Wahyu (Revelation ~ Flannery O'Connor)
Nyonya Turpin meletakkan tangannya di bahu Claud dan berkata dengan suara yang bisa didengar semua orang, “Claud, kau duduk di kursi sana,” dan mendorongnya ke kursi kosong itu. Claud berwajah kemerahan dan botak
dan tegap, agak lebih pendek
dari Nyonya Turpin, tapi dia
duduk seolah-olah sudah biasa untuk melakukan apapun yang diperintahkan
sang nyonya.
Nyonya Turpin tetap berdiri. Satu-satunya laki-laki di ruang itu selain Claud adalah orang tua ramping berbulu dengan tangan yang sudah berkarat di masing-masing lututnya, yang matanya tertutup seolah-olah sedang
tidur atau mati atau hanya berpura-pura begitu supaya tidak perlu berdiri dan
menawarkan tempat duduknya. Matanya bersitatap setuju dengan seorang perempuan berambut abu-abu dengan pakaian rapi yang
matanya dan ekspresinya seolah-olah berkata: kalau anak itu adalah anakku, dia pasti punya sedikit sopan santun dan pindah --ada cukup ruang untuk Anda dan
dia.
Claud
mendongak sambil menghela napas seolah-olah mau berdiri.
“Duduk,” kata
Nyonya Turpin. “Kau tahu kau tidak seharusnya berdiri dengan kaki seperti itu. Kakinya terluka,” katanya
menjelaskan.
Claud
mengangkat kakinya ke atas meja majalah dan menggulung celana panjangnya sehingga memperlihatkan bengkak ungu di betis putih gemuknya.
“Astaga!” kata perempuan yang menyenangkan tadi. "Bagaimana kau mendapatkannya?"
“Seekor sapi
menendangnya,” kata Nyonya Turpin.
“Ya Tuhan!” kata perempuan itu.
Claud menurunkan celananya kembali.
“Mungkin anak
kecil itu bisa pindah,” perempuan itu menyarankan, tapi anak itu tetap tidak bergerak.
“Seseorang
akan keluar sebentar lagi,” kata Nyonya Turpin. Dia tidak bisa mengerti kenapa seorang dokter --dengan uang yang banyak yang
menghasilkan lima dolar per hari cuma dengan menempelkan kepalanya di pintu rumah sakit dan memeriksa seseorang-- tidak bisa membuat ruang tunggu yang berukuran layak. Ruang ini tidak lebih besar
dari garasi. Meja itu penuh dengan majalah yang terlihat
kumal dan di salah satu ujungnya ada asbak kaca hijau besar yang
penuh dengan puntung rokok dan gumpalan kapas dengan bintik-bintik darah kecil di atasnya. Kalau dia yang mengelola tempat ini, asbak itu akan dikosongkan sesering mungkin. Tidak ada kursi di dinding di ujung ruangan. Ada panel berbentuk
persegi panjang di dalamnya yang terlihat seperti kantor tempat perawat keluar-masuk dan sekretaris mendengarkan radio. Sebuah tanaman pakis plastik dalam pot emas terletak di dekat bukaannya dan daunnya yang menjuntai hampir menyentuh lantai. Radio dengan lembut memperdengarkan lagu rohani.
Tepat di saat itu pintu dalam itu terbuka dan seorang perawat dengan tumpukan tinggi rambut kuning yang Nyonya Turpin belum pernah lihat meletakkan wajahnya di lubang dan memanggil pasien berikutnya. Perempuan yang duduk di
samping Claud mencengkeram kedua lengan kursinya dan mengangkat tubuhnya; dia menarik bajunya dari kakinya dan terhuyung-huyung menuju pintu tempat sang perawat menghilang.
Nyonya Turpin maju ke kursi kosong, yang memeluknya erat
seperti korset. “Kuharap aku agak
kurus,” katanya, dan memutar matanya dan mendesah dengan kocak.
“Oh, Anda
tidak gemuk,” kata perempuan yang penuh gaya tadi.
“Ooooo pastinya,” kata Nyonya Turpin. “Claud makan semua yang dia mau dan beratnya tidak pernah lebih
dari 175 pound, tapi saya cuma melihat sesuatu yang
enak untuk dimakan dan berat badan saya bertambah,” lalu perut dan bahunya
berguncang karena tawa. “Kau bisa makan semua yang kau mau, kan, Claud?” tanyanya, berpaling
kepada laki-laki itu.
Claud hanya tersenyum.
“Yah, selama Anda punya sifat yang baik,” kata perempuan penuh gaya itu, “saya pikir tidak ada masalah apapun ukuran Anda. Anda tidak bisa mengalahkan sifat yang baik.”
Di sampingnya
adalah seorang gadis gemuk berumur delapan atau sembilan belas, merengut membaca sebuah buku
tebal yang dilihat Nyonya Turpin berjudul Human Development. Gadis itu mengangkat
kepalanya dan mengarahkan wajah cemberutnya kepada Nyonya Turpin seolah-olah dia tidak menyukai penampilannya. Dia kesal karena orang-orang bicara sementara dia mencoba membaca. Wajah gadis malang itu berwarna biru dengan jerawat dan
Nyonya Turpin berpikir
betapa menyedihkan punya wajah seperti itu di umur segitu. Dia memberikan gadis itu senyum ramah tapi gadis itu semakin cemberut. Nyonya Turpin sendiri gemuk tapi kulitnya mulus, dan, walaupun berumur empat puluh tujuh, tidak ada
kerut di wajahnya kecuali di sekitar matanya karena terlalu banyak tertawa.
Di samping
gadis jelek itu adalah anak kecil tadi, masih dalam posisi yang sama
persis, dan di sampingnya lagi seorang perempuan tua berkulit kasar dengan gaun katun cetak. Dia dan Claud punya tiga karung pakan ayam di rumah pompa mereka yang
dicetak dengan gambar yang sama. Dia
sudah melihat dari pertama
bahwa anak itu bersama dengan perempuan tua itu. Dia bisa tahu dari
cara mereka duduk --boros dan miskin, seolah-olah mereka akan duduk di sana sampai kiamat kalau saja tidak ada panggilan yang menyuruh mereka untuk bangun. Dan di sudut kanan di
sebelah perempuan menyenangkan yang berpakaian rapi adalah seorang perempuan berwajah tirus yang pasti ibu anak tadi. Dia memakai kemeja hangat kuning dan celana
panjang berwarna anggur, keduanya tampak berpasir, dan di ujung bibirnya ada noda tembakau bubuk. Rambut kuning kotornya diikat ke belakang dengan sepotong kecil pita kertas merah. Lebih buruk
dari orang negro, pikir Nyonya Turpin.
Lagu rohani yang
terdengar adalah, “When I looked up and He looked down,” dan Nyonya Turpin, yang tahu lagu itu, menyanyikan baris terakhirnya dalam hati, “And wona
these days I know I'll we-ear a crown.”
Tanpa sadar, Nyonya Turpin selalu
melihat kaki orang. Perempuan rapi itu memakai sepatu suede merah dan abu-abu untuk mencocokkan dengan gaunnya. Nyonya Turpin memakai sepatu jinjit kulit hitamnya. Si gadis jelek memakai sepatu pramuka dan kaus kaki panjang. Si perempuan tua memakai sepatu tenis dan si ibu miskin memakai sesuatu yang sepertinya sandal tidur, sandal jerami hitam dengan
jalinan emas berulir di sela-selanya --persis seperti yang orang perkirakan akan dipakainya.
Kadang-kadang
di malam hari ketika tidak bisa tidur, Nyonya Turpin akan iseng bertanya pada dirinya sendiri akan menjadi siapa
dia kalau seandainya dia bisa tidak menjadi dirinya sendiri. Kalau Yesus berkata
kepadanya sebelum menciptakannya, “Hanya ada
dua pilihan yang tersedia untukmu. Kau bisa menjadi orang negro atau seorang kulit
putih miskin,” apa yang akan dikatakannya? “Tolong, Yesus, tolong,” dia akan berkata, “biarkan saya menunggu sampai ada pilihan lain,” dan Dia akan berkata,
“Tidak, kau harus memilih sekarang dan Aku hanya punya dua pilihan jadi tentukan pilihanmu.” Dia akan menggeleng dan menggeliat dan memohon dan menyembah, tapi itu tidak ada gunanya dan akhirnya dia akan
berkata, "Baiklah, jadikanlah saya orang negro kalau begitu --tapi jangan yang miskin." Lalu Dia membuatnya menjadi seorang perempuan negro terhormat bersih dan rapi, tapi hitam.
Di samping ibu
si anak adalah seorang perempuan yang masih muda berambut merah, membaca salah satu
majalah dan mengunyah sepotong permen
karet, neraka untuk kulit, kalau kata Claud. Nyonya Turpin tidak bisa
melihat kaki perempuan itu. Dia tidak miskin, biasa-biasa saja.
Kadang-kadang Nyonya Turpin iseng sendiri di malam hari mengkelas-kelaskan orang. Di bagian paling bawah adalah orang-orang negro, bukan orang negro yang sama seperti yang dia mau seandainya
dia juga negro, tapi orang negro kebanyakan; lalu setelah itu --bukan dia atas, tapi di sampingnya-- orang kulit putih yang miskin; lalu di atas keduanya adalah pemilik rumah, lalu di atasnya lagi adalah pemilik
rumah-dan-tanah, seperti dia dan Claud. Di atas dia dan Claud adalah orang-orang
dengan banyak uang dan rumah yang jauh lebih besar dan tanah yang jauh lebih banyak.
Tapi di sini kompleksitasnya akan mulai membingungkannya, karena beberapa orang dengan uang banyak ternyata
biasa-biasa saja dan seharusnya ada di bawahnya dan Claud dan beberapa orang yang secara keturunan baik malah kehilangan uang
mereka dan harus menyewa, lalu ada lagi orang-orang negro yang punya rumah dan tanah juga. Ada seorang dokter gigi negro di kota yang punya dua mobil Lincoln merah dan
sebuah kolam renang dan sebuah peternakan dengan sapi muka putih yang terdaftar di sana. Biasanya pada saat
dia tertidur semua kelas orang itu bekerja dan bergolak di dalam kepalanya, dan dia akan bermimpi bahwa mereka semua
berdesakan di dalam mobil box, yang dibawa untuk dimasukkan ke dalam oven gas.
“Itu jam dinding yang indah,” katanya sambil mengangguk ke arah kanannya. Itu adalah jam dinding besar, tampilan depannya terbungkus gambar cahaya matahari dari kuningan.
“Ya, sangat indah,” kata perempuan penuh gaya mengiyakan. “Dan itu juga,” tambahnya sambil melirik jam tangan sang nyonya.
Gadis jelek di sampingnya melemparkan pandangannya ke jam dinding, menyeringai, lalu melihat langsung Nyonya Turpin dan menyeringai lagi. Lalu dia kembali memandangi bukunya. Dia jelas anak perempuan itu karena, walaupun mereka tidak terlihat mirip, mereka berdua punya bentuk wajah dan mata biru yang sama. Pada perempuan
itu keduanya berbinar senang tapi pada wajah menyengat gadis itu keduanya membara dan berkilau.
Bagaimana kalau Yesus berkata, “Baiklah, kau bisa
memilih antara miskin atau negro atau jelek!”
Nyonya Turpin merasa kasihan pada gadis itu, walaupun dia berpikir bahwa berwajah jelek dan berkelakuan jelek tidak sama.
Perempuan dengan bibir bernoda tembakau berbalik di kursinya dan menatap jam dinding. Lalu dia berbalik kembali
dan sepertinya melihat ke sebelah Nyonya Turpin. Ada kerling di salah satu
matanya. “Anda ingin tahu ndek mana Anda bisa dapat jam ndek gitu?” tanyanya dengan suara
keras.
“Tidak, saya
sudah punya jam bagus,” kata
Nyonya Turpin. Begitu orang seperti perempuan itu masuk dalam satu
percakapan, mereka akan terus bicara.
“Anda bisa dapat yang seperti itu dengan perangko hijau1,” kata perempuan itu. “Itu yang
paling mungkin ndek mana dia belinya. Ngirit, Anda bisa dapat hampir apa saja. Aku saja beli beberapa mas-masan.”
Seharusnya kau membeli kain lap dan sabun, pikir Nyonya Turpin.
“Saya membeli seprai,” kata perempuan yang menyenangkan.
Anak perempuannya membanting bukunya. Dia melihat lurus ke depan, langsung ke arah Nyonya Turpin dan tirai kuning dan
jendela kaca yang membentuk dinding di
belakangnya. Mata gadis itu tiba-tiba tampak menyala dengan cahaya yang aneh, cahaya yang tidak alami seperti rambu-rambu di jalan kalau malam. Nyonya Turpin menoleh untuk melihat apakah ada sesuatu yang
terjadi di luar yang harus dilihatnya, tapi dia tidak melihat apa-apa. Sosok-sosok yang lewat di baliknya hanya terlihat seperti bayangan pucat di tirai itu. Tidak ada alasan gadis itu harus menatapnya dengan wajah jeleknya itu.
“Nona Finley,” kata perawat, dari celah pintu. Perempuan yang mengunyah permen karet berdiri dan berlalu
di depannya dan Claud dan masuk ke kantor. Dia memakai sepatu bertumit
tinggi warna merah.
Tepat di
seberang meja, mata gadis jelek itu tertuju pada Nyonya Turpin seolah-olah dia punya alasan yang sangat khusus untuk tidak menyukai sang nyonya.
“Cuacanya indah, ya?” kata ibu gadis itu.
“Cuaca yang bagus
buat kapas kalau Anda bisa menemukan orang negro untuk memetiknya,” kata Nyonya Turpin, “tapi orang negro tidak mau memetik kapas lagi. Anda tidak bisa menyuruh orang kulit putih untuk memetiknya dan sekarang Anda tidak bisa menemukan orang negro --karena mereka pasti sudah di atas sana dengan orang-orang kulit putih.”
“Mereka selalu mencoba,” kata si perempuan miskin, bersandar ke depan.
“Apakah Anda punya mesin pemetik kapas?” tanya perempuan yang menyenangkan.
“Tidak,” kata
Nyonya Turpin, “alat itu meninggalkan
setengah kapas di ladang. Kami juga tidak punya banyak kapas. Kalau Anda mau bertani, Anda harus punya semuanya sedikit-sedikit. Kami punya
beberapa are kapas dan beberapa
babi dan ayam dan sedikit sapi muka putih yang harus Claud jaga sendiri.”
“Sesuatu yang aku ndak mau,” kata si perempuan miskin, menyeka mulutnya dengan punggung tangannya. “Babi. Makhluk bau, mendengkus dan mengacak-acak tanah.”
Nyonya Turpin hanya memberinya sedikit perhatian. “Babi kami tidak kotor dan mereka tidak bau,” katanya.
“Mereka lebih bersih daripada beberapa anak yang pernah kulihat. Kaki mereka
tidak pernah menyentuh tanah. Kami punya kandang babi --itu adalah tempat Anda memeliharanya di atas beton,” dia menjelaskan kepada
perempuan yang menyenangkan, "dan Claud menyiram mereka dengan selang setiap sore dan mengepel lantainya." Lebih bersih daripada anak yang ada di
sana, pikirnya. Makhluk kecil nakal yang malang. Anak itu tidak bergerak kecuali untuk memasukkan jempolnya yang kotor ke
mulutnya.
Perempuan itu memalingkan wajahnya dari Nyonya Turpin. “Aku tahu aku tidak akan mau menyiram babi dengan selang apapun,” katanya ke dinding.
Kau memang tidak
punya babi untuk disiram, Nyonya Turpin berkata pada
dirinya sendiri.
“Mendengkus dan mengacak-acak tanah dan mengerang,” perempuan itu bergumam.
“Kami punya semuanya tapi sedikit-sedikit,” kata Nyonya Turpin kepada perempuan yang menyenangkan. “Tidak ada
gunanya punya lebih dari yang Anda bisa tangani sendiri. Kami menemukan beberapa orang negro untuk memetik kapas kami
tahun ini tapi Claud harus menjemput mereka dan mengantar mereka pulang lagi
di malam hari. Mereka tidak bisa berjalan setengah mil. Tidak mereka tidak
bisa. Saya kasih tahu Anda,” katanya sambil tertawa riang, “saya sangat capek berpura-pura kepada orang-orang negro itu, tapi Anda harus
mencintai mereka kalau Anda mau mereka bekerja untuk Anda. Ketika mereka datang di pagi hari, saya berlari dan berkata, 'Hai, selamat pagi?' dan ketika Claud membawa mereka ke ladang saya cuma melambaikan tangan ke
rombongan itu dan mereka membalasnya.” Dan dia melambaikan
tangannya untuk menggambarkan ceritanya.
“Seperti Anda membaca buku yang sama,” kata perempuan itu, menunjukkan dia mengerti dengan sempurna.
“Nak, ya,” kata Nyonya Turpin. “Dan ketika mereka datang dari ladang, saya berjalan dengan seember air es. Itulah caranya sekarang dan sampai kapan pun,” katanya. “Anda
mungkin juga akan menghadapinya.”
“Satu hal yang aku tahu,” kata si perempuan miskin. “Dua hal yang tidak akan pernah kulakukan: mencintai orang negro dan menyiram babi dengan selang.” Dan dia
mengeluarkan penghinaannya.
Pandangan yang Nyonya Turpin dan perempuan yang menyenangkan itu saling pertukarkan menunjukkan bahwa mereka berdua mengerti bahwa kau harus punya sesuatu dulu sebelum kau tahu soal
sesuatu itu. Tapi setiap kali Nyonya Turpin bersitatap dengan perempuan itu, dia menyadari bahwa mata aneh
gadis jelek itu masih tertuju padanya, dan dia kesulitan membawa
perhatiannya kembali ke dalam percakapan.
“Kalau Anda punya sesuatu,” katanya, “Anda harus menjaganya.”
Dan kalau kau tidak punya apa-apa kecuali nafas dan celana legging, dia menambahkan pada
dirinya sendiri, kau bisa datang ke kota
setiap pagi dan duduk-duduk di balai kota mencoba mengatasi masalahmu dan meludah.
Sebuah
bayangan menggelinding aneh melintas
di tirai di belakangnya dan memantul pucat di dinding di seberangnya. Lalu sebuah sepeda membunyikan bel di luar gedung. Pintu
terbuka dan seorang bocah negro meluncur membawa baki dari toko obat. Di baki itu ada dua cangkir kertas besar merah dan putih dengan tutup di atasnya. Dia adalah seorang bocah tinggi yang sangat hitam dengan celana putih yang sudah berubah warna dan
kemeja nilon hijau. Dia mengunyah permen karet pelan-pelan, seperti musik. Dia mengatur baki di bukaan kantor di sebelah tanaman pakis dan memasukkan kepalanya di sana untuk mencari sang sekretaris. Tapi perempuan itu tidak ada di sana. Dia menurunkan lengannya di langkan dan menunggu, bokongnya yang
kurus keluar, bergoyang ke kiri dan ke kanan. Dia mengangkat tangannya dan menggaruk bawah kepalanya.
“Kau lihat tombol di sana, Nak?” kata Nyonya Turpin. “Kau bisa memencetnya dan dia akan datang.
Dia mungkin sedang di belakang.”
“Begitu?” kata anak itu,
seolah-olah dia belum pernah melihat tombol itu sebelumnya. Dia bersandar ke kanan dan meletakkan jarinya di atasnya. “Perempuan itu kadang-kadang keluar,” katanya
dan berputar untuk menghadap para
pendengarnya, siku belakangnya di atas meja. Si perawat muncul dan bocah itu berputar kembali. Perawat itu memberinya satu dolar dan dia memasukkannya ke dalam saku lalu memberi
kembalian dan menghitungnya di depan si
perawat. Sang perawat memberinya lima belas sen untuk
tip lalu dia pergi dengan baki kosong. Pintu berat itu berayun pelan dan tertutup kembali dengan suara seperti terhisap. Untuk sesaat tidak ada yang bicara.
“Mereka harus
mengirim semua orang negro kembali ke
Afrika,” kata si perempuan miskin. “Itu ndek mana mereka berasal.”
“Oh, saya tidak bisa melakukannya tanpa teman negro saya yang baik,” kata perempuan yang menyenangkan.
“Ada banyak hal yang lebih buruk daripada orang negro,” kaya Nyonya Turpin setuju. “Mereka sama saja dengan kita.”
“Ya, dan butuh semua orang untuk membuat dunia
berputar,” kata sang nyonya dengan suara musikalnya.
Ketika dia mengatakan hal itu, gadis berkulit merah itu mengertakan giginya. Bibir bawahnya menjulur keluar, memperlihatkan
warna merah muda pucat di dalam mulutnya. Sesaat kemudian bibirnya ditariknya lagi. Itu adalah wajah paling jelek yang dibuat orang yang pernah dilihat Nyonya Turpin dan untuk sesaat dia yakin bahwa gadis itu menunjukannya kepadanya. Dia melihat gadis itu seolah-olah dia mengenalnya dan tidak menyukai seluruh kehidupannya --seluruh kehidupan Nyonya Turpin juga, sepertinya, bukan hanya seluruh kehidupan gadis itu. Kenapa, Nak, aku bahkan tidak mengenalmu, kata Nyonya Turpin dalam hati.
Dia memaksa
perhatiannya untuk kembali ke dalam
diskusi. “Tidak mudah untuk mengirim
mereka kembali ke Afrika,” katanya. “Mereka tidak mau pergi. Mereka merasa sudah enak di sini.”
“Tidak peduli apa yang mereka mau --kalau kataku,” kata perempuan itu.
“Tidak bisa begitu saja Anda menyuruh semua orang negro kembali ke sana,” kata Nyonya
Turpin. “Mereka akan bersembunyi dan berbaring dan berpura-pura sakit dan meratap dan melolong dan mengerang dan berteriak. Tidak bisa begitu saja menyuruh mereka kembali ke sana.”
“Mereka bisa ke sini,” kata si perempuan miskin. “Kembalikan mereka dengan cara yang sama.”
“Tidak bisa semuanya kalau begitu,” kata Nyonya Turpin.
Perempuan itu menatap Nyonya Turpin seolah-olah melihat seorang idiot tapi Nyonya Turpin tidak terganggu dengan
tatapan itu, mengingat siapa yang
menatapnya.
“Tidaaak,” katanya, “mereka akan tinggal di sini tempat mereka bisa pergi ke New York dan menikahi orang kulit putih dan mengubah warna kulit mereka. Itulah yang
mereka semua ingin lakukan, setiap orang negro, mengubah warna kulit mereka.”
“Kau tahu apa akibatnya, bukan?” tanya Claud.
“Tidak, Claud,
apa?” kata Nyonya Turpin.
Mata Claud
berbinar. “Negro berwajah putih,” katanya tanpa tersenyum.
Semua orang di
kantor itu tertawa kecuali si perempuan miskin dan si gadis jelek. Gadis itu mencengkeram buku di pangkuannya dengan jari-jari putihnya. Si perempuan miskin melihat sekelilingnya wajah demi wajah seolah-olah
dia berpikir bahwa mereka semua idiot. Perempuan tua yang mengenakan karung pakan terus menatap dengan sepatu tingginya dari balik laki-laki di
depannya, orang yang berpura-pura tidur ketika keluarga Turpin datang. Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak, tangannya masih memegangi lututnya. Si anak kecil jatuh ke
samping dan berbaring di pangkuan perempuan tua itu.
Sementara
mereka berhenti tertawa, suara sengau paduan suara di radio membuat ruangan itu tidak pernah sepi.
“You go to blank blank
And I’ll go to mine
But we’ll all blank along
To-geth-ther,
And all along the blank
We’ll hep eachother out
Smile-ling in any kind of
Weath-ther!”
Nyonya Turpin tidak menangkap setiap kata tapi dia cukup mendengar untuk setuju dengan semangat lagu itu dan itu membuat pikirannya melayang. Membantu siapa pun yang membutuhkan itulah filosofi hidupnya.
Dia tidak pernah mnghindar ketika menemukan
seseorang yang membutuhkan, tidak peduli mereka putih atau hitam, miskin atau berkecukupan. Dan dari segala hal yang harus
disyukurinya, ini adalah hal yang paling disyukurinya. Kalau Yesus berkata, “Kau bisa menjadi orang terhormat dan punya semua uang yang kau mau dan menjadi kurus dan langsing, tapi kau tidak bisa menjadi perempuan yang baik dengan itu semua,” dia akan berkata, “Jangan jadikan saya seperti itu kalau begitu. Jadikanlah saya seorang perempuan yang baik maka yang lain tidak penting lagi, tidak peduli seberapa gemuk atau seberapa jelek atau seberapa miskinnya!” Hatinya berbunga-bunga. Dia tidak menciptakannya sebagai orang negro atau miskin atau jelek! Dia menciptakannya
sebagai dirinya sendiri dan memberinya sedikit dari segala sesuatu. Yesus, terima kasih! katanya. Terima kasih terima kasih terima kasih! Setiap kali dia menghitung berkat yang sudah
diterimanya dia merasa mengapung seolah-olah beratnya seratus dua puluh lima pon bukan seratus delapan puluh.
“Apa yang
salah dengan anak Anda?” perempuan yang menyenangkan bertanya kepada si perempuan miskin.
“Dia sakit maag,” kata perempuan itu dengan angkuh. “Dia tidak membiarkanku
tenang sedetik pun sejak lahir. Dia dan kakaknya sama saja,” katanya, mengangguk pada si
perempuan tua, yang mengelus rambut
pucat si anak dengan jari kasarnya. “Seolah-olah tidak ada yang bisa kuberikan kepada
mereka berdua selain Coca Cola dan permen.”
Cuma itu yang bisa
kau kasih, Nyonya Turpin berkata pada dirinya sendiri. Terlalu malas untuk 'menyalakan api.' Tidak ada yang bisa kau ceritakan kepada sang nyonya yang dia tidak tahu
soal orang-orang seperti itu. Dan itu bukan hanya karena mereka tidak memiliki apa-apa. Karena kalau kau memberi mereka segalanya, dalam dua minggu semua itu akan rusak atau kotor atau akan mereka cincang jadi kayu bakar. Dia tahu
semua itu dari pengalamannya
sendiri. Membantu mereka kau harus, tapi menolong mereka kau tidak bisa.
Si gadis jelek mengeluarkan bibirnya lagi. Matanya tetap menatap Nyonya Turpin seperti sepasang bor. Kali ini
tidak mungkin salah bahwa ada
sesuatu di antara mereka.
Nak, seru Nyonya Turpin dalam hati, aku belum melakukan apa-apa padamu! Gadis itu
mungkin mengira dia orang lain. Tidak perlu duduk berdekatan dan membiarkan
dirinya diintimidasi. “Kau pasti kuliah,” katanya
berani, melihat langsung gadis itu. “Kulihat kau membaca buku.”
Gadis itu
terus menatapnya dengan tajam tanpa menjawab.
Ibunya tersipu
dengan kekasarannya. “Nyonya itu bertanya padamu, Mary Grace,” katanya pelan.
“Aku punya
telinga,” kata Mary Grace.
Ibu yang malang itu tersipu lagi. “Mary Grace kuliah di Universitas Wellesley,”
jelasnya. Dia memutar salah satu kancing di gaunnya. “Di Massachusetts,” tambahnya sambil meringis. “Dan di musim
panas dia tetap kuliah. Membaca terus sepanjang hari, benar-benar kutu buku. Dia cukup baik di Wellesley;
dia mengambil Bahasa Inggris dan
Matematika dan Sejarah dan Psikologi dan Ilmu Sosial,” dia meneruskan, “dan saya pikir itu terlalu banyak. Saya pikir dia
harus pergi keluar dan
bersenang-senang.”
Gadis itu
tampak seolah-olah ingin melempar mereka semua dari jendela kaca.
“Terlalu ke utara,” Nyonya Turpin bergumam dan berpikir, baiklah, itu menjelaskan sikap tidak sopannya.
“Aku malah senang kalau anakku sakit,” kata si perempuan miskin, menarik perhatian kembali kepada dirinya. “Dia kejam kalau tidak
sakit. Sepertinya beberapa anak memang kejam dari sananya. Beberapa anak jadi nakal ketika sakit tapi anakku sebaliknya. Sakit lalu jadi baik. Dia tidak menyulitkanku sekarang. Aku selalu berharap bertemu dokter,” katanya.
Kalau aku harus mengirim siapa pun kembali ke Afrika, pikir Nyonya Turpin, orang sepertimu pasti termasuk, Bu. “Yah, memang,” katanya dengan suara keras, sambil melihat langit-langit, “itu adalah masalah yang lebih buruk daripada orang negro.” Dan lebih kotor daripada babi, dia menambahkan pada dirinya sendiri.
“Saya pikir
orang-orang dengan sifat buruk harus lebih dikasihani daripada siapa pun di dunia,” kata perempuan yang menyenangkan
dengan suara tipis.
“Saya
berterima kasih kepada Tuhan yang sudah memberkati saya dengan yang baik,” kata
Nyonya Turpin. “Hari-hari tidak pernah buruk sampai saya tidak bisa menemukan apa-apa untuk ditertawakan.”
“Tidak sejak
dia menikah dengan saya,” kata Claud dengan wajah datar yang kocak.
Semua orang
tertawa kecuali si gadis dan si perempuan miskin.
Perut Nyonya Turpin berguncang. “Dia bisa nyambung seperti itu,” katanya, “sampai saya tidak bisa tidak tertawa padanya.”
Gadis itu
membuat suara keras dengan giginya.
Mulut ibunya langsung tipis dan kencang. “Saya pikir hal terburuk di dunia,” katanya, “adalah
orang yang tidak tahu berterima kasih. Punya segalanya tapi tidak menghargainya. Saya kenal seorang gadis,” katanya, “yang punya orang tua yang akan memberikan apapun kepadanya, adik yang menyayanginya sepenuh
hati, gadis yang mendapatkan
pendidikan yang baik, yang memakai pakaian terbaik, tapi tidak pernah bisa
mengatakan kata-kata yang baik kepada
siapa pun, yang tidak pernah tersenyum, yang cuma mengkritik dan mengeluh
sepanjang hari.”
“Apakah dia
terlalu tua untuk mendayung?” tanya Claud.
Wajah gadis itu merah padam.
“Ya,” kata perempuan itu, “saya takut tidak ada yang bisa dilakukan kecuali membiarkannya dengan kebodohannya. Suatu hari dia akan sadar dan segalanya sudah terlambat.”
“Tersenyum tidak pernah menyakiti siapa pun,”
kata Nyonya Turpin. “Itu hanya membuat Anda merasa
lebih baik.”
“Tentu saja,”
kata perempuan itu dengan sedih,
“tapi ada beberapa orang yang tidak bisa Anda beri tahu. Mereka tidak bisa menerima kritik.”
“Kalau itu saya,” kata Nyonya Turpin dengan penuh perasaan, “itu harus disyukuri. Ketika saya berpikir bisa menjadi siapa selain diri
saya sendiri dan semua yang saya punya, segalanya tapi sedikit-sedikit, dan sifat yang baik, saya merasa seperti
berteriak, 'Terima kasih, Yesus, untuk sudah membuat segalanya seperti itu!' Ini bisa saja berbeda!" Untuk satu alasan, orang lain bisa saja mendapatkan Claud. Memikirkan ini, dia dibanjiri dengan rasa syukur dan sebersit sukacita berlari di dalam dirinya. “Oh terima kasih, Yesus, Yesus, terima kasih!” dia berteriak keras.
Buku itu mendarat tepat di atas mata kirinya. Buku itu jatuh hampir pada
saat yang sama ketika dia menyadari gadis itu mau melemparnya. Sebelum dia bisa mengeluarkan suara, wajah merah itu datang menerjang dari seberang meja ke
arahnya, melolong. Jari gadis itu tenggelam seperti klem ke dalam daging lembut
lehernya. Dia mendengar sang ibu menjerit dan Claud berteriak, “Whoa!” Untuk sesaat dia yakin bahwa dia sedang diguncang gempa.
Langsung matanya
memicing dan melihat segala sesuatu seolah-olah itu terjadi di
sebuah ruangan kecil yang jauh, atau
seolah-olah dia sedang melihat melalui ujung teleskop
yang salah. Wajah Claud kusut dan jauh dari pandangan. Perawat berlari masuk, lalu keluar, lalu masuk lagi. Lalu sosok kurus dan canggung sang dokter bergegas keluar dari pintu bagian dalam. Majalah beterbangan ketika meja dibalikkan. Gadis itu jatuh dengan suara
berdebam dan pandangan Nyonya Turpin tiba-tiba terbalik sendiri dan dia melihat segala sesuatunya kembali besar. Mata si perempuan miskin menatap tajam ke lantai. Ada si gadis, dipegangi di satu sisi oleh
perawat dan di sisi yang lain oleh ibunya,
yang memberontak dan berputar dari cengkeraman mereka. Dokter mendudukinya, berusaha untuk menahan
lengannya ke bawah. Akhirnya dia berhasil menusukkan jarum panjang ke dalam lengan itu.
Nyonya Turpin merasa sepenuhnya hampa kecuali hatinya yang berayun dari sisi ke
sisi seolah-olah ketakukan dalam sebuah drum daging besar yang kosong.
“Seseorang
yang tidak sibuk panggilkan ambulans,” kata sang dokter dengan suara seperti seorang dokter muda dalam situasi darurat.
Nyonya Turpin tidak bisa bergerak. Laki-laki tua yang duduk di sampingnya berlari gesit ke kantor dan menelepon, karena sang sekretaris sepertinya masih menghilang.
“Claud!” panggil Nyonya Turpin.
Dia tidak di
kursinya. Perempuan itu tahu dia harus berdiri dan mencarinya tapi dia merasa seperti seseorang yang mencoba mengejar kereta api dalam
mimpi, ketika semuanya bergerak dalam gerakan lambat maka semakin cepat kau mencoba berlari justru semakin lambat kau bergerak.
“Aku di sini,”
satu suara tercekik terdengar, sangat tidak seperti Claud.
Dia meringkuk di sudut di lantai, pucat seperti kertas, memegang
kakinya. Dia ingin berdiri dan mendatangi sang nyonya tapi dia tidak bisa
bergerak. Sebaliknya, tatapannya tertarik perlahan ke bawah ke wajah yang berputar di lantai, yang dilihatnya dari balik bahu sang dokter.
Mata gadis itu
berhenti berputar dan terfokus pada sang nyonya. Keduanya tampak lebih biru dari sebelumnya,
seolah-olah sebuah pintu yang rapat di belakangnya sekarang terbuka untuk mendapat sinar dan udara.
Kepala Nyonya Turpin dibersihkan dan kekuatannya kembali pulih. Dia membungkuk sampai dia melihat langsung ke sepasang mata cerah yang marah. Tidak ada keraguan dalam pikirannya bahwa gadis itu memang mengenalnya, mengenalnya dengan
baik dan pribadi, di luar waktu dan tempat dan kondisi yang sekarang. “Apa yang kau katakan padaku?” tanyanya dengan suara serak sambil menahan napas, menunggu, seperti menunggu wahyu.
Gadis itu
mengangkat kepalanya. Tatapannya terkunci pada Nyonya Turpin. “Kembalilah ke neraka tempatmu berasal, kau babi tua,” bisiknya.
Suaranya pelan tapi jelas. Matanya
terbakar sesaat seakan dia melihat dengan senang bahwa pesannya sampai pada sasarannya.
Nyonya Turpin tenggelam di kursinya.
Setelah
beberapa saat mata gadis itu tertutup dan dia menoleh lelah ke samping.
Sang dokter berdiri dan menyerahkan
jarum suntik kosong kepada perawat. Dia
membungkuk dan meletakkan kedua tangannya sejenak di bahu si ibu, yang gemetar. Perempuan itu duduk di lantai, bibirnya
terkatup rapat, memegangi tangan Mary Grace di
pangkuannya. Jari-jari gadis itu mencengkeram jempolnya seperti bayi.
“Pergilah ke rumah sakit,” kata sang dokter. “Aku akan menelepon dan mengatur segalanya.”
“Sekarang mari
kita lihat leher itu,” katanya dengan ramah kepada Nyonya Turpin. Dia mulai
memeriksa leher sang nyonya dengan dua
jari pertama. Dua garis berbentuk bulan kecil seperti amandel menjorok di atas saluran pernapasannya. Ada bengkak merah di atas matanya. Jari-jarinya memeriksanya juga.
“Lepaskan saya,” katanya serak dan menepis tangan
sang dokter. “Periksalah Claud. Gadis itu menendangnya.”
“Saya akan memeriksa dia sebentar lagi,” kata sang dokter sambil memeriksa denyut nadinya. Dia adalah seorang laki-laki dengan rambut abu-abu tipis, suka basa-basi.
“Pulanglah dan berliburlah,” katanya sambil menepuk bahu sang nyonya.
Berhenti
menepuk-nepukku, gumam Nyonya Turpin pada
dirinya sendiri.
“Dan taruh kompres es di atas mata itu,” kata sang dokter. Lalu dia pergi dan berjongkok di samping Claud dan memeriksa kakinya. Setelah beberapa saat dia memapahnya dan Claud tertatih-tatih mengikutinya ke kantor.
Sampai
ambulans datang, satu-satunya suara di ruangan itu adalah rintihan gemetar ibu si gadis, yang tetap duduk di lantai. Si perempuan miskin tidak melepaskan pandangannya dari gadis itu. Nyonya Turpin menatap kosong lurus ke depan. Lalu ambulans datang, bayangan gelap yang
panjang, di balik tirai. Petugas datang dan mengatur tandu di samping gadis itu
dan mengangkatnya ke atasnya lalu membawanya keluar. Perawat membantu ibunya mengumpulkan barang-barangnya. Bayangan ambulans
bergerak pergi dengan tenang dan sang perawat kembali di kantor.
“Gadis itu gila, kan?” si perempuan
miskin bertanya kepada perawat, tapi perawat terus berjalan ke belakang tidak menjawab.
“Ya, dia pasti gila,” kata si perempuan
miskin kepada semua orang.
“Anak malang," gumam si perempuan tua. Wajah anak kecil itu masih di pangkuannya. Matanya menatap kosong di atas
lututnya. Dia tidak bergerak selama kejadian itu
kecuali untuk menarik satu kakinya yang
menjuntai ke bawah.
“Aku berterima kasih kepada Tuhan,” kata si perempuan miskin, “Aku tidak gila.”
Claud keluar terpincang-pincang lalu keluarga Turpin pulang.
Begitu truk pick-up mereka sampai di jalan tanah dan menuju ke puncak bukit, Nyonya Turpin mencengkeram birai jendela dan melihat keluar curiga. Tanah landai melewati ladang yang dihiasi rumput lavender dan di ujungnya rumah berbingkai kuning kecil
mereka, dengan bunga kecil yang menyebar di sekelilingnya seperti celemek mewah, berdiri tegak di tempatnya di antara dua pohon hickory raksasa. Sang nyonya tidak pernah terkejut melihat bekas terbakar di antara dua cerobong asap yang menghitam.
Tak satu pun
dari mereka berselera makan sehingga
mereka mengenakan pakaian tidur mereka dan menurunkan tirai di kamar tidur lalu berbaring, Claud
dengan kakinya di atas bantal dan dirinya sendiri dengan kain lap basah di matanya. Begitu dia telentang, gambar babi hutan dengan kutil di wajahnya dan tanduk yang keluar dari balik telinganya mendengus di kepalanya. Dia mengerang, erangan pelan.
“Aku bukan,” katanya terisak, “babi. Dari neraka.” Tapi bantahan itu tidak punya daya. Mata gadis itu dan
kata-katanya, bahkan nada suaranya, rendah tapi jelas, ditujukan langsung untuk dirinya, tanpa keraguan. Dia memilih memberikan pesannya kepada sang nyonya, walaupun ada sampah di ruang itu yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut begitu. Kekuatan penuh kenyataan itu membuatnya terguncang. Ada seorang perempuan yang mengabaikan anaknya sendiri tapi dia tidak dipedulikan. Pesan itu diberikan kepada Ruby Turpin, seorang perempuan terhormat, pekerja keras, dan rajin ke gereja. Air matanya sudah kering. Matanya mulai terbakar dengan kemarahan.
Dia berdiri dengan sikunya dan kain lap itu jatuh di tangannya. Claud
berbaring telentang, mendengkur. Sang nyonya ingin menceritakan padanya apa
yang dikatakan gadis itu. Di saat yang sama, dia tidak mau menaruh gambar dirinya sebagai babi hutan dari neraka ke dalam pikirannya.
“Hei, Claud,”
gumamnya sambil mendorong bahu laki-laki itu.
Claud membuka
satu mata biru pucatnya.
Sang nyonya
menatapnya dengan hati-hati. Dia tidak pernah memikirkan apa-apa. Dia hanya mengalir saja.
“Apa, ada apa?” katanya dan menutup matanya lagi.
“Tidak ada,”
katanya. “Apa kakimu masih sakit?”
“Banget,” kata Claud.
“Itu sebentar lagi sembuh,” katanya lalu kembali berbaring. Sebentar kemudian Claud mendengkur lagi. Sepanjang sisa sore itu mereka berbaring di
sana. Claud tidur. Sang nyonya merengut kepada langit-langit. Kadang-kadang dia mengangkat tinjunya dan
membuat gerakan menusuk kecil di atas dadanya seolah-olah
dia sedang membela dirinya yang tidak bersalah
kepada tamu yang tidak terlihat seperti keluhan Ayub2, sepertinya wajar tapi salah.
Sekitar jam setengah enam Claud bangun. “Harus menjemput orang-orang negro itu,” desahnya, tidak
bergerak.
Sang nyonya masih
memandang lurus ke atas seolah-olah ada tulisan yang tidak bisa dipahami di langit-langit.
Tonjolan di atas matanya berubah biru kehijauan. “Dengar,” katanya.
"Apa?"
"Cium
aku."
Claud
membungkuk dan mencium keras di mulutnya. Dia mencubit pinggang sang nyonya dan tangan mereka saling bertautan. Ekspresi galaknya tidak berubah. Claud bangkit, mengerang dan menggeram, dan tertatih-tatih.
Sang nyonya tetap memandangi langit-langit.
Dia tidak
bangun sampai mendengar truk pick-up
datang kembali dengan orang-orang negro. Lalu dia bangkit dan menyelonjorkan kakinya di meja cokelat, yang tidak dihiasi renda-renda, lalu keluar ke teras
belakang dan mengambil ember plastik
merahnya. Dia memasukkan es batu dari nampan ke dalamnya dan mengisinya dengan air sampai setengah ember lalu keluar ke halaman belakang. Setiap sore setelah Claud menjemput mereka, salah satu anak laki-laki akan membantunya mengeluarkan jerami sementara sisanya menunggu di belakang truk sampai dia siap untuk
membawa mereka pulang. Truk itu diparkir di
tempat teduh di bawah salah satu pohon hickory.
“Hai, apa kabar?” tanya Nyonya Turpin muram, muncul dengan ember dan gayungnya. Ada tiga orang perempuan dan seorang anak laki-laki di dalam truk.
“Kami baik lho,” kata perempuan yang paling tua. “Kau kenek apa?” tatapannya langsung tertancap pada benjolan gelap di dahi Nyonya Turpin. “Kau jatuh, ya?” tanyanya dengan suara
cemas. Perempuan tua itu berkulit gelap dan nyaris ompong. Dia memakai sebuah topi tua yang dipakaikan Claud di kepalanya. Dua perempuan
yang lain lebih muda dan
lebih santai dan mereka berdua punya topi lebar baru berwarna hijau terang. Salah satu dari mereka masih memakainya di kepalanya; yang lain sudah melepaskannya dan si anak laki-laki menyeringai di bawahnya.
Nyonya Turpin menaruh embernya di atas lantai truk. “Ambil
sendiri ya,” katanya. Dia melihat sekeliling untuk memastikan Claud
sudah pergi. “Tidak, aku tidak jatuh,” katanya, melipat lengannya. “Ini lebih buruk dari itu.”
“Ndak mungkin ada yang buruk yang terjadi padamu!” kata si perempuan tua. Dia mengatakan itu seolah-olah mereka semua tahu bahwa Nyonya Turpin dengan cara yang misterius dilindungi oleh Tuhan. “Kau pasti cuma kepeleset.”
“Kami sedang berada di kota di kantor dokter karena sapi menendang Tuan Turpin,” kata Nyonya Turpin dengan nada datar supaya mereka bisa memahaminya. “Lalu ada gadis itu. Seorang gadis gemuk dengan wajah jelek. Aku melihat gadis itu dan bisa bilang kalau dia agak aneh tapi tidak tahu aneh bagaimana. Lalu aku dan mamanya ngobrol lalu tiba-tiba WHAM! Dia
melempar buku besar yang sedang dibacanya kepadaku dan....”
“Ndak mungkin!” si perempuan tua
berteriak.
“Lalu dia melompat ke atas meja dan mencekik leherku.”
“Ndak!” mereka semua berseru,
“ndak!”
“Kenapa dia ndek gitu?” tanya si perempuan tua. “Kenapa dia marah?”
Nyonya Turpin hanya memandang kosong di depannya.
“Sesuatu pasti sudah membuatnya marah,” kata si perempuan tua.
“Mereka
membawanya pergi dengan ambulans,” Nyonya Turpin melanjutkan, “tapi sebelum dia pergi dia berguling-guling di lantai
dan mereka berusaha untuk menahannya untuk menyuntiknya lalu dia mengatakan sesuatu kepadaku.” Dia berhenti. “Kau tahu apa yang dikatakannya
kepadaku?”
“Dia bilang apa?” tanya mereka.
“Dia bilang,” Nyonya Turpin mulai, lalu berhenti, wajahnya sangat gelap dan berat. Matahari
semakin putih dan putih, menyilaukan di langit
sehingga daun pohon hickory tampak hitam di hadapannya. Dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata. “Sesuatu yang sangat buruk,” gumamnya. “Dia ndak seharusnya mengatakan sesuatu yang buruk kepadamu,” kata si perempuan tua. "Kau sangat baik. Kau perempuan paling baik yang pernah kukenal.”
“Dia juga cantik,” perempuan yang memakai topi berkata.
“Dan tabah,” kata yang lain. “Aku tidak pernah kenal perempuan kulit putih yang baik.”
“Ini benar demi Yesus,” kata si perempuan tua. "Amin! Kau berdandanlah semanis dan secantik yang kau bisa.”
Nyonya Turpin tahu persis betapa sanjungan dari orang-orang negro itu justru menambah kemarahannya. “Dia bilang,” dia mulai lagi dan kali ini menyelesaikannya
dengan nafas tersengal, “bahwa aku adalah babi tua dari neraka.”
Lalu hening.
“Ndek mana dia sekarang?” perempuan yang paling muda berseru dengan suara menusuk.
“Aku mau melihatnya. Biar kubunuh dia!”
“Aku akan ikut membunuhnya!” teriak yang lain.
“Dia ndek rumah sakit jiwa,” kata si perempuan tua dengan tegas. “Kau perempuan kulit putih paling manis yang aku tahu.”
“Dia juga cantik,” kata dua perempuan lainnya. “Tabah dan manis. Yesus memberkatinya!”
“Begitulah dia,” si
perempuan tua berkata.
Idiot! Nyonya Turpin geram pada dirinya sendiri. Kau tidak pernah bisa membicarakan
sesuatu yang rumit dengan orang negro. Kau bisa bicara kepada mereka tapi tidak bisa bicara dengan mereka. “Kalian minumlah airnya,” katanya singkat. “Tinggalkan embernya di truk kalau kalian sudah selesai. Aku masih punya pekerjaan untuk dilakukan daripada cuma berdiri di sini dan menghabiskan waktu,” lalu dia masuk ke dalam rumah.
Dia berdiri
sejenak di tengah-tengah dapur. Tonjolan gelap di atas matanya tampak seperti miniatur awan tornado yang setiap saat bisa menyapu cakrawala alisnya. Bibir bawahnya menonjol. Dia membusungkan bahu besarnya. Lalu dia berjalan ke
depan rumah dan keluar lewat pintu samping dan
mulai menyusuri jalan ke kandang babi. Dia terlihat seperti seorang perempuan yang dengan tangan kosong, tanpa senjata, mau terjun ke medan
perang.
Matahari berwarna kuning tua sekarang seperti bulan purnama dan menuju ke barat dengan sangat cepat di atas
garis pepohonan di kejauhan seolah-olah berusaha sampai di
babi-babi itu sebelum sang nyonya. Ada bekas roda di jalan dan dia menendang
beberapa batu berukuran sedang dari jalan sambil berjalan. Kandang
babi itu berada di bukit kecil di ujung jalan yang sejajar dengan sisi gudang. Kandang itu adalah lapangan beton sebesar sebuah ruangan kecil, dengan pagar papan setinggi sekitar empat kaki di sekelilingnya. Lantai beton sedikit miring sehingga air mandi babi bisa mengalir ke dalam parit yang menuju ladang untuk jadi pupuk. Claud berdiri
di luar, di tepi lantai beton, berpegangan di papan atas, menyiram lantai dengan selang. Selang itu terhubung ke keran dari palung air di dekatnya.
Nyonya Turpin naik ke sampingnya dan memandangi babi di dalam kandang. Ada tujuh babi muda bermoncong panjang dan berbulu di dalam --berwarna kecoklatan dengan bintik-bintik merah hati-- dan seekor babi betina dewasa yang beberapa minggu lalu melahirkan. Dia berbaring mendengus di sisinya. Babi-babi muda itu berjalan di dekatnya gemetar seperti anak idiot, mata sipit babi-babi itu mencari-cari apapun yang tersisa di lantai. Dia sudah membaca bahwa babi
adalah binatang yang paling cerdas. Dia meragukannya. Mereka seharusnya lebih
pintar dari anjing. Bahkan katanya ada seekor babi yang dikirim ke luar
angkasa. Dia sudah melakukan tugasnya dengan sempurna tapi mati
terkena serangan jantung setelah orang-orang meninggalkannya dalam pakaian elektrik, duduk tegak sepanjang
pemeriksaan ketika secara alamiah babi seharusnya merangkak.
Mendengkus dan
mengacak-acak tanah dan mengerang.
“Ke sinikan selang itu,” katanya, merebutnya dari Claud. “Pergilah dan antar orang-orang negro itu pulang lalu uruslah kakimu.”
“Kau sepertinya baru makan anjing gila,” Claud memandanginya, tapi dia turun juga dengan tertatih-tatih. Sang nyonya tidak mempedulikan candaannya.
Sampai dia tidak terdengar lagi, Nyonya Turpin berdiri di sebelah pen, memegang selang dan mengarahkan airnya ke bagian belakang setiap babi muda yang terlihat mencoba berbaring. Ketika laki-laki
itu sampai di atas bukit, sang nyonya memalingkan wajahnya sedikit dan mata marahnya menatap ke jalan. Laki-laki itu tidak terlihat lagi. Sang nyonya berbalik lagi dan menenangkan dirinya. Bahunya naik dan
dia menarik napas dalam-dalam.
“Buat apa Kau mengirimi aku pesan seperti itu?” katanya dengan sengit, seperti bisikan tapi dengan kekuatan teriakan yang
penuh kemarahan. “Bagaimana aku bisa jadi babi dan diriku sendiri bersamaan? Bagaimana aku diberkati tapi berasal dari neraka sekaligus?” Tangannya terkepal sementara tangan yang lain memegang selang, membabi buta mengarahkan air ke mata babi betina dewasa yang erangan marahnya tidak dipedulikan oleh
sang nyonya.
Kandang babi itu
memperlihatkan pemandangan padang rumput belakang tempat dua puluh sapi pedaging berkumpul di sekeliling tumpukan
jerami yang sudah disusun Claud dengan anak buahnya. Padang rumput yang baru dipotong miring ke arah jalan raya. Di seberangnya adalah ladang kapas mereka dan di luarnya hutan kecil
gelap berdebu yang mereka miliki juga. Matahari berada di balik hutan, sangat merah, melihat dari atas pagar pepohonan seperti seorang petani yang sedang
memeriksa babi-babinya.
“Kenapa aku?” gerutunya. “Tidak ada sampah di sini, kulit hitam atau putih, yang belum kusumbang. Dan setiap hari bekerja keras membuat bengkok tulang
punggungku. Dan pergi ke gereja.”
Dia terlihat seperti perempuan yang ukurannya cocok untuk memimpin arena di
depannya. “Bagaimana bisa aku seekor babi?” tanyanya. “Persisnya bagaimana bisa aku seperti mereka?” lalu dia menyiramkan air ke babi-babi muda. “Ada banyak orang tidak berguna di luar sana. Seharusnya bukan aku."
“Kalau Kau lebih suka orang tidak berguna, carilah untukMu sendiri sampah-sampah itu,” dia mencerca. “Kau bisa membuat aku jadi sampah. Atau orang negro. Kalau sampah yang Kau inginkan kenapa Kau tidak menciptakan aku sebagai sampah?” Dia menggoyangkan tangannya dengan selang di dalamnya dan untuk sesaat air yang seperti ular muncul di udara. “Aku bisa berhenti bekerja dan santai-santai dan menjadi kotor,” geramnya. “Bermalas-malasan
di trotoar sepanjang hari minum root beer. Menghisap tembakau dan meludah
di setiap genangan air dan melumuri wajahku dengannya. Aku bisa menjadi jahat.
“Atau Kau bisa menciptakan aku sebagai orang negro. Sudah
terlambat bagiku untuk menjadi negro,” katanya dengan kasar, “tapi aku bisa berbuat seperti orang negro. Berbaring di tengah
jalan dan menghentikan lalu lintas. Bergulung-gulung di tanah.”
Dalam cahaya yang semakin temaram segalanya mulai terlihat misterius. Padang rumput menumbuhkan kilau berwarna hijau yang aneh dan jalanan berubah jadi lavender. Dia bersiap untuk serangan terakhir dan kali ini suaranya bergema di atas padang rumput.
“Ayo,” teriaknya, “panggil aku babi! Panggil aku babi sekali lagi. Dari neraka. Panggil aku babi dari neraka. Balikkan semuanya. Ini belum apa-apa!”
Sebuah gema
kacau kembali padanya.
Gelombang
terakhir dari kemarahannya mengguncangnya dan dia meraung, “Kau pikir siapa
diriMu?”
Warna dari
segalanya, ladang dan langit merah, terbakar sejenak dengan warna transparan.
Pertanyaannya terbang di atas padang rumput
dan di jalan raya dan ladang kapas dan kembali padanya dengan jelas seperti jawaban dari dalam hutan.
Dia membuka
mulutnya tapi tidak ada suara yang keluar dari sana.
Sebuah truk
kecil, punya Claud, muncul di
jalan raya, melaju cepat. Gigi-giginya dipindahkan dengan kasar. Truk itu tampak seperti
mainan anak-anak. Setiap saat
sebuah truk besar bisa menghantamnya dan mencerai-beraikan otak Claud dan orang-orang negro itu di jalan.
Nyonya Turpin berdiri di sana, matanya menatap jalan raya, semua ototnya kaku, sampai lima atau enam menit truk itu muncul kembali. Dia menunggu sampai truk itu masuk ke jalan mereka. Lalu seperti
patung yang tiba-tiba hidup, dia menundukkan kepalanya perlahan
dan, seolah-olah menembus jantung misteri, menatap babi-babi di kandang. Mereka semua berkumpul di salah satu sudut di sekeliling babi betina dewasa yang
mendengus pelan. Sebuah cahaya merah meliputi mereka. Mereka seperti punya kehidupan
rahasia.
Sampai matahari
tergelincir di balik garis pepohonan, Nyonya Turpin tetap di sana dengan
tatapannya kepada mereka seolah-olah dia menyerap beberapa pengetahuan yang
memberi kehidupan. Akhirnya dia mengangkat kepalanya. Hanya ada garis ungu di
langit, memotong bidang merah dan, seperti jalan raya, membawa senja turun. Dia
mengangkat tangannya dari sisi pen dengan sikap yang teratur dan mendalam.
Sebuah penglihatan terbit di matanya. Dia melihat garis itu seperti jembatan
ayun yang luas membentang ke atas dari bumi melalui sebidang api yang
menyala-nyala. Setelah itu segerombolan jiwa bergemuruh menuju ke langit. Ada
sekumpulan orang-orang miskin, bertubuh bersih untuk pertama kalinya dalam
hidup mereka, dan sekelompok orang negro dengan jubah putih, dan sepasukan
orang aneh dan gila berteriak-teriak dan bertepuk tangan dan melompat-lompat
seperti katak. Dan untuk menutup prosesi itu adalah sekumpulan orang yang
langsung dikenalinya sebagai orang-orang yang, seperti dirinya dan Claud,
selalu punya semuanya tapi sedikit-sedikit dan kecerdasan yang diberikan Tuhan
untuk menggunakannya dengan benar. Dia membungkuk ke depan untuk melihat mereka
lebih dekat. Mereka berbaris di belakang yang lain dengan penuh hormat,
dipercaya karena mereka selalu berlaku baik dan masuk akal dan terhormat.
Mereka memegang kunci. Tapi dia bisa melihat wajah terkejut dan terguncang
mereka mendapati bahwa kebajikan mereka sedang terbakar habis. Dia menurunkan
tangannya dan mencengkeram rel pen selang, matanya terpicing tapi tidak berkedip
melihat pemandangan di hadapannya. Penglihatan itu akhirnya memudar tapi dia
tetap di tempatnya, tidak bergerak.
Akhirnya dia turun
dan mematikan keran dan berjalan lambat di jalan gelap menuju rumah. Di hutan
di sekelilingnya senandung jangkerik yang tidak terlihat terdengar, tapi yang
didengarnya adalah suara jiwa-jiwa yang naik ke atas ke langit berbintang dan bersorak
haleluya.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek Flannery O'Connor yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Perangko hijau: green stamps, alat tukar
yang sempat populer di Amerika dari tahun 1896 sampai akhir 1980-an;
dioperasikan oleh perusahan Sperry & Hutchinson.
2 Ayub: nabi dalam agama-agama Abrahamik;
digambarkan sebagai orang kaya yang diberi cobaan sangat berat.

Comments
Post a Comment