan bahwa dia akan kembali melakukan sesuatu sesuai keinginannya sendiri.

Tukang tato itu mulai dari gambar terakhir yang ditinggalkannya. "Satu hal yang aku ingin tahu," katanya sambil bekerja di punggung Parker, "kenapa kau menginginkan ini? Apa kau sudah sampai 'di sana' dan memutuskan beragama? Apa kau sudah 'diselamatkan'?" dia bertanya dengan nada mengejek.

Tenggorokan Parker terasa asin dan kering. "Gak," katanya, "aku tidak mungkin melakukan itu semua. Orang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari apapun yang tidak berhak mendapat simpatiku." Kata-kata itu keluar dari mulutnya seperti erangan dan segera menguap seolah-olah dia tidak pernah mengucapkannya.

"Lalu kenapa...."

"Aku kawin dengan perempuan yang sudah 'diselamatkan'," kata Parker. "Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku harus meninggalkannya. Tapi sudah terlanjur dan dia sedang hamil. "

"Itu buruk," kata tukang tato itu. "Kalau begitu berarti dia yang membuatmu mau punya tato ini."

"Gak," kata Parker, "dia tidak tahu apa-apa tentang ini. Ini kejutan buatnya."

"Kau pikir dia akan menyukainya dan berhenti mengganggumu sementara waktu?"

"Dia tidak akan bisa menahan diri," kata Parker. "Dia tidak bisa berkata bahwa dia tidak menyukai wajah Tuhan." Parker merasa dia sudah terlalu banyak menceritakan urusannya kepada si tukang tato. Tukang tato berhak bicara dengannya tapi dia tidak suka kalau mereka terlalu mau tahu urusan orang. "Aku tidak tidur semalaman," katanya. "Kurasa aku mau tidur sekarang."

Kata-kata terakhirnya menutup mulut si tukang tato tapi tidak membuatnya tertidur. Dia berbaring di sana, membayangkan bagaimana Sarah Ruth terkejut dengan wajah di punggungnya dan sesekali bayangan itu diganggu oleh bayangan pohon yang menyala dan sepatunya yang terbakar di bawahnya.

Tukang tato itu bekerja dengan mantap sampai hampir pukul empat, tidak berhenti untuk makan siang, hampir tidak pernah berhenti dengan alatnya kecuali untuk menyeka pewarna yang menetes dari punggung Parker ketika menggambar. Akhirnya dia selesai. "Kau bisa berdiri dan melihatnya sekarang," katanya.

Parker menegakkan tubuhnya tapi tetap duduk di pinggir meja.

Tukang tato itu senang dengan karyanya dan ingin Parker melihatnya sekali saja. Tapi Parker tetap duduk di pinggir meja, membungkuk sedikit dengan tatapan kosong. "Ada yang salah?" tanya tukang tato itu. "Lihatlah tatomu."

"Tidak ada yang salah," kata Parker dengan nada galak. "Tato ini tidak akan ke mana-mana. Dia akan mengikuti ke mana pun aku pergi." Dia meraih kemejanya dan mulai mengenakannya dengan hati-hati.

Tukang tato itu menariknya dengan kasar dan mendorongnya ke tengah kedua cermin. "Sekarang lihat," katanya, marah karena pekerjaannya diabaikan.

Parker melihat, wajahnya berubah pucat dan bergerak menjauh. Mata di wajah yang terpantul di cermin itu terus menatapnya --diam, lurus, memaksa, terbungkus dalam keheningan.

"Itu idemu, ingat," kata si tukang tato. "Aku sudah menyuruhmu memilih gambar yang lain."

Parker diam saja. Dia mengenakan kemejanya dan keluar melewati pintu ketika tukang tato itu berteriak, "Aku mau semua uangku!" Parker menuju sebuah toko di sudut jalan. Dia membeli sebotol wiski dan membawanya ke gang terdekat dan menenggak semuanya dalam lima menit. Lalu dia masuk ke tempat biliar yang sering didatanginya kalau dia ke kota. Tempat itu seperti gudang yang terang benderang dengan bar di satu sisi dan mesin judi di sisi lain dan meja-meja biliar di belakang. Begitu Parker masuk, seorang laki-laki besar dengan kemeja kotak-kotak merah-hitam menegurnya dengan menepuk punggungnya dan berteriak, " Yeyyyyyy bocah! O. E. Parker!"

Parker tidak siap untuk dipukul di punggung. "Lepaskan," katanya, "aku punya tato baru di situ."

"Tato apa sekarang?" laki-laki itu bertanya lalu berseru ke beberapa orang di depan mesin judi. "OE punya tato baru."

"Tidak ada yang istimewa kali ini," kata Parker lalu menyelinap ke mesin yang sedang menganggur.

"Ayolah," kata laki-laki besar itu, "mari kita lihat tato OE," dan sementara Parker menggeliat, mereka menarik bajunya. Parker merasakan semua tangan langsung menjauh dan bajunya jatuh lagi seperti kerudung di atas sebuah wajah. Ada keheningan di tempat biliar yang di mata Parker seperti muncul dari lingkaran di sekelilingnya dan terus membesar sampai ke pondasi di bawah bangunan dan menembus balok atap di atas.

Akhirnya satu orang berkata, "Yesus!" Lalu mereka semua langsung ribut. Parker berbalik, sebuah senyum canggung terbit di wajahnya.

"Tinggalkan OE!" laki-laki berbaju kotak-kotak itu berkata. "Anak ini benar-benar gila!"

"Mungkin dia sudah sampai 'di sana' dan beragama," teriak yang lain.

"Tidak sebelum kau mati," kata Parker.

"OE beragama dan bersaksi untuk Yesus, ya kan, OE?" seorang laki-laki kecil dengan sepotong cerutu di mulutnya berkata masam. "Cara yang benar-benar orisinal menurutku."

"Biarkan Parker yang memikirkannya!" kata seorang laki-laki gemuk.

"Yyeeeeeeeeyyyyyy bocah!" yang lain berteriak dan mereka semua mulai bersiul dan memaki untuk memuji sampai Parker berkata, "Aaah diamlah."

"Untuk apa kau melakukannya?" seseorang bertanya.

"Untuk tertawa," kata Parker. "Bagaimana menurutmu?"

"Lalu kenapa kau tidak tertawa?" seru seseorang. Parker menerjang ke tengah-tengah mereka dan seperti angin puyuh di musim panas memulai sebuah perkelahian yang berkecamuk di antara meja-meja yang terbalik dan mengayunkan tinjunya sampai dua orang mencengkeramnya dan berlari membawanya ke pintu lalu mengusirnya keluar. Lalu ketenangan turun di tempat biliar itu ketika semua ketegangan mereda seolah-olah ruangan panjang seperti gudang itu adalah kapal tempat Yunus dilemparkan ke laut.

Parker sudah lama duduk di gang di belakang tempat biliar tadi, menelusuri jiwanya sendiri. Dia melihatnya seperti jaring laba-laba fakta dan kebohongan yang sama sekali tidak penting tapi menurutnya justru penting. Mata yang sekarang ada di punggungnya adalah mata yang harus dipatuhi. Dia sangat yakin akan itu seperti selalu yakin pada hal-hal lain sebelumnya. Sepanjang hidupnya, menggerutu dan kadang-kadang memaki, sering kali dengan takut-takut, sekali ketika 'diangkat', Parker sudah menuruti naluri apa pun yang pernah datang kepadanya --dalam pengembaraan ketika jiwanya terangkat waktu seorang laki-laki bertato di pameran, takut ketika dia masuk angkatan laut, menggerutu ketika menikahi Sarah Ruth.

Pikiran tentang perempuan itu membawanya pelan-pelan bangkit berdiri. Perempuan itu akan tahu apa yang harus dilakukannya. Perempuan itu akan membereskan sisanya, dan setidaknya dia akan merasa senang. Baginya, setelah segala yang dilaluinya, itulah hal yang diinginkannya, menyenangkan hati istrinya. Truknya masih diparkir di depan bangunan tempat tukang tato, tapi itu tidak jauh. Dia masuk ke dalam mobilnya dan pergi ke luar kota dan menembus memasuki malam. Kepalanya nyaris bersih dari pengaruh minuman keras dan dia melihat bahwa ketidakpuasannya sudah lenyap, tapi dia merasa dia tidak seperti dirinya yang biasa. Seolah-olah dirinya adalah orang asing bagi dirinya sendiri, pergi ke kota yang baru walaupun semua yang dilihatnya sudah akrab di matanya, bahkan di malam hari.

Dia akhirnya sampai di rumah di bantaran sungai, memarkir mobilnya di bawah pohon pecan lalu keluar. Dia membuat suara sekeras mungkin untuk menunjukkan bahwa dia masih bosnya, bahwa dia meninggalkan istrinya semalam-malaman tanpa mengatakan sepatah kata pun tidak berarti apa-apa kecuali bahwa itu adalah caranya melakukan segala sesuatu. Dia membanting pintu mobil, menghentakkan kakinya di undakan dan melewati teras lalu mengguncang kenop pintu. Kenop tidak bereaksi. "Sarah Ruth!" teriaknya, "aku mau masuk."

Tidak ada kunci di pintu dan istrinya menaruh sandaran kursi di bawah kenop pintunya. Dia mulai menggedor pintu dengan keras sambil mengguncang-guncangkan kenopnya.

Dia mendengar pegas tempat tidur berderak lalu membungkuk dan mengintip dari lubang kunci, tapi lubangnya ditutupi kertas. "Aku mau masuk!" dia berteriak, kembali menggedor pintu. "Kenapa kau mengunciku di luar?"

Sebuah suara tajam di dekat pintu berkata, "Siapa itu?"

"Aku," kata Parker, "OE."

Dia menunggu sebentar.

"Aku," katanya tidak sabar, "OE."

Masih belum ada jawaban dari dalam.

Dia mencoba sekali lagi. "OE," katanya, menggedor pintu dua atau tiga kali lagi. "O. E. Parker. Kau tahu ini aku."

Lalu hening. Lalu suara itu berkata pelan, "Aku tidak kenal OE."

"Jangan main-main," Parker memohon. "Kau tidak harus memperlakukanku seperti ini. Ini aku, OE tua, aku pulang. Kau tidak perlu takut padaku."

"Siapa itu?" suara datar yang sama berkata.

Parker menoleh ke belakang seolah-olah berharap seseorang di belakangnya yang akan menjawab. Langit bersinar sebentar dan dua atau tiga berkas cahaya kuning melayang di atas cakrawala. Lalu ketika dia berdiri di sana, sebuah pohon yang terbakar menerobos cakrawala.

Parker terjatuh kembali di pintu seolah-olah dia ditancapkan di sana dengan sebatang tombak.

"Siapa itu?" suara dari dalam berkata dan ada nada yang terasa seperti pertanyaan terakhir. Kenop pintu berderak dan suaranya berkata dengan tegas, "Siapa itu, aku bertanya padamu?"

Parker membungkuk dan menaruh mulutnya di dekat lubang kunci yang ditutupi kertas. "Obaja," bisiknya dan seketika itu juga dia merasakan cahaya menembus tubuhnya, mengubah jiwa jaring laba-labanya menjadi arabesque yang berwarna sempurna, taman yang berisi pepohonan dan burung dan binatang buas.

"Obaja Elihue!" bisiknya.

Pintu itu terbuka dan dia menerobos masuk. Sarah Ruth berdiri di sana, berkacak pinggang. Dia langsung mulai, "Tidak ada perempuan berambut pirang di tempatmu bekerja dan kau harus membayar setiap sen untuk traktornya yang kau rusak. Dia tidak mengasuransikannya. Dia datang ke sini dan dia dan aku bicara panjang lebar dan aku.... "

Gemetar, Parker mulai menyalakan lampu minyak.

"Ada apa denganmu, menyia-nyiakan minyak di siang bolong?" istrinya mengejar. "Aku tidak perlu melihatmu."

Cahaya kuning menyelimuti mereka. Parker menurunkannya dan mulai membuka kancing bajunya.

"Dan kau tidak akan memiliki tubuhku pagi ini," katanya.

"Tutup mulutmu," katanya pelan. "Lihat ini dan aku tidak mau mendengar apa-apa lagi dari mulutmu." Dia melepas bajunya dan membelakangi istrinya.

"Tato baru," geram Sarah Ruth. "Aku seharusnya tahu kalau kau pergi setelah menaruh sampah lagi di tubuhmu sendiri."

Lutut Parker lemas. Dia berbalik dan berseru, "Lihat! Jangan berkata begitu! Lihat ini!"

"Aku sudah melihatnya," kata istrinya.

"Tidakkah kau tahu siapa orang itu?" dia menangis sedih.

"Tidak, siapa itu?" tanya Sarah Ruth. "Aku tidak kenal."

"Dia," kata Parker.

"Dia siapa?"

"Tuhan!" seru Parker.

"Tuhan? Tuhan tidak seperti itu!"

"Bagaimana kau tahu Dia seperti apa?" erang Parker. "Kau tidak pernah melihatnya."

"Dia tidak terlihat," kata Sarah Ruth. "Dia adalah roh. Tidak ada orang yang bisa melihat wajahnya."

"Baiklah," erang Parker, "ini cuma gambarNya."

"Berhala!" jerit Sarah Ruth. "Berhala! Membawa berhala di tubuhmu ke mana pun kau pergi! Aku bisa tahan dengan segala kebohongan dan kesia-siaan ini tapi aku tidak mau ada penyembah berhala di rumah ini!" lalu istrinya meraih sapu dan mulai memukul bahunya.

Parker terlalu terkejut untuk melawan. Dia duduk di sana dan membiarkan istrinya memukulinya sampai istrinya hampir memukulnya tepat di gambar besar dan konyol wajah tato Yesus. Lalu dia berjalan terhuyung-huyung menuju pintu.

Istrinya menghantamkan sapunya dua atau tiga kali di lantai lalu pergi ke jendela dan mengibaskannya untuk mengusir suaminya. Masih mencengkeram sapu, istrinya menatap ke arah pohon pecan dan tatapan matanya semakin tajam. Di sanalah dia --yang menyebut dirinya Obaja Elihue-- bersandar di pohon, menangis seperti bayi.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Flannery O'Connor yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***


Catatan kaki:

1 Elizabeth II: Elizabeth Alexandra Mary, Ratu Elizbeth II; ratu yang memerintah Inggris sejak tahun 1952.

2 Philip: Philip Mountbatten, Pangeran Philip; suami Ratu Elizabeth II.

3 Methodis: aliran dalam Kristen Protestan yang diinspirasi oleh hidup dan pengajaran John Wesley.

4 Chiropodis: ahli penyakit kaki dan kuku.

Comments

Populer