Tiga Belas Butir Hujan
“Terserah saja. Kau boleh jadi Kain dan aku Habel, atau sebaliknya. Kita
bisa jadi siapa saja yang kita mau, bukan?”
“Masalahnya, Kain akhirnya membunuh Habel, Wal.”
“Tak apa. Seperti kubilang, kita bisa jadi siapa saja, Kain atau Habel.
Yang kita tidak bisa adalah menjadi Tuhan, menentukan siapa yang hidup, siapa
yang mati. Menentukan siapa membunuh siapa.”
***
/1/ Di halaman.
“Wal! Wal! Hujan, Wal!”
“Sudah berapa, Man?”
“Delapan! 9 ... 10 ...”
“Sebelas ... 12 ...”
“....”
“Pamanmu mana, Man?”
“Ke kota. Katanya mau beli beras sama ikan asin.”
“Kalau begitu, kita harus cepat, Man. Kita harus segera ke ladang jagung.
Kita tidak boleh melewatkannya.”
“Gayamu, Wal. Ayo balapan denganku. Kau pasti tidak bisa menang.”
“Man! Man! Tunggu aku, Man!”
***
/2/ Di ladang
jagung.
“Kau kalah, Wal. Kau selalu kalah. Jalan dari rumahku ke ladang jagung ini
ti- dak pernah bertambah lebar. Sepertinya, kau yang tidak pernah tumbuh besar.”
“Kakimu sudah lebih panjang, Man. Sepertinya, semua yang kau ambil dan
kau makan dari ladang orang-orang kampung jadi kaki semua.”
“Ah, alasan saja kau ini. Kau yang terlalu sering tidur sama bukumu itu. Kau
lupa melatih kakimu. Otak saja yang kau kasih makan. Kuberi tahu caranya, Wal: jangan
pernah berlari menentang angin.”
“Pintar kau, Man. Kau sudah cukup kuat. Aku mengandalkanmu saja kalau soal
lari. Lagipula, suatu hari nanti, otakku akan mengalahkan kecepatan larimu.”
“Berkhayal kau Wal. Tidak ada yang bisa mengalahkanku lariku, tidak juga otakmu
itu.”
“Ya, ya, ya. Sudahlah. Ngomong-ngomong, jatuhkah hujan kali ini, Man?” “Tak
tahulah. Kita tunggu saja, Wal. Atau kalau kau bosan, kita balapan lagi
sampai bukit di sebelah sana.”
“Aku masih capek, Man.”
“Kau takut, Wal.”
“Man, Man, HARMAAAAAN ...!”
***
/3/ Masih di
ladang jagung.
“HARMAAAAAN ...! Bajingan kecil, di mana kau?!”
“Pamanku pulang, Wal.”
“Ya. Ayo kita pulang, Man. Hujan tidak turun. Tidak kali ini.”
“Menurutmu Wal, seperti apakah dunia ketika kita sudah lebih besar nanti?”
“Membosankan, Man. Sebegitu membosankannya sehingga kita memerlukan anak-anak
kecil untuk terus kita siksa. Hanya supaya kita tidak mati bosan.”
“Anak-anak kecil seperti kita sekarang?”
“Ya. Anak-anak seperti kita sekarang.”
“Seperti pamanku yang terus menyiksaku?”
“Ya. Seperti pamanmu yang terus menyiksamu.”
“Kalau begitu, semoga kita tidak pernah tumbuh besar, Wal.”
***
/4/ Di pengadilan.
“Tahukah Saudara, bahwa apa yang telah Saudara lakukan, yang Saudara perbuat
itu, sudah melewati batas-batas kemanusiaan? Kejam. Keji. Di luar nalar manusia
normal! Hanya binatang yang bisa melakukan hal itu. Bahkan binatang pun tidak
sekeji itu.”
“Saudara memperlakukan korban-korban Saudara sedemikian sadisnya.
Tidakkah Saudara berpikir jika salah satu korban Saudara itu adalah anak,
keponakan, atau kerabat Saudara? Bagaimana jika anak, keponakan, atau kerabat
Saudara itu diperlakukan sama seperti yang Saudara lakukan pada korban-korban Saudara?
Oleh binatang yang sama dengan Saudara?”
“Bukan hanya kejam, keji, atau sadis. Tindakan Saudara adalah sebuah
kelainan. Penyimpangan. Saudara terdakwa jelas-jelas mengidap penyakit kejiwaan.
Apa yang Saudara lakukan itu sangat terkutuk.”
“Semoga saudara, membusuk di neraka!”
“KEBERATAN, Yang Mulia!”
***
/5/ Di rumah.
“Dari mana saja kau, bajingan kecil?!”
“Dia bersamaku, Paman. Kami ke ladang jagung.”
“Jangan ikut-ikutan kau, Waldi! Ini percakapan laki-laki, antara aku dengan
Harman. Kau yang bukan laki-laki, lebih baik pulang saja. Urus saja emakmu.”
“Aku juga laki-laki, Paman.”
“Laki-laki itu bertubuh baja, mulutnya tajam, dan keringatnya asin air laut.
Kau terlalu lembek untuk menyebut dirimu laki-laki.”
“Bukan salah Waldi, Paman. Aku yang mengajaknya ke ladang jagung.”
“Aaah, bicara juga kau, bajingan kecil. Sudah hebat kau rupanya. Sudah keras
kulit punggungmu? Sudah surut air matamu?”
“Aku pun laki-laki, Paman”
“Aaah ... Kalau begitu, kau makanlah tali pinggangku ini! Ini! Ini! Ini!”
***
/6/ Kembali
ke pengadilan.
“Keberatan, Yang Mulia.”
“Saudara jaksa telah menghakimi tersangka. Kata-kata Saudara Jaksa
menyiratkan seolah-olah beliau sudah tahu semua kebenaran dari kasus ini
sekaligus kesalahan dari Saudara tersangka. Kita semua tidak akan duduk di sini
kalau kita sudah tahu kebenarannya. Kita semua duduk di sini untuk mencari
kebenaran itu.”
“Lebih buruk lagi, Saudara Jaksa mempergunakan perumpamaan-perumpamaan
yang teramat kasar. Sangat tidak pantas seorang jaksa mempersamakan seseorang,
sejahat apapun dirinya, dengan binatang. Saya rasa, kata-kata seperti itu tidak
pantas diucapkan oleh seseorang yang terhormat seperti Saudara Jaksa. Tidak pantas
diucapkan di hadapan sidang yang terhormat.”
“Jika asumsi Saudara Jaksa benar bahwa Saudara Terdakwa mengidap penyakit
kejiwaan, maka tidak ada hak bagi pengadilan ini untuk terus mempersidangkan
kasusnya. Saudara Terdakwa sebagai orang sakit mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan,
pengobatan yang sepantasnya.”
“Mencacimakinya di hadapan sidang yang terhormat tidak akan membawa kita kemana-mana.”
***
/7/ Di bawah
jembatan.
“Ke sini kau, bajingan kecil!”
“Ampun, Bang. Ampun.”
“Ampun katamu? Kau ini laki-laki apa bukan?”
“Laki-laki, Bang. Aku laki-laki.”
“Tidak ada laki-laki seperti kau ini! Laki-laki itu bertubuh baja,
mulutnya tajam, dan keringatnya asin air laut. Kau terlalu lembek untuk
menyebut dirimu laki-laki.”
“Jangan, Bang. Ampun, Bang.”
“Bangsat, kau! Buka celanamu. Buka! ““Bang ...”
***
/8/ Di bawah
jembatan yang lain.
“Buat apa pisau itu, Bang?”
“Diam kau! Berhenti menangis kau, bajingan kecil! Belum surut air
matamu?!”
“Aku mau ke stasiun lagi, Bang. Emakku pasti sudah menungguku di sana. Dia
pasti menunggu dengan hati rusuh.”
“Rusuh, rusuh, mulutmu itu yang rusuh!”
“Aku mau pulang, Bang.”
“Pulang? Kaukira stasiun itu rumah bapakmu apa?!”
“Bang ...”
“Tidak. Hari ini kau tidak akan pulang. Kaulihat karung di pojokan sana? Hari
ini kau akan pulang, tapi tidak ke stasiun.”
“Jangan, Bang.”
“Kau ini laki-laki, tubuhmu seharusnya baja. Kita lihat, apa pisau ini bisa
me- nembus kulit punggungmu.”
“Jangan, Bang.”
“Keringat laki-laki adalah asin air laut. Kau akan pulang. Ke laut. Seharusnya
kau senang.”
“Bang ...”
***
/9/ Di penjara.
“Bagaimana kabarmu, Harman?”
“Seperti kau lihat, tidak terlalu baik, Waldi. Kau sendiri, bagaimana
kabar- mu?”
“Aku baik-baik saja, hanya kurang olahraga saja. Tidak ada ladang jagung di
sini, Man.”
“Bwahahaha ... Kau masih ingat saja. Emakmu, bagaimana kabarnya?”
“Emakku pun baik. Hanya bertambah tua saja. Pamanmu, apa masih ada dia?”
“Dia yang pertama, Wal. Dan kau tahu, kulit punggungnya tidak sekeras
yang kukira. Tubuhnya tidak baja. Dia roboh pada hunjam yang pertama. Mulutnya tidak
tajam saat roboh. Dia meronta. Merengek seperti perempuan. Keringatnya tidak asin
air laut. Keringatnya, bacin.”
“Kau tahu, Man, kau sudah berlari menentang angin, menentang dirimu
sendiri.”
“Entahlah, Wal. Tapi kau benar tentang satu hal, otakmu akhirnya mengalahkan
kecepatan lariku.”
***
/10/ Di pengadilan
lagi.
“Sebelum kami membacakan putusan untuk Saudara Terdakwa, sidang ini ingin
memberikan kesempatan kepada Saudara Terdakwa, Endang Suharman, berbicara untuk
dirinya sendiri. Silahkan.”
“Saya tidak pernah mengaku tidak bersalah. Semua yang dituduhkan kepada saya,
memang benar saya lakukan. Tapi saya bukan bajingan kecil. Saya bukan tukang jagal
yang memotong-motong sapi untuk dijual.”
“Saya membunuh, tapi saya bukan pembunuh. Saya adalah
penyembuh. Saya menyembuhkan orang-orang sakit sementara kalian di sini hanya
bicara saja. Saya melangkahkan kaki sementara kalian sibuk membaca
berkas-berkas di atas meja.”
“Saya tidak pernah mengaku tidak bersalah. Kesalahan saya hanyalah
berlari menentang angin. Tapi atas apa yang sudah saya lakukan, saya tidak sepantas
nya dihukum. Kalaupun saya akan dihukum, hukuman yang pantas untuk saya adalah bebas.”
***
/11/ Kembali
di ladang jagung.
“Aku mau pergi ke kota, Man.”
“Untuk apa kau ke kota, Wal? Kurang luaskah ladang jagung ini untuk isi kepala-
mu itu?”
“Kurang lebih seperti itu, Man. Ada hal lain yang aku yakin masih bisa kukejar
di luar sana.”
“Tidak cukupkah kita berkejaran di ladang jagung ini?”
“Tidak, Man.”
“Seingatku, kaki-kakimu tidak cukup kuat, Wal. Kau tidak pernah menang balapan
lari denganku.”
“Di ladang jagung ini, kau penguasanya, tapi di luar sana, ada lebih
banyak hal yang bisa kita kejar. Lebih banyak daripada sekedar menunggu hujan jatuh.”
“Apa yang akan kau lakukan di kota, Wal?”
“Aku akan sekolah lagi, Man.”
“Itu bagus, Wal. Suatu hari, aku pasti membutuhkan bantuanmu.”
***
/12/ Di pengadilan
lagi.
“Dengan ini, kami majelis hakim memutuskan bahwa Saudara Terdakwa Endang Suharman
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan semua perbuatan yang dituduhkan
kepadanya, menyodomi dan membunuh tiga belas anak di bawah umur. Dengan ini,
majelis hakim menyatakan bahwa Saudara Terdakwa Endang Suharman bersalah dan menjatuhkan
hukuman mati.”
***
/13/ Di hadapan
regu tembak.
“Kau datang, Waldi.”
“Aku di sini, Harman.”
“Apakah kau masih saudaraku, Waldi? Ataukah aku seharusnya memanggilmu, Tuan
Hakim Yang Terhormat?”
“Aku masih saudaramu, apapun yang terjadi, aku masih tetap saudaramu, Harman,
Endang Suharman.”
“Siapakah kini Kain, siapakah kini Habel, Wal?”
“Tidak siapa-siapa, Harman. Kita ini anak-anak takdir. Di bawah langit, kita
hanya sebuah permainan.”
“Kenapa tidak kau lepas saja jubahmu dan lari bersamaku, Waldi? Kaki-kakiku
masih cukup kuat untuk itu.”
“Tidak ada lagi ladang jagung atau bukit kecil untuk kita berdua, Man. Tidak
ada lagi apa-apa untuk kita berdua.”
“Gerimis, Wal. Maukah kau menghitungnya untukku?”
“Delapan ... 9 ... 10 ...”
“Akankah hujan turun kali ini, Waldi.”
“Aku tidak tahu, Harman. Aku bukan Tuhan.”
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment