Potongan Terong (Brinjal Cut-Out ~ Krishan Chander)
"Cukup untuk empat chapati3."
"Kalau begitu tidak apa-apa."
“Bagaimana?” dia bertanya.
Saya mengeluarkan uang lima puluh paisa dari saku dan memberikannya kepadanya,
berkata: “Pergilah ke pasar sayur dan belilah beberapa buah terong. Saya yakin kamu
bisa memasak korma4 terong yang enak untuk makan siang.“
"Makan siang sih baik-baik saja, tapi bagaimana dengan nanti malam?"
katanya singkat.
“Jangan khawatir, istriku sayang. Dia yang ada di surga akan mengaturnya
untuk kita.“
Lalu pandangan saya tertuju pada kotak kaca kecil berisi patung replika
Taj Mahal. Saya membelikannya untuk istri saya di awal pernikahan kami. Saya
membelinya di Agra langsung setelah mengunjungi Taj. Cinta begitu aneh dan tidak
bisa dijelaskan, terutama di masa-masa awal pernikahan. Rona merah merona
menutupi pipinya ketika saya memberinya hadiah seharga dua puluh rupee ini. Dan
sekarang, ketika saya melihat patung replika lama ini dan memutuskan untuk
menjualnya untuk mendapatkan sedikit uang, rona wajah istri saya berubah
menjadi abu-abu pucat.
Dia berkata dengan marah, takut dan putus asa, “Tidak, tidak. Saya tidak
akan membiarkanmu menjualnya. Itu --itu adalah sebuah lambang. Lambang suhag5
saya.“
Saya mencoba menenangkannya dengan menawar. “Baiklah kita tidak akan
menjualnya. Kita akan menjual yang lain. Mungkin Dia yang ada di atas akan
mengasihani kita. Tapi sekarang pergilah ke pasar dan belilah beberapa buah
terong. Saya lapar.”
Dia membeli beberapa terong hitam besar, membawanya ke dapur dan mulai
memotongnya. Saat dia mengiris yang pertama menjadi dua, dia berhenti tiba-tiba
--pisaunya terangkat di udara.
“Ada apa?” saya bertanya.
“Lihat apa yang tertulis di dalam terong ini.”
Saya melihat bagian dalam terong itu.
Biji-bijinya tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Allah’
dalam aksara Arab.
Mohalla Purbian tempat saya tinggal saat ini adalah wilayah campuran.
Lebih dari setengahnya adalah orang Hindu seperti kami. Sisanya sebagian besar
adalah Muslim, ditambah sedikit orang Kristen. Kabar tulisan “Allah” di dalam
terong menyebar seperti api di mohalla6, dan orang-orang
mulai berdatangan untuk melihat keajaiban itu. Orang Hindu dan Kristen
menolak untuk percaya bahwa ada keajaiban, tapi semua umat Muslim mempercayainya.
Haji Mian7 Achchan memberikan nazar pertama seharga lima rupee
sambil menggumamkan sesuatu dengan suara pelan.
Karena kesuciannya dan juga untuk menjaganya, saya memasukkan potongan terong
itu ke dalam kotak kaca dengan mengeluarkan Taj. Seorang mukmin meletakkan kain
hijau di bawah kotak dan langsung Munnan Mian kami datang untuk membaca
Alquran.
Umat Islam dari daerah tetangga --dari Samastipura sampai Memonpura dan
dari Baijwada sampai Kamangarh, dan dari Chowk Sailan Mian sampai Mohalla
Kothiaran-- berbondong-bondong datang untuk melihat keajaiban tersebut.
Seseorang berkata: “Lihat, bagaimana iman kami muncul di rumah orang
kafir?”
Yang lain berkata: “Itu adalah kehendak Allah. Peringatan buat
orang-orang kafir.“
Nazar mulai berdatangan. Dalam dua minggu pertama saya mengumpulkan lebih
dari Rs 7.000. Dari jumlah ini saya memberikan Rs 300 kepada Saein Karam Shah
yang menghisap ganja dan menjaga keajaiban itu selama dua puluh empat jam.
Kerumunan mulai menipis setelah sekitar dua puluh hari.
Kemudian pada suatu malam ketika Saein Karam Shah tertidur karena pengaruh
candu, saya mengeluarkan terong itu, memutarnya sedikit dan membawanya ke istri
saya. “Lihat, apa yang kamu lihat sekarang?” saya bertanya padanya.
Tangannya terbang ke mulutnya. Dengan mata terbelalak karena heran, dia
berseru, “Hare Ram! Lihat, bagaimana bahasa Arab ‘Allah’ ini berubah
menjadi ‘Om8’ dalam aksara Devanagari. Benar-benar keajaiban yang
luar biasa.“
Malam itu juga saya mengetuk pintu Pandit Ram Dayal dan menunjukkan
kepadanya potongan terong itu --sekarang dilihat dari sudut yang berbeda.
“Hare Rama! Hare Krishna! Ini Om, Om kita. Orang Muslim sudah menipu kita
selama ini.“
Saein Karam Shah terbangun dari tidurnya. Dia menatap dengan mata merah
pada Ram Dayal yang mengusirnya dari rumah sambil berkata, “Keluar, kamu kafir.
Kau sudah menodai dharma kami. Menukar Om kami dengan Allah! Keluar!”
Umat Hindu di kota ini sangat senang mengetahui bahwa biji yang ada di terong
itu benar-benar Om dan bukan Allah. Sekarang Pandit Ram Dayal bertanggung jawab
penuh atas situasi tersebut. Arti9 mulai dibawakan siang dan
malam di hadapan potongan terong itu. Ada kirtan10 dan bhajan11,
dan banyak persembahan berupa uang, pakaian dan bahkan perhiasan. Saya
memutuskan untuk memberikan seperlima dari persembahan itu kepada sang pandit12.
Dia yang bekerja begitu keras harus mendapatkan haknya. Saya percaya pada
keadilan dan dalam kewajiban membantu orang yang lebih lemah.
Sekarang para swami13 dan guru14 dan acharya15
dari berbagai tempat mulai berdatangan untuk melihat terong tempat Allah
berubah menjadi Om dan, dengan cara tertentu, sudah mengalahkan umat Muslim,
membalas ketiga pertempuran di Panipat16. Ada sejumlah ceramah
tentang keunggulan dharma kami di kota. Lambat laun suasana persahabatan itu
memburuk menjadi keraguan, ketidakpercayaan, dan ketegangan.
Orang Hindu berkata, “Sudah jelas ini Om.”
Umat Muslim berkata, “Tidak diragukan lagi ini adalah Allah.”
“Om.”
“Allah.”
“Hari Om Tat Sat.”
“Allahu Akbar.”
Pada bulan berikutnya saya mengumpulkan hasil panen yang banyak sekitar
Rs 25.000 dalam bentuk persembahan.
Kemudian minat pada keajaiban itu mulai berkurang, jadi saya harus
memikirkan cara lain untuk menghidupkan kembali perhatian orang-orang.
Suatu malam, ketika Ram Dayalji tertidur lelap, saya membangunkan istri
saya dan berkata, “Lihat potongan ini? Apa yang tertulis di sana?”
“Om. Sudah jelas itu Om.“
Lalu saya memutar “Om” sedikit, mengatur ulang bijinya dengan susah payah
dan bertanya, “Apa yang kamu lihat sekarang?”
"Ya, Tuhan," kata istri saya dengan takjub. “Ini adalah Salib,
Salib Kristus! Bagaimana Anda membuatnya?“
Saya meletakkan jari di bibir saya. “Diam. Besok hari Minggu. Saya akan
pergi dan berkonsultasi dengan Padre17 Durand.“
Keesokan harinya Padre Durand datang bersama sebelas orang Kristen
lainnya untuk melihat Salib Suci di potongan terong itu. Mereka terperangah
melihat perubahan itu. Mereka membuat tanda Salib dan mulai menyanyikan himne.
Orang-orang Kristen di kota itu datang berbondong-bondong untuk melihat
keajaiban itu.
Ketegangan dan kegilaan mulai meningkat. Orang Hindu bilang itu Om. Umat
Muslim bersikeras bahwa itu adalah Allah. Orang Kristen sangat percaya itu
adalah Salib Suci.
Ada kasus perajaman, lalu penikaman, lalu pembunuhan. Dua orang Hindu
dibunuh di Samastipura, tiga orang Muslim dibunuh di Surjanpura, seorang
Kristen ditikam di chowk18 kota. Polisi memutuskan untuk
menangkap saya.
Tapi saya sudah kabur sebelum mereka bisa menangkap saya. Saya membuang
potongan terong itu ke selokan, mengemasi barang-barang saya dan pergi ke
Bombay. Dengan uang yang sudah saya kumpulkan dari “keajaiban” itu, saya
membeli taksi dan mulai menjalankannya.
Setelah selesai menceritakan kisah saya, saya mengangkat gelas dari
konter kedai minuman keras dan menghabiskannya dengan sekali teguk.
Tiba-tiba pandangan saya jatuh pada bentuk aneh berair yang tercipta dari
bagian bawah gelas saya di atas meja. Saya berkata kepada Mummadbhai, pengemudi
taksi lain yang sedang bersama saya: “Lihat, Mummadbhai. Bukankah itu terlihat
seperti “Om” di tengah-tengah lingkaran berair ini?“
Mummadbhai melihatnya, menatap saya, lalu menepuk pundak saya dengan
keras sambil berkata, “Saale19 --ini bukan Barampur. Ini Bombay. Di sini tidak ada Om, tidak ada Allah, tidak ada Salib—
yang ada cuma rupiya. Tidak ada yang lebih penting daripada uang,
jadi mari kita pergi menjalankan sif malam kita dan mencari uang.“
Dia menghapus bentuk aneh di meja dengan satu sapuan tangannya dan
membawa saya keluar dari bar.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Lima puluh paisa: populer disebut Athanni merupakan
pecahan uang India yang setara dengan setengah rupee. Ini adalah nilai uang
India yang paling rendah.
2 Atta: tepung gandum India yang digunakan untuk membuat roti
pipih seperti roti, chapati, dan puri.
3 Chapati: sejenis roti pipih tak beragi yang merupakan makanan
pokok di India, Nepal, Bangladesh, Pakistan dan Sri Lanka.
4 Korma: hidangan
kuah yang berasal dari Asia Selatan, terbuat dari daging atau sayuran yang
dimasak dengan bumbu rempah-rempah.
5 Suhag: lambang bahwa seorang perempuan masih memiliki
suami.
6 Mohalla: pembagian kawasan di India; kota atau desa.
7 Mian: dalam konteks Muslim India adalah gelar penghormatan, yang
pada dasarnya berarti "Tuan" dalam bahasa Urdu, digunakan untuk
memanggil laki-laki yang lebih tua atau anggota masyarakat yang dihormati,
berasal dari kata Persia "miyan" yang berarti "antara" atau
"tengah"; ini biasanya digunakan sebagai nama keluarga di kalangan
keluarga Muslim di India.
8 Om: suku kata suci dan keramat dalam agama-agama dari India,
yaitu agama Hindu, Buddha, dan Jain.
9 Arti: Aarati, ritual Hindu yang digunakan dalam ibadah,
bagian dari puja, ketika cahaya nyala api (dipicu oleh kapur barus, ghee, atau
minyak) secara ritual melambai-lambai untuk menghormati dewa.
10 Kirtan: kata dalam Bahasa Sansekerta yang berarti
"menceritakan, membacakan, menceritakan, menggambarkan" sebuah ide
atau cerita, khususnya di India. Kata ini juga mengacu pada genre seni
pertunjukan keagamaan, yang berarti bentuk narasi musik, pembacaan kitab
bersama, atau nyanyian pemujaan di India.
11 Bhajan: lagu pemujaan apa pun dengan tema keagamaan atau
gagasan spiritual dalam ritual keagamaan di India.
12 Pandit: orang dengan pengetahuan khusus atau guru bidang
pengetahuan apa pun dalam agama Hindu, khususnya kitab suci Weda, dharma, atau
filsafat Hindu.
13 Swami: gelar kehormatan yang diberikan kepada seorang pertapa
yang sudah memilih jalan pelepasan keduniawian (sanyāsa).
14 Guru: istilah Sansekerta untuk "mentor, pembimbing, ahli,
atau master" dalam ilmu atau bidang tertentu.
15 Acharya: seorang guru agama serta pembimbing spiritual bagi
umat Hindu.
16 Perang Panipat:
adalah pertempuran yang terjadi di kota Panipat, India, pada tahun 1526,
1556, dan 1761. Pertempuran-pertempuran ini menjadi titik balik dalam sejarah
India.
17 Padre: dalam Bahasa Spanyol berarti Bapa.
18 Chowk: pasar, persimpangan, atau area terbuka di India.
19 Saale: kata dalam bahasa Hindi yang berarti
"saudara ipar".

Comments
Post a Comment