Ketika Orang-Orang Yahudi Pindah Agama (The Conversion of the Jews ~ Philip Roth)
“Kau yang nyata-nyata membuka mulutmu duluan,” kata Itzie. “Buat apa kau bicara?”
“Aku tidak memulainya, Itz, tidak,” kata Ozzie.
“Apa yang kau pedulikan soal Yesus Kristus?”
“Aku tidak bicara soal Yesus Kristus. Dia yang melakukannya. Aku bahkan tidak tahu apa yang dia bicarakan. Yesus adalah sejarah, katanya. Yesus adalah sejarah.” Ozzie menirukan suara khas Rabi Binder.
“Yesus adalah orang biasa seperti kau dan aku,” lanjut Ozzie. “Itu yang Binder bilang--”
"Yeah? Lalu kenapa! Apa pentingnya pendapatku soal apakah Dia hidup atau tidak. Dan kenapa kau harus membuka mulutmu!” Itzie Lieberman memilih menutup mulutnya, terutama ketika membahas pertanyaan Ozzie Freedman. Nyonya Freedman harus menemui Rabi Binder dua kali sebelumnya membahas soal pertanyaan Ozzie itu dan Rabu ini jam setengah lima akan menjadi yang ketiga kalinya. Itzie lebih
suka membiarkan ibunya tetap di dapur; dia lebih suka respon yang halus
seperti gestur, raut wajah, geraman, dan nada suara yang tidak kasar.
“Dia benar-benar manusia, Yesus, tapi dia tidak seperti Tuhan, dan kita tidak percaya bahwa
dia adalah Tuhan.” Pelan-pelan, Ozzie menjelaskan posisi Rabi Binder kepada Itzie, yang tidak masuk Sekolah Ibrani sore sebelumnya.
“Orang Katolik,” kata Itzie putus asa, “mereka percaya kepada Yesus Kristus, bahwa dia
adalah Tuhan.” Itzie Lieberman menggunakan kata “orang Katolik” dalam arti yang luas --termasuk orang Protestan.
Ozzie menerima komentar Itzie dengan anggukan kecil, menganggapnya seolah-olah catatan kaki, dan melanjutkan.
“Ibunya Maria, dan ayahnya mungkin Yusuf,” kata Ozzie. “Tapi
Perjanjian Baru bilang bahwa ayah kandungnya adalah Tuhan.”
“Ayah kandungnya?”
“Ya,” kata Ozzie, “itulah masalahnya, seharusnya ayahnya adalah Tuhan.”
"Omong kosong."
“Itulah yang dikatakan Rabi Binder, bahwa itu mustahil--”
“Tentu saja itu tidak mungkin. Semua itu omong kosong. Untuk punya bayi kau harus bercinta," Itzie berteori. “Maria harus bercinta.”
“Itu yang Binder bilang: ‘Satu-satunya cara seorang perempuan bisa punya bayi adalah dengan melakukan hubungan intim
dengan seorang laki-laki.’”
“Dia bilang begitu, Ozz?” Untuk sesaat sepertinya Itzie mengesampingkan
pertanyaan teologisnya. "Dia bilang begitu, berhubungan intim?” Senyum kecil terbit di bagian bawah wajah Itzie seperti kumis merah jambu1. “Apa yang kalian lakukan, Ozz, kau tertawa atau apa?”
“Aku mengangkat tanganku.”
"Ya? Apa yang kau katakan?”
“Saat itulah aku menanyakan pertanyaan itu.”
Wajah Itzie berseri-seri. “Apa yang kau tanyakan soal --berhubungan intim?”
“Bukan, aku bertanya soal Tuhan, bagaimana kalau Dia bisa menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari, dan menciptakan semua hewan dan ikan dan cahaya dalam enam hari --cahaya terutama, itu yang selalu membuatku bingung, bahwa Dia bisa menciptakan cahaya. Menciptakan ikan dan hewan, itu cukup hebat--“
“Itu sangat hebat.” tanggapan Itzie jujur tapi kurang imajinatif: seolah-olah Tuhan baru saja menahan satu pukulan2.
“Tapi menciptakan cahaya....
Maksudku ketika kau memikirkan hal itu, itu benar-benar sesuatu," kata Ozzie. “Pokoknya, aku bertanya pada Binder kalau Dia bisa membuat semua itu dalam enam hari, dan Dia bisa memilih enam hari entah dari mana, kenapa Dia tidak bisa membuat seorang perempuan punya bayi
tanpa melakukan hubungan intim.”
“Kau bilang hubungan
intim, Ozz, ke Binder?”
"Ya."
“Di kelas?”
"Iya."
Itzie memukul samping kepalanya.
“Maksudku, tanpa bercanda,” kata Ozzie, “itu bukan apa-apa. Setelah semua hal lainnya, itu benar-benar bukan apa-apa."
Itzie berpikir sejenak. “Apa yang Binder katakan?”
“Dia mulai menjelaskan lagi
bagaimana Yesus adalah sejarah
dan bagaimana dia hidup seperti kau dan aku, tapi dia bukan Tuhan. Aku bilang aku
mengerti itu. Apa yang aku ingin tahu bukan itu.”
Apa yang Ozzie ingin tahu selalu berbeda. Pertama dia ingin tahu bagaimana Rabi Binder bisa menyebut orang Yahudi sebagai “Orang Yang Terpilih” kalau Deklarasi Kemerdekaan3 menyebut semua manusia diciptakan setara. Rabi Binder mencoba untuk menjelaskan kepadanya perbedaan antara kesetaraan politik dan legitimasi spiritual,
tapi apa yang Ozzie ingin tahu, dia bersikeras keras, berbeda.
Itu adalah kali pertama ibunya harus datang ke sekolah.
Lalu ada kecelakaan pesawat. Lima puluh delapan orang tewas dalam
kecelakaan pesawat di La Guardia. Ketika membaca daftar
korban di surat kabar ibunya menemukan di dalam daftar korban meninggal ada delapan nama Yahudi (neneknya menemukan sembilan tapi dia menghitung Miller sebagai nama Yahudi);
karena delapan nama itu dia menyebut kecelakaan itu adalah “tragedi.” Selama jam diskusi bebas pada hari Rabu Ozzie menarik perhatian Rabi Binder soal “beberapa anggota keluarganya” selalu memeriksa nama-nama Yahudi. Rabi Binder
mulai menjelaskan percampuran kebudayaan dan beberapa hal lain ketika Ozzie berdiri di
kursinya dan berkata bahwa apa yang dia ingin tahu berbeda. Rabi Binder memaksanya untuk duduk kembali dan saat itulah Ozzie berteriak bahwa dia berharap lima puluh delapan orang itu semuanyaYahudi.
Itu adalah kali kedua ibunya datang ke sekolah.
“Dan dia terus menjelaskan tentang Yesus yang sejarah, jadi aku juga terus bertanya kepadanya. Tidak main-main, Itz, dia berusaha untuk membuatku terlihat bodoh.”
“Jadi apa yang akhirnya dilakukannya?”
“Akhirnya dia mulai berteriak bahwa aku sengaja berpikir sederhana dan
pura-pura bijaksana, dan ibuku harus datang ke sekolah, dan itu akan menjadi yang
terakhir. Dan aku tidak akan mendapatkan bar-mitzvah4 kalau dia tidak bisa
menyelesaikan masalah itu. Lalu, Itz, lalu dia mulai bicara dengan suara seperti patung, benar-benar lambat dan dalam, dan dia bilang bahwa aku sebaiknya
memikirkan apa yang sudah kukatakan soal Tuhan. Dia bilang kepadaku untuk datang ke kantornya dan memikirkan hal itu.” Ozzie mencondongkan tubuhnya ke arah Itzie. “Itz, kupikir itu lebih dari satu jam, dan sekarang aku yakin Tuhan bisa
melakukannya.”
Ozzie sudah berencana untuk mengakui kesalahannya kepada ibunya setelah dia pulang kerja. Tapi waktu itu Jumat malam di bulan
November dan sudah gelap, dan ketika Nyonya Freedman datang dia langsung melemparkan mantelnya, mencium Ozzie sekilas di wajahnya, dan pergi ke meja dapur untuk menyalakan tiga
lilin kuning, dua untuk Hari Sabat dan satu untuk ayah Ozzie.
Ketika ibunya menyalakan lilin dia menggerakkan kedua tangannya perlahan ke arahnya, menariknya
di udara, seolah-olah membujuk orang-orang yang masih bimbang. Dan matanya akan berkaca-kaca.
Bahkan ketika ayahnya masih hidup Ozzie ingat bahwa mata ibunya sudah berkaca-kaca, jadi tidak ada hubungannya dengan kematian ayahnya. Itu justru berhubungan dengan menyalakan lilin.
Ketika dia menyentuhkan korek yang menyala ke sumbu hitam lilin Sabat, telepon berdering, dan Ozzie,
berdiri dekat telepon, menerimanya dan memegangnya
di dadanya. Ketika ibunya menyalakan lilin Ozzie merasa
seharusnya tidak ada suara; bahkan suara nafas, kalau kau bisa mengaturnya, harus pelan. Ozzie menekan gagang telepon ke dadanya dan melihat ibunya menarik apapun yang sedang ditariknya, dan dia merasa matanya sendiri mulai berkaca-kaca. Ibunya adalah seorang perempuan bulat, lelah, berambut abu-abu penguin yang kulit abu-abunya mulai terkena efek gravitasi dan beban sejarahnya sendiri. Bahkan ketika dia berdandan dia tampak seperti orang yang dipilih. Tapi ketika
dia menyalakan lilin dia tampak seperti sesuatu yang lebih baik; seperti perempuan yang untuk sejenak tahu bahwa Tuhan bisa melakukan apa saja.
Setelah beberapa menit yang
misterius dia akhirnya selesai. Ozzie menutup telepon dan berjalan ke
meja dapur tempat ibunya mulai
menyusun dua tempat untuk empat hidangan hari Sabat. Dia berkata bahwa ibunya harus menemui Rabi Binder hari Rabu besok jam setengah lima, lalu dia menceritakan alasannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup dia memukul Ozzie tepat di wajah dengan tangannya.
Di antara cincangan hati dan sup ayam untuk makan malam Ozzie menangis; dia sudah kehilangan nafsu makannya.
Hari Rabu, di ruang paling besar di sekolah tiga tingkat
sinagoga itu, Rabi Marvin Binder, laki-laki tinggi, tampan, dan berdada bidang berumur tiga puluh dengan rambut hitam tebal, mengambil arloji dari sakunya dan melihat bahwa saat itu pukul empat. Di belakang ruangan itu Yakov Blotnik, pengawas berumur tujuh puluh satu, pelan-pelan memoles jendela besar, bergumam kepada dirinya sendiri, tidak bisa membedakan apakah saat
itu pukul empat atau pukul
enam, hari Senin atau Rabu. Buat kebanyakan siswa gumaman Yakov Blotnik, dan jenggot coklat keritingnya, hidung betetnya, dan dua kucing hitam yang selalu mengikuti di kakinya, membuatnya menjadi figur yang ajaib, orang asing, relik, yang kepadanya mereka
takut dan tidak hormat. Buat Ozzie gumaman itu tampak monoton, memancing rasa ingin tahunya; dan yang membuatnya penasaran
adalah Blotnik tua itu bergumam terus selama bertahun-tahun, Ozzie menduga bahwa dia menghafal doanya dan
melupakan Tuhannya.
“Sekarang waktunya diskusi bebas,” kata Rabi Binder. “Jangan ragu untuk bicara soal masalah Yahudi apa saja --agama, keluarga, politik, olahraga--”
Lalu hening. Saat itu adalah sore di bulan
November yang mendung dan berangin dan rasanya tidak ada atau tidak
mungkin ada yang namanya bisbol. Jadi tidak ada yang minggu ini menceritakan sepatah kata pun tentang pahlawan dari masa
lalu, Hank Greenberg5 --yang membuat diskusi bebas itu jadi terbatas.
Dan jiwa pemukul Ozzie Freedman yang baru diumpan oleh Rabi Binder mulai menembus batasannya. Ketika tiba giliran Ozzie untuk membaca kitab Ibrani dengan lantang Sang Rabi bertanya kesal kenapa dia tidak membaca lebih cepat. Dia tidak menunjukkan kemajuan. Ozzie berkata bahwa dia bisa membaca lebih cepat tapi kalau dia melakukannya dia yakin dia tidak akan mengerti apa yang dia baca. Begitupun, ketika Sang Rabi mengulangi permintaannya Ozzie mencoba, dan menunjukkan bakat besar, tapi
di tengah-tengah bacaan yang panjang dia berhenti dan berkata bahwa dia tidak
mengerti sepatah kata pun yang
dibacanya, dan mengulanginya lagi dengan kecepatan yang lebih lambat. Lalu muncullah jiwa pemukul
itu.
Akibatnya ketika waktu diskusi
bebas bergulir tidak ada siswa yang merasa bebas. Ajakan Sang
Rabi hanya dijawab oleh gumaman lemah Blotnik tua.
“Apakah tidak ada yang ingin kalian bahas?” tanya Rabi Binder lagi, melihat arlojinya. “Tidak ada pertanyaan atau
komentar?”
Ada gerundel pelan dari baris ketiga. Rabi meminta Ozzie berdiri dan membagikan pemikirannya kepada teman-teman sekelasnya.
Ozzie berdiri. “Aku sudah lupa,” katanya, dan duduk lagi di tempatnya.
Rabi Binder maju satu kursi di depan Ozzie dan menyandarkan tubuhnya di tepi meja. Itu meja Itzie dan tubuh Sang Rabi cuma berjarak satu belati dari
wajahnya yang membentaknya untuk memperhatikan.
“Berdiri lagi, Oscar,” kata Rabi Binder dengan tenang, “dan cobalah untuk merangkai pikiranmu.”
Ozzie berdiri. Semua teman sekelasnya berbalik di kursi mereka masing-masing dan melihatnya menunjukkan kerut tidak yakin di dahinya.
“Aku tidak bisa merangkai apapun,” katanya, dan
mengempaskan dirinya ke kursi.
“Berdiri!” Rabi Binder pindah
dari meja Itzie langsung ke meja di depan Ozzie; ketika Sang Rabi berbalik Itzie menaruh kelima jarinya di hidungnya, memicu timbulnya kekek kecil di dalam kelas. Rabi Binder terlalu serius
mengejar omong kosong Ozzie untuk repot memperhatikan suara kekek
itu. “Berdiri, Oscar. Kau mau bertanya soal apa?”
Ozzie menarik satu kata dari udara. Itu kata yang sederhana. "Agama."
“Oh, sekarang kau ingat?”
"Iya."
"Apa pertanyaannya?"
Terjebak, Ozzie mengeluarkan hal pertama yang hinggap di kepalanya. “Kenapa Dia tidak bisa membuat sesuatu yang Dia mau buat!”
Ketika Rabi Binder bersiap menjawab, jawaban terakhir, Itzie, sepuluh kaki di belakangnya, mengangkat satu jari di tangan kirinya, memberikan isyarat itu dengan sepenuh hati di belakang Sang Rabi, dan membuat seluruh kelas meledak dalam tawa.
Binder berbalik cepat untuk melihat apa yang terjadi dan di
tengah-tengah keributan itu Ozzie meneriakkan di belakang Sang Rabi apa yang dia tidak bisa teriakkan di depan wajahnya. Itu adalah suara yang keras dan datar dengan nada seperti sesuatu yang dipendam selama enam hari.
"Kau tidak tahu! Kau tidak tahu apa-apa soal Tuhan!”
Sang Rabi berbalik kembali ke arah Ozzie. "Apa?"
“Kau tidak tahu --kau tidak--”
“Minta maaf, Oscar, minta
maaf!” Itu adalah sebuah ancaman.
"Kau tidak--"
Tangan Rabi Binder meluncur ke pipi Ozzie. Mungkin dia cuma bermaksud untuk membuat anak itu tutup mulut, tapi
Ozzie merunduk dan telapak tangan itu jatuh tepat di hidungnya.
Darah langsung mengucur, noda merah tumpah di baju Ozzie.
Berikutnya adalah kebingungan.
Ozzie berteriak, “Kau bajingan, kau bajingan!” dan membanting pintu kelas. Rabi Binder melangkah mundur, seolah-olah darahnya sendiri mulai mengalir keras ke arah
yang berlawanan, lalu dengan susah-payah maju dan melesat keluar pintu mengejar Ozzie. Seluruh kelas mengikuti jubah biru Sang Rabi, dan sebelum Blotnik tua berbalik dari jendela, ruangan itu kosong dan
semua orang dengan kecepatan penuh mendaki tiga tangga yang menuju ke atap.
Kalau orang harus membandingkan cahaya
dengan hidup manusia: matahari terbit dengan kelahiran; matahari terbenam --yang turun di cakrawala-- dengan
kematian; maka tubuh Ozzie Freedman yang bergoyang-goyang di pintu atap sinagoga, kakinya yang menendang ke belakang tangan terentang Rabi Binder seperti
kuda-- membuat hari itu seperti berumur lima puluh. Sebagai acuannya, lima puluh atau lima puluh lima menggambarkan dengan akurat umur sore hari di bulan November, karena pada bulan itu, selama jam-jam itu, kesadaran seseorang akan cahaya tampaknya bukan lagi soal melihat, tapi pendengaran: cahaya tinggal satu klik lagi. Bahkan, ketika Ozzie mengunci pintu di depan wajah Sang Rabi, suara klik gerendel ke lubangnya untuk sesaat mungkin dianggap suara abu-abu gelap yang baru berdenyut di langit.
Dengan seluruh berat tubuhnya Ozzie berlutut di pintu yang terkunci itu; untuk sesaat dia yakin bahwa bahu Rabi Binder akan melemparkan pintu itu terbuka, membelah kayunya menjadi serpihan dan melemparkan tubuhnya ke langit. Tapi pintu
itu tidak bergerak dan di bawah dia hanya mendengar gemuruh langkah kaki, pertama keras lalu redup, seperti guntur yang
bergulir pergi.
Sebuah pertanyaan muncul di otaknya. “Apakah ini aku?” Untuk seorang bocah berumur tiga belas yang baru saja menyebut pemimpin agamanya bajingan, dua kali, itu bukan pertanyaan yang tidak
tepat. Pertanyaan itu muncul lagi lebih keras dan lebih keras di kepalanya --“Apakah ini aku? Apakah ini aku?"-- sampai dia menemukan dirinya tidak lagi berlutut, tapi berlari menuju tepi atap, matanya basah, tenggorokannya berteriak, dan tangannya terbang seolah itu bukan tangannya sendiri.
"Apakah ini aku? Apakah ini aku AKU AKU AKU! Ini pasti aku --tapi apa iya!”
Itu adalah sebuah pertanyaan yang harus ditanyakan
seorang pencuri kepada dirinya sendiri di malam dia membongkar jendela pertamanya, dan itu kata orang-orang adalah
pertanyaan yang ditanyakan seorang pengantin laki-laki kepada dirinya sendiri di depan altar.
Dalam beberapa detik yang
liar butuh seluruh tubuh Ozzie untuk mendorongnya ke tepi atap, pertanyaan akan dirinya sendiri mulai kabur. Menatap ke bawah, dia menjadi bingung dengan mana
pertanyaan yang benar: apakah itu, 'apakah-aku-yang-menyebut-Binder-bajingan'? atau, 'apakah-aku-yang-sedang-berjalan-di-atap'? Begitupun, pemandangan di bawah menghapus segalanya, karena ada saat ketika
tindakan apapun tidak peduli itu kau atau orang lain adalah cerdas. Pencuri memenuhi sakunya dan menyelinap keluar
jendela. Pengantin laki-laki memesan kamar hotel
untuk dua orang. Dan anak laki-laki di atas atap melihat jalanan penuh orang melihat
kepadanya, dengan leher terentang ke belakang, dan wajah menghadap ke atas, seolah-olah
dia adalah langit-langit Planetarium Hayden6. Dengan segera kau akan tahu kalau itu kau.
“Oscar! Oscar Freedman!”
Sebuah suara muncul dari dalam keramaian, suara itu, seandainya
bisa dilihat, akan tampak seperti tulisan di gulungan perkamen. “Oscar Freedman, turun dari sana. Sekarang juga!” Rabi Binder menunjuk dengan
satu lengan ke arahnya; dan di ujung lengan itu, satu jari teracung mengancam. Itu adalah sikap seorang diktator, tapi orang itu --semua mata menyaksikannya--
seperti orang yang wajahnya baru diludahi pembantunya.
Ozzie tidak menjawab. Hanya sekedipan mata dia
melihat ke arah Rabi Binder. Sebaliknya matanya mulai terbiasa dengan pemandangan di bawahnya, untuk memisahkan orang-orang berdasarkan tempat,
teman dengan musuh, peserta dari penonton. Dalam bentuk seperti bintang bergerigi teman-temannya berdiri di sekitar Rabi
Binder, yang masih menunjuk-nunjuk. Titik paling atas di bintang itu tidak ditempati malaikat tapi lima murid laki-laki termasuk Itzie. Sungguh sebuah pemandangan, dengan bintang-bintang itu di bawah, Rabi Binder di bawah.... Ozzie, yang sesaat sebelumnya
tidak mampu mengendalikan tubuhnya sendiri, mulai merasakan arti dari kata
kontrol: dia merasakan damai dan kekuasaan.
“Oscar Freedman, aku akan menghitung sampai
tiga.”
Beberapa diktator memberi
lawannya kesempatan tiga hitungan untuk melakukan sesuatu; tapi, seperti biasa, Rabi Binder cuma seperti diktator.
“Apakah kau siap, Oscar?”
Ozzie mengangguk mengiyakan,
walaupun dia tidak punya niat di dunia ini --yang lebih rendah atau yang
di atas seperti yang baru dimasukinya-- untuk turun bahkan kalau Rabi Binder menghitung sampai sejuta.
“Baiklah,” kata Rabi Binder. Dia mengusap rambut hitam Samsonnya seolah-olah gerakan itu ditujukan untuk mengucapkan angka pertama. Lalu, dengan tangannya yang lain membuat lingkaran di sepotong kecil langit di sekelilingnya, dia berkata. “Satu!”
Tidak ada guntur. Sebaliknya, pada saat itu, seolah-olah “satu” adalah
isyarat yang ditunggunya, orang yang paling gemuruh di dunia muncul di
tangga sinagoga. Dia tidak sering keluar pintu sinagoga untuk memeriksa langit
yang gelap. Dia menggenggam gagang pintu dengan satu tangan dan menatap ke atap.
“Oy!”
Pikiran Yakov Blotnik tua tertatih-tatih, seakan berjalan
dengan kruk, dan walaupun dia tidak bisa memutuskan dengan tepat apa yang anak
itu sedang lakukan di atap, dia tahu hal itu tidak baik --lebih tepatnya, tidak-baik-untuk-orang-Yahudi. Karena di hidup Yakov Blotnik hanya ada dua hal: hal-hal yang baik-untuk-orang-Yahudi atau tidak-baik-untuk-orang-Yahudi.
Dia memukulkan tangannya yang bebas ke pipinya yang cekung dengan lembut. “Oy, Gut!” Lalu secepat dia bisa, dia mendorong kepalanya untuk melihat ke jalan. Ada Rabi Binder (seperti orang pada sebuah acara lelang yang cuma punya
tiga dolar di sakunya, dia baru saja berkata dengan gemetar “Dua!”); ada para murid, dan itu sudah semuanya. Sejauh ini hal itu tidak-terlalu-buruk-untuk-orang-Yahudi. Tapi anak itu harus segera turun, sebelum orang lain melihatnya. Masalahnya: bagaimana menurunkan anak laki-laki itu dari atap?
Siapa pun yang pernah punya kucing yang tersesat di atap
tahu cara untuk menurunkannya. Kau memanggil pemadam kebakaran. Atau pertama kau menghubungi operator lalu kau meminta pemadam kebakaran. Dan berikutnya akan ada suara nyaring rem dan dentang lonceng dan teriakan instruksi-instruksi. Lalu kucing itu diturunkan dari atap. Kau melakukan hal yang sama untuk menurunkan seorang anak laki-laki dari atap.
Artinya, kau akan melakukan hal yang sama kalau kau Yakov Blotnik dan kau pernah punya kucing yang tersesat di atap. Ketika mobil-mobil mereka, keempat-empatnya, datang, Rabi Binder sudah empat kali memberi Ozzie hitungan ketiga. Kait dan tangga besar berayun
di sudut bangunan itu dan
salah satu petugas pemadam kebakaran melompat turun, melompat menuju hidran kuning di depan sinagoga. Dengan kunci yang besar dia
mulai membuka tutup nosel atas. Rabi Binder berlari ke arahnya dan menarik bahunya.
“Tidak ada kebakaran...."
Petugas pemadam kebakaran bergumam di balik bahunya, dengan emosi, tetap membuka tutup nosel itu.
“Tapi tidak ada kebakaran, tidak ada kebakaran...,” teriak Binder. Ketika petugas pemadam kebakaran itu bergumam lagi, Rabi menarik
kepalanya dengan kedua tangannya dan menunjuk ke atas atap.
Di mata Ozzie itu terlihat seolah-olah Rabi Binder sedang berusaha menarik kepala petugas pemadam kebakaran itu dari tubuhnya, seperti gabus dari botol. Dia tertawa pada adegan yang mereka buat: itu adalah potret keluarga --Sang Rabi dengan topi hitam, petugas pemadam kebakaran dengan topi merah, dan hidran kuning kecil jongkok di samping seperti seorang anak, tanpa penutup kepala. Dari tepi atap Ozzie melambaikan tangan ke arah potret itu, satu tangan, mengepak-ngepak, lambaian tangan mengejek; ketika melakukan itu kaki kanannya terpeleset. Rabi
Binder menutup matanya dengan tangannya.
Petugas pemadam kebakaran bekerja cepat.
Sebelum Ozzie kembali mendapatkan keseimbangan tubuhnya, sebuah jaring besar, bulat, bersih, dan kuning digelar di halaman rumput sinagoga. Para petugas pemadam kebakaran yang memegangnya menatap Ozzie dengan wajah tegas, tanpa emosi.
Salah satu petugas pemadam kebakaran menoleh ke arah Rabi Binder. “Ada apa, anak itu gila atau apa?”
Rabi Binder membuka tangannya dari matanya, perlahan-lahan, kesakitan, seolah-olah kedua tangannya adalah selotip. Lalu dia memeriksa: tidak ada di trotoar, tidak
ada di jaring.
“Apakah dia mau melompat, atau apa?” seru petugas pemadam kebakaran.
Dengan suara yang tidak sepenuhnya seperti patung, Rabi Binder akhirnya menjawab.
"Iya. Iya, kupikir begitu.... Dia mengancam begitu.... "
Mengancam begitu? Alasan dia berada di atap, Ozzie ingat, adalah untuk lari; da bahkan tidak berpikir soal melompat. Dia hanya lari untuk menjauh, dan sesungguhnya dia tidak akan lari ke atap kalau tidak dikejar.
“Siapa namanya, anak itu?”
“Freedman,” jawab Rabi Binder. “Oscar Freedman.”
Petugas pemadam kebakaran menatap
Ozzie. “Ada apa denganmu, Oscar? Kau mau lompat, atau apa?”
Ozzie tidak menjawab. Terus terang, pertanyaan seperti itu baru didengarnya.
“Dengar, Oscar, kalau kau mau lompat, lompatlah --dan kalau kau tidak mau lompat, jangan lompat. Tapi
jangan buang-buang waktu kami, bagaimana?”
Ozzie memandang petugas pemadam kebakaran itu lalu Rabi Binder. Dia ingin melihat
Rabi Binder menutup matanya sekali lagi.
“Aku akan lompat.”
Lalu dia berlari di tepi atap ke sudut, yang tidak ada jaring di bawahnya, dan dia mengepakkan tangannya di sebelah tubuhnya, dan memukulkan telapak tangannya ke udara dan ke celana panjangnya ke bawah. Dia mulai berteriak-teriak seperti semacam mesin, “Wheeeee. .
.wheeeeee,” dan memiringkan bagian atas tubuhnya ke arah luar atap. Petugas pemadam kebakaran berlari untuk menutupi tanah dengan jaring. Rabi Binder menggumamkan
beberapa kata kepada seseorang dan menutup matanya. Semuanya terjadi
dengan cepat, tiba-tiba, seperti dalam film bisu. Kerumunan, yang datang bersama dengan mobil pemadam kebakaran, memberikan sorakan 'oooh-aahhh' panjang, seperti kembang api empat Juli7. Di tengah kegembiraan mendapatkan tontonan gratis kerumunan itu memperhatikan, kecuali, tentu saja, Yakov
Blotnik, yang berayun di gagang pintu menghitung kepala. “Fier und tsvansik....
Finf und tsvansik... finf und tsvansik8.... Oy, Gut!” Itu sama sekali tidak mirip seperti kucing.
Rabi Binder mengintip dari
sela jari-jarinya, memeriksa
trotoar dan jaring. Kosong. Tapi Ozzie berlari ke sudut yang lain. Petugas pemadam kebakaran berpacu dengannya tapi tidak bisa mengikutinya. Kapan pun Ozzie mau dia bisa melompat dan jatuh berserakan di
trotoar, dan pada saat petugas pemadam kebakaran sampai ke titik itu yang bisa mereka lakukan dengan jaring mereka hanya menutupi serpihan tubuhnya.
“Wheeeee.... Wheeeee...."
“Hei, Oscar,” petugas pemadam kebakaran berteriak. “Apa-apaan ini,
permainan atau apa?”
“Wheeeee.... Wheeeee...."
“Hei, Oscar--”
Tapi dia sekarang berlari ke sudut lainnya, mengepak-ngepakkan tangannya dengan keras. Rabi Binder tidak tahan lagi --mobil pemadam kebakaran yang
tiba-tiba datang, anak yang hendak bunuh diri yang berteriak-teriak, jaring. Dia jatuh berlutut, kelelahan, dan dengan
tangan yang terlipat di depan dadanya seperti kubah kecil, dia memohon, “Oscar, hentikan, Oscar. Jangan melompat, Oscar. Turunlah.... Jangan melompat.”
Lalu kembali dari kerumunan terdengar satu suara, suara seorang anak muda, meneriakkan satu kata untuk anak laki-laki yang berada di atap.
"Lompat!"
Itu Itzie. Ozzie berhenti mengepak.
“Ayo, Ozz --lompat!” Itzie keluar dari posisi bintangnya dan dengan berani, bukan sebagai orang bijak tapi cuma seorang murid, berdiri
sendirian. “Lompat, Ozz, lompat!”
Masih berlutut, tangannya masih terlipat, Rabi Binder membalik tubuhnya. Dia menatap Itzie, lalu, dengan penuh penderitaan, kembali ke Ozzie.
“Oscar, jangan lompat! Tolong, jangan lompat....
Kumohon...."
"Lompat!” Kali
ini bukan Itzie tapi titik-titik lain di bintang itu. Pada saat Nyonya Freedman sampai untuk memenuhi panggilan jam
setengah lima Rabi Binder, seluruh langit kecil yang terbalik itu berteriak dan menyuruh Ozzie untuk melompat, dan Rabi Binder tidak lagi memohon supaya dia tidak melompat, tapi menangis di dalam kubah tangannya.
Nyonya Freedman tidak mengerti apa yang anaknya lakukan di atap. Jadi dia bertanya.
“Ozzie, Ozzieku, apa yang kau lakukan? Ozzieku, ada apa?”
Ozzie berhenti wheeeee-wheeeee dan melambatkan tangannya menjadi kepakan penjelajah, jenis kepakan yang dipakai burung-burung di dalam hembusan angin yang lembut, tapi dia tidak
menjawab. Dia berdiri di bawah langit yang rendah,
mendung, dan gelap --satu klik ringan sekarang, seperti gir kecil-- mengepak lembut dan menatap ke bawah pada buntalan perempuan kecil yang ternyata
ibunya.
“Apa yang kau lakukan, Ozzie?” Dia berbalik ke arah Rabi Binder yang sedang berlutut dan menjadi begitu dekat sehingga perutnya dan bahu Sang Rabi cuma
berjarak setebal kertas.
“Apa yang anakku lakukan?”
Rabi Binder ternganga tapi dia membisu. Yang bergerak hanya kubah tangannya; gemetar maju-mundur seperti denyut jantung yang lemah.
“Rabi, suruh dia turun! Dia akan membunuh dirinya sendiri. Suruh dia turun, anakku
satu-satunya...."
“Aku tidak bisa,” kata Rabi Binder, “Aku tidak bisa....” lalu dia memalingkan wajah tampannya ke arah kerumunan anak laki-laki di belakangnya. "Itu mereka.
Dengarkan mereka."
Dan untuk pertama kalinya Nyonya Freedman melihat kerumunan
anak laki-laki itu, dan dia mendengar apa yang mereka teriakkan.
“Dia melakukannya untuk mereka. Dia tidak akan mendengarkanku. Itu mereka.” Rabi Binder bicara seperti sedang kerasukan.
"Untuk mereka?"
"Iya."
“Kenapa untuk mereka?”
“Mereka mau dia...."
Nyonya Freedman mengangkat kedua
tangannya ke atas seolah-olah sedang memuja langit. “Dia melakukannya buat mereka!” Lalu dengan sikap tubuh yang lebih tua dari piramida, lebih tua dari para nabi dan banjir, tangannya turun menampar sisi tubuhnya. “Aku punya seorang martir. Lihat!” Dia memiringkan kepalanya ke atap. Ozzie masih mengepak lembut. “Martirku.”
“Oscar, turunlah, tolong,” Rabi Binder mengerang.
Dengan suara memelas Nyonya Freedman memanggil anak laki-laki di
atap itu. “Ozzie, turun, Ozzie. Jangan
jadi martir.”
“Ayolah, Ozz --jadilah Martin!” Itu Itzie. “Jadilah
Martin, jadilah Martin,” dan semua suara bergabung dalam satu nyanyian Martin, apapun artinya itu. “Jadilah Martin, jadilah Martin...."
***
Entah bagaimana ketika kau berada di atas atap semakin gelap maka akan semakin sedikit kau bisa mendengar. Yang Ozzie tahu hanyalah bahwa dua kelompok ingin dua hal baru:
teman-temannya bersemangat dan bernyanyi tentang apa yang mereka inginkan; ibunya dan Sang Rabi bernada sama, memelas, tentang apa yang mereka tidak
inginkan. Suara Sang Rabi tanpa air mata sekarang dan begitu juga ibunya.
Jaring besar menatap Ozzie seperti mata yang buta. Langit yang luas dan mendung ditarik ke bawah. Dari bawah itu terlihat seperti papan abu-abu bergelombang. Tiba-tiba, memandang ke langit yang tidak simpatik itu, Ozzie menyadari semua keanehan dari apa yang orang-orang itu, teman-temannya, minta: mereka ingin dia melompat,
bunuh diri; mereka menyanyikan hal itu --itu membuat mereka bahagia. Dan ada keanehan yang lebih besar: Rabi Binder berlutut,
gemetar. Kalau ada pertanyaan untuk ditanyakan sekarang itu bukan “Apakah ini aku?” melainkan “Apakah itu kita? Apakah itu kita?”
Berada di atas atap, ternyata, adalah hal yang serius. Kalau dia melompat apakah nyanyian itu akan berubah menjadi tarian? Akankah? Apa yang akan dihentikan oleh lompatannya?
Penuh semangat, Ozzie berharap dia bisa
merobek langit, memasukan tangannya, dan menarik keluar matahari; dan di matahari, seperti koin, akan tertera tulisan LOMPAT atau JANGAN LOMPAT.
Lutut Ozzie gemetar dan merosot sedikit ke bawah seolah-olah mengajaknya menyelam. Lengannya menegang, kaku, membeku, dari bahu sampai
kuku. Dia merasa seolah-olah
setiap bagian tubuhnya sedang melakukan pemungutuan
suara apakah dia harus bunuh diri atau tidak --dan setiap bagian itu seolah-olah terlepas dari dirinya.
Cahaya tiba-tiba mati dan kegelapan yang baru, seperti lelucon, membuat diam nyanyian teman-temannya dan suara memelas ibu
dan Sang Rabi karena hal itu.
Ozzie menghentikan pemungutan
suara, dan dengan nada penuh rasa ingin tahu yang tinggi, seperti orang yang tidak siap pidato, dia bicara.
"Mama?"
“Ya, Oscar.”
“Mama, berlututlah, seperti Rabi Binder.
“Oscar--”
“Berlutut di kakimu,” katanya, “atau aku akan melompat.”
Ozzie mendengar rengekan, lalu gerutu yang cepat, dan ketika dia melihat ke bawah ke
tempat ibunya berdiri dia melihat
bagian atas sebuah kepala di bawah lingkaran gaun. Dia berlutut di
samping Rabi Binder.
Dia bicara lagi. “Semua orang berlutut.” Lalu ada suara orang-orang berlutut.
Ozzie melihat sekeliling. Dengan satu tangan dia menunjuk ke arah pintu
masuk sinagoga. “Buatlah dia berlutut.”
Ada suara, bukan dari berlutut, tapi dari tubuh-dan-baju yang meregang. Ozzie bisa mendengar Rabi Binder berkata dalam bisikan kasar, “... atau dia akan membunuh dirinya sendiri,” lalu dia melihat Yakov Blotnik melepas gagang pintu dan untuk pertama kali dalam hidupnya berlutut dengan postur doa orang yang bukan Yahudi.
Begitu juga para petugas
pemadam kebakaran --itu tidak sesulit yang dibayangkan untuk memegang kencang jaring sambil berlutut.
Ozzie melihat sekeliling lagi; lalu dia memanggil Rabi Binder.
“Rabi?”
“Ya, Oscar.”
“Rabi Binder, apakah kau percaya Tuhan?”
"Iya."
“Apakah kau percaya Tuhan bisa melakukan segalanya?” Ozzie menyandarkan kepalanya ke dalam
kegelapan. "Apapun?"
“Oscar, kupikir--”
“Katakan kau percaya bahwa Tuhan bisa melakukan apapun.”
Ada sedikit keraguan. Lalu: “Tuhan bisa melakukan apapun.”
“Katakan kau percaya bahwa Tuhan bisa membuat anak tanpa hubungan intim.”
"Dia bisa."
"Katakan padaku!"
“Tuhan,” Rabi Binder mengaku, “bisa membuat anak tanpa hubungan intim.”
“Mama, kau katakan padaku.”
“Tuhan bisa membuat anak tanpa hubungan intim,” kata ibunya.
“Buatlah dia mengatakannya kepadaku.” Tidak ada keraguan siapa dia yang
dimaksud itu.
Untuk beberapa saat Ozzie mendengar suara tua lucu mengatakan sesuatu
dalam gelap soal Tuhan.
Berikutnya, Ozzie membuat semua orang mengatakan itu. Lalu dia membuat
mereka semua mengatakan mereka percaya kepada Yesus Kristus --pertama
satu-satu, lalu bersama-sama.
Ketika katekisasi9 itu berlangsung saat itu adalah awal malam.
Dari jalan hal itu terdengar seolah-olah anak di atas atap itu mendesah.
“Ozzie?” Suara seorang permpuan bicara. “Kau mau turun sekarang?”
Tidak ada jawaban, tapi perempuan itu menunggu, dan ketika sebuah suara
akhirnya terdengar suara itu pelan dan tersedu-sedu, dan kelelahan seperti
seorang laki-laki tua yang baru selesai menarik lonceng gereja.
“Mama, tidakkah kau mengerti --kau tidak boleh memukulku. Dia seharusnya
tidak memukulku. Kau seharusnya tidak memukulku kalau soal Tuhan, Mama. Kau
tidak boleh memukul siapa pun kalau soal Tuhan--“
“Ozzie, turunlah sekarang.”
“Berjanjilah, berjanjilah padaku kau tidak akan pernah memukul siapa pun
kalau soal Tuhan.”
Dia cuma meminta kepada ibunya, tapi untuk beberapa alasan semua orang
yang sedang berlutut di jalanan berjanji mereka tidak akan pernah memukul siapa
pun kalau soal Tuhan.
Sekali lagi ada keheningan.
“Aku bisa turun sekarang, Mama,” anak laki-laki di atas atap itu akhirnya
berkata. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan seolah-olah sedang memeriksa lampu
lalu lintas. “Sekarang aku bisa turun...."
Dan dia melakukannya, langsung ke tengah jaring kuning yang bersinar di
tepi malam itu seperti lingkaran halo.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 Pink mustache: permainan kata dari Philip Roth untuk menggambarkan senyum licik yang terbentuk dari bibir merah muda seorang bocah; dalam permainan bisbol ada istilah pink hat untuk menyebut fans sebuah tim yang tidak terlalu setia.
2 One-hitter: istilah dalam
permainan bisbol ketika satu tim hanya
boleh melakukan satu pukulan.
3 Declaration of Independence:
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776; sebagian besar ditulis oleh
Thomas Jefferson yang menyetakan bahwa tiga belas koloni memerdekakan diri dari
Inggris Raya.
4 Bar-mitzvah: upacara yang
menandai anak laki-laki Yahudi berumur tiga belas untuk menerima tugas
agamanya; untuk anak perempuan, upacara yang sama disebut bat-mitzvah, dan dilakukan ketika anak perempuan berumur dua belas.
5 Hank Greenberg: pemain bisbol
Amerika (1911-1986).
6 Planetarium Hayden: bangunan
di New York yang memproyeksikan gambar langit ke langit-langit sebuah bangunan
berbentuk bola untuk dilihat oleh penonton.
7 4th of July:
perayaan hari kemerdekaan Amerika Serikat.
8 Fier und tsvansik.... Finf und tsvansik: dua puluh empat... dua puluh lima.... (Yiddish)
9 Katekisasi: pengajaran iman
Kristen dengan cara tanya-jawab.

Comments
Post a Comment