Hujan Akhirnya Turun (The Rain Came ~ Grace Ogot)
Suasana di desa terasa tegang dan penuh tanda tanya. Semua orang bergerak
tanpa tujuan dan menyibukkan diri di lapangan tanpa benar-benar melakukan
pekerjaan apapun. Seorang perempuan muda berbisik kepada istri lain suaminya,
"Kalau mereka tidak segera menyelesaikan urusan soal hujan hari ini,
kepala suku akan berada dalam posisi sulit." Mereka melihat tubuhnya
semakin kurus dan semakin kurus seiring orang-orang yang terus menekannya.
"Binatang ternak kami terbaring sekarat di ladang," lapor mereka.
"Anak-anak kami akan segera menyusul lalu kami juga. Beritahu kami apa
yang harus dilakukan untuk menyelamatkan hidup kami, oh Kepala Suku yang
Agung." Lalu sang kepala suku akan menggumamkan doa memohon kepada Yang
Mahakuasa melalui roh para nenek moyang untuk membebaskan mereka dari
permasalahan mereka.
Alih-alih mengumpulkan seluruh anggota sukunya dan memberi mereka kabar
secepatnya, Labong'o pergi ke pondoknya sendiri, sebuah pertanda bahwa dia
tidak boleh diganggu. Setelah menutup tirai, dia duduk di dalam pondoknya yang
remang-remang untuk merenung.
Bukan soal menjadi pemimpin dari orang-orang yang dilanda kelaparan yang membuat hati Labong'o bimbang. Ini adalah soal hidup satu-satunya anak perempuannya yang sedang dipertaruhkan. Ketika Oganda datang menemuinya, dia melihat seutas rantai berkilau melingkari pinggangnya. Nubuat itu lengkap sudah.
"Ogandalah, Oganda, anak perempuanku satu-satunya, yang harus mati semuda ini."
Labong'o menangis sebelum bisa menyelesaikan kalimatnya.
Kepala suku tidak boleh menangis. Orang-orang sudah sepakat bahwa dia adalah
laki-laki yang paling berani di antara mereka. Tapi Labong'o tidak peduli lagi.
Dia menempatkan dirinya hanya sebagai seorang ayah dan menangis tersedu-sedu.
Dia mencintai rakyatnya, orang-orang Luo, tapi apa gunanya rakyat Luo
baginya kalau tidak ada Oganda? Putrinya membawa kehidupan baru di dunia
Labong'o dan dia memerintah lebih baik daripada sebelumnya. Bagaimana bisa roh
penjaga desa menginginkan putrinya yang cantik? "Ada begitu banyak rumah
dan begitu banyak orang tua yang punya anak perempuan. Kenapa memilih yang satu
ini? Dia satu-satunya yang aku punya." Labong'o berbicara seolah-olah
nenek moyangnya ada di dalam pondok dan dia bisa melihat mereka secara
langsung. Mungkin mereka memang ada di sana, memperingatkannya untuk mengingat
janjinya di hari dia diangkat menjadi kepala suku ketika dia berkata dengan
mantap, di hadapan para tetua, "Aku akan menyerahkan nyawaku, kalau perlu,
dan hidup keluargaku, untuk menjaga suku ini dari musuh." "Pembohong!
Pembohong!" dia bisa mendengar suara nenek moyangnya mengejeknya.
Ketika Labong'o diangkat menjadi kepala suku, dia hanya seorang anak
muda. Tidak seperti ayahnya, dia memerintah selama bertahun-tahun dengan cuma
satu istri. Tapi orang-orang mengecamnya karena satu-satunya istrinya itu tidak
juga memberinya anak perempuan. Dia menikahi istri keduanya, ketiga, dan
keempat, tapi mereka semua melahirkan anak laki-laki. Sampai akhirnya Labong'o
menikahi istri kelima, dan perempuan itu memberinya seorang putri. Mereka
memanggilnya Oganda, yang berarti 'kacang', karena kulitnya yang sangat halus.
Dari dua puluh anak Labong'o, Oganda adalah satu-satunya anak perempuan.
Walaupun dia adalah kesayangan sang kepala suku, istri-istri lain ayahnya
menahan perasaan cemburu mereka dan menghujaninya dengan cinta. Lagipula, kata
mereka, Oganda adalah anak perempuan yang hari-harinya di keluarga sang kepala
suku bisa dihitung. Dia akan segera menikah pada usia muda dan meninggalkan
posisinya yang membuat iri itu kepada orang lain.
Tidak pernah di sepanjang hidupnya sang kepala suku dihadapkan pada
keputusan yang begitu sulit. Menolak permintaan sang pembuat hujan berarti
mengorbankan seluruh suku, mendahulukan kepentingan pribadinya di atas
kepentingan rakyatnya. Bahkan lebih dari itu. Itu berarti melawan roh nenek
moyang, yang kemungkinan bisa menyapu orang-orang Luo dari permukaan bumi. Di
sisi lain, membiarkan Oganda mati sebagai pengorbanan bagi orang banyak secara
permanen akan melumpuhkan jiwa Labong'o. Dia tahu dia tidak akan pernah menjadi
pemimpin yang sama lagi.
Kata-kata Ndithi, sang dukun, masih bergema di telinganya. "Podho,
nenek moyang suku Luo, menemuiku dalam mimpi semalam, dan dia memintaku untuk
berbicara kepada kepala suku dan seluruh rakyat," Ndithi berkata di
pertemuan suku. "Seorang perempuan muda yang belum pernah dijamah
laki-laki harus dikorbankan supaya hujan bisa turun di desa ini. Selagi Podho
bicara denganku, aku melihat seorang perempuan muda berdiri di tepi danau,
tangannya terangkat, di atas kepalanya. Kulitnya sehalus kulit rusa muda di
tengah padang. Tubuh langsing semampainya berdiri seperti rumput yang kesepian
di tepi sungai. Mata kuyunya terlihat sedih seperti seorang ibu yang sedang
berduka. Dia mengenakan cincin emas di telinga kiri, dan rantai kuningan
berkilauan di pinggangnya. Ketika aku mengagumi kecantikan perempuan muda itu,
Podho berkata kepadaku, 'Dari semua perempuan di desa ini, kami memilih yang
ini. Buatlah dia menawarkan dirinya sebagai korban bagi monster danau! Pada
hari itu, hujan akan turun dengan deras. Semua orang harus tinggal di dalam
rumah pada hari itu, supaya jangan terbawa oleh banjir.'"
Di luar ada keheningan yang aneh, kecuali suara burung-burung yang
kehausan yang bernyanyi malas di atas pohon yang sedang sekarat. Sinar matahari
siang yang menyilaukan memaksa orang-orang untuk masuk ke gubuk mereka. Tak
jauh dari pondok sang kepala suku, dua penjaga diam-diam mendengkur. Labong'o
melepaskan mahkota dan kepala elang besar yang tergantung di pundaknya. Dia
meninggalkan gubuknya, dan alih-alih menyuruh Nyabog'o sang pengirim pesan
memukul drum, dia langsung pergi dan memukulnya sendiri. Dalam waktu singkat
seluruh rakyatnya berkumpul di bawah pohon siala
tempat dia biasanya berbicara dengan mereka semua. Dia menyuruh Oganda menunggu
sejenak di pondok neneknya.
Ketika Labong'o berdiri untuk menghadapi rakyatnya, suaranya serak dan
air mata membuatnya tercekat. Dia mulai bicara, tapi kata-kata menolak
meninggalkan bibirnya. Istri-istri dan anak-anak laki-lakinya tahu ada bahaya
besar. Mungkin musuh menyatakan perang dengan mereka. Mata Labong'o memerah,
dan mereka bisa melihat kalau dia sedang menangis. Akhirnya dia berkata kepada
mereka semua. "Seseorang yang kita cintai dan sayangi harus berpisah
dengan kita. Oganda harus mati." Suara Labong'o begitu pelan, sampai-sampai
dia tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Tapi dia melanjutkan, "Para
leluhur sudah memilihnya untuk diberikan sebagai korban kepada monster danau
agar kita bisa mendapatkan hujan."
Mereka semua tertegun. Bersama dengan gumam kebingungan yang mulai pecah,
ibu Oganda pingsan dan dibawa ke gubuknya sendiri. Tapi yang lain bersukacita.
Mereka menari-nari dan bernyanyi. "Oganda adalah orang yang beruntung
karena mati untuk orang banyak. Kalau memang untuk menyelamatkan orang banyak,
relakan Oganda mati."
Di pondok neneknya Oganda bertanya-tanya apa yang sedang dibicarakan oleh
orang-orang tentangnya karena dia tidak bisa mendengarnya. Pondok neneknya
berada cukup jauh dari lapangan tempat sidang sang kepala suku dan, tidak
peduli sekuat apapun dia berusaha menajamkan pendengarannya, dia tidak bisa
mendengar apapun yang sedang dibicarakan. "Pasti soal pernikahan,"
pikirnya. Sudah jadi kebiasaan di suku itu untuk membahas soal pernikahan anak
perempuan mereka di belakangnya. Senyum tipis mengembang di bibir Oganda ketika
dia memikirkan beberapa pemuda yang akan menelan ludahnya hanya dengan
menyebutkan namanya.
Ada Kech, anak seorang tetua suku tetangga. Kech sangat tampan. Dia punya
mata indah yang lemah lembut dan tawa yang menggelegar. Dia akan menjadi ayah
yang baik, pikir Oganda. Tapi mereka tidak akan cocok. Kech agak terlalu pendek
untuk menjadi suaminya. Akan membuatnya malu kalau Oganda harus menunduk untuk
menatap Kech setiap kali bicara dengannya. Lalu dia memikirkan Dimo, pemuda
jangkung yang sudah terkenal sebagai petarung pemberani dan pegulat hebat. Dimo
menyukai Oganda, tapi Oganda merasa bahwa dia akan menjadi suami yang kejam,
yang selalu bertengkar dan siap bertarung dengannya. Tidak, dia tidak
menyukainya. Oganda meraba rantai yang berkilauan di pinggangnya ketika
memikirkan Osinda. Dulu, ketika dia masih sangat muda, Osinda memberinya rantai
itu, dan alih-alih mengenakannya di leher, dia memakainya di sekeliling
pinggangnya supaya rantai itu bisa ada di sana terus. Dia merasakan jantungnya
berdebar kencang ketika dia memikirkan pemuda itu. Dia bergumam, "Semoga
mereka sedang membicarakanmu, Osinda sayang. Datang dan bawalah aku
pergi...."
Sosok kurus di ambang pintu membuat Oganda, yang sedang tercenung
memikirkan laki-laki yang dicintainya, terkejut. "Kau membuatku takut,
Nenek," kata Oganda sambil tertawa. "Ceritakan padaku, apakah
perkawinanku yang sedang kalian bahas? Kalian boleh membahasnya sesuka kalian
tapi aku tidak akan menikahi yang mana pun di antara mereka." Senyum
tersungging di bibirnya lagi. Dia membujuk perempuan tua itu untuk segera
menceritakannya, untuk menceritakan padanya bahwa mereka juga menyukainya
Osinda.
Di lapangan di luar para anggota suku yang bersemangat menari dan
bernyanyi. Mereka datang ke pondok itu sekarang, masing-masing membawa hadiah
untuk diletakkan di kaki Oganda. Ketika suara nyanyian mereka semakin dekat,
Oganda bisa mendengar yang mereka katakan: "Kalau untuk menyelamatkan
orang-orang, kalau untuk memberi kami hujan, relakan Oganda pergi, relakan
Oganda mati untuk kaumnya, dan untuk nenek moyangnya." Apa dia sudah gila
berpikir bahwa mereka sedang bernyanyi untuknya? Kenapa dia harus mati? Dia
menemukan sosok tubuh neneknya yang kurus menghalangi pintu. Dia tidak bisa
keluar. Tatapan wajah neneknya memperingatkannya bahwa bahaya sedang mendekat.
"Ibu, berarti ini bukan soal perkawinan?" tanya Oganda mengejar. Dia
tiba-tiba merasa panik seperti seekor tikus yang dipojokkan oleh seekor kucing
yang kelaparan. Lupa kalau hanya ada satu pintu di pondok itu, Oganda berusaha
sekuat tenaga mencari jalan keluar lain. Dia harus berjuang untuk
mempertahankan hidupnya. Tapi tidak ada pintu yang lain.
Dia memejamkan matanya, menerobos pintu seperti harimau liar, menjatuhkan
neneknya ke tanah. Di luar, dengan pakaian berkabung, Labong'o berdiri tak
bergerak, tangannya terlipat di balik punggungnya. Dia memegang tangan putrinya
dan melepaskannya dari kerumunan orang yang bersemangat menuju pondok kecil
berwarna merah tempat ibunya beristirahat. Di sini dia menyampaikan kabar
tersebut kepada putrinya.
Untuk waktu yang lama, ketiga orang yang saling mencintai satu sama lain
itu duduk dalam kegelapan. Tidak ada gunanya bicara. Bahkan kalau mereka
mencoba, kata-kata tidak bisa keluar dari mulut mereka. Dulu mereka seperti
tiga batu tungku, saling berbagi beban. Mengambil Oganda dari mereka berarti
meninggalkan dua buah batu yang tidak berguna karena tidak bisa menyangga
periuk untuk memasak.
Kabar bahwa putri cantik sang kepala suku harus dikorbankan untuk memberi
rakyatnya hujan menyebar ke seluruh penjuru negeri seperti angin. Ketika
matahari terbenam, desa sang kepala suku dipenuhi para saudara dan teman-teman
yang datang untuk mengucapkan selamat kepada Oganda. Banyak dari mereka yang
datang membawa serta hadiah. Mereka akan menari sampai pagi, mereka akan
menyiapkan sebuah pesta perpisahan yang besar. Semua orang menganggap adalah
kehormatan besar untuk dipilih oleh roh nenek moyang untuk mati supaya rakyat
bisa hidup. "Nama Oganda akan selalu menjadi nama yang hidup di antara
kita," bual mereka.
Tapi apakah cinta seorang ibu yang menahan
Minya yang alih-alih ikut bergembira tapi justru merasa sangat sedih? Atau
apakah kehangatan dan perasaan mendalam yang timbul di antara bayi yang menyusu
dan ibunya yang membuat Oganda menjadi bagian dari hidupnya, dari tubuhnya?
Tentu saja itu adalah kehormatan, sebuah kehormatan besar, karena putrinya
terpilih untuk mati demi desa mereka. Tapi apa yang akan didapatnya begitu
anaknya lenyap dibawa angin? Ada banyak perempuan lain di desa ini, kenapa
memilih anaknya, satu-satunya anak perempuannya? Seandainya hidup manusia
begitu berarti --perempuan lain punya rumah yang penuh dengan anak laki-laki
sementara dia, Minya, harus kehilangan satu-satunya anaknya!
Di langit yang cerah bulan bersinar terang,
dan ada begitu banyak bintang berkilauan dengan keindahan yang memesona. Para
penari dari segala umur berkumpul untuk menari di hadapan Oganda, yang duduk
dekat dengan ibunya, terisak-isak pelan. Selama bertahun-tahun dia hidup
bersama orang-orang sukunya, dia mengira dia sudah mengerti mereka. Tapi
sekarang dia menemukan bahwa dia hanyalah orang asing di antara sukunya. Kalau
mereka mencintainya seperti yang selalu mereka lakukan selama ini, kenapa
mereka tidak berusaha menyelamatkannya? Apakah orang-orang tahu bagaimana
rasanya mati muda? Karena tidak lagi bisa mengendalikan emosinya, dia
terisak-isak dengan keras ketika orang-orang yang seumuran dengannya bangkit
untuk menari. Mereka semua muda dan cantik dan sebentar lagi mereka akan
menikah dan punya anak. Mereka akan punya suami untuk dicintai dan pondok kecil
untuk mereka. Mereka akan tumbuh dewasa. Oganda menyentuh rantai di sekeliling
pinggangnya ketika memikirkan Osinda. Dia berharap Osinda juga ada di sana, di
antara teman-temannya. "Mungkin dia sakit," pikirnya. Rantai itu
menghibur Oganda --dia akan mati dengan rantai itu melilit di pinggangnya dan
akan memakainya di dunia bawah.
Paginya pesta besar disiapkan untuk Oganda.
Para perempuan menyiapkan berbagai makanan lezat supaya dia bisa memilih.
"Orang tidak makan kalau sudah mati," kata mereka. Lezat memang
makanan-makanan itu kelihatannya, tapi Oganda tidak menyentuh apapun. Biarkan
orang-orang yang berbahagia itu yang makan. Dia menenangkan diri dengan minum
air dari sebuah labu kecil. Waktu keberangkatannya semakin dekat, dan setiap
menitnya begitu terasa. Itu adalah perjalanan satu hari menuju danau. Dia
berjalan sepanjang malam, melewati hutan besar. Tapi tidak ada yang bisa
menyentuhnya, termasuk para penghuni hutan. Dia sudah diurapi dengan minyak
suci. Sejak Oganda menerima kabar menyedihkan itu, dia selalu berharap Osinda
muncul sewaktu-waktu. Tapi pemuda itu tidak muncul juga. Seorang kerabat
mengatakan kepadanya bahwa Osinda sedang pergi untuk mengunjungi keluarganya.
Oganda menyadari bahwa dia tidak akan pernah melihat kekasihnya itu lagi.
Sorenya seluruh desa berdiri di gerbang untuk
mengucapkan selamat tinggal dan melihatnya untuk terakhir kalinya. Ibunya
menangis di lehernya lama sekali. Sang kepala suku dengan wajah sedih menuju
gerbang bertelanjang kaki, dan berbaur dengan orang-orang --seorang ayah yang
sedang berduka. Dia melepaskan gelang di tangannya dan memasangkannya di
pergelangan tangan putrinya sambil berkata, "Kau akan selalu ada di antara
kami. Roh nenek moyang kita selalu bersamamu."
Oganda yang tidak bisa bicara dan masih tidak
percaya berdiri di hadapan orang-orang. Tidak ada yang bisa dikatakannya. Dia
menatap rumahnya sekali lagi. Dia bisa mendengar jantungnya berdetak begitu
kencang di dalam dadanya. Semua rencana masa kecilnya akan segera berakhir. Dia
merasa seperti kuncup bunga yang tidak akan pernah menikmati embun pagi lagi.
Dia menatap ibunya yang sedang menangis, dan berbisik, "Kapan pun kau
ingin menemuiku, lihatlah matahari terbenam, aku akan berada di sana."
Oganda berbelok ke selatan untuk memulai
perjalanannya ke arah danau. Orang tuanya, saudara-saudaranya, temannya, dan
pemujanya berdiri di gerbang dan mengawasinya pergi.
Sosok rampingnya yang cantik terlihat semakin
kecil sampai akhirnya dia bergabung dengan pepohonan kering di hutan. Sambil
berjalan menyusuri jalan sepi yang meliuk di hutan, Oganda menyanyikan sebuah
lagu, dan suaranya menemani perjalanannya.
Roh nenek moyang bilang
Oganda harus mati
Puteri kepala suku harus
dikorbankan,
Ketika monster danau memangsa
tubuhku.
Orang-orang akan mendapat
hujan.
Ya, hujan akan turun dengan
deras.
Dan banjir akan membasuh
pantai berpasir
Ketika putri kepala suku
mati di danau.
Teman-temanku setuju
Orang tuaku setuju
Begitu juga
saudara-saudaraku.
Biarkan Oganda mati supaya
kita dapat hujan.
Teman-temanku muda dan akan
matang,
Matang sebagai perempuan dan
ibu
Tapi Oganda harus mati muda,
Oganda harus tidur dengan
nenek moyangnya.
Ya, hujan akan turun dengan
deras.
Sinar merah matahari terbenam memeluk Oganda, dan dia terlihat seperti
lilin yang menyala di tengah hutan.
Orang-orang yang datang untuk mendengar lagu sedihnya tersentuh oleh
kecantikannya. Tapi mereka semua mengatakan hal yang sama: "Kalau untuk
menyelamatkan orang banyak, kalau untuk memberi kami hujan, jangan takut,
namamu akan tetap ada di antara kami."
Tengah malam Oganda begitu lelah dan letih. Dia tidak bisa berjalan lagi.
Dia duduk di bawah pohon besar, dan sambil menyesap air dari labu, dia
meletakkan kepalanya di atas sebatang pohon dan tidur.
Ketika Oganda terbangun di pagi hari, matahari tinggi di langit. Setelah
berjalan berjam-jam, dia sampai di tong',
gundukan tanah yang memisahkan daerah yang didiami orang dengan tempat suci (kar lamo). Tidak ada yang bisa masuk
tempat ini dan keluar hidup-hidup --hanya mereka yang bisa berhubungan langsung
dengan roh dan Yang Mahakuasa yang diijinkan masuk tempat suci ini. Tapi Oganda
harus melewati tanah suci ini dalam perjalanannya ke danau, yang harus dia
capai saat matahari terbenam.
Sekumpulan orang berkerumun untuk melihatnya terakhir kalinya. Suaranya
sekarang serak dan menyedihkan, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
Tidak lama lagi dia tidak perlu bernyanyi. Kerumunan itu melihat Oganda dengan
simpatik, menggumamkan kata-kata yang tidak bisa didengarnya. Tapi tidak ada
yang memohon untuk hidupnya. Ketika Oganda membuka gerbang, seorang bocah,
seorang anak kecil, melepaskan diri dari kerumunan, dan berlari ke arahnya.
Anak itu mengambil anting-anting kecil dari tangannya yang berkeringat dan
memberikannya kepada Oganda sambil berkata, "Kalau kau sampai di dunia
orang mati, berikan anting-anting ini kepada saudaraku, dia meninggal seminggu
yang lalu. Dia lupa membawa antingnya." Oganda, terkejut dengan permintaan
aneh itu, mengambil anting kecil itu, dan menyerahkan air dan makanannya kepada
anak itu. Dia tidak membutuhkan semuanya sekarang. Oganda tidak tahu apakah
harus tertawa atau menangis. Dia sudah mendengar orang yang berduka mengirim
cintanya kepada kekasih mereka, yang sudah lama meninggal, tapi ide untuk
mengirimkan hadiah, baru baginya.
Oganda menahan napas saat melintasi pembatas untuk memasuki tanah suci.
Dia menatap dengan tajam ke arah kerumunan itu, tapi tidak ada jawaban. Pikiran
mereka terlalu asyik dengan hidup mereka sendiri. Hujan adalah obat berharga
yang mereka rindukan, dan semakin cepat Oganda sampai ke tempat tujuannya
semakin baik.
Perasaan aneh menguasai Oganda saat dia berjalan di tanah suci. Ada
suara-suara aneh yang membuatnya terkejut, dan reaksi pertamanya adalah menahan
tumitnya. Tapi dia ingat bahwa dia harus memenuhi keinginan sukunya. Dia
kelelahan, tapi jalannya masih penuh liku. Lalu tiba-tiba jalan itu berakhir di
tanah berpasir. Air menjauh beberapa kilometer dari pantai, meninggalkan
hamparan pasir yang luas. Di belakang semua ini adalah hamparan air yang luas.
Oganda merasa takut. Dia ingin membayangkan ukuran dan bentuk sang
monster, tapi rasa takut membuatnya tidak bisa. Orang-orang tidak pernah
membicarakannya, juga anak-anak yang menangis yang dibungkam dengan menyebutkan
namanya. Matahari masih menyala, tapi tidak panas lagi. Untuk waktu yang lama
Oganda berjalan dengan kaki terbenam di pasir. Dia lelah dan sangat
menginginkan labu airnya. Ketika dia bergerak, dia merasa ada sesuatu yang
mengikutinya. Apakah itu sang monster? Rambutnya berdiri tegak, dan rasa dingin
yang melumpuhkan merayap di sepanjang tulang punggungnya. Dia melihat ke
belakang, ke samping dan ke depan, tapi tidak ada apa-apa kecuali gumpalan
debu.
Oganda berhenti dan bergegas tapi perasaan itu tetap tidak mau hilang,
dan seluruh tubuhnya bersimbah keringat.
Oganda mulai berlari. Dia harus sampai di danau sebelum matahari
terbenam. Sambil berlari dia mendengar suara dari belakang. Dia melihat ke
belakang dengan tajam, dan sesuatu dari semak-semak yang bergerak dengan cepat
berlari mengejarnya. Sesuatu itu akan segera menyusulnya.
Oganda berlari dengan seluruh kekuatannya. Dia sekarang bertekad untuk
melemparkan dirinya ke air bahkan sebelum matahari terbenam. Dia tidak melihat
ke belakang, tapi makhluk itu ada di dekatnya. Dia berusaha berteriak, tapi seperti
di tengah mimpi buruk, dia tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Makhluk itu
berhasil menyusul Oganda. Dalam kebingungannya, ketika Oganda berhadapan muka
dengan makhluk tak dikenal itu, sebuah tangan yang kuat mencengkeramnya. Tapi
dia sudah jatuh terlentang di atas pasir dan pingsan.
Ketika angin sepoi-sepoi menyadarkannya, ada seorang laki-laki yang
membungkuk di atas tubuhnya. "....!" Oganda membuka mulutnya untuk
bicara, tapi dia kehilangan suaranya. Dia menelan seteguk air yang dituangkan
ke mulutnya oleh orang asing itu.
"Osinda, Osinda, biarkan aku mati. Biarkan aku lari, matahari akan
terbenam. Biarkan aku mati, biarkan mereka mendapatkan hujan." Osinda
membelai rantai berkilauan di sekeliling pinggang Oganda dan menyeka air mata
dari wajahnya.
"Kita harus segera kabur ke daerah yang tidak dikenal," kata
Osinda mendesak. "Kita harus lari dari murka para nenek moyang dan
pembalasan monster itu."
"Tapi kutukan itu menimpaku, Osinda, aku tidak baik lagi bagimu.
Lagipula mata para nenek moyang akan mengikuti kita ke mana pun dan nasib buruk
akan menimpa kita. Kita juga tidak bisa kabur dari sang monster."
Oganda melepaskan diri, takut dan hendak lari, tapi Osinda mencengkeram
tangannya lagi.
"Dengarkan aku Oganda! Dengar! Ini dua mantel!" Dia lalu
menutupi seluruh tubuh Oganda, kecuali matanya, dengan pakaian daun yang
terbuat dari ranting Bwombwe.
"Ini akan melindungi kita dari mata nenek moyang dan murka monster itu...
Sekarang ayo kita lari dari sini." Dia memegang tangan Oganda dan mereka
lari dari tanah suci, menghindari jalan yang baru ditempuh Oganda.
Semak-semak begitu rapat, dan rumput panjang melilit kaki mereka ketika
mereka berlari. Di tengah tanah suci mereka berhenti dan menengok ke belakang.
Matahari hampir menyentuh permukaan air. Mereka ketakutan. Mereka terus
berlari, sekarang lebih cepat, untuk menghindari tenggelamnya matahari.
"Percayalah, Oganda --makhluk itu tidak bisa menyusul kita."
Ketika mereka sampai di gundukan pembatas dan melihat ke belakang mereka
gemetar, hanya ujung matahari yang terlihat di atas permukaan air.
"Sudah hilang! Sudah hilang!" Oganda menangis; menyembunyikan
wajahnya di balik tangannya.
"Jangan menangis, putri kepala suku. Mari kita lari, mari kita
kabur."
Ada kilat terang menyambar. Mereka mendongak, ketakutan. Di atas mereka
awan hitam mulai berkumpul. Mereka mulai berlari. Guntur menderu, dan hujan
akhirnya turun dengan derasnya.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***

Comments
Post a Comment