Kekuatan Tuhan (The Strength of God ~ Sherwood Anderson)
"Beri aku kekuatan dan keberanian untuk pekerjaan-Mu, ya Tuhan!" dia memohon, berlutut di lantai kosong dan menundukkan kepalanya di hadapan tugas yang ada di hadapannya.
Pendeta Hartman adalah seorang laki-laki jangkung dengan janggut coklat.
Istrinya, seorang perempuan gemuk dan selalu senewen, adalah putri dari seorang
pengusaha pakaian dalam di Cleveland, Ohio. Pendeta itu sendiri sangat disukai
di kota. Para penatua gereja menyukainya karena dia pendiam dan bersahaja dan
Nyonya White, istri seorang bankir, menganggapnya terpelajar dan beradab.
Gereja Presbiterian memisahkan diri dari gereja-gereja lain di Winesburg.
Gereja itu lebih besar dan lebih mengesankan dan pendetanya dibayar lebih baik.
Pendeta itu bahkan memiliki kereta sendiri dan pada malam musim panas
kadang-kadang berkeliling kota bersama istrinya. Lewat Main Street dan
naik-turun Buckeye Street dia pergi, membungkuk dengan sopan kepada
orang-orang, sementara istrinya, yang terbakar dengan perasaan bangga,
memandangnya dari sudut matanya dan khawatir kalau-kalau kuda-kudanya menjadi ketakutan
dan melarikan diri.
Selama bertahun-tahun setelah dia datang ke Winesburg segalanya berjalan
lancar untuk Curtis Hartman. Dia bukan orang yang membangkitkan antusiasme di
antara para jemaat gerejanya tapi di sisi lain dia tidak membuat musuh. Pada
kenyataannya dia sangat bersungguh-sungguh dan kadang-kadang mengalami
penyesalan yang berkepanjangan karena dia tidak bisa pergi meneriakkan firman
Tuhan di jalan raya dan di pinggir kota. Dia bertanya-tanya apakah nyala api
roh benar-benar menyala di dalam dirinya dan memimpikan suatu hari ketika arus
kekuatan baru yang kuat dan manis akan datang seperti angin kencang ke dalam
suaranya dan jiwanya dan orang-orang akan gemetar di hadapan roh Tuhan yang
diwujudkan dalam dirinya. "Aku orang yang malang dan itu tidak akan pernah
benar-benar terjadi padaku," renungnya sedih, dan kemudian senyuman sabar
menerangi wajahnya. "Oh, baiklah, kukira aku sudah melakukannya dengan
cukup baik," tambahnya secara filosofis.
Ruangan di menara lonceng gereja, yang pada hari Minggu pagi jadi tempat pendeta
itu berdoa untuk meningkatkan kuasa Tuhan, cuma memiliki satu jendela. Jendela
itu panjang dan sempit dan terayun ke luar di engsel seperti pintu. Di jendela,
terbuat dari panel kecil bertimbal, ada gambar yang menunjukkan Kristus sedang
meletakkan tangannya di atas kepala seorang anak. Suatu Minggu pagi di musim
panas ketika dia duduk di samping mejanya di dalam ruangan dengan sebuah
Alkitab besar terbuka di hadapannya, dan lembaran khotbahnya berserakan,
pendeta itu terkejut melihat, di ruang atas rumah sebelah, seorang perempuan
berbaring di tempat tidurnya dan merokok sambil membaca buku. Curtis Hartman
berjingkat ke jendela dan menutupnya dengan lembut. Dia ngeri saat memikirkan
seorang perempuan yang merokok dan juga gemetar memikirkan bahwa matanya, baru
saja terangkat dari halaman-halaman kitab Tuhan, sudah melihat bahu telanjang
dan tenggorokan putih seorang perempuan. Dengan otaknya yang berputar-putar dia
turun ke mimbar dan menyampaikan khotbah yang panjang tanpa pernah memikirkan
gerakan atau suaranya. Khotbah itu menarik perhatian yang tidak biasa karena
kekuatan dan kejelasannya. "Aku ingin tahu apakah perempuan itu
mendengarkan, apakah suaraku membawa pesan ke dalam jiwanya," pikirnya dan
mulai berharap bahwa pada Minggu pagi yang akan datang dia mungkin bisa
mengucapkan kata-kata yang menyentuh dan membangkitkan perempuan yang dilihatnya
dari jauh dari dosa.
Rumah di sebelah Gereja Presbiterian itu, yang melalui jendela pendetanya
sudah melihat pemandangan yang membuatnya sangat sedih, ditempati oleh dua orang
perempuan. Bibi Elizabeth Swift, seorang janda yang tampak kelabu dengan tabungan
di Bank Nasional Winesburg, tinggal di sana bersama putrinya Kate Swift,
seorang guru sekolah. Guru sekolah itu berusia tiga puluh dan merupakan sosok
yang rapi. Dia memiliki sedikit teman dan memiliki reputasi memiliki lidah yang
tajam. Ketika dia mulai memikirkannya, Curtis Hartman ingat bahwa perempuan itu
pernah ke Eropa dan pernah tinggal selama dua tahun di New York. "Mungkin
merokok adalah hal biasa baginya," pikirnya. Dia mulai mengingat bahwa
ketika dia masih menjadi mahasiswa di perguruan tinggi dan sesekali membaca
novel, perempuan yang baik meskipun agak duniawi, juga merokok di
halaman-halaman buku yang pernah jatuh ke tangannya. Dengan tekad baru yang
terburu-buru dia mengerjakan khotbahnya sepanjang minggu dan melupakan, dalam
semangatnya untuk menjangkau telinga dan jiwa pendengar baru ini, baik rasa
malunya di mimbar maupun perlunya berdoa dalam ruang belajar pada hari Minggu
pagi.
Pengalaman Pendeta Hartman dengan perempuan agak terbatas. Dia adalah
putra pembuat gerobak dari Muncie, Indiana, dan sudah bekerja keras selama
kuliah. Putri dari pengusaha pakaian dalam tinggal di sebuah rumah tempat dia
tinggal selama masa sekolahnya dan dia menikahinya setelah resmi berpacaran
yang berkepanjangan, sebagian besar karena kemauan gadis itu sendiri. Pada hari
pernikahannya, sang pengusaha pakaian dalam memberi putrinya lima ribu dolar
dan dia berjanji untuk mewariskan setidaknya dua kali jumlah itu dalam surat
wasiatnya. Pendeta itu mengira dirinya beruntung dalam pernikahan dan tidak
pernah membiarkan dirinya memikirkan perempuan lain. Dia tidak ingin memikirkan
perempuan lain. Yang dia inginkan adalah melakukan pekerjaan Tuhan dengan
tenang dan sungguh-sungguh.
Dalam jiwa pendeta itu sebuah perjuangan terbangun. Dari ingin menjangkau
telinga Kate Swift, dan melalui khotbahnya untuk menyelidiki jiwanya, dia mulai
ingin juga melihat kembali sosok yang terbaring putih dan tenang di atas
ranjang. Pada suatu Minggu pagi ketika dia tidak bisa tidur karena pikirannya,
dia bangkit dan pergi berjalan-jalan di jalanan. Ketika dia menyusuri Main
Street hampir sampai Richmond, dia berhenti dan mengambil batu bergegas ke
kamar di menara lonceng. Dengan batu itu dia memecahkan salah satu sudut
jendela kemudian mengunci pintu dan duduk di depan meja di depan Alkitab yang
terbuka untuk menunggu. Ketika tirai jendela kamar Kate Swift dinaikkan, dia
bisa melihat, melalui lubang jendela, langsung ke tempat tidurnya, tapi Kate
tidak ada di sana.
Pendeta itu hampir menangis kegirangan karena selamat dari keinginan
duniawi untuk "mengintip" dan kembali ke rumahnya sendiri sambil
memuji Tuhan. Pada saat yang tidak tepat dia juga lupa, bagaimanapun, untuk
menghentikan lubang di jendela. Pecahan kaca di sudut jendela baru saja
menggigit tumit telanjang seorang anak laki-laki yang berdiri tak bergerak dan
menatap dengan mata nanar ke wajah Kristus.
Curtis Hartman lupa akan khotbahnya pada Minggu pagi itu. Dia berbicara
dengan jemaatnya dan dalam khotbahnya mengatakan bahwa adalah kesalahan bagi
orang untuk menganggap bahwa pendeta mereka sebagai orang yang diselamtakan dan
sudah ditakdirkan untuk menjalani kehidupan tanpa cela. "Dari
pengalaman saya sendiri, saya tahu bahwa kami, yang adalah pelayan firman
Tuhan, diliputi oleh godaan yang sama yang menggoda Anda," katanya.
"Saya pernah tergoda dan pernah menyerah pada godaan. Hanya tangan Tuhan,
ditempatkan di bawah kepala saya, yang sudah mengangkat saya. Karena Dia sudah mengangkat
saya, maka demikianlah juga Dia akan mengangkat Anda. Jangan putus asa. Di
saat-saat dosa mengalihkan pandangan Anda dari surga maka Anda juga akan
berulang kali diselamatkan."
Dengan tegas pendeta itu menyingkirkan pikiran tentang perempuan di
tempat tidur dari benaknya dan mulai menjadi seperti kekasih di hadapan
istrinya. Suatu malam ketika mereka berkendara bersama, dia membawa kudanya
keluar dari Buckeye Street dan dalam kegelapan di Gospel Hill, di atas
Waterworks Pond, merangkul pinggang Sarah Hartman. Ketika dia sudah sarapan
pagi dan siap untuk mengundurkan diri ke ruang kerjanya di belakang rumahnya,
dia pergi mengitari meja dan mencium pipi istrinya. Ketika pikiran tentang Kate
Swift muncul di kepalanya, dia tersenyum dan mengangkat matanya ke langit.
"Campur tanganlah untukku, Tuhan," dia bergumam, "pertahankan
aku di jalan sempit dengan niat pada pekerjaan-Mu."
Dan sekarang dimulailah perjuangan yang sesungguhnya dalam jiwa pendeta
berjanggut coklat itu. Secara kebetulan dia menemukan bahwa Kate Swift memiliki
kebiasaan berbaring di tempat tidurnya di malam hari dan membaca buku. Sebuah
lampu berdiri di atas meja di samping tempat tidur dan cahaya mengalir di atas
bahu putih dan tenggorokannya yang telanjang. Pada malam ketika dia menemukan hal
itu, pendeta itu duduk di meja di ruang berdebu itu dari pukul sembilan sampai
lewat pukul sebelas dan ketika lampu di kamar perempuan itu padam, dia bergegas
keluar dari gereja untuk menghabiskan dua jam lagi berjalan dan berdoa di
jalanan. Dia tidak ingin mencium bahu dan tenggorokan Kate Swift dan tidak
membiarkan pikirannya berkutat pada pikiran seperti itu. Dia tidak tahu apa
yang dia inginkan. "Aku anak Tuhan dan Dia akan menyelamatkanku dari diriku
sendiri," serunya, dalam kegelapan di bawah pepohonan saat dia berkeliaran
di jalanan. Di dekat pohon dia berdiri dan memandang ke langit yang tertutup
awan yang terburu-buru. Dia mulai berbicara dengan Tuhan secara intim dan
dekat. "Tolong, Bapa, jangan lupakan aku. Beri aku kekuatan untuk pergi
besok dan memperbaiki lubang di jendela. Angkat mataku lagi ke langit.
Tinggallah bersamaku, hamba-Mu, pada saat-saat aku sangat membutuhkannya."
Naik turun melewati jalanan yang sunyi pendeta itu berjalan dan selama
berhari-hari dan berminggu-minggu jiwanya menderita. Dia tidak bisa memahami
godaan yang sudah datang kepadanya dan dia juga tidak bisa memahami alasan
kedatangannya. Di satu sisi, dia mulai menyalahkan Tuhan, berkata pada dirinya
sendiri bahwa dia sudah mencoba untuk menjaga kakinya di jalan yang benar dan
tidak lari mencari dosa. "Selama hari-hariku sebagai seorang pemuda dan
sepanjang hidupku di sini, aku terus melakukan pekerjaanku," katanya.
"Kenapa sekarang aku harus tergoda? Apa yang sudah kulakukan sehingga
beban ini harus dibebankan kepadaku?"
Tiga kali selama awal musim gugur dan musim dingin tahun itu Curtis
Hartman keluar dari rumahnya ke kamar di menara lonceng untuk duduk dalam
kegelapan melihat sosok Kate Swift yang berbaring di tempat tidurnya dan
kemudian pergi untuk berjalan dan berdoa di jalanan. Dia tidak bisa memahami
dirinya sendiri. Selama berminggu-minggu dia pergi tanpa memikirkan guru
sekolah itu dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia sudah menaklukkan
keinginan duniawi untuk melihat tubuhnya. Kemudian sesuatu terjadi. Saat dia
duduk di ruang belajar di rumahnya sendiri, bekerja keras untuk menyampaikan
khotbah, dia menjadi gugup dan mulai berjalan mondar-mandir di ruangan itu.
"Aku akan keluar ke jalan," katanya pada dirinya sendiri dan bahkan
saat dia masuk ke pintu gereja, dia terus-menerus menyangkal dirinya sendiri
penyebab keberadaannya di sana. "Aku tidak akan memperbaiki lubang di
jendela dan aku akan melatih diriku untuk datang ke sini pada malam hari dan
duduk di hadapan perempuan itu tanpa mengangkat mataku. Aku tidak akan kalah
dalam hal ini. Tuhan sudah merancang godaan ini sebagai ujian bagi jiwaku dan aku
akan menemukan jalan keluar dari kegelapan menuju terang kebenaran."
Suatu malam di bulan Januari ketika cuaca sangat dingin dan salju
tergeletak di jalan-jalan Winesburg, Curtis Hartman melakukan kunjungan
terakhirnya ke kamar di menara lonceng gereja. Sudah lewat pukul sembilan
ketika dia meninggalkan rumahnya sendiri dan dia berangkat begitu tergesa-gesa
sehingga dia lupa memakai sepatu luarnya. Di Main Street tidak ada orang di
luar kecuali Hop Higgins penjaga malam dan di seluruh kota tidak ada yang
bangun kecuali penjaga itu dan George Willard muda, yang duduk di kantor
Winesburg Eagle mencoba menulis cerita. Di sepanjang jalan menuju gereja berjalan
pendeta itu, menembus salju dan berpikir bahwa kali ini dia akan benar-benar
memberi jalan kepada dosa. "Aku ingin melihat perempuan itu dan berpikir
untuk mencium pundaknya dan aku akan membiarkan diriku memikirkan apa yang akan
kupilih," katanya dengan pahit dan air mata berlinang di matanya. Dia
mulai berpikir bahwa dia akan keluar dari pelayanan dan mencoba cara hidup
lain. "Aku akan pergi ke suatu kota dan berbisnis," katanya. "Kalau
sifatku memang seperti itu sehingga aku tidak bisa menahan dosa, aku akan
menyerahkan diriku kepada dosa. Setidaknya aku tidak akan menjadi seorang
munafik, memberitakan firman Tuhan sementara pikiranku memikirkan bahu dan
leher seorang perempuan yang bukan milikku."
Di kamar menara lonceng gereja pada malam Januari itu dingin dan segera setelah
dia masuk ke kamar itu, Curtis Hartman tahu bahwa kalau dia tetap tinggal di
sana dia akan sakit. Kakinya basah karena menginjak salju dan tidak ada api. Di
kamar di rumah sebelah, Kate Swift belum muncul. Dengan tekad yang kuat, laki-laki
itu duduk menunggu. Duduk di kursi dan mencengkeram tepi meja tempat meletakkan
Alkitab, dia menatap ke dalam kegelapan sambil memikirkan pikiran-pikiran
paling gelap dalam hidupnya. Dia memikirkan istrinya dan untuk saat ini hampir
membencinya. "Dia selalu malu dengan gairah dan sudah menipuku,"
pikirnya. "Laki-laki berhak mengharapkan gairah dan keindahan yang hidup
dalam diri perempuan. Dia tidak berhak melupakan bahwa dia adalah binatang dan
di dalam diriku ada sesuatu yang bersifat Yunani2. Aku akan membuang
perempuan itu dari dadaku dan mencari perempuan lain. Aku akan menyerbu guru
sekolah itu. Aku akan terbang di hadapan semua orang dan kalau aku adalah
makhluk nafsu duniawi, maka aku akan hidup demi nafsuku."
Laki-laki yang sedang bimbang itu gemetar dari kepala hingga kaki,
sebagian karena kedinginan, sebagian karena pergumulan yang dilakukannya.
Berjam-jam berlalu dan demam melanda tubuhnya. Tenggorokannya mulai sakit dan
giginya bergemeretak. Kakinya di lantai ruang kerja terasa seperti dua kue dari
es. Tetap saja dia tidak menyerah. "Aku akan melihat perempuan ini dan
akan memikirkan pikiran-pikiran yang tidak pernah berani kupikirkan,"
katanya pada dirinya sendiri, mencengkeram tepi meja dan menunggu.
Curtis Hartman hampir mati karena cuaca malam itu menunggu di gereja, dia
juga menemukan dalam hal itu sesuatu yang dia anggap sebagai cara hidup
baginya. Pada malam-malam lain ketika dia menunggu, dia tidak bisa melihat,
melalui lubang kecil di kaca, bagian mana pun dari kamar guru sekolah itu kecuali
yang ditempati oleh tempat tidurnya. Dalam kegelapan dia menunggu sampai perempuan
itu tiba-tiba muncul duduk di tempat tidur dengan jubah tidur putihnya. Ketika
lampu dinyalakan, dia menyandarkan dirinya di antara bantal dan membaca buku.
Terkadang dia menghisap salah satu batang rokok. Cuma bahu dan tenggorokannya
yang terlihat.
Pada malam di bulan Januari itu, setelah dia hampir mati karena
kedinginan dan setelah pikirannya dua atau tiga kali benar-benar menyelinap ke
negeri fantasi yang aneh sehingga dia melakukan latihan kekuatan untuk memaksa
dirinya kembali ke kesadaran, Kate Swift muncul. Di kamar sebelah, sebuah lampu
dinyalakan dan laki-laki yang menunggu itu menatap ke tempat tidur kosong.
Kemudian di atas tempat tidur di depan matanya seorang perempuan telanjang
melemparkan dirinya sendiri. Berbaring telungkup dia menangis dan memukul
dengan tinjunya di atas bantal. Dengan luapan tangis terakhir dia setengah
bangkit, dan di hadapan laki-laki yang sudah menunggu untuk melihatnya, dan tanpa
berpikir dua kali perempuan pendosa itu mulai berdoa. Dalam cahaya lampu
sosoknya, yang langsing dan kuat, tampak seperti sosok anak laki-laki di
hadapan Kristus di jendela berkaca patri.
Curtis Hartman tidak pernah ingat bagaimana dia keluar dari gereja.
Dengan sebuah teriakan dia bangkit, menyeret meja yang berat itu ke lantai.
Alkitab jatuh, membuat suara gemerincing dalam keheningan. Ketika lampu di
rumah sebelah padam, dia tersandung menuruni tangga dan keluar ke jalan.
Sepanjang jalan dia pergi dan berlari masuk ke pintu Winesburg Eagle. Kepada
George Willard, yang berjalan mondar-mandir di kantor dengan masalahnya sendiri,
dia mulai berbicara tidak jelas. "Jalan Tuhan berada di luar pemahaman
manusia," serunya, berlari dengan cepat dan menutup pintu. Dia mulai
mendekati pemuda itu, matanya bersinar dan suaranya nyaring penuh semangat.
"Aku sudah menemukan cahaya," serunya. "Setelah sepuluh tahun di
kota ini, Tuhan sudah memanifestasikan dirinya kepadaku dalam tubuh seorang perempuan."
Suaranya menurun dan dia mulai berbisik. "Aku tidak mengerti,"
katanya. "Apa yang kuanggap sebagai ujian jiwa bagiku hanyalah persiapan
untuk semangat baru dan lebih indah dari roh. Tuhan sudah menampakkan diri
kepadaku dalam pribadi Kate Swift, guru sekolah itu, yang berlutut telanjang di
atas tempat tidur. Apakah kau kenal Kate Swift? Meskipun dia mungkin tidak
menyadarinya, dia adalah alat Tuhan, membawa pesan kebenaran."
Pendeta Curtis Hartman berbalik dan berlari keluar kantor. Di pintu dia
berhenti, dan setelah melihat ke atas dan ke bawah di jalan yang sepi, berbalik
lagi kepada George Willard. "Aku sudah dibebaskan. Jangan takut." Dia
mengacungkan tinju yang berdarah untuk dilihat pemuda itu. "Aku memecahkan
kaca jendela," serunya. "Sekarang itu harus diganti semuanya.
Kekuatan Tuhan ada di dalam diriku dan aku memecahkannya dengan tanganku."
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
1 Gereja Presbiterian: salah satu denominasi dalam
Kristen Protestan. Dari segi doktrin dan ajaran, Presbiterian mengikuti
ajaran-ajaran Yohanes Calvin, Reformator dari Prancis. Tapi secara kelembagaan
ajaran Presbiterian dimulai oleh John Knox di Skotlandia, salah seorang murid
Calvin yang paling terkenal, pada abad ke-16.
2 Sesuatu yang
bersifat Yunani: sesuatu yang sulit dipahami.

Comments
Post a Comment