Inanna Dan Ebih (Mitologi Sumeria)
Di surga
dan di bumi, Inanna mengaum seperti singa dan menyebabkan kehancuran. Seperti
banteng liar yang besar, dia menaklukkan negeri-negeri musuh-musuhnya. Seperti
singa yang menakutkan, dia menaklukkan orang-orang yang memberontak dan yang
tidak mau tunduk dengan kepahitanmu.
Inanna --
saat dia memperoleh kedudukan surgawi, saat dia menjadi semegah bumi, saat dia
muncul seperti sang raja Utu dan merentangkan tanganmu lebar-lebar, saat dia
berjalan di surga dan mengenakan kengerian yang menakutkan, saat dia mengenakan
cahaya siang dan kecemerlangan di bumi, saat dia berjalan di pegunungan dan
memancarkan sinar yang gemilang, saat dia memandikan tanaman girin di
pegunungan dengan cahaya, saat dia melahirkan gunung yang cemerlang, tempat
suci, saat dia menjadi kuat dengan gada, saat dia gembira, saat dia penuh
semangat, saat dia bersuka ria dalam pertempuran seperti senjata yang merusak
-- orang-orang berkepala hitam berkumandang dalam lagu dan seluruh negeri
menyanyikan lagu mereka dengan merdu.
Orang-orang
memuji sang putri pertempuran, putri agung Suen, gadis Inanna.
Inanna
berkata, "Ketika aku, sang dewi, berjalan-jalan di surga dan di bumi,
ketika aku, Inanna, berjalan-jalan di Elam dan Subir, ketika aku berjalan-jalan
di pegunungan Lulubi, ketika aku berbalik ke arah pusat pegunungan, ketika aku,
Inanna, mendekatinya, gunung itu tidak menunjukkan rasa hormat kepadaku, ketika
aku mendekati jajaran pegunungan Ebih, dia tidak menunjukkan rasa hormat
kepadaku.”
"Karena dia tidak memperlihatkan rasa hormat kepadaku, karena dia tidak menundukkan kepala kepadaku, karena dia tidak menggosokkan bibirnya ke debu kepadaku, maka aku sendiri yang akan memenuhi pegunungan yang menjulang tinggi itu dengan kengerianku.”
"Di
sisi-sisinya yang perkasa akan kutempatkan pelantak-pelantak yang besar, di
sisi-sisinya yang kecil akan kutempatkan pelantak-pelantak yang kecil. Aku akan
menyerbunya dan memulai 'permainan' suci Inanna. Di pegunungan akan kumulai
pertempuran dan menyiapkan peperangan.”
"Aku
akan menyiapkan anak panah di tabung anak panahku. Aku akan melempar batu
dengan tali ketapelku. Aku akan memoles tombakku. Aku akan menyiapkan tongkat
lempar dan perisaiku.”
"Aku
akan membakar hutan lebatnya. Aku akan menghunus kapak untuk menghancurkan
kejahatannya. Aku akan membuat Gibil, sang dewa api, memamerkan giginya yang
suci di aliran airnya. Aku akan menyebarkan kengerian ini ke seluruh pegunungan
Aratta yang tak terjangkau.”
"Seperti
kota yang dikutuk An, kota itu tidak pernah dipulihkan. Seperti kota yang tidak
disukai Enlil, kota itu tidak pernah lagi mengangkat kepalanya. Gunung itu akan
bergetar saat aku mendekat. Ebih akan memberiku kehormatan dan memujiku."
Inanna,
putri Suen, mengenakan pakaian bangsawan dan mengikat pinggangnya dengan
sukacita. Dia menghiasi dahinya dengan kengerian dan cahaya yang menakutkan.
Dia menata mawar-mawar cornelian di sekeliling lehernya yang suci. Dia
mengacungkan senjata cita berkepala tujuh dengan kuat ke kanan
dan memasang tali-tali lapis lazuli di kakinya.
Saat
senja tiba, dia keluar dengan anggun dan menyusuri jalan setapak menuju Gerbang
Keajaiban. Dia memberikan persembahan kepada An dan memanjatkan doa kepadanya.
An, yang gembira melihat Inanna, melangkah maju dan mengambil tempatnya. Dia
menduduki kursi kehormatan surga.
Inanna
berkata, "An, ayahku, aku menyapamu! Dengarkanlah kata-kataku. Kau sudah
membuatku menakutkan di antara para dewa di surga. Berkat kau, kata-kataku
tidak ada tandingannya di surga maupun di bumi. Kau sudah memberiku senjata cilig,
lambang antibal dan mansium.”
"Untuk
menempatkan alas pada posisinya dan membuat takhta dan pondasinya kokoh, untuk
membawa kekuatan senjata cita yang melengkung seperti pohon mubum,
untuk menahan tanah dengan kuk enam lapis, untuk meluruskan paha dengan kuk
empat lapis, untuk melakukan serangan mematikan dan peretempuran yang luas,
untuk tampil di hadapan raja-raja di surga seperti cahaya bulan, untuk
menembakkan anak panah dari lengan dan jatuh di ladang, kebun buah dan hutan
seperti gigi belalang, untuk membawa garu ke tanah pemberontak, untuk
melepaskan kunci dari gerbang kota mereka sehingga pintunya terbuka -- Raja An,
kau sudah memberiku semua ini.”
"Kau
sudah memberiku kekuatan senjata untuk cita untuk menghancurkan
negeri-negeri pemberontak. Semoga dia, dengan bantuanku, menghancurkan musuh
seperti burung elang di pegunungan, Raja An, semoga aku membuat namamu mengalun
di seluruh negeri seperti benang.”
"Semoga
dia menghancurkan tanah seperti ular di celah. Semoga dia membuat mereka melata
seperti ular sajkal yang turun dari gunung. Semoga dia menguasai gunung,
memeriksanya, dan mengetahui panjangnya. Semoga dia pergi berperang suci atas
nama An dan mengetahui kedalamannya.”
"Ketika
aku, sang dewi, berjalan-jalan di surga dan di bumi, ketika aku, Inanna,
berjalan-jalan di Elam dan Subir, ketika aku berjalan-jalan di pegunungan
Lulubi, ketika aku berbalik ke arah pusat pegunungan, ketika aku, Inanna,
mendekatinya, gunung itu tidak menunjukkan rasa hormat kepadaku, ketika aku
mendekati jajaran pegunungan Ebih, dia tidak menunjukkan rasa hormat kepadaku.”
"Bagaimana
mungkin gunung itu tidak takut padaku di surga dan di bumi, bagaimana mungkin
pegunungan Ebih tidak takut padaku, Inanna, di surga dan di bumi? Karena dia
tidak memperlihatkan rasa hormat kepadaku, karena dia tidak menundukkan kepala
kepadaku, karena dia tidak menggosokkan bibirnya ke debu kepadaku, biarlah aku
memenuhi pegunungan yang menjulang tinggi itu dengan kengerianku.”
"Di
sisi-sisinya yang perkasa akan kutempatkan pelantak-pelantak yang besar, di
sisi-sisinya yang kecil akan kutempatkan pelantak-pelantak yang kecil. Aku akan
menyerbunya dan memulai 'permainan' suci Inanna. Di pegunungan akan kumulai
pertempuran dan menyiapkan peperangan.”
"Aku
akan menyiapkan anak panah di tabung anak panahku. Aku akan melempar batu
dengan tali ketapelku. Aku akan memoles tombakku. Aku akan menyiapkan tongkat
lempar dan perisaiku.”
"Aku
akan membakar hutan lebatnya. Aku akan menghunus kapak untuk menghancurkan
kejahatannya. Aku akan membuat Gibil, sang dewa api, memamerkan giginya yang
suci di aliran airnya. Aku akan menyebarkan kengerian ini ke seluruh pegunungan
Aratta yang tak terjangkau.”
"Seperti
kota yang dikutuk An, kota itu tidak pernah dipulihkan. Seperti kota yang tidak
disukai Enlil, kota itu tidak pernah lagi mengangkat kepalanya. Gunung itu akan
bergetar saat aku mendekat. Ebih akan memberiku kehormatan dan memujiku."
An, raja
para dewa, menjawabnya, "Anakku, kau ingin menghancurkan gunung itu –
apakah kau tahu apa yang kau lakukan? Inanna, kau ingin menghancurkan gunung
itu – apakah kau tahu apa yang kau lakukan?”
"Gunung
itu sudah menebarkan kengerian yang menakutkan di tempat tinggal para dewa. Dia
sudah menyebarkan ketakutan di tempat tinggal suci para dewa Anunna. Dia sudah
menumpahkan kengerian dan keganasannya di tanah ini. Dia sudah menumpahkan
cahaya pegunungan dan ketakutan di seluruh negeri. Kesombongannya membentang
dengan angkuh hingga ke pusat surga.”
"Buah-buahan
tergantung di kebunnya yang subur dan kemewahan menyebar. Pohon-pohonnya yang
megah sendiri merupakan sumber keajaiban bagi akar surga. Di Ebih, singa
berlindung di bawah kanopi pohon dan cabang-cabang yang cerah. Di sana, domba
jantan dan rusa liar berlimpah dengan bebas. Di sana, berdiri banteng liar di
rerumputan yang subur. Rusa berpasangan di antara pohon-pohon cemara di
pegunungan.”
"Kau
tidak akan bisa melewati kengerian dan ketakutannya. Cahaya pegunungan itu
menakutkan. Gadis Inanna, kau tidak akan bisa melawannya."
Sang
gadis, dalam kemarahan dan kemurkaannya, membuka gudang senjata dan mendorong
gerbang lapis lazuli itu. Dia melancarkan pertempuran hebat dan memanggil badai
besar. Inanna yang suci meraih tabung panahnya. Dia mengangkat banjir besar
dengan lumpur jahat. Dia membangkitkan angin kencang yang mengamuk dengan
pecahan tembikar.
Inanna
berdiri di depan gunung yang perkasa itu. Dia maju selangkah demi selangkah.
Dia menajamkan kedua sisi belatinya. Dia mencengkeram leher Ebih seolah-olah
sedang mencabut rumput esparto. Dia menekan gigi belati itu ke bagian dalamnya.
Dia meraung seperti guntur.
Ebih,
gunung yang angkuh, melawan balik dengan ganas. Batu-batu yang membentuk
tubuhnya berdenting di sisi-sisinya. Dari sisi-sisi dan celah-celahnya
ular-ular besar menyemburkan racun. Tapi, kemarahan Inanna tidak terbendung.
Dia mengutuk hutan-hutannya dan pohon-pohonnya. Dia membunuh pohon-pohon eknya
dengan kekeringan. Dia menuangkan api di sisi-sisinya dan membuat asapnya
pekat. Sang dewi menegakkan kekuasaan atas gunung itu. Inanna yang suci
melakukan apa yang dia inginkan.
Dia pergi
ke pegunungan Ebih dan berkata kepada mereka, "Pegunungan, karena
keagunganmu, karena perawakanmu, karena daya tarikmu, karena kecantikanmu,
karena pakaianmu yang kudus, karena kau menjulang ke langit, karena kau tidak
menundukkan kepala ke tanah, karena kau tidak menggosok bibirmu ke dalam debu,
aku sudah membunuhmu dan merendahkanmu.”
"Seperti
gajah, aku sudah mencengkeram gadingmu. Seperti banteng liar, aku sudah
menjatuhkanmu ke tanah dengan tandukmu yang tebal. Seperti banteng, aku sudah
memaksa kekuatanmu yang besar ke tanah dan mengejarmu dengan ganas. Sekarang,
air mata mengalir di matamu, dan hatimu penuh dengan kesedihan. Aku sudah
menaruh ratapan di hatimu. Burung-burung kesedihan bersarang di
reruntuhanmu."
Untuk
kedua kalinya, bersukacita dalam kengeriannya yang menakutkan, dia berbicara
dengan tegas, "Ayahku Enlil sudah mencurahkan kengerianku yang hebat di
atas pusat pegunungan ini. Di sisi kananku dia sudah meletakkan senjata. Di
sisi kiriku ditempatkannya senjata yang lain. Kemarahanku, garu dengan gigi
besar, sudah menghancurkan gunung ini.”
"Aku
sudah membangun istana dan melakukan banyak hal lainnya. Aku sudah mendirikan
singgasana dan membuat pondasinya kokoh. Aku sudah memberikan belati dan
tongkat pemukul kepada para pemain kurjara. Aku sudah memberikan
genderang ub dan lilis kepada para pemain gala. Aku
sudah mengganti penutup kepala para pemain pilipili.”
"Dalam
kemenanganku, aku menyerbu ke arah gunung. Dalam kemenanganku, aku menyerbu ke
arah Ebih, sang pegunungan. Aku maju seperti banjir yang bergelora, dan seperti
air yang naik, aku meluapi bendungan. Aku memaksakan kehendakku padamu, Ebih.
Kemenanganku sudah lengkap."
Karena
sudah menghancurkan Ebih, putri sulung Suen, dan gadis Inanna, terpujilah dia.
Terpujilah
Nisaba.
***
Kalau Anda menyukai kisah mitologi ini, Anda mungkin ingin membaca kisah mitologi Sumeria lainnya di sini.
***

Comments
Post a Comment