Orang Suci (The Saint ~ V. S. Pritchett)

Orang Suci (The Saint ~ V. S. Pritchett)

Ketika saya berumur tujuh belas, saya kehilangan iman saya

Keyakinan saya sudah goyah selama beberapa waktu, lalu tiba-tiba hilang akibat sebuah insiden di sebuah perahu di sungai di luar kota tempat kami tinggal. Paman saya, yang harus saya ikut tinggal di rumahnya untuk beberapa waktu dalam hidup saya, memulai bisnis pembuatan perabot kecil di kota ini. Dia selalu kesulitan keuangan, tapi dia yakin bahwa Tuhan akan menolongnya.

Dan ini terjadi. Seorang investor datang dan merupakan anggota sebuah aliran bernama Gereja Pemurnian Terakhir, di Toronto, Kanada. "Dapatkah kita bayangkan," tanya laki-laki ini, "Tuhan yang baik dan mahakuasa membiarkan anak-anaknya kekurangan uang?"

Kami harus mengakui bahwa kami tidak dapat membayangkan hal itu. Laki-laki itu memberikan sejumlah modal ke bisnis paman saya dan kami pun bertobat. Keluarga kami adalah kaum Pemurni pertama --begitulah mereka disebut-- di kota ini. Tak lama kemudian, jemaat yang beranggotakan lima puluh orang atau lebih bertemu setiap hari Minggu di sebuah ruangan di Bursa Perdagangan Jagung.

Seketika, kami mendapati diri kami sebagai orang-orang yang dijauhi dan dibenci. Semua orang membuat lelucon tentang kami. Kami harus bersatu karena kami kadang-kadang diseret ke pengadilan. Yang tidak dapat dimaafkan oleh orang-orang yang belum bertobat dalam diri kami adalah, pertama, bahwa kami percaya pada doa yang berhasil dan, kedua, bahwa wahyu kami datang dari Toronto.

Keberhasilan doa-doa kami memiliki dasar yang sederhana. Kami menganggapnya sebagai "Error" --sebutan kami untuk Kejahatan—kalau kami mempercayai indera kami, jadi kalau kami terkena flu atau TBC, atau kehilangan uang atau menganggur, kami menyangkal kenyataan dari hal-hal ini. Kami berkata bahwa karena Tuhan tidak dapat menciptakannya, maka hal-hal itu tidak ada. Sungguh menggembirakan melihat jemaat kami dan mengetahui bahwa apa yang orang awam sebut mukjizat terjadi di tengah-tengah kami, hampir seperti rutinitas, setiap hari. Mungkin bukan mukjizat yang sangat besar; tapi di London dan di luar Toronto, kami tahu bahwa tuli dan kebutaan, kanker dan kegilaan, momok besar, terus-menerus lenyap di hadapan doa-doa dari para Pemurni yang lebih ahli.

"Apa?" kata guru sekolah saya, seorang Irlandia yang matanya seperti pecahan kaca dan hidungnya sedikit mengendus karena kesal. "Apa! Apa kamu dengan berani mengatakan bahwa kalau kamu jatuh dari lantai atas gedung ini dan kepalamu terbentur, kamu akan bilang bahwa kamu tidak jatuh dan tidak terluka?"

Saya masih kecil dan takut pada semua orang, tapi tidak kalau itu menyangkut agama saya. Saya sudah terbiasa dengan permainan kata-kata yang dibuat orang Irlandia itu. Tidak ada gunanya berdebat, meskipun agama kami sudah mengembangkan logika kasuistis1 yang menarik.

"Saya akan bilang begitu," jawab saya dengan dingin dan sedikit sombong. "Dan kepala saya tidak akan terbentur."

"Kamu tidak akan berkata begitu," jawab orang Irlandia itu. "Kamu tidak bisa berkata begitu." Matanya berbinar karena senang. "Karena kamu akan mati."

Anak-anak laki-laki tertawa, tapi mereka menatap saya dengan kagum.

Kemudian --saya tidak tahu bagaimana atau kenapa-- saya mulai melihat masalah. Tanpa peringatan dan seakan-akan saya sudah masuk ke kamar tidur saya pada malam hari dan mendapati seekor kera besar duduk di tempat tidur saya kemudian mengikuti saya dengan gerutuannya dan kutu-kutunya serta tatapan mata yang tak kenal ampun dan kuno, terukir di wajahnya yang cokelat, saya dihadapkan pada masalah yang berputar di pusat semua agama. Saya dihadapkan pada masalah tentang asal mula kejahatan. Kejahatan adalah ilusi, begitulah yang diajarkan kepada kami. Tapi, bahkan ilusi pun punya asal. Para Pemurni menyangkal hal ini.

Saya berkonsultasi dengan paman saya. Perdagangan sedang buruk pada saat itu dan ini membuat keyakinannya goyah. Dia mengerutkan kening saat saya bicara.

"Kapan terakhir kali kau menyisir mantelmu?" katanya. "Kau jadi jorok soal penampilanmu. Kalau kau lebih banyak menghabiskan waktu mempelajari buku" --maksudnya, buku-buku Pemurnian-- "dan lebih sedikit memasukkan tanganmu ke saku dan bermain-main dengan perahu di sungai, kau tidak akan membiarkan Error masuk."

Semua dogma punya jargonnya sendiri; paman saya sebagai pebisnis menyukai istilah-istilah Pemurnian. "Jangan biarkan Error masuk," adalah istilah favoritnya. Inti dari Pemurnian, katanya, adalah bahwa itu ilmiah dan karenanya tepat; akibatnya, melakukan perdebatan adalah kelemahan belaka. Bahkan, pengkhianatan. Dia melepaskan pince-nez2-nya, mengaduk tehnya, dan memberi isyarat agar saya menyerah atau mengganti topik pembicaraan. Lebih baik yang terakhir. Saya melihat, dengan cemas, bahwa argumen saya sudah mengalahkan paman saya. Keyakinan dan keraguan seperti tali yang mengikat leher saya.

"Kau tidak bermaksud mengatakan bahwa kau tidak percaya bahwa apa yang dikatakan Tuhan kita itu benar kan?" tanya bibi saya gugup, mengikuti saya keluar ruangan. "Pamanmu percaya, Sayang."

Saya tidak bisa menjawab. Saya keluar rumah dan menyusuri jalan utama menuju sungai tempat perahu-perahu tersangkut seperti serangga di bawah sinar matahari musim panas. Hidup ini bagaikan mimpi, pikir saya; lebih tepatnya, mimpi buruk, karena si kera ada di samping saya.

Saya masih dalam keadaan ini, setengah merajuk dan setengah gembira, ketika Tuan Hubert Timberlake datang ke kota. Dia adalah salah satu orang penting dari kantor pusat gereja kami dan dia datang untuk memberikan pidato tentang Pemurnian di Bursa Perdagangan Jagung. Poster-poster yang mengumumkan hal ini ada di mana-mana. Tuan Timberlake akan menghabiskan Minggu sore bersama kami. Sungguh tidak dapat dipercaya bahwa seorang laki-laki yang begitu terkemuka benar-benar akan duduk di ruang makan kami, menggunakan pisau dan garpu kami, dan memakan makanan kami. Setiap ketidaksempurnaan di rumah kami dan karakter kami akan langsung terlihat olehnya. Kebenaran sudah diungkapkan kepada manusia dengan ketepatan ilmiah --akurasi yang bisa kita semua uji melalui eksperime-- dan arah masa depan perkembangan manusia di bumi akhirnya ditetapkan. Dan di sini, Tuan Timberlake adalah seorang laki-laki yang bukan saja sudah melakukan banyak mukjizat --bahkan, dikatakan dengan hati-hati, sudah dua kali membangkitkan orang mati-- tapi yang benar-benar pernah ke Toronto, kantor pusat kami, tempat wahyu yang hebat dan revolusioner ini pertama kali diberikan.

"Ini keponakan saya," kata paman saya, memperkenalkan saya. "Dia tinggal bersama kami. Dia kira dia berpikir, Tuan Timberlake, tapi kukatakan padanya dia cuma mengira kalau dia berpikir. Ha, ha." Paman saya adalah laki-laki yang humoris saat dia bersama orang-orang hebat. "Dia selalu bersemangat," paman saya melanjutkan. "Saya katakan padanya kalau ada air di otaknya. Saya sedang menceritakan tentangmu, Nak."

Tangan selembut kulit rusa kualitas terbaik memegang tangan saya. Saya melihat seorang laki-laki jangkung dan tegak dalam setelan jas biru tua berkancing ganda. Dia memiliki kepala persegi merah muda dengan telinga yang sangat kecil dan salah satu senyum lesu dan gigi yang dilapisi enamel yang dikatakan oleh musuh-musuh kami biasa ditemui di aliran kami.

"Wah, bukankah itu bagus?" kata Tuan Timberlake yang, karena kontaknya dengan Toronto, berbicara dengan aksen Amerika. "Bagaimana kalau kita beri tahu pamanmu bahwa dia pikir dia lucu."

Mata Tuan Timberlake tajam dan tidak berwarna. Dia tampak seperti pensiunan kapten kapal dagang yang sudah dibersihkan dari laut dan sudah berubah dan hanya mencari uang. Pembelaannya terhadap saya sudah membuat saya menjadi miliknya saat itu juga. Keraguan saya lenyap. Apa pun yang diyakini Tuan Timberlake pasti benar dan saat saya mendengarkannya saat makan siang, saya pikir tidak ada kehidupan yang lebih baik daripada hidupnya.

"Saya kira Tuan Timberlake lelah setelah memberikan pidatonya," kata bibi saya.

"Lelah?" kata paman saya, berseru karena marah. "Bagaimana mungkin Tuan Timberlake lelah? Jangan biarkan Error masuk!"

Karena dalam keyakinan kami, ketidaknyamanan kecil adalah ilusi yang sama dengan bencana besar --kalau kita ingin bersikap tegas-- dan kehadiran Tuan Timberlake membuat kami sangat tegas.

Kemudian saya perhatikan, setelah senyumnya yang lebar, bibir Tuan Timberlake punya kebiasaan membentuk lengkungan sarkastis yang panjang dan tertekan.

"Kurasa," katanya dengan nada malas, "Kurasa Yang Mahakuasa kadang-kadang juga lelah, karena tertulis Dia beristirahat pada hari ketujuh. Katakan, tahukah kau apa yang ingin kulakukan sore ini," katanya, menoleh pada saya. "Sementara paman dan bibimu tidur setelah makan, mari kita pergi ke sungai dan menyiram otakmu dengan air. Aku akan menunjukkan cara mendayung perahu."

Tuan Timberlake, saya lihat dengan kecewa, bermaksud menunjukkan bahwa dia memahami anak muda. Saya lihat dia berencana untuk "berbicara secara pribadi" dengan saya tentang masalah saya.

"Terlalu banyak orang di sungai pada hari Minggu," kata paman saya dengan gelisah.

"Oh, aku suka keramaian," kata Tuan Timberlake, menatap paman saya dengan tajam: "Ini hari istirahat, kau tahu." Dia menyuruh paman saya melahap setiap gosip dari kota suci Toronto sepanjang pagi. Paman dan bibi saya tidak percaya bahwa seorang laki-laki seperti Tuan Timberlake mau keluar dengan jas dan gramofon ke sungai pada hari Minggu sore. Buat jemaat gereja kami yang lain, mereka akan menganggapnya dosa.

"Waal, apa katamu?" kata Tuan Timberlake. Saya hanya bisa bergumam.

"Itu sudah pasti," kata Tuan Timberlake. Dan muncullah senyum yang sederhana, jelas, dan tak terbantahkan seperti senyum pada iklan. "Bukankah itu bagus?"

Tuan Timberlake naik ke atas untuk mencuci tangan. Paman saya sangat tersinggung dan terkejut, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Dia membuka kacamatanya.

"Laki-laki yang sangat luar biasa," katanya. "Sangat manusiawi," dia meminta maaf.

"Anakku," kata paman saya. "Ini akan menjadi pengalaman buatmu. Hubert Timberlake menghasilkan seribu dolar setahun dalam bisnis asuransi sepuluh tahun lalu. Kemudian dia mendengar tentang pemurnian. Dia meninggalkan semuanya, begitu saja. Dia berhenti dari pekerjaannya dan mulai bekerja bagi gereja. Itu adalah perjuangan, dia sendiri yang mengatakannya kepadaku pagi ini. ‘Sering kali,' katanya kepadaku pagi ini, ‘aku bertanya-tanya dari mana aku akan mendapatkan makanan.' Tapi jalannya sudah dibukakan. Dia datang dari Worcester ke London dan dalam dua tahun dia menghasilkan seribu lima ratus dolar setahun dari praktiknya."

Menyembuhkan orang sakit melalui doa menurut ajaran Gereja Pemurnian Terakhir adalah profesi Tuan Timberlake.

Paman saya menundukkan kepalanya. Dengan kacamatanya yang terlepas, kelopak matanya jadi kecil dan tidak nyaman. Dia juga merendahkan suaranya.

"Aku sudah menceritakan kepadanya tentang masalah kecilmu," kata paman saya pelan, dengan emosi. Saya terbakar rasa malu. Paman saya mendongak dan menjulurkan dagunya dengan percaya diri.

"Dia cuma tersenyum," kata paman saya. "Cuma begitu."

Kemudian kami menunggu Tuan Timberlake turun.

Saya mengenakan kain flanel putih dan segera berjalan ke sungai bersama Tuan Timberlake. Saya merasa bahwa saya pergi bersamanya dengan alasan yang salah. Dia akan mulai menjelaskan kepada saya asal mula kejahatan dan saya harus berpura-pura dengan sopan bahwa dia sedang mengajak saya bertobat, padahal, saat pertama kali melihatnya, saya sudah percaya. Sebuah jembatan batu, yang kedua lengkungannya seperti sepasang mata burung hantu yang menatap ke atas, berada di dekat panggung pendaratan. Saya pikir betapa disayangkan bahwa para laki-laki berpakaian flanel dan gadis-gadis yang terbakar matahari di sana tidak tahu bahwa saya akan mencarikan tiket untuk Tuan Timberlake yang sudah berpidato di kota itu pagi tadi. Saya menoleh ke sekeliling dan ketika saya melihatnya, saya sedikit terkejut. Dia berdiri di tepi sungai sambil menatapnya dengan ekspresi kosong dan bingung. Di antara kerumunan orang kulit putih, sikapnya yang tadinya cepat dan efisien sudah memudar. Di tampak setengah baya, tidak pada tempatnya, dan tidak penting. Tapi saat dia melihat saya, senyumnya kembali muncul.

"Siap?" serunya. "Baik!"

Saya merasa bahwa di dalam dirinya pasti ada piringan hitam yang berputar-putar, berhenti tepat di kata itu.

Dia melangkah ke perahu dan mengambil alih.

"Sekarang aku ingin kau mendayung membawa kita ke seberang," katanya, "kemudian aku akan menunjukkan cara mendayung yang benar."

Semua yang dikatakan Tuan Timberlake masih terasa tidak nyata bagi saya. Fakta bahwa dia duduk di perahu --dari semua hal yang umum-- sungguh luar biasa. Bahwa dia mengusulkan untuk mendayung perahu sungguh mengerikan. Bagaimana kalau dia jatuh ke sungai? Seketika saya menepis pikiran itu. Seorang pemimpin gereja kami di bawah bimbingan Tuhan langsung tidak mungkin jatuh ke sungai.

Sungainya lebar dan dalam di daerah ini, tapi di tepi selatan ada kedalaman yang dapat diatur dan dasar yang keras. Di atas tepian tanah liat, pohon-pohon willow menggantung, membentuk cetakan keranjang matahari dan bayangan di atas air, sementara di bawah sampan terdapat gua-gua klorida yang keruh. Dahan-dahan pohon yang seperti lingkaran itu membungkuk hingga ujungnya menyentuh air seperti jari-jari yang membuat suara musik. Di tengah sungai, di hari yang cerah seperti ini, ada jalur cahaya terang yang sulit dilihat kecuali kalau kita sedikit memicingkan mata. Di jalan setapak ini pada hari Minggu yang ramai, perahu-perahu layar dengan payung dan panji-panji mereka berjalan; dan juga perahu dayung dengan dayung berkaki kumbang, yang seolah-olah mengangkat sinar matahari keluar dari air saat dayung-dayung itu naik. Ke hulu, orang-orang berjalan terus, di antara kebun-kebun dan di antara ladang-ladang yang dirawat untuk menggembalakan binatang. Pada sore hari ketika Tuan Timberlake dan saya pergi untuk menyelesaikan pertanyaan tentang asal-usul kejahatan, padang rumput itu penuh dengan bunga alamanda.

"Sekarang," kata Tuan Timberlake dengan tegas ketika saya sudah mendayung sampai ke seberang. "Sekarang aku yang akan membawanya."

Dia duduk di jok di dalam lubang di buritan.

"Saya akan menjauhkan Anda dari pepohonan," kata saya.

"Berikan padaku tongkat itu," kata Tuan Timberlake, sambil berdiri di atas panggung kecil dan suara berdecit timbul dari sepatu botnya saat melakukannya. "Terima kasih, Nak. Aku sudah tidak melakukan ini selama delapan belas tahun, tapi aku beritahu kau, Nak, dulu aku juga seorang pendayung."

Dia melihat sekeliling dan membiarkan dayung itu meluncur turun melalui tangannya. Kemudian dia memberikan dorongan pertama yang sulit. Perahu layar bergoyang dengan menyenangkan dan kami bergerak maju. Saya duduk menghadapnya, memegang dayung di tangan, untuk memeriksa apakah perahu itu bergerak ke dalam.

"Bagaimana, teman-teman?" kata Tuan Timberlake, sambil melihat ke sekeliling pusaran air kami dan menarik dayungnya. Air yang menyenangkan mengalir deras ke bawah.

"Baiklah," kata saya. Dengan hormat saya mengutip kata itu darinya.

Dia melanjutkan dayungan kedua dan ketiganya, mungkin terlalu banyak air yang mengenai lengan bajunya, dan tidak yakin dengan kemudinya, yang saya koreksi, tapi dia melakukannya dengan baik.

"Ini kembali lagi kepadaku," katanya. "Bagaimana dayunganku?"

"Jauhkan saja perahu ini dari pohon," kata saya.

"Pohon?" tanyanya.

"Pohon willow," kata saya.

"Aku akan melakukannya sekarang," katanya. "Bagaimana? Sudah cukup? Nah, bagaimana dengan ini?"

"Satu lagi," kata saya. "Arusnya deras di sisi ini."

"Apa? Lebih banyak pohon?" katanya. Dia mulai kepanasan.

"Kita bisa melesat melewati mereka," kata saya. "Saya akan menenangkan perahu dengan dayung saya."

Tuan Timberlake tidak menyukai saran ini.

"Tidak, jangan lakukan itu. Aku bisa melakukannya," katanya. Aku tidak ingin menyinggung salah satu pemimpin gereja kita. Jadi aku menaruh dayung, walaupun aku merasa seharusnya aku membawanya lebih jauh dari pepohonan.”

"Tentu saja," kata saya. "Kita bisa melaju ke bawah mereka. Mungkin itu bagus."

"Kupikir," kata Tuan Timberlake, "itu adalah ide yang sangat bagus."

Dia mendorong dayung dengan keras dan membawa kami ke lengkungan dahan pohon willow berikutnya.

"Kita mungkin harus menunduk sedikit, itu saja," kata saya.

"Oh, aku bisa mendorong dahan-dahan itu ke atas," kata Tuan Timberlake.

"Lebih baik menunduk," kata saya.

Kami meluncur cepat ke arah lengkungan itu, bahkan saya sudah berada di bawahnya.

"Saya rasa saya harus menunduk," kata saya. "Membungkuk saja untuk yang ini."

"Apa yang membuat pohon-pohon itu melengkung ke air seperti ini?" tanya Tuan Timberlake. "Pohon willow yang menangis? Aku akan memberimu sesuatu untuk dipikirkan. Error suka membuat kita tenggelam pada kesedihan. Kenapa tidak menyebutnya, ehm, pohon willow yang tertawa?" tanya Tuan Timberlake saat dahan itu melewati kepala saya.

"Menunduk," kata saya.

"Di mana? Aku tidak melihatnya," kata Tuan Timberlake sambil berbalik.

"Tidak, kepala Anda," kata saya. "Dahan itu," seru saya.

"Oh, dahannya. Yang ini?" kata Tuan Timberlake, menemukan dahan tepat di dadanya, dan dia mengulurkan tangan untuk mengangkatnya. Tidak mudah untuk mengangkat dahan pohon willow dan Tuan Timberlake terkejut. Dia melangkah mundur saat dahan pohon itu bersandar lembut dan kuat padanya. Dia bersandar dan mendorong dengan kakinya. Dia mendorong terlalu jauh, dan perahu terus melaju. Saya melihat sepatu bot Tuan Timberlake terlepas dari buritan saat dia melangkah mundur tanpa berpikir. Dia meraih dahan pohon yang lebih kuat dan lebih tinggi di saat-saat terakhir, kemudian, di sana dia tergantung sejauh satu meter di atas air, bulat seperti buah damson biru yang matang dan siap dipetik, hanya menunggu sedikit sentuhan untuk membuatnya jatuh. Terlambat untuk mendayung dan melesat maju karena kekuatan dorongannya, saya tidak bisa menyelamatkannya.

Selama satu menit penuh saya tidak percaya apa yang saya lihat. Memang, agama kami mengajarkan kami untuk tidak pernah percaya apa yang kami lihat. Karena tidak percaya, saya tidak bisa bergerak. Saya ternganga. Hal yang mustahil sudah terjadi. Hanya keajaiban, pikir saya, yang bisa menyelamatkannya.

Yang paling mengejutkan adalah ketenangan Tuan Timberlake saat dia tergantung di pohon. Saya bingung menatapnya dan berusaha mengeluarkan perahu dari dahan-dahan kecil pepohonan. Saat saya berhasil mengeluarkan perahu, air hanya beberapa meter memisahkan kami dan sol sepatu botnya sudah sangat dekat dengan air karena dahan pohon itu bengkok karena berat badannya. Saat itu ada perahu yang lewat, tapi tidak ada yang memperhatikan kami. Saya senang akan hal itu. Ini adalah pergumulan pribadi.

Dagu berlipat muncul di wajah Tuan Timberlake dan kepalanya terjepit di antara bahu dan lengannya yang menggantung. Saya melihatnya berkedip dan menatap langit. Kelopak matanya pucat seperti mata seekor ayam. Dia tampak rapi dan berwibawa saat tergantung di sana. Topinya tidak bergeser dan kancing atas mantelnya dirapikan. Dia membawa sapu tangan sutra biru di saku dadanya. Dia tampak begitu tenang dan sopan sehingga, saat ujung sepatunya semakin dekat ke air, saya menjadi khawatir. Dia bisa melakukan apa yang disebut mukjizat. Saat ini, dia pasti berpikir bahwa hanya dalam arti yang keliru dan ilusi, dia tergantung di dahan pohon di atas air setinggi enam kaki. Dia mungkin sedang memanjatkan salah satu doa yang masuk akal dari keyakinan kami yang lebih seperti percakapan dengan Euklides3 daripada permohonan kepada Tuhan. Ketenangan wajahnya menunjukkan hal ini.

Apakah dia, saya bertanya pada diri sendiri, terlihat dari jalan utama, akan mendarat di Taman Rekreasi kota dan tempat pendaratannya dipenuhi orang? Apakah dia akan melakukan keajaiban yang sudah pernah dilihat orang? Saya berharap dia tidak melakukannya. Saya berdoa agar dia tidak melakukannya. Saya berdoa dengan sepenuh hati agar Tuan Timberlake tidak berjalan di atas air. Doa sayalah yang terjawab, bukan doanya.

Saya melihat sepatu itu tercelup, air naik sampai di atas mata kakinya dan naik lewat kaus kakinya. Dia mencoba memindahkan pegangannya ke dahan yang lebih tinggi. Dia tidak berhasil, dan saat berusaha, mantel dan rompinya terangkat dan terlepas dari celananya. Satu jahitan kemeja beserta tali celana dan pengait penyangganya putus seperti retakan di bagian tengah tubuh Tuan Timberlake. Itu seperti cacat fatal pada patung, retakan gempa bumi yang membuat patung monumental menjadi fana. Orang-orang Yunani terakhir pasti merasakan apa yang saya rasakan saat ini, ketika mereka melihat retakan di bagian tengah patung Apollo4. Pada saat itulah saya menyadari bahwa wahyu terakhir tentang manusia dan masyarakat di bumi belum sampai kepada siapa pun dan bahwa Tuan Timberlake sama sekali tidak tahu apa pun tentang asal mula kejahatan.

Semua ini butuh waktu lama untuk dijelaskan, tapi itu terjadi dalam beberapa detik saat saya mendayung ke arahnya. Saya terlambat untuk menaikkan kakinya ke perahu dan satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah membiarkannya tenggelam hingga tangannya mendekati tepi perahu kemudian membuatnya berpegangan. Kemudian saya akan mendayung ke darat. Saya melakukan ini. Terpotong oleh air, pertama badannya, lalu dada, lalu tinggal kepala dan bahu, Tuan Timberlake, saya perhatikan, tampak sedih dan kesepian saat dia tenggelam. Dia adalah dogma yang merosot.

Saat air menjilati kerahnya —karena dia ragu-ragu melepaskan dahan pohon untuk memegang perahu— saya melihat segitiga kecil kutukan dan kesedihan di antara hidung dan sudut mulutnya. Kepala yang bersandar di piringan air memperlihatkan seringai malapetaka, seperti yang terlihat dalam gambar santo yang dipenggal.

"Pegang perahunya, Tuan Timberlake," kata saya mendesak. "Pegang perahunya."

Dia melakukannya.

"Dorong dari belakang," perintahnya dengan suara tegas seperti seorang pebisnis.

Itulah kata-kata pertamanya. Saya menurutinya. Dengan hati-hati saya mendayung ke tepi sungai. Dia berbalik dan, diiringi suara percikan, naik ke tepi sungai. Di sana dia berdiri, mengangkat tangannya dan melihat air mengalir di bajunya yang membesar dan membuat genangan air di kakinya.

"Katakan," kata Tuan Timberlake dengan dingin, "kita membiarkan Error masuk tadi."

Dia pasti akan membenci keluarga kami.

"Maafkan saya, Tuan Timberlake," kata saya. "Saya benar-benar minta maaf. Seharusnya saya mendayung. Ini kesalahan saya. Saya akan segera mengantar Anda pulang. Biarkan saya memeras mantel dan rompi Anda. Anda bisa mati..."

Saya berhenti. Saya hampir saja menghujat. Saya hampir mengatakan bahwa Tuan Timberlake sudah jatuh ke dalam air dan bagi laki-laki seumurnya itu bisa saja berbahaya.

Tuan Timberlake mengoreksi saya. Suaranya tidak personal, berbicara tentang hukum keberadaan manusia, bukan tentang saya.

"Kalau Tuhan menciptakan air, menggelikan kalau mengatakan bahwa Dia menciptakannya untuk menyakiti makhluk-makhluk-Nya. Bukankah begitu?"

"Ya," gumam saya munafik.

"Baiklah," kata Tuan Timberlake. "Ayo pergi."

"Saya akan segera mengantar Anda ke seberang," kata saya.

"Tidak," katanya. "Maksud saya, ayo kita lanjutkan. Kita tidak akan membiarkan hal kecil seperti ini merusak sore yang indah. Ke mana kita akan pergi? Kau mengatakan ada tempat pendaratan yang indah di sana. Ayo kita pergi ke sana."

"Tapi saya harus mengantar Anda pulang. Anda tidak bisa duduk di sana basah kuyup. Itu akan merusak pakaian Anda."

"Sudah, sudah," kata Tuan Timberlake. "Lakukan apa yang kukatakan. Lanjutkan."

Tidak ada yang bisa saya lakukan. Saya mendorong perahu ke tepi sungai dan dia melangkah masuk. Dia duduk seperti guling yang meledak dan basah di depan saya saat saya mendayung. Tentu saja kami kehilangan dayung yang lain.

Untuk waktu yang lama saya tidak berani menatap Tuan Timberlake. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan ini membuat saya tidak beruntung. Saya tahu sesuatu yang besar sudah terjadi. Kekaguman —yang dimiliki banyak anggota aliran kami di wajah dan tubuh mereka, pikiran dan perilaku mereka— sudah hilang. Tidak ada lagi cahaya Tuan Timberlake di mata saya.

"Rumah apa di sana?" tanyanya. Dia membuka pembicaraan. Saya sudah mengarahkan perahu ke tengah sungai untuk membawanya ke bawah terik matahari. Saya melihat uap mengepul dari tubuhnya.

Saya memberanikan diri dan mengamatinya. Saya menyadari bahwa dia adalah seorang laki-laki dalam kondisi fisik yang buruk, tidak pernah berolahraga, dan tidak banyak bergerak. Kini setelah cahaya itu menghilang, orang dapat melihat kulit berurat dan keunguan dari laki-laki kekar dengan hati yang malang itu.

Saya ingat dia pernah berkata saat makan siang: "Seorang perempuan muda yang saya kenal pernah berkata, `Bukankah ini luar biasa. Saya bisa berjalan sejauh tiga puluh mil sehari tanpa merasa lelah sedikit pun.' Saya berkata, 'Saya tidak melihat bahwa memanjakan tubuh adalah sesuatu yang patut dibanggakan oleh anggota Gereja Pemurnian Terakhir.'"

Ya, ada sesuatu yang lembek, pasif, dan santai pada diri Tuan Timberlake. Dengan pakaian yang mengembang, dia menolak untuk melepaskannya. Terlintas dalam pikiran saya, saat dia memandang dengan bosan ke arah air, perahu-perahu yang lewat, dan pedesaan, bahwa dia belum pernah ke pedesaan sebelumnya. Itu adalah sesuatu yang sudah dia setujui untuk dilakukan tapi dia ingin segera pergi secepatnya. Dia sama sekali tidak tertarik. Dari pertanyaannya —Gereja apa itu? Apakah ada ikan di sungai ini? Apakah itu radio atau gramofon?— saya mengerti bahwa Tuan Timberlake berusaha mengenali dunia yang tidak pernah ditinggalinya. Dunia yang terlalu menarik, terlalu penuh peristiwa. Jiwanya, yang lamban dan sibuk, berada di tempat lain dalam tempat tinggal yang tanpa peristiwa dan tidak menarik. Dia adalah laki-laki yang membosankan, lebih membosankan daripada laki-laki mana pun yang pernah saya kenal; tapi kebodohannya adalah semacam endapan duniawi yang ditinggalkan oleh makhluk yang pikirannya yang encer berada jauh dalam kegembiraan hal-hal metafisik. Ada sedikit ekspresi kesal di wajahnya saat (tentu saja kepada dirinya sendiri) dia menyatakan bahwa dia tidak basah dan bahwa dia tidak akan terkena serangan jantung atau radang paru-paru.

Tuan Timberlake berbicara sedikit saja. Terkadang dia memeras air dari lengan bajunya. Dia sedikit menggigil. Dia memperhatikan uap dari tubuhnya. Saya sudah merencanakan ketika kami berangkat untuk pergi sejauh pintu air saja tapi sekarang memikirkan dua mil lagi dari tanggung jawab ini terlalu berat. Saya berpura-pura ingin pergi hanya sejauh tikungan yang sedang kami dekati, tempat salah satu ladang bunga alamanda terkaya berada. Saya sampaikan hal ini kepadanya. Dia berbalik dan menatap ladang itu dengan bosan. Perlahan kami sampai di tepi sungai.

Kami mengikat perahu dan mendarat.

"Baiklah," kata Tuan Timberlake. Dia berdiri di tepi padang rumput, sama seperti saat dia berdiri di landasan pendaratan —tersesat, tercengang, bingung.

"Senang rasanya bisa meluruskan kaki," kata saya. Saya memimpin jalan menuju bunga-bunga yang lebat. Bunga alamanda begitu lebat sehingga hampir tidak ada yang hijau. Akhirnya saya duduk. Tuan Timberlake menatap saya dan ikut duduk. Lalu saya menoleh padanya untuk membujuknya sekali lagi. Saya yakin, kehormatan adalah masalahnya.

"Tidak seorang pun yang akan melihat kita," kata saya. "Ini tidak terlihat dari sungai. Tanggalkan mantel dan celana panjang Anda dan peraslah."

Tuan Timberlake menjawab dengan tegas: "Aku cukup puas untuk tetap seperti ini."

"Bunga apa ini?" tanyanya untuk mengganti topik pembicaraan.

"Alamanda," kata saya.

"Tentu saja," jawabnya.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saya berbaring tegak di bawah sinar matahari; dan, mengamati dan berpikir bahwa untuk menyenangkan saya, Tuan Timberlake melakukan hal yang sama. Dia pasti mengira bahwa inilah yang ingin saya lakukan ketika berada di dalam perahu. Itu manusiawi. Saya melihat dia pergi bersama saya, untuk menunjukkan kepada saya bahwa dia cuma manusia biasa.

Tapi ketika kami berbaring di sana, saya melihat uap masih mengepul. Saya sudah muak.

"Agak panas," kata saya sambil berdiri.

Dia langsung berdiri.

"Apakah kau mau duduk di tempat teduh?" tanyanya dengan sopan.

"Tidak," kata saya. "Apakah Anda mau?"

"Tidak," katanya. "Aku sedang memikirkanmu."

"Ayo pulang," kata saya. Kami berdua berdiri dan saya membiarkannya lewat di depan saya. Ketika saya melihatnya lagi, saya berhenti mendadak. Tuan Timberlake bukan lagi seorang laki-laki berjas biru tua. Dia tidak lagi biru. Dia sudah berubah rupa. Dia berwarna kuning. Dia ditutupi serbuk sari alamanda, pasta kuning halus yang tercipta karena basah, dari kepala hingga kaki.

"Jas Anda," kata saya.

Dia memandanginya. Dia mengangkat alisnya yang tipis sedikit, tapi dia tidak tersenyum atau berkomentar apa pun.

Laki-laki itu adalah orang suci, pikir saya. Sama sucinya dengan patung berdaun emas di gereja-gereja Sisilia. Emas, dia duduk di perahu. Emas, dia duduk selama satu jam berikutnya saat saya mendayungnya menyusuri sungai. Emas dan bosan. Emas saat kami mendarat di kota dan saat kami berjalan di jalan kembali ke rumah paman saya. Di sana dia menolak untuk berganti pakaian atau duduk di dekat api unggun. Dia mengawasi waktu untuk memastikan keberangkatan kereta apinya kembali ke London. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang bencana atau keindahan dunia. Kalau itu tercetak padanya, itu tercetak di atas hamparan bunga-bunga.

Enam belas tahun sudah berlalu sejak saya menjatuhkan Tuan Timberlake ke sungai dan sejak melihat celananya yang longgar menghancurkan iman saya. Saya tidak melihatnya lagi sejak itu, dan hari ini saya mendengar bahwa dia meninggal. Dia berumur lima puluh tujuh tahun. Ibunya, seorang perempuan tua yang sudah tinggal bersamanya sepanjang hidupnya, masuk ke kamar tidurnya ketika dia bersiap-siap ke gereja dan menemukannya tergeletak di lantai dengan kemeja lengan pendek. Sebuah kerah kaku dengan dasi yang setengah terpasang di salah satu tangannya. Lima menit sebelumnya, katanya kepada dokter, ibunya baru saja berbicara dengannya.

Sang dokter yang melihat tubuh berat yang terbaring di ranjang tunggal itu melihat seorang laki-laki setengah baya, bertubuh lebar bukan gemuk dengan wajah berahang tebal agak kotak yang luar biasa. Dia menjadi gemuk, paman saya memberi tahu saya, di tahun-tahun berikutnya. Pipinya yang tebal dan berwarna hati itu seperti pipi anjing pemburu. Penyakit jantung, jelas, adalah penyebab kematian Tuan Timberlake. Saat meninggal, wajahnya kendur, bahkan kasar dan rusak. Dokter berkata, itu adalah mukjizat bahwa dia bisa hidup begitu lama. Setiap saat selama dua puluh tahun terakhir, guncangan sekecil apa pun bisa membunuhnya.

Saya teringat sore kami di sungai. Saya teringat dia bergantung di pohon. Saya teringat padanya, acuh tak acuh dan berwarna keemasan di padang rumput. Saya mengerti kenapa dia bersikap protektif, datar, senyum otomatis, dan serangkaian kalimat yang bisa dikutip. Dia terus memakainya seperti mantel setelah dia menunduk. Dan saya mengerti kenapa —meskipun saya selalu mengkhawatirkannya selama kami berada di sungai— saya mengerti kenapa dia tidak berbicara kepada saya tentang asal mula kejahatan. Dia jujur. Kera itu bersama kami. Kera yang mengikuti saya sudah berada di dalam tubuh Tuan Timberlake dan memakan jantungnya.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Kasuistis: proses penalaran yang berusaha menyelesaikan masalah moral dengan mengekstraksi atau memperluas aturan abstrak dari kasus tertentu, dan menerapkan kembali aturan tersebut ke kasus yang lain.

2 Pince-nez: gaya kacamata tanpa gagang melainkan dijepitkan di hidung, yang populer pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Namanya berasal dari bahasa Prancis pincer, "menjepit", dan nez, "hidung".

3 Euklides: matematikawan Yunani dari Aleksandria, Mesir.

4 Apollo: dewa cahaya, musik, pemanah, pengobatan, matahari, dan penyair dalam mitologi Yunani dan Romawi.

Comments

Populer