Dan Bumi Tidak Terbelah (And the Earth Did Not Part ~ Tomás Rivera)
"Kau seharusnya segera datang, Nak. Tidakkah kau tahu kalau ayahmu
sakit? Kalian semua tahu betul bahwa dia pernah terkena sengatan panas1
sebelumnya. Kenapa kau tidak pulang?"
"Yah, aku tidak tahu. Karena kami semua basah kuyup karena keringat,
kami tidak menyadari bahwa cuaca sangat panas, tapi kurasa cuaca berbeda saat
seseorang terkena sengatan panas. Yang jelas, aku menyuruhnya duduk di bawah
pohon di ujung, tapi dia tidak mau. Saat itulah dia mulai muntah. Lalu kami
melihat bahwa dia tidak bisa mencangkul dan kami harus menyeretnya untuk
membawanya ke bawah pohon. Dia tidak melawan lagi. Dia membiarkan kami
membawanya. Dia tidak membantah atau apa pun."
"Kasihan sekali suamiku. Dia hampir tidak tidur semalam. Apa kau
tidak mendengarnya di luar rumah? Dia menggeliat dan berputar sepanjang malam;
pasti sakit sekali. Ya Tuhan, aku berdoa semoga dia cepat sembuh. Aku sudah
memberinya limun dingin sepanjang hari tapi matanya masih berkaca-kaca. Kalau
aku ada di ladang kemarin, aku jamin dia tidak akan terkena sengatan matahari.
Kasihan sekali, dia akan mengalami kejang-kejang di sekujur tubuhnya setidaknya
selama tiga hari tiga malam. Sekarang kalian semua jaga diri kalian. Kalau
cuaca terlalu panas, istirahatlah. Jangan terlalu banyak bekerja. Jangan
pedulikan bos kalau dia mengejar-ngejarmu. Karena bukan dia yang punggungnya
sakit, dia pikir pekerjaan itu gampang."
Dia menjadi semakin marah ketika mendengar ayahnya mengerang di luar
gubuk. Ayahnya tidak tinggal di dalam karena dia berkata bahwa dia diliputi ketakutan
setiap kali dia berada di dalam. Dia harus berada di luar agar bisa menghirup
udara segar. Di sana dia bisa berbaring di atas rumput dan berguling-guling
ketika kejang-kejang menyerangnya. Kemudian dia berpikir apakah ayahnya akan
meninggal karena sengatan panas. Sesekali dia mendengar ayahnya berdoa dan
memohon pertolongan Tuhan. Awalnya dia berharap ayahnya akan segera sembuh, tapi
keesokan harinya dia merasakan kemarahannya bertambah. Dan lebih besar lagi
ketika ibu atau ayahnya berteriak-teriak memohon belas kasihan Tuhan. Dan
erangan ayah mereka membangunkan mereka malam itu dan juga saat fajar, dan ibu
mereka sudah bangun dan sudah melepaskan skapulirnya2 dari lehernya
dan mencucinya untuknya. Ia kemudian menyalakan beberapa lilin kecil. Tapi
tidak berhasil. Sama seperti paman dan bibinya.
"Apa untungnya ibu melakukan itu? Jangan bilang ibu percaya hal
semacam itu menolong paman dan bibiku? Kenapa kita bisa ada di bumi seperti
dikubur hidup-hidup? Entah kuman memakan kita dari dalam atau matahari dari
luar. Selalu ada penyakit. Dan kerja, kerja, siang dan malam. Buat apa? Kasihan
ayah, dia bekerja keras seperti kita semua, mungkin lebih keras. Dia terlahir
bekerja, seperti katanya. Baru berusia lima tahun dan dia sudah di luar sana
menanam jagung bersama ayahnya. Setelah sekian lama memberi makan bumi dan
matahari, ...suatu hari tanpa diduga dia ditumbangkan matahari. Dan tidak
berdaya melakukan apa pun. Dan yang paling parah, dia berdoa kepada Tuhan.
Tuhan bahkan tidak mengingat kita.... Pasti Tuhan itu tidak ada.... Tidak,
lebih baik tidak mengatakannya, bagaimana kalau kondisi ayah memburuk? Ayah
yang malang, setidaknya itu memberinya harapan."
Ibunya memperhatikan betapa marahnya dia dan di pagi hari ibunya
menyuruhnya untuk tenang, bahwa semuanya ada di tangan Tuhan dan bahwa ayahnya
akan sembuh dengan pertolongan Tuhan.
"Ayolah, apakah ibu benar-benar percaya itu? Tuhan, aku yakin, tidak
peduli pada kita. Lihat, bisakah ibu memberitahuku apakah ayah jahat atau tidak
penuh kasih? Ibu katakan padaku apakah dia pernah menyakiti orang?"
"Yah, tidak sih."
"Itu dia. Lihat? Dan paman dan bibiku? Katakan padaku. Dan sekarang
anak-anak mereka yang malang tidak mengenal orang tua mereka. Kenapa Dia harus
mengambil mereka? Jadi ibu lihat, Tuhan tidak peduli pada kita orang-orang
miskin. Lihat, kenapa kita harus hidup dalam kondisi seperti ini? Apakah kita
menyakiti seseorang? Ibu orang yang baik tapi ibu harus sangat menderita. Tidak
bisakah ibu melihat? Katakan padaku!"
"Oh, Nak, jangan berkata seperti itu. Jangan pertanyakan kehendak
Tuhan. Tanah bisa terbelah dan menelanmu karena bicara seperti itu. Kita harus
pasrah pada kehendak Tuhan. Tolong jangan bicara seperti itu, Nak. Kau
membuatku takut. Sepertinya iblis sudah ada di dalam hatimu."
"Yah, mungkin. Setidaknya dengan begitu aku bisa melampiaskan
amarahku. Aku lelah bertanya, kenapa? Kenapa harus ibu? Kenapa ayah? Kenapa
pamanku? Kenapa bibiku? Kenapa anak-anak mereka? Bisakah ibu memberitahuku
kenapa? Kenapa kita harus selalu berada di dalam lumpur, setengah terkubur di
dalam tanah seperti binatang tanpa harapan apa pun? Ibu tahu bahwa satu-satunya
hal yang bisa kita nantikan adalah datang ke sini setiap tahun. Dan seperti
yang ibu katakan sendiri, seseorang tidak akan beristirahat sampai dia mati.
Kurasa begitulah perasaan paman dan bibiku, dan begitulah perasaan ayah pada
akhirnya!"
"Begitulah adanya, Nak. Hanya kematian yang bisa membuat kita
beristirahat."
"Tapi, kenapa kita?"
"Yah, konon katanya...."
"Jangan katakan itu! Jangan katakan apa pun padaku! Aku tahu apa yang akan ibu katakan padaku! —bahwa orang miskin akan masuk surga."
Hari itu dimulai dengan cuaca mendung dan dia merasakan angin pagi yang
sejuk menyentuh bulu matanya saat dia dan saudara-saudaranya mulai bekerja.
Ibunya harus tinggal di rumah untuk mengurus suaminya. Karena itu dia merasa
bertanggung jawab untuk menyemangati saudara-saudaranya. Di pagi hari,
setidaknya pada jam-jam awal, mereka mampu menahan terik matahari, tapi pada
pukul sepuluh tiga puluh matahari tiba-tiba sudah sepenuhnya menyapu langit dan
menembus segala sesuatu dan setiap orang. Mereka bekerja jauh lebih lambat
karena mereka akan merasa lemas dan sesak napas kalau mereka bekerja
tergesa-gesa. Mereka kemudian harus menyeka keringat dari mata mereka setiap
beberapa menit karena mata mereka menjadi kabur.
"Kalau mata kalian mulai kabur, berhentilah bekerja atau perlambat kerja
kalian. Ketika kita sampai di ujung, kita akan beristirahat sebentar untuk
memulihkan tenaga. Hari ini akan panas. Aku berharap cuaca tetap berawan,
seperti pagi ini. Tidak akan ada yang mengeluh saat itu. Tapi tidak, begitu
matahari menyengat, bahkan awan kecil pun tidak berani muncul karena takut.
Sialnya, kita baru akan selesai di sini pukul dua kemudian kita harus pergi ke
ladang yang semuanya perbukitan. Di atas bukit tidak apa-apa, tapi ketika kita
berada di dataran rendah, udaranya sangat menyesakkan. Bahkan angin sepoi-sepoi
pun tidak bertiup di sana. Udara hampir tidak ada. Ingat?"
"Ya."
"Di sanalah kita akan menghabiskan waktu terpanas sepanjang hari.
Minumlah banyak air setiap beberapa menit, biarkan saja kalau bos marah. Kalau
tidak, kamu akan sakit. Dan kalau kamu tidak tahan lagi, beri tahu aku sekarang
juga, oke? Kita akan pulang. Kamu lihat apa yang terjadi pada ayah karena menahan-nahan.
Matahari bisa menyedot kehidupanmu."
Seperti yang sudah mereka perkirakan, mereka harus pindah ke ladang lain
menjelang sore. Menjelang pukul tiga, mereka sudah basah kuyup oleh keringat.
Tidak ada satu pun pakaian mereka yang kering. Setiap beberapa menit mereka
berhenti. Kadang-kadang mereka terengah-engah, lalu semuanya menjadi kabur dan
rasa takut akan sengatan matahari merayapi mereka, tapi mereka terus
melanjutkan.
"Apa yang kaurasakan?"
"Wah, panas sekali! Tapi kita harus terus melanjutkan. Setidaknya
sampai pukul enam. Masalahnya, air yang kita punya sudah tidak lagi bisa
menghilangkan dahaga kita. Alangkah baiknya kalau aku punya segelas air dingin,
yang benar-benar dingin, yang baru diambil dari sumur, atau segelas minuman dingin
bersoda."
"Kamu gila, kamu pasti akan kena sengatan matahari kalau begitu.
Jangan bekerja terlalu cepat. Mari kita lihat apakah kita bisa bertahan sampai
pukul enam. Kamu bisa tahan?"
Pukul empat, anak yang paling kecil jatuh sakit. Dia baru berusia
sembilan tahun, tapi karena dia sudah dianggap dewasa, dia berusaha untuk
mengikuti yang lain. Dia mulai muntah dan duduk, lalu berbaring. Mereka semua
berlarian ketakutan ke arahnya. Anak itu kelihatannya pingsan dan ketika mereka
membuka kelopak matanya, mereka melihat matanya berputar. Anak yang sedikit lebih
tua darinya mulai menangis, tapi dia langsung menyuruhnya diam dan membantunya
pulang. Kejang-kejang menjalar di sekujur tubuh anak kecil itu. Dia lalu
membaringkannya di punggungnya dan menggendongnya sendiri. Sekali lagi dia
mulai bertanya kenapa?
"Kenapa ayahku, dan sekarang adik laki-lakiku? Dia baru berusia
sembilan tahun. Kenapa? Dia harus bekerja seperti binatang, terikat di tanah.
Ayah, Ibu, dan dia, adik laki-lakiku, bagaimana mungkin mereka punya salah atas
kesalahan apa pun?"
Setiap langkah yang diambilnya menuju rumah diiringi gema pertanyaan
"kenapa?" Di tengah jalan dia menjadi marah dan kemudian dia mulai
menangis karena putus asa. Saudara-saudaranya yang lain tidak tahu harus
berbuat apa dan mereka juga mulai menangis, tapi karena takut. Dia kemudian
mulai mengumpat. Dan dia tidak tahu kapan, tapi apa yang dia katakan sudah lama
ingin dia katakan. Dia mengutuk Tuhan. Saat melakukannya, dia merasakan
ketakutan yang ditanamkan dalam dirinya oleh waktu dan oleh orang tuanya. Selama
sepersekian detik dia melihat bumi terbuka untuk menelannya. Tapi, walaupun dia
tidak melihat ke bawah, dia kemudian merasakan dirinya berjalan di tanah yang
sangat keras; itu lebih keras daripada yang pernah dia rasakan. Kemarahan
membengkak dalam dirinya lagi dan dia melampiaskannya dengan mengutuk Tuhan.
Kemudian, dia menyadari bahwa adik laki-lakinya tidak lagi tampak sakit parah.
Dia tidak tahu apakah adik-adiknya yang lain menyadari betapa serius
kutukannya.
Malam itu, dia baru bisa tidur larut malam. Dia merasakan kedamaian yang
belum pernah dirasakannya sebelumnya. Dia merasa sudah benar-benar melepaskan
diri dari segalanya. Dia tidak lagi khawatir tentang ayahnya maupun saudaranya.
Yang dia nanti-nantikan hanyalah hari yang baru, kesejukan pagi. Menjelang
fajar, ayahnya sudah lebih baik. Dia sedang dalam proses pemulihan. Adik
laki-lakinya juga hampir sepenuhnya terbebas dari kejang-kejang. Berkali-kali dia
merasa terkejut dengan apa yang sudah dilakukannya sore sebelumnya. Dia sudah
mengutuk Tuhan dan tanah tidak terbelah. Dia mau memberi tahu ibunya, tapi dia
memutuskan untuk merahasiakannya. Dia hanya mengatakan pada ibunya bahwa bumi
tidak melahap siapa pun, dan matahari juga tidak menghancurkan siapa pun.
Dia berangkat kerja dan dia dihadapkan pada pagi yang sangat tenang. Ada
awan dan untuk pertama kalinya, dia merasa mampu melakukan dan membatalkan apa
pun yang dipilihnya. Dia melihat ke arah tanah dan menendangnya lalu berkata
padanya.
"Belum, kamu belum bisa menelanku. Suatu hari nanti. Tapi aku tidak
akan tahu."
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Sengatan panas: heat-stroke atau sun-stroke,
penyakit panas parah yang menyebabkan suhu tubuh lebih dari 40°C, disertai
kulit merah, sakit kepala, pusing, dan linglung.
2 Skapulir: sepotong kain atau logam yang dikenakan di bahu
sebagai simbol pengabdian kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria.

Comments
Post a Comment