Orang-Orang Berdosa (Sinners ~ Sean O'Faolain)

Orang-Orang Berdosa (Sinners ~ Sean O'Faolain)

Pastor, tanpa melihat para peniten1 yang sedang menunggu, masuk ke bilik pengakuan dosa. Dari dalam dia melihat letih ke deretan peniten di sekeliling bilik Bapa Deeley ini, semua masih seperti patung di tempat mereka duduk menyandar ke dinding, atau membungkuk ke depan untuk membiarkan cahaya dari satu-satunya bola lampu, tinggi di atas atap berventilasi, jatuh di buku doa mereka. Deeley akan memberi mereka waktu masing-masing sekitar sepuluh menit, dan itu berarti dia tidak akan melayani yang terakhir sampai tengah malam. "Lebih banyak masalah dengan koster itu," desah Sang Pastor, lalu menutup tirai dan mengangkat tangannya ke arah jendela geser di kisi-kisi bilik itu.

Dia berhenti. Untuk menghalau kegelisahan yang tiba-tiba datang dia berdoa. Dia sering mengatakan bahwa doa adalah kata-kata untuk melawan hawa nafsu. Dia ingat bahwa di balik kisi-kisi itu ada gadis pelayan kecil yang diusirnya dari bilik itu Sabtu malam kemarin karena terakhir membuat pengakuan lima tahun yang lalu dan tidak terlihat sedikit pun menyesalinya. Dia mengangkat tangannya, tapi berhenti lagi. Untuk menambah kesulitan buat dirinya --karena tidak ada gunanya mengetahui apa yang, di bawah sigillum2, dia seharusnya pura-pura tidak tahu-- dia baru saja diberitahu di sakristi3 oleh pembantunya bahwa sepasang sepatu bot terbaik gadis itu hilang. Kenapa, Tuhan, dia mendesah, orang menceritakan hal-hal seperti itu kepadanya? Apakah dia ingin tahu dosa-dosa orang-orang itu? Apakah pengakuan itu dibuat kepadanya, atau kepada Tuhan? Apakah.... Dia menurunkan tangannya, merasa malu pada perasaan kesalnya, lalu mengulangi doanya. Lalu dia menarik jendela geser, menangkupkan telapak tangan di telinganya untuk mendengarkan, dan melihat tangan gadis itu tergenggam dan terbuka berganti-ganti, seolah-olah keberaniannya adalah seekor burung kecil di dalam telapak tangannya yang sedang berusaha melarikan diri.

"Anakku yang malang," katanya, begitu lembut, dengan sempurna berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang gadis itu, "katakan padaku berapa lama sejak pengakuan terakhirmu."

"Sudah lama, Bapa," bisiknya.

"Berapa lama?" Untuk mendorongnya dia menambahkan, "Setahun lebih?"

"Ya, Bapa."

"Berapa? Katakan padaku, Anakku yang malang, katakan padaku. Dua tahun?"

"Lebih, Bapa."

"Tiga tahun?"

"Lebih, Bapa."

"Ya, ya, kau harus memberitahuku, kau tahu."

Tidak seperti biasanya suaranya sedikit keras. Panggilan "bapa" bukan "pastor" mengganggunya juga. Gadis itu memperhatikan perubahan suaranya, karenanya dia menjawab, terburu-buru, "Ya, Bapa."

"Ya apa?" tanya Sang Pastor sedikit keras.

"Lebih dari tiga tahun, Bapa," gadis itu berbohong.

Dia bertanya-tanya apakah dia akan membiarkan kebohongan itu; tapi hati nuraninya tidak membiarkannya.

"Anakku, berapa lebih dari tiga tahun itu?"

"Iya, iya, Bapa, iya...."

Sang Pastor mencegahnya berbohong.

"Anakku, berapa lebihnya dari tiga tahun itu? Apakah empat tahun? Dan maukah kau memanggilku Pastor?"

Nafasnya menjadi lebih cepat.

"Iya, Bapa. Maksudku, iya lebih, Pastor, Bapa."

"Nah, lebih berapa? Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan pengakuan, kau tahu."

"Lebih sedikit, Bapa."

"Berapa?" bentak Sang Pastor.

"Dua bulan," pembantu itu berbohong, dan tangannya berubah putih di dalam gelap.

Sang Pastor nyaris berharap dia boleh mematahkan segel pengakuan dan mengatakan kepada gadis itu bahwa dia tahu persis siapa dia sebenarnya, dan berapa lama dia sudah tidak membuat pengakuan; tapi yang berani dia katakan hanya, "Aku rasa kau sudah berbohong."

"Oh, Tuhan, Bapa, itu benar."

"Tapi," Sang Pastor menggenggam bantal duduknya, "tidak ada gunanya mengatakan kepadaku sesuatu yang tidak benar. Demi Tuhan, Anakku yang malang," dia mengendalikan dirinya sendiri, "mungkin sudah lima tahun?"

"Sudah lima tahun," pembantu itu mengaku dengan suara begitu pelan sehingga dia nyaris tidak bisa mendengarnya.

Dia mendesah puas. Dia meluruskan rambut di dahinya. Lalu dia membungkuk lebih dekat untuk mendengar dosa-dosa gadis itu, semakin dekat semakin dekat sampai telinganya menempel di kisi-kisi.

"Sekarang," dia memperingatkan, "itu adalah adalah waktu yang lama, Anakku. Tapi, terima kasih Tuhan, kau akhirnya datang kembali. Kau harus mencoba untuk mengingat semua --semua-- dosamu. Biarkan aku membantumu. Anak kecilku yang malang! Cobalah perintah pertama4."

Tapi ketika dia mendengar nafas bergidik gadis itu dia tahu bahwa dia sudah membuat kesalahan; gadis itu akan melihat daftar panjang perintah-perintah yang dilanggarnya di depan matanya dan akan menutupi lebih banyak dosa-dosanya untuk mempersingkat pengakuan itu.

"Maksudku," lanjut Sang Pastor, kesal dengan kebodohannya sendiri, "itu adalah salah satu cara untuk melakukannya. Apakah kau ingin membuat pengakuan seperti itu?"

"Ya, Bapa."

"Bagus sekali."

"Perintah pertama...." Gadis itu berhenti dengan bingung dan menyadari bahwa dia bahkan tidak tahu apa perintah itu.

“Apakah kau pernah tidak ikut Misa di hari Minggu?" dia mencoba membantu gadis itu, walaupun lututnya mulai menari dengan tidak sabar.

"Oh, tidak pernah, tidak pernah sepanjang hidupku."

"Bagus. Apakah kau pernah bersumpah? Menyebut nama Tuhan dengan sembarangan?"

"Tututut!" kata gadis itu merasa ngeri dengan tuduhan itu.

"Apakah kau setiap tidak mematuhi orang tuamu, membuat mereka sakit hati dengan cara apapun, selalu membantah?"

"Aku sudah tidak punya orang tua, Bapa. Nyonya Higg --nyonyaku yang mengeluarkan aku dari panti asuhan."

"Ah! Baiklah... err.... Kebohongan? Kemarahan? Apakah kau pernah berbohong, atau menyerah pada kemarahan?"

"Waduh, aku rasa pernah, Bapa. Aku rasa aku sedikit berbohong sekarang dan nanti."

"Seberapa sering dalam lima tahun itu? Rata-rata saja? Maksudku, apakah itu kelemahanmu? Kebiasaan?"

"Semoga Tuhan memberkati kita, Bapa, tidak banyak. Aku cuma mengatakannya kalau aku merasa takut."

"Yah, kita katakan saja kau berbohong sekali-sekali. Sekarang perintah keenam5. Apakah kau pernah berdosa dalam pikiran, ucapan, atau perbuatan yang menodai kesucianmu? Lawan jenis, misalnya. Apakah kau pernah bertingkah buruk dengan cara apapun dengan laki-laki?"

"Oh!" pembantu itu terkesiap, dan suaranya menebal.

"Mencuri?" tanya Sang Pastor, dan dia menunggu gadis itu mengatakan bahwa dia mencuri sepatu Nyonya Higgins.

"Tidak pernah, Bapa, tidak satu pin pun. Kecuali waktu aku masih kecil aku pernah mencuri sebuah apel di kebun susteran. Lalu mereka menangkapku dan memberiku apel yang sudah terkupas. Lalu mereka mengeluarkan gigitan terakhir dari mulutku."

"Kau tidak pernah mencuri pakaian?" Sang Pastor menuduh, dan tiba-tiba menyadari bahwa tinggal tiga perintah lagi yang tersisa. "Pakaian? Topi? Sarung tangan? Sepatu?"

"Tidak pernah, Bapa."

Lalu ada jeda panjang.

"Sepatu bot?" dia berbisik.

Tiba-tiba gadis itu menangis keras.

"Bapa," dia menangis, "Nyonya Higgins berbohong tentang aku. Aku benci perempuan pucat itu. Aku... aku... aku membencinya. Sungguh. Dia selalu mengintip dan mengolok-olok dan mendorong-dorongku. Dia membawaku dari susteran lima tahun yang lalu dan dia tidak pernah memberiku istirahat barang semenit pun. Dia memanggil namaku dengan hina. Dia mengatakan bahwa aku tidak baik atau tidak sehat sehingga dikeluarkan dari panti asuhan. Dia mengejekku dari pagi sampai sore. Dia pelacur tua."

"Anakku! Anakku!"

"Aku memang mengambil sepatu bot itu. Aku mengambilnya. Tapi aku tidak mencurinya. Aku tidak punya sepatu bot dan dia punya sepatu yang tidak terpakai. Aku mau mengembalikannya."

"Anakku, mengambil tanpa ijin itu sama dengan mencuri."

"Buat apa dia menginginkannya? Tapi dia memang kejam. Putrinya sendiri lari darinya dua tahun yang lalu dan kawin dengan orang Inggris yang setengah Freemason6. Gadis malang itu mengatakannya dengan mulutnya sendiri kepadaku, minggu lalu, bagaimana dia setengah kelaparan bersama suaminya dan mereka tidak punya uang untuk membangun sebuah keluarga. Tapi apakah Anda pikir ibunya akan memberinya uang sepeser saja?"

Gadis itu terisak. Sang Pastor mengerang dan menarik tubuhnya untuk menenangkan dadanya. Dia bisa mendengar angin bersiul di atap dan melihat antrian panjang di kedua sisi bilik Bapa Deeley ini, semua masih seperti patung di senja yang jatuh di lorong itu. Melihat mereka dia mengerang lagi seolah-olah berkata, "Apa gunanya? Mereka semua menipu diri mereka sendiri. Mereka berpikir bahwa semua orang berdosa kecuali diri mereka sendiri. Atau kalau mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang berdosa, dan merasakannya --itu cuma bertahan selagi mereka berada di gereja. Lalu mereka keluar dan dipenuhi dengan rasa iri dan kesombongan dan mereka tidak punya amal." Dia bersandar.

"Anakku, anakku, anakku! Selama lima tahun kau hidup jauh dari Tuhan. Kalau kau mati kau akan mati dengan dosa di jiwamu dan pergi ke neraka untuk selama-lamanya. Ini adalah hukum gereja, dan hukum Tuhan, karena itu kau harus, kau harus membuat pengakuan dosa setidaknya sekali setahun. Mengapa kau pergi begitu jauh? Lihatlah bagaimana pikiranmu sudah rusak sehingga kau bahkan tidak bisa mengenali dosa ketika kau justru sedang melakukan pengakuan dosa. Apakah ada dosa yang belum kau katakan kepadaku karena kau malu mengatakannya?"

"Tidak ada, Bapa."

"Tidakkah nyonyamu mengirimmu ke bilik pengakuan setidaknya sebulan sekali selama lima tahun itu?"

"Dia mengirimku setiap minggu. Tapi selalu Sabtu malam. Dan satu Sabtu malam aku tidak pergi karena aku mau membeli blus sebelum toko tutup. Lalu tiba-tiba sudah enam bulan ketika aku menyadarinya dan aku takut untuk pergi. Dan, lagi pula, apa yang harus kukatakan?"

Sang Pastor melambaikan tangannya lemah dan dengan sarkasme dia berkata:

"Apakah kau tidak pernah melakukan dosa?"

"Aku rasa aku berbohong, Bapa. Dan ada apel di kebun susteran."

Dengan marah Sang Pastor berpaling padanya, bertekad untuk memeras kebenaran darinya. Di biliknya dia mendengar Nyonya Nolan-White, peniten keduanya, batuk dengan tidak sabar.

"Anakku, kau pasti pernah melakukan dosa selama lima tahun itu. Jujurlah pada dirimu sendiri. Datanglah sekarang! Lihat! Ambil dosa yang paling umum dari semuanya. Apakah kau pernah, yang kita, dengan vulgar, menyebutnya... err... menyebutnya pacar?"

"Aku punya --satu kali-- Bapa."

"Baiklah!" Dia mengusap dahinya seperti seorang laki-laki yang sangat kepanasan dan dengan susah-payah mendekat ke arah gadis itu seolah-olah sedang melawan setan di gadis itu. "Kau pernah, bagaimana kita menyebutnya... err... keluar bersamanya?"

"Ya," jawab gadis itu. "Di gang belakang."

"Baiklah, apa yang akan kita katakan? Apakah, bagaimana kau menyebutnya, apakah, err, apakah kau melakukan sesuatu yang intim dengannya?"

"Aku tidak tahu, Bapa."

"Kau tahu bahwa itu tidak sopan, bukan?" seru Sang Pastor.

Napas gadis itu terengah-engah. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia menatap Sang Pastor.

"Anakku yang sangat-sangat malang, kau tampaknya punya pengalaman kecil dengan dunia. Tapi kita harus mendapatkan kebenaran. Apakah dia --apakah kau-- apakah salah satu dari kalian pernah melewati batas-batas kesopanan?"

"Aku tidak tahu, Bapa."

Keras Sang Pastor menghela nafasnya. Dia menjadi kelelahan, tapi dia tidak akan menyerah. Dia mengusap rambutnya serba salah, yang membuatnya terlihat liar. Dia melepas kacamata jepitnya dan menyekanya.

"Kau mengerti bahasa Inggris, kan? Sekarang, katakan kepadaku, katakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kebenarannya. Apakah kau pernah membolehkannya melakukan perbuatan terlarang denganmu?"

"Ya, Bapa. Maksudku tidak, Bapa. Kami berada di gang. Tidak, Bapa. Kami tidak melakukan apa-apa. Tidak banyak, maksudku."

"Lima tahun," keluh Sang Pastor, dan dia meninju pahanya dengan kepalan tangannya. "Dan tidak ada yang harus dikatakan. Orang Kristen macam apa...." Dia bertekad untuk melakukan satu usaha terakhir --satu usaha lagi. "Apakah dia pernah menyentuh tubuhmu?" tanyanya terus terang.

"Tidak, Bapa. Yah, maksudku --tidak, Bapa."

Melihat gadis itu dia mulai merengek lagi dia mengangkat tangannya.

"Baiklah, Nak," katanya lembut. "Ucapkanlah doa penyesalanmu dan aku akan memberimu absolusi7."

"Bapa," gadis itu berbisik, mata hitamnya menembus kisi-kisi, "Aku tidur dengannya satu kali."

Sang Pastor menatapnya. Gadis itu mundur kembali. Dia bersandar dan menatap wajah bersilang-silang di balik kisi-kisi. Lalu dia mulai tersenyum, perlahan-lahan melebarkan mulutnya menjadi sebuah senyum kelegaan.

"Anakku," dia berbisik, "apakah tidak ada yang pernah memberitahumu bahwa kau punya sedikit kekurangan di kepala? Maksudku, kau tidak pintar di sekolah, kan?"

"Aku selalu dapat ranking teratas di sekolah, Bapa. Suster Mary Gonzaga ingin menjadikanku guru."

"Dan," geram Sang Pastor, sekarang benar-benar jengkel, dan lututnya menari ke atas dan ke bawah di atas mata kakinya seperti orang yang sedang sakit gigi, "kau berlutut di sana dan memberitahuku bahwa kau pikir tidur dengan seorang laki-laki tidak berdosa? Yang," tambahnya, sambil lalu, "bukan suamimu?"

"Aku tidak bermaksud jahat, Bapa," gadis itu gemetar ketakutan, "dan itu sama sekali bukan apa yang ada di dalam pikiran Anda, karena kami tidak melakukan apa-apa, dan kalau bukan karena petir dan kilat yang membuatku takut, aku tidak akan melakukannya. Nyonya Higgins pergi ke Crosshaven dengan Nyonya Kinwall, itu putrinya, dan aku sendirian di rumah, dan aku takut gelap dan petir, sehingga Mikey mengatakan dia akan tinggal denganku, jadi dia tinggal, lalu waktu itu sudah larut dan aku takut sendirian di tempat tidur, lalu dia berkata, 'Aku akan menemanimu,' jadi aku berkata, 'Baiklah, Mikey, tapi tidak lebih dari itu,' dan dia berkata, 'Baiklah, Madgie, tidak lebih dari itu,' dan memang tidak lebih dari itu, Bapa."

Gadis itu menatap Sang Pastor, yang menghela nafas dan menggelengkan kepalanya seolah-olah seluruh dunia tiba-tiba menjadi gila.

"Itu tidak salah, Bapa," keluhnya, melihat Sang Pastor tidak percaya padanya.

"Sekali?" tanya Sang Pastor singkat. "Kau melakukannya sekali?"

"Ya, Bapa."

"Apakah kau menyesalinya?" dia bertanya singkat.

"Kalau itu dosa. Apakah itu dosa, Bapa?"

"Itu dosa," dia meraung. "Orang tidak dibolehkan untuk melakukan hal semacam itu. Itu adalah dosa besar. Apapun bisa terjadi. Apakah kau menyesal?" --dan dia bertanya-tanya apakah dia harus mengusir gadis itu dari bilik pengakuan lagi.

"Maafkan aku, Bapa."

"Ceritakan dosa dari kehidupan masa lalumu."

"Apel di kebun, Bapa."

"Ucapkanlah doa penyesalan."

Gadis itu berlari dengan cepat, sambil menatapnya. Ada bulir-bulir keringat di atas bibir gadis itu.

"Ucapkanlah tiga doa Rosario untuk menebus dosamu."

Dia menutup jendela geser dan duduk kembali, kelelahan. Dengan kekuatan dari kebiasaan dia menarik jendela geser di sisi lain bilik itu dan langsung menghirup aroma manis melati, tapi ketika Nyonya Nolan-White sedang berada di tengah-tengah Doa Confiteor8-nya dia melambaikan kedua tangannya di udara dan berkata, terburu-buru:

"Maaf, sebentar.... Aku tidak bisa.... Ini semua tidak masuk akal.... Tidak mungkin...."

Lalu dia menarik jendela geser di hadapan sebuah wajah yang merah, cantik, dan keheranan. Dia mengenakan biretta9-nya, menurunkannya sampai begitu dekat dengan hidungnya, dan keluar ke arah lorong. Dia menyibakkan tirai Nyonya Nolan-White dan berkata:

"Ini tidak mungkin.... Anda tidak akan mengerti.... Selamat malam!"

Dia berjalan di lorong yang remang-remang, dan ketika dia bertemu dua bocah yang sedang bergosip di sudut dia menjitak tengkorak kecil kepala mereka bersamaan, dan langsung merasa jijik dengan dirinya sendiri melihat mereka meringkuk ketakutan. Dia berlalu, tangannya di bawah ekor jubahnya, menggerakkannya ke atas dan ke bawah. Ketika dia melihat dua perempuan tua dengan Kalvari10 besar, menggosok ludah ke kaki Magdalena11 lalu menggosokkan ludah itu ke mata dan tenggorokan mereka, dia mengerang lagi, "Oh, sayang, oh, sayang," dan berjalan ke arah bilik Bapa Deeley. Di sana dia menghitung kepala --empat belas peniten di satu sisi dan dua belas di sisi yang lain, melirik jam emasnya dan melihat sekarang sudah jam delapan seperempat.

Dia berjalan kembali ke bilik tengah dan melemparkan tubuhnya ke samping tirai. Muncul dari balik keremangan wajah bulat dan hangat seorang pendeta muda yang menatapnya --seorang santo Italia merah muda. Pelan-pelan cahaya spiritual hilang dari wajahnya ketika Sang Pastor berbisik kepadanya:

"Bapa Deeley, ini tidak akan berhasil. Saya jamin itu benar-benar tidak mungkin. Setengah sembilan dan dua puluh enam orang lagi untuk didengar pengakuannya. Mereka cuma menipu Anda. Mereka cuma ingin meracau. Saya sudah tua dan saya mengerti mereka. Pikirkan koster itu. Lampu listrik juga! Dan gas akan menyala sampai tengah malam. Organisasi gereja...."

Dan seterusnya. Dia terus meregangkan dan menarik busur senyum di bibirnya, dan bicara dengan suara yang paling lembut. Tapi wajah Deeley semakin susah, dan sedih, dan melihat itu Sang Pastor mengerang dalam hati. Dia ingat seorang pendeta yang bermain organ setiap hari selama berjam-jam, sampai umat mengeluh kalau mereka tidak bisa berdoa dengan suara yang dibuatnya; Sang Pastor ingat bagaimana dia naik ke loteng untuk meminta pendeta itu berhenti, dan pendeta itu menunjukkan wajahnya yang seperti malaikat, dan bagaimana dalam satu setengah menit wajah itu berubah menjadi wajah orang tua yang getir dan kejam.

"Baiklah, Bapa Deeley," katanya buru-buru, menunda protesnya. "Anda masih muda. Saya tahu. Begitupun, Anda masih muda...."

"Saya sudah tidak muda," desis Deeley marah. "Saya tahu tugas saya. Ini adalah masalah hati nurani. Saya bisa duduk dalam gelap kalau dengan begitu Anda...."

"Baiklah, baiklah, baiklah," Sang Pastor melambaikan tangannya, tersenyum marah. "Kita semua sudah tua. Pengalaman tidak usah dihitung...."

"Pastor," kata Deeley, tegas, menaruh dua tangannya di dada, "ketika saya masih di seminari, saya sering berkata pada diri sendiri, 'Deeley,' saya sering berkata, 'ketika kau menjadi imam....'"

"Oh," keluh Sang Pastor, senyum tersungging di bibirnya, "tidak, saya mohon, tolong jangan ceritakan kisah hidup Anda!"

Ketika dia berbalik, wajahnya mengambang di udara, menyalakan dan mematikan lampu listrik di senyumannya kepada para peniten yang dia tidak kenal atau belum pernah dilihatnya sama sekali. Dia menyadari dirinya berada di depan altar. Dia melihat koster berdiri di atas undakan di depan altar sedang menata bunga untuk misa pagi, dan dia berpikir akan baik meminta maaf kepadanya untuk keterlambatan Deeley, tapi koster itu terus memutar-mutar dan memutar dan memutar vas bunga, dan akhirnya dia menyadari bahwa laki-laki kecil itu sudah berpapasan dengannya, memang sengaja menunggu di sana, dan tidak akan turun sampai dia pergi.

Sambil mendesah, dia pergi, dan setelah menulis beberapa surat dia menyadari bahwa perutnya sudah bukan miliknya lagi dan akan mengeluarkan isinya sendiri sampai pagi, seperti anjing yang lari dari kandangnya. Dengan letih dia mengambil topi dan tongkatnya dan memutuskan untuk berjalan-jalan untuk menenangkan sarafnya.

Malam itu adalah malam yang indah dengan cahaya bulan yang mengambang, sejuk, dan mendorongnya untuk turun ke kota dan melihat atap putih seperti ada embun beku di atasnya. Merasa lebih tenang, dia pulang ke rumah. Sungai seperti susu. Jalan-jalan tertidur. Dia bersenandung pelan untuk dirinya sendiri dan merasa damai. Jam-jam di kota berdentang dengan riang, lambat dan dengan gema lembut berirama. Lalu dia mendengar suara seorang perempuan bicara dari jendela tinggi sebuah rumah berdinding semen, dan dia melihat bahwa itu adalah rumah Nyonya Higgins. Perempuan itu mengenakan baju tidur berwarna putih.

"Itu cerita yang bagus!" perempuan itu berseru. "Ha! Sungguh cerita yang luar biasa! Tunggu sampai aku bertemu pastor. Untuk membuat pengakuan! Tunggu sampai aku bertemu para biarawati! Oh, kau perempuan sialan! Kau, orang berdosa yang malang!"

Dia melihat sesosok perempuan meringkuk di ambang pintu.

"Nyonya Higgins," keluhnya, "itu yang sebenarnya. Pastor mengusir saya lagi. Saya mengatakan kepadanya segala macam kebohongan. Saya harus menemui Bapa Deeley. Dia memberi saya waktu setengah jam. Oh, Nyonya Higgins," rengek anak itu. "Itu benar."

"Aha!" seru perempuan dalam gaun tidur itu. "Tapi kau memang bagus. Tunggu sampai aku memberitahunya."

Sang Pastor merasakan anjing di perutnya melompat keluar dari kandangnya lagi. Isi perutnya sudah sampai ke lehernya. Dia berjalan lagi, menarik dan menghembuskan nafasnya.

"Ya, Tuhan!" isaknya. "Kasihanilah aku. Ya, Tuhan! Kasihanilah aku!"

Dia berbalik menuju pastoran yang gelap melalui jalan yang paling gelap.

***

Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.

***

Catatan kaki:

1 Peniten: orang yang melakukan pengakuan dosa.

2 Sigillum: segel, materai; sigillum dei, materai Tuhan, simbol kehadiran Tuhan, terdiri dari dua lingkaran, sebuah pentagram, dan tiga heptagon, bertuliskan nama Tuhan dan malaikat-malaikatnya.

3 Sakristi: bagian ruang gereja tempat mempersiapkan misa kudus.

4 Perintah pertama: Keluaran 20:3, "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku."

5 Perintah keenam: Keluaran 20:14, "Jangan berzinah." (Catatan: ini menurut tradisi Katolik Roma, sementara menurut tradisi Protestan, perintah keenam adalah: "Jangan membunuh.")

6 Freemason: organisasi persaudaraan yang tidak jelas asal-usulnya; tujuan utamanya adalah untuk membangun persaudaraan dan pengertian bersama akan kebebasan berpikir dengan standar moral yang tinggi.

7 Absolusi: pernyataan pengampunan atas dosa-dosa pribadi kepada orang yang bertobat; berasal dari bahasa Latin "absolvo" yang berarti membebaskan.

8 Confiteor: Saya Mengaku, dalam bahasa Latin disebut juga "Mea Culpa"; doa pernyataan tobat yang biasa dibacakan di awal misa atau ketika menerima sakramen pengakuan dosa.

9 Biretta: topi pastor yang berbentuk kotak.

10 Kalvari: salib dengan figur-figur tiga dimensi --Bunda Maria dan murid-murid Yesus, kadang-kadang juga santo-santo yang hidup pada masa berikutnya-- yang mengelilingi peristiwa penyaliban Yesus.

11 Magdalena: Maria Magdalena, Maria dari Magdala; murid perempuan Yesus yang paling terkenal, disebut 12 kali dalam Injil, menemani Yesus ketika disalibkan sekaligus orang pertama yang bertemu Yesus yang bangkit dari kematian; sering dianggap sebagai pelacur yang diselamatkan oleh Yesus, sebuah kesalahan yang diawali dari Paus Gregorius Agung yang pada 14 September 1591 menyebut Maria Magdalena dan pelacur yang disebut di Injil Lukas adalah orang yang sama.

Comments

Populer