Markoyah, Tuan Kapitan, Dan Pohon Trembesi
/1/ Markoyah
Aih,
Markoyah. Berapa banyak anjing yang mengantar pergimu dari desa ke kota kami,
kota mimpi-mimpi, hanya untuk menemui lebih banyak lagi anjing? Kau akan
terbiasa dengan taring-taring yang dialiri liur. Anjing-anjing yang lapar. Lebih
lapar daripada anjing-anjing di desamu. Aih Markoyah, kenapa kau datang ke sini?
“Aku
ingin berhenti, Kursi Rotan.”
“Bwahahahahaha
...”
“Aku serius,
Kursi Rotan.”
“Baiklah,
baiklah. Kau boleh berhenti kalau kau bisa melewati Lorong Gelap di sana itu.”
Aih,
Markoyah. Lorong Gelap bukan sembarang anjing yang bisa kau lewati sembarang
waktu. Dia bukan bangkai yang bisa kau langkahi kapan kau mau. Tubuhnya besar,
Markoyah. Bahkan tangannya gada. Bayangan selalu menutupi wajahnya. Tidak
seorang pun pernah benar-benar melihat wajahnya. Tidak juga kau. Kau akan remuk
dalam sekali kepruk, Markoyah.
“Tapi aku
lelah, Kursi Rotan.”
“Kau belum paham rupanya, Markoyah. Buruh pabrik berhenti, pegawai bank berhenti, dokter berhenti, tapi kita tidak, Markoyah. Kau, aku, dan Lorong Gelap tidak berhenti.”
“Tapi ...”
“Anakmu
berhenti sekolah, Markoyah? Anakmu berhenti beli buku, beli seragam, Markoyah? Anakmu
berhenti makan, Markoyah?”
“Tapi ...”
Aih,
Markoyah. Betapa jelek hidup yang datang padamu. Hidupmu bukan hidupmu lagi.
Hidupmu sudah jadi hidup anjing-anjing dari kota kami. Bahkan tubuhmu bukan tubuhmu
lagi. Anjing-anjing menjilatinya dengan penuh nafsu. Setiap malam, setiap
waktu. Anjing-anjing yang lapar. Mimpi-mimpi yang kau buru telah hilang digondol
anjing: Kursi Rotan dan Lorong Gelap.
***
/2/ Tuan Kapitan
Ha! Tuan
Kapitan, kenapa tidak prok, prok, prok jalanmu? Jalanmu tersuruk-suruk. Kau
mabuk. Mana pedang panjangmu? Kau juga orang asing di kota kami. Anjing yang datang
dari kota lain. Tapi kau sama. Sama laparnya. Sama berliurnya taringmu.
Mencari-cari bangkai, dan akhirnya kau di sini. Satu persimpangan dengan Markoyah,
Kursi Rotan dan Lorong Gelap.
“Sampai
kapan kau mau berdiri di situ? Sampai kapan kau mau menghalangi jalanku, Lorong
Gelap?”
Ha!
Bahkan Lorong Gelap yang bertangan gada takut padamu. Bau mulutmu yang alkohol sudah
membuatnya surut, Tuan Kapitan. Hebat sekali dirimu. Tamu adalah raja di sini.
Tapi kau lebih daripada sekedar tamu, lebih dari sekedar raja. Kaulah yang
membuat Markoyah jadi Markoyah, Kursi Rotan jadi Kursi Rotan, dan Lorong Gelap jadi
Lorong Gelap. Di sini, dirimu adalah dewa.
“Ha! Selamat
malam, Tuan Kapitan.”
“Berhenti
basa basi, mucikari!”
“Ah,
marah-marah rupanya. Duduklah dulu, Tuan Kapitan. Kau butuh ciu kurasa.
Beberapa botol.”
“Mana sundal
yang bernama Markoyah?!”
Ha!
Bahkan dewa mencarimu, Markoyah: Tuan Kapitan. Anjing yang mengaku dewa.
Terhuyung-huyung pula. Jelek, memang jelek hidup yang datang padamu, Markoyah.
Mabuk, memang mabuk Tuan Kapitan kita. Tidak seorang pun bisa menyelamatkanmu
dari sergapannya. Apatah bedanya anjing dengan dewa, jika sudah mabuk?
“Aku sudah
bayar semua upeti, Tuan Kapitan.”
“Ha!
Lantang suaramu, mucikari. Keras sudah dadamu? Keras sudah kepalamu?”
“Bukan begitu
maksudku, Tuan Kapitan.”
“Aku
tidak ada urusan dengan upeti malam ini. Urusanku cuma dengan sundal yang
bernama Markoyah. Sudah.”
Ha! Kursi
Rotan sudah surut. Sekarang tinggal kau seorang, Markoyah. Berhadapan muka dengan
muka dengan anjing di kota kami. Anjing yang datang dari kota lain. Tapi anjing
juga dia. Tapi lapar juga dia. Pada nasib kau harus berserah, Markoyah. Pada
dewa tidak bisa. Sudah datang dia. Mabuk. Terhuyung-huyung pula.
“Markoyah
di sini, Tuan Kapitan.”
“Ha! Ke
sini kau sundal! Kau bikin aku sakit kelamin. Kau bikin aku susah kencing.”
“Aku tidak
tahu, Tuan Kapitan.”
“Ya, kau tidak
tahu, Markoyah, kau tidak tahu. Tapi kau akan tahu. Sebentar lagi kau akan
tahu, Markoyah.”
“Apa yang
kau tancapkan kali ini, Tuan Kapitan? Kenapa perih lambungku?”
“Belati.”
***
/3/ Pohon Trembesi
“Keluar kau,
Tuan Kapitan! Aku di sini! Pohon Trembesi di sini!”
Duh, Tuan
Kapitan. Laki-laki itu di sini. Laki-laki yang keluar dari paru-paru ayahnya
sendiri. Paru-paru yang terbakar. Yang menggeliat di hutan-hutan. Laki-laki yang
keluar dari lubang yang digali nikotin dan tar. Laki-laki kekar berambut kusut
masai. Duh, Tuan Kapitan. Gawat takdirmu. Laki-laki itu di sini: Pohon Trembesi.
“Keluar
kau, Tuan Kapitan! Jangan bersembunyi seperti betina. Markoyah masih punya laki:
Pohon Trembesi. Datanglah padaku kalau kau mabuk. Datanglah padaku dengan tiga botol
ciu.”
Duh,
Markoyah. Lakimu datang. Lakimu datang menuntut bela. Tubuhnya keras seperti
tunggul kayu. Kaki-kakinya kasar. Dan hitam. Seperti sonokeling yang belum diampelas.
Tapi tunggul kayu itu sekarang berteriak-teriak setan. Dari dalam tubuhnya
serdadu setan berebutan keluar. Dia Pohon Trembesi. Seseorang lupa memberinya sesaji.
“Kau tidak
diterima di sini. Pulanglah.”
“Kau tahu
aku, Lorong Gelap. Tidak ada yang tidak patah setiap sua denganku.”
“Aku
tahu, Trembesi. Aku tahu kau punya reputasi. Tapi aku, Lorong Gelap, tidak
berdiri di sini dengan percuma. Banyak yang sepertimu. Semua tenggelam saat datang
padaku.”
Duh, Tuan
Kapitan. Kau punya anjing penjaga. Dua jawara sekarang berhadap-hadapan. Di kolong
amben yang mana kau sembunyi? Di ketiak sundal yang mana kau lari? Tiga
langkah. Tiga langkah pertama adalah gagah. Langkah berikutnya adalah maut.
Tangan Lorong Gelap putus dibabat sabit. Pohon Trembesi terjengkang dihantam kursi.
Dor!
Duh,
Markoyah. Lakimu tumbang. Dadanya berlubang. Seperti anjing, pistol Tuan
Kapitan menyalak galak. Lakimu tumbang. Lakimu tumbang. Pohon Trembesi
bersimbah darah. Tapi tidak mati. Dadanya lubang. Pelor melesak dalam. Diam.
Menunggu malaikat maut datang. Pohon Trembesi berusaha berdiri. Meraung seperti
anjing. Anjing-anjing di kota kami.
“Betina kau
punya cara, Tuan Kapitan. Betina!”
“Begitulah
aku bisa terus hidup, Trembesi. Kau, Markoyah, dan Lorong Gelap, hanya mainan.
Bahkan Kursi Rotan. Bahkan Kursi Rotan hanya mainan. Aku terus hidup dan kau mati,
Trembesi.”
“Bwahahahahaha
... ya, kau akan terus hidup, Tuan Kapitan, kau akan terus hidup. Dengan
kelamin yang sakit. Dengan bersusah payah kau akan kencing. Bwahahahaha ...”
Dor!
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment