Tato
“Wal,
menurutmu gambar apa yang paling bagus untuk kujadikan tato?”
Sudah beberapa hari ini Harman ingin membuat gambar di tubuhnya. Rajah.
Tato. Sudah
beberapa hari juga kerja Harman cuma membolak-balik majalah. Mencari gambar.
Gambar yang paling bagus untuk dijadikan tato di tubuhnya. Waldi, teman sekamar
Harman, mau tidak mau ikut pusing. Pusing, tiap hari diberi pertanyaan yang
sama. Pusing, memilihkan gambar yang paling bagus untuk dijadikan tato Harman.
“Aku mau
tato burung garuda aja ah.”
“Memangnya
kau mau jadi pegawai negeri?”
“Memangnya
pegawai negeri pakai tato? Memangnya menteri-menteri, juga presiden, wakil
presiden, ketua MPR, kepala polisi, gubernur Bank Indonesia, pakai tato?”
Waldi
tidak bisa segera menjawab. Tidak bisa segera mengiyakan atau menidakkan.
Sebenarnya, Waldi juga tidak tahu apakah pegawai negeri ada yang bertato atau
tidak. Pemeriksaan kesehatan untuk calon menteri di Jakarta sana juga tidak
pernah menyebut apakah mereka juga memeriksa tato para calon menteri ini. Dan
yang lebih penting lagi, apakah tato di tubuh calon menteri itu, kalau ada, dibolehkan
atau tidak.
“Gambar binatang
aja, Man. Naga.”
“Kau
pernah lihat naga? Aku belum. Terus, bagaimana aku bisa tahu kalau yang digambar
nanti memang gambar naga? Jangan-jangan aku ditipu.”
“Yah, gambar
binatang lainlah. Macan. Singa. Atau serigala.”
“Raja singa
itu penyakit, Wal. Jangan gambar binatanglah. Takut aku. Nanti malah dilempari
kacang sama anak-anak, Wal.”
“Ya jangan
kau gambar monyet, Man.”
Waldi
pusing lagi. Harman, teman sekamarnya itu, kadang-kadang bisa jadi sangat
pintar dan kritis. Kadang-kadang bisa juga konyol. Kadang-kadang yang kedua ini
yang lebih sering. Harman masih terus membolak-balik majalah. Mencari gambar.
Gambar yang paling bagus untuk dijadikan tato di tubuhnya. Waldi masih pusing. Ikut-ikutan.
“Atau gambar
lambang-lambang aja, Man.”
“Lambang-lambang
itu politik, Wal. Kalau menang. Kalau kalah? Lebih parah lagi, bagaimana kalau
kemudian memberontak dan dinyatakan sebagai partai terlarang, Wal? Ingat kau
tragedi beberapa puluh tahun lalu itu? Urusan yang satu itu pun belum kelar
sampai sekarang. Dulu itu KTP yang ditandai. Sekarang kau suruh aku pakai tato.
Bunuh diri itu namanya, Wal.”
Waldi
diam saja. Harman, teman sekamarnya itu, kadang-kadang bisa jadi sangat pintar
dan kritis. Seperti sekarang. Waldi sendiri tidak pernah tahu ada KTP yang
ditandai. Waldi tahu, tapi dia tidak pernah melihat KTP yang ditandai. Waldi
lebih tidak tahu lagi apakah tragedi dan urusannya itu sudah kelar atau belum. Harman
pintar juga, pikirnya.
“Sama, Wal.”
“Apanya yang
sama?”
“Aku pun
tidak tahu apa rumah mereka juga ditandai. Apa mobilnya juga ditandai. Apa duitnya
juga ditandai. Itu kan yang kau mau tanya?”
Kali ini
Waldi nyengir. Harman, kenapa tidak jadi dukun saja, pikirnya. Dukun sekarang
lagi laris-larisnya. Setiap ada pemilihan kepala, kepala negara atau kepala desa,
dukun-dukun panen besar. Belum lagi pemilihan-pemilihan yang lain. Dukun itu, pekerjaan
yang paling menguntungkan. Modal sedikit, cuma kemenyan dan air putih, langganannya
pejabat-pejabat. Kadang-kadang artis. Apalagi sekarang dukun-dukun bisa pasang iklan
di televisi.
“Nah, tato
tivi aja, Man.”
“Berapa inci?”
***
Sekarang Harman
sudah punya tato. Tato televisi. Sekarang Harman lebih sering telanjang dada. Tatonya
itu dipamerkan ke mana-mana. Sebentar saja, Harman sudah terkenal. Datanglah ke
kontrakannya yang ditempatinya berdua dengan Waldi, tanyakan nama Harman
“laki-laki yang sering telanjang dada yang punya tato televisi”, semua orang
pasti tahu. Semua orang pasti mau mengantar ke kontrakan Harman dan Waldi.
Pagi-pagi
sekali Harman sudah bangun.
Dibangunkan bapak-bapak yang mau berangkat kerja. Mereka mau melihat berita
terbaru di tato Harman. Soal lalu
lintas. Soal gaji ketiga belas. Kadang-kadang juga soal negara. Buat dipamerkan
ke teman-teman sekantor. Ada juga yang mencari berita soal panti pijat yang digerebek
polisi atau diobrak-abrik warga. Sesekali mereka tertawa kalau ada teman sekantornya
yang terlihat di sana.
Agak
siang mulai gaduh. Harman dikerubut ibu-ibu. Ibu yang satu ingin melihat acara
masak-memasak, ibu yang lain ingin melihat telenovela, ibu yang lain lagi ingin
tahu kelanjutan cerita artis yang dikabarkan selingkuh. Kabarnya sudah ditalak
sama suaminya. Kalau sudah begitu, tato Harman habis jadi rebutan ibu-ibu itu. Dipencet-pencet
di sana sini. Berkali-kali. Merah-merah.
Kalau sore,
jatahnya anak-anak tetangga. Anak-anak tetangga yang sudah wangi-wangi karena
baru dimandikan ibunya itu, jauh lebih tertib daripada ibuibu mereka. Anak-anak
itu duduk dengan rapi di depan Harman. Menunggu. Menunggu Harman menyeleksi
mereka. Anak-anak yang belum mandi pasti disuruh pulang oleh Harman. Kalau Kak
Seto tahu, Harman pasti sudah dijadikan perwakilan Komnas Anak di sini.
Malam-malam,
semua tetangga, besar-kecil, tua-muda, berkumpul di kontrakan Harman. Kalau
sudah begini, Harman mau tidak mau keluar dan membiarkan semua tetangganya
melihat tatonya. Melihat sinetron. Harman sekarang super sibuk. Dicari-cari
semua tetangganya, besar-kecil, tua-muda. Pagi, siang, malam. Setiap saat. Setiap
hari.
Harman hanya
libur setiap malam minggu. Harman tidak mau melayani permintaan bapak-bapak
yang ingin melihat pertandingan sepakbola di tatonya. Satu kali pernah Harman memperlihatkan
pertandingan sepakbola di tatonya. Seorang bapak yang tidak terima tim
kesayangannya kalah, melempar asbak ke tato Harman. Tato Harman tidak apa-apa.
Sementara Harman, jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi.
Sudah beberapa
bulan ini tato Harman jadi tontonan tetangganya. Sudah beberapa bulan Harman
telanjang dada memperlihatkan tato di tubuhnya. Tato televisi. Waldi, teman
sekamar Harman, mau tidak mau ikut pusing. Pusing, tiap pagi dibangunkan bapak-bapak.
Pusing, tiap siang mendengarkan kegaduhan ibu-ibu. Pusing, tiap sore ditunggui
anak-anak tetangga. Pusing, tiap malam dikelilingi semua tetangganya, besar-kecil,
tua-muda.
Berbulan-bulan
telanjang dada, Harman akhirnya jatuh sakit. Masuk angin. Gampang saja
sebenarnya. Tinggal panggil Mbok Yah dari gang belakang, kerokan. Tidak ada
obat yang lebih manjur untuk masuk angin selain minyak kayu putih, sekeping
uang logam, dan Mbok Yah dari gang belakang, tentu saja. Tapi persoalannya
tentu tidak sesederhana itu. Tato Harman tidak boleh terlihat merah-merah bekas
kerokan. Tato Harman tidak boleh bau minyak kayu putih. Dan yang lebih penting
lagi, tato Harman sudah jadi milik warga di sekitar kontrakannya, bukan punya Mbok
Yah seorang.
Akhirnya tato
Harman ditutup untuk umum. Tidak ada
lagi bapak-bapak yang pagi-pagi
membangunkan Harman. Tidak ada lagi ibu-ibu yang siang-siang mengerubut Harman.
Tidak ada lagi anak-anak tetangga yang sudah wangi-wangi sore-sore berbaris di
depan Harman. Tidak lagi tetangga-tetangga Harman, besarkecil, tua-muda, yang
malam-malam berkumpul di kontrakan Harman. Harman libur. Tato Harman tertutup untuk
umum.
***
“Wal, kalau
mau menghapus tato, bagaimana caranya ya?”
Waldi
yang sedang tidur-tiduran kaget juga mendengar pertanyaan Harman. Beberapa hari
ini, Waldi bisa agak tenang setelah Harman libur. Setelah tato Harman ditutup
untuk umum. Waldi bisa tidur-tiduran lagi seperti kebiasaannya dulu.
Tidur-tiduran seperti sekarang sebelum Harman bertanya tadi. Guratan-guratan bekas
kerokan Mbok Yah di tato Harman sudah mulai pudar. Sebentar lagi hilang. Sebentar
lagi, Harman kembali seperti dulu. Kembali jadi Harman yang super sibuk dan Waldi
tidak akan bisa tidur-tiduran seperti sekarang.
“Kenapa, Man?
Bosan dengan tatomu?”
“Bukan,
Wal.”
“Capek?”
Teringat
Waldi saat-saat Harman masih super sibuk. Hampir tidak pernah dilihatnya
Harman, teman sekamarnya itu, istirahat. Pagi-pagi sudah dibangunkan
bapak-bapak. Siang-siang dikerubut ibu-ibu. Sore-sore ditunggu anak-anak tetangga
yang sudah wangi-wangi. Malam-malam, malah ditunggu semua tetangga.
Besar-kecil, tua-muda. Kasihan juga Waldi melihat Harman. Kasihan melihat dadanya
yang terus-terusan telanjang.
“Kupikir-pikir,
Wal, tatoku itu, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.”
“Ah, kebanyakan
nonton kuliah subuh kau, Man.”
“Bukan
begitu, Wal. Kulihat-lihat, tatoku ini lebih banyak menipu. Lebih banyak menjual
mimpi. Kau sih tak pernah tahu telenovela yang dilihat ibu-ibu tiap siang. Atau
sinetron yang malam-malam itu. Semuanya menipu. Anak-anak muda, gak tahu sekolahnya
apa, tahu-tahu pakai dasi. Pakai mobil. Jadi direktur. Kau dan aku, muda. Kau dan
aku pakai dasi? Kau dan aku pakai mobil? Kau dan aku jadi direktur?”
“Itu kan
film, Man. Yang dijual itu keinginan. Bukan keadaan. Kau dan aku tak pakai dasi,
tak pakai mobil, tak jadi direktur, buat apa lihat orang yang juga tak pakai
dasi, juga tak pakai mobil, juga tak jadi direktur? Kalau mau, kau dan aku
ngaca aja di kamar mandi.”
“Bukan
itu aja, Wal. Banyak kekerasan juga di tatoku itu. Anak bunuh diri, istri gebuk
suami, suami bakar istri, macam-macam.”
“Teroris juga.
Perampok juga. Ya kan? Berita, Man, berita. Biasa itu.”
“Ada juga
yang bilang membosankan, isinya
kawin-cerai melulu. Padahal kan gambarnya gak pernah sama, Wal.
Belakangan, gambar-gambar yang baru juga diprotes. Katanya menjual rahasia orang.”
“Tapi kan
tatomu laku, Man. Kalau kata koran: ratingnya tinggi. Rahasia itu memang asik, Man.
Semakin rahasia, semakin asik dia. Semakin
orang ingin tahu. Masakan kau tak
tahu kebiasaan ibu-ibu tetangga kita? Bapak-bapak itu juga kalau ada teman
sekantornya yang tertangkap razia di panti pijat, tertawa saja mereka.”
Harman
diam saja. Kali ini Harman tidak sedang pintar dan kritis atau sedang konyol.
Harman hanya Harman saja sekarang. Teman sekamar Waldi. Kecuali wajahnya yang
lusuh, entah karena baru sakit, entah karena memang kelelahan. Juga beberapa
guratan bekas kerokan Mbok Yah di tato Harman yang sudah mulai pudar.
“Sebenarnya,
itu masalah budaya, Man. Suka silahkan dilihat, tidak suka ya gak usah
dekat-dekat sama kau.”
Harman
masih diam saja. Harman tidak lagi menjawab Waldi. Keinginannya cuma satu
sekarang, menghapus tatonya. Waldi juga tahu. Harman, teman sekamarnya itu, kalau
sudah punya keinginan, sulit diubah. Dulu waktu ingin punya tato, Harman juga
tidak bisa dicegah. Tiap hari Harman menanyakan gambar yang paling bagus untuk
dijadikan tato. Waldi pun tak mencegah waktu itu. Sekarang, Harman ingin menghapus
tatonya. Hanya ingin menghapus tatonya.
“Ya sudah,
Man. Kau cabutlah colokannya, biar mati tatomu.”
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment