Rabi Penyembah Berhala (The Pagan Rabbi ~ Cynthia Ozick)
Rabi Jacob
berkata:“Orang yang
berjalan jauh dan belajar, tapi kemudian berhenti dan berkata,‘Betapa
indahnya pohon itu!’ atau ‘Betapa indahnya ladang yang terlantar itu!’–Kitab Suci
menganggap orang seperti itu sudah melukai dirinya sendiri.”
Ketika aku mendengar bahwa Isaac Kornfeld, seorang laki-laki yang saleh dan cerdas, gantung diri di taman umum, aku memasukkan token di pintu masuk kereta bawah tanah dan pergi untuk melihat pohon itu.
Kami adalah
teman sekelas di seminari rabinik. Ayah kami berdua adalah rabi. Mereka juga
berteman, tapi cuma berteman biasa saja: pada kenyataannya ayah kami saling
bersaing. Mereka bersaing satu sama lain dalam menunjukkan kedermawanan, dalam
gemerlapnya scholia2 mereka, dalam jumlah pengikut mereka.
Dari keduanya, ayah Isaac adalah yang lebih lembut. Aku takut pada ayahku; dia sepertinya
punya penyakit di laringnya, dan kalau dia mengucapkan sesuatu yang sepele
seperti “Bawakan tehnya” kepada ibuku, suaranya akan keluar dengan
terbata-bata, serak, dan seperti penuh dendam.
Tidak seorang
pun dari mereka yang berfilsafat sedikit pun. Itu adalah satu hal yang mereka
sepakati. “Filsafat adalah kekejian,” kata ayah Isaac dulu. Orang Yunani adalah
filsuf, tapi mereka tetaplah anak-anak yang bermain dengan boneka mereka.
Bahkan Socrates, seorang penganut monoteisme, tetap mengirimkan uang ke kuil
untuk membayar dupa buat berhala mereka.”
“Penyembahan berhala adalah kekejian,” Isaac berpendapat, “bukan filsafat.”
“Yang terakhir adalah jalan menuju yang pertama,” kata ayahnya.
Ayahku sendiri
mengklaim bahwa kalau bukan karena filsafat, aku tidak akan pernah terjerumus
ke ateisme yang akhirnya membuatku mengundurkan diri, di tahun keduaku, dari
seminari. Masalahnya bukan filsafat –aku tidak memiliki bakat seperti Isaac:
guru-gurunya kemudian mengatakan tentang dia bahwa imajinasinya begitu luar
biasa sehingga dia bisa menciptakan kesucian dari garis tipis serif3.
Pada hari pemakamannya, presiden perguruan tingginya dikritik karena
berkomentar bahwa, meskipun pelaku bunuh diri tidak boleh dikubur di tanah yang
disucikan, tanah apa pun yang menutupi Isaac Kornfeld secara ipso facto4
disucikan. Perlu dicatat bahwa Isaac gantung diri beberapa minggu sebelum ulang
tahunnya yang ketiga puluh enam; saat itu dia berada di puncak ketenarannya;
dan sang presiden, tentu saja, tidak tahu keseluruhan ceritanya. Dia menilai
berdasarkan reputasi Isaac, yang pada saat itu sangat mengesankan sebelum
kematiannya.
Aku menilai
berdasarkan hal yang sama, dan heran bahwa semua kejeniusan suci dan kejutan
intelektual itu pada akhirnya tidak akan tumbuh lebih tinggi dari dahan
terendah pohon ek muda yang rapuh, dengan akar yang kuat seperti jari-jari kaki
burung griffin5 yang terbuka di tanah basah.
Pohon itu nyaris
berdiri sendiri di padang rumput yang panjang dan kasar, yang menurun ke teluk
yang dipenuhi kerang yang tidak enak dilihat dan bau yang tidak sedap. Tempat
itu disebut Inlet Trilham, dan aku tahu apa arti bau itu: air cokelat dingin
itu menutupi separuh kotoran kota.
Pada hari aku
datang untuk melihat pohon itu, udaranya berkabut. Cuaca sudah memasuki musim
gugur dan, meskipun hari Minggu, jalan-jalannya kosong. Ada sesuatu yang
bersejarah tentang taman itu saat itu, dengan rumputnya yang berkarat dan
monumen-monumen yang terbengkalai. Di depan tugu peringatan seorang prajurit,
karangan bunga plastik yang ditinggalkan beberapa bulan sebelumnya oleh
beberapa pawai sipil berdiri bersandar pada hiasan batu dari para pengunjuk
rasa yang identik dengan kostum perang lama. Spanduk di bagian tengah karangan
bunga menjelaskan bahwa tujuan perang adalah perdamaian. Di pinggiran taman,
mereka sedang membangun jalan raya raksasa. Aku merasa sedang berjalan
melintasi medan perang yang dibungkam oleh kemenangan mesin perdamaian.
Buldoser menggali jauh ke dalam taman, dan bangkai pohon yang dikorbankan sudah
dipotong menjadi kayu gelondongan. Ada lusinan pohon maple, elm, dan ek yang
ditebang. Lingkaran kayu bagian dalam yang lembab mengeluarkan aroma lumbung,
pedesaan, dan pembusukan.
Di padang
rumput paling bawah yang berbatasan dengan air, aku mengenali pohon yang
menyebabkan Isaac berdosa pada hidupnya sendiri. Pohon itu anehnya tampak seperti
sebuah foto –bukan hanya seperti foto di koran yang kubawa dengan hangat di
sakuku, yang memperlihatkan ladang dan penandanya– pancuran air minum beberapa
meter jauhnya, tembok bata yang hancur dari sebuah perkebunan tua di belakang.
Penulis keterangan foto itu secara khusus berkomentar tentang “tali”-nya. Tapi
tali itu sudah tidak ada lagi; jandanya sudah memintanya. Itu adalah selendang
doanya sendiri yang disampirkan Isaac, seorang laki-laki bertubuh pendek, di
leher yang indah dari dahan kedua terendah. Seorang Yahudi dikuburkan di dalam
selendang doanya; polisi menyerahkannya kepada Sheindel. Aku mengamati bahwa
kulit pohon itu tergesek di tempat itu. Pohon itu bersandar ke langit seperti
perangko yang dijilat. Hujan mulai menghantamnya lebih keras lagi. Bau limbah
menguar seperti kerudung di lubang hidung. Bagiku, aku tampak seperti seorang laki-laki
dalam sebuah foto yang berdiri di samping pohon yang berwarna abu-abu. Aku akan
berdiri selamanya di samping rasa bersalah Isaac kalau aku tidak lari, jadi aku
lari malam itu kepada Sheindel.
Aku langsung
jatuh cinta padanya. Aku sekarang berbicara tentang pertama kali aku
melihatnya, meskipun aku tidak mengesampingkan yang terakhir. Yang terakhir
–yang terakhir bersama Isaac– adalah segera setelah perceraianku; dengan satu
gerakan aku meninggalkan bisnis bulu milik istri dan sepupuku ke kota kecil di
bagian utara negara bagian tempat yang tidak disukai oleh mereka berdua.
Tiba-tiba Isaac dan Sheindel dan dua bayi muncul di lobi hotelku –mereka sedang
lewat: Isaac sedang ada acara ceramah di Kanada. Kami duduk di bawah lampu neon
merah dan Isaac menceritakan bagaimana ayahku sekarang tidak bisa berbicara
sama sekali.
“Dia memegang
sumpahnya,” kataku.
“Tidak, tidak,
dia sakit,” kata Isaac. “Ada sumbatan di tenggorokannya.”
“Akulah
sumbatannya. Kau tahu apa yang dia katakan ketika aku meninggalkan seminari.
Dia bersungguh-sungguh, tidak peduli berapa tahun itu. Dia tidak pernah menyapaku
sepatah kata pun sejak itu.”
“Kami sedang
membaca bersama. Dia menyalahkan bacaannya, siapa yang bisa menyalahkannya?
Ayah seperti ayah kita tidak tahu cara mencintai. Mereka terlalu banyak menghabiskan
waktu di dalam rumah.”
Itu adalah
pernyataan yang aneh, meskipun aku terlalu sibuk dengan kebencianku sendiri
untuk menyadarinya. “Itu bukan apa yang kita baca,” aku keberatan. “Taurat
mengatakan bahwa seorang laki-laki terhormat tidak serta merta memiliki putra
yang terhormat. Kalau tidak, dia tidak akan rendah hati seperti orang lain.
Banyak pelajaran sekolah yang masih aku ingat. Nah, jadi ayahku selalu percaya
bahwa dia lebih terhormat daripada siapa pun, terutama lebih dari ayahmu.
Karena itu, aku menyampaikannya dalam irama Talmud6, ‘kesempatan apa
yang aku miliki? Seorang yang bodoh dan tidak memiliki Sitzfleish7.’
Sekarang kau, kau bisa menjawab pertanyaan yang bahkan belum ditemukan.
Kemudian kau menciptakan pertanyaannya.”
“Taurat bukan
sekop,” kata Isaac. “Seorang laki-laki harus memiliki mata pencaharian. Kau
sudah punya.”
“Kulit
binatang yang mati juga bukan makhluk hidup, itu adalah penistaan.”
Sementara itu
Sheindel duduk dengan tenang; bayi-bayi, perempuan dengan stoking panjang,
tertidur dalam pelukannya. Dia mengenakan topi wol tebal berwarna gelap –saat
itu bulan Juli– yang menutupi setiap bagian rambutnya. Tapi, aku pernah melihat
rambutnya dengan kilau hitamnya yang berkilau.
“Dan Jane?”
tanya Isaac akhirnya.
“Ngomong-ngomong
soal binatang yang mati. Katakan pada ayahku –dia tidak akan menjawab surat, dia
tidak akan mengangkat telepon– bahwa dalam masalah pernikahan, dia benar, tapi
karena alasan yang salah. Kalau kau tidur dengan seorang Puritan, kau akan
masuk ke dalamnya dengan dingin dan kau akan keluar darinya dengan dingin juga.
Dengar, Isaac, ayahku menyebutku seorang ateis, tapi di balik seprai setiap
orang Yahudi percaya pada mukjizat, bahkan yang sudah murtad.”
Dia tidak
berkata apa-apa saat itu. Dia tahu aku iri padanya karena Sheindel dan
keberuntungannya. Tidak seperti ayah kami, Isaac tidak pernah mengutukku atas
pernikahanku, yang dianggap ayahnya sebagai kemenangan pribadinya atas ayahku,
dan yang oleh ayah, dalam kekalahannya di depan umum, dianggap sebagai
kesempatan untuk menyatakan bahwa aku sudah mati. Dia merobek pakaiannya dan
duduk di bangku selama delapan hari, sementara ayah Isaac datang untuk
melihatnya berkabung, diam-diam merasa puas, meskipun dengan suara keras dia mengutuk
semua orang murtad. Isaac tidak menyukai istriku. Dia memanggilnya jerami
kuning yang tinggi. Setelah kami menikah, dia tidak pernah mengatakan sepatah
kata pun yang jelek tentangnya, tapi dia menjauh.
Aku pergi
bersama istriku ke pernikahannya. Kami naik kereta api pagi, tapi ketika kami
tiba, pesta sudah dimulai, dan para tamu sudah larut dalam tarian.
“Lihat, lihat,
mereka tidak berdansa bersama,” kata Jane.
Siapa?”
“Para laki-laki
dan perempuan. Pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.”
“Hitung juga bayi-bayi,”
saranku. “Orang Yahudi juga orang Puritan, tapi cuma di depan umum.”
Pengantin perempuan
terkurung sendirian di kursi lurus di tengah lingkaran pemuda yang berputar.
Lantai terangkat di bawah pusaran mereka. Mereka menghentakkan kaki, lampu
gantung bergetar, para tamu berteriak, para pemuda dengan lengan yang saling
bertautan berputar-putar dan kopiah mereka beterbangan seperti balon
sentrifugal. Isaac, diselubungi jas hitam, kaki yang menghentak, hilang di
jejak planet yang dipenuhi jas hitam dan kaki yang bersemangat. Para pemuda
yang menari meneriakkan lagu-lagu pengantin, lantai miring seperti piring,
seluruh ruangan bergoyang.
Isaac
menceritakan sesuatu tentang Sheindel kepadaku. Sebelumnya aku belum pernah
melihatnya. Dia lahir di kamp konsentrasi, dan mereka akan melemparkannya ke
pagar listrik ketika satu pasukan menyerbu gerbang; arus listrik menghilang
dari kabel yang mengerikan itu, dan dia tidak menunjukkan apa pun setelahnya
kecuali tanda di pipinya seperti tanda bintang, karena tertusuk kawat berduri.
Tanda bintang itu menunjuk ke catatan kaki yang sudah jelas: dia tidak punya
ibu untuk ditunjukkan, dia tidak punya ayah untuk ditunjukkan, tapi dia, luar
biasanya, punya Tuhan untuk ditunjukkan. Dia dikenal, untuk seorang gadis
seumurnya, sangat terpelajar. Dia baru berumur tujuh belas.
“Rambutnya indah
sekali,” kata Jane.
Sekarang
Sheindel sedang berdansa dengan ibu Isaac. Semua perempuan membuat pagar, dan
sang pengantin, berputar-putar dengan ibu mertuanya, kehilangan sepatu dan
jatuh di antara barisan panjang yang tertawa. Para perempuan mengangkat dada
mereka yang berkilauan dalam gaun berenda mereka dan tertawa; para pemuda,
menghentakkan kaki dua-dua, terus meneriakkan lagu-lagu pernikahan mereka.
Sheindel menari tanpa sepatunya, dan rambut hitamnya mengikutinya.
“Setelah hari
ini dia harus menyembunyikan semuanya,” jelasku.
Jane bertanya kenapa.
“Agar tidak
menjadi godaan bagi laki-laki,” kataku padanya, dan diam-diam mencari ayahku.
Di sanalah dia, dalam bayangan, terpisah. Mataku bertemu dengan matanya. Dia
membalikkan badan dan mencengkeram tenggorokannya.
"Itu
pengalaman yang sangat antropologis," kata Jane.
"Pernikahan
adalah pernikahan," jawabku padanya, "di antara kami bahkan lebih
dari itu."
"Apakah
itu ayahmu di sana, laki-laki kecil yang cemberut itu?"
Bagi Jane
semua orang Yahudi itu kecil. "Ayahku seorang pendeta. Ya."
"Pernikahan
bukanlah pernikahan," kata Jane: kami hanya punya surat izin dan hakim
yang bau mulut.
"Semua
orang menikah karena alasan yang sama."
"Tidak,"
kata istriku. "Ada yang karena cinta dan ada yang karena dendam."
"Dan
semua orang karena ranjang."
"Ada yang
karena dendam," desaknya.
"Aku
tidak pernah cocok menjadi pendeta," kataku. "Ayahku yang malang
tidak melihat itu."
"Dia
tidak berbicara padamu."
"Cuma
masalah teknis. Dia kehilangan suaranya."
"Yah, dia
tidak sepertimu. Dia tidak melakukannya karena dendam,” kata Jane.
“Kau tidak
mengenalnya,” kataku.
Dia
kehilangannya semuanya pada minggu ketika Isaac menerbitkan koleksi responsa8
pertamanya yang luar biasa. Ayah Isaac mengoceh seperti ayam jantan yang
berkokok dengan penuh semangat, dan membawa serta istrinya ke Tanah Suci untuk
membanggakan diri di tanah suci. Isaac sedikit lega; dia baru saja diangkat
menjadi Profesor Sejarah Mishnah9, dan tingkah laku, kepura-puraan,
dan persaingan bodoh ayahnya merupakan hal yang memalukan. Mudah untuk
menghormati seorang ayah dari jauh, tapi sulit untuk menghormati seseorang yang
sudah meninggal. Seorang dokter bedah memotong pita suara ayahku, dan dia
meninggal tanpa sepatah kata pun.
Isaac dan aku
tidak pernah bertemu lagi. Cara hidup kami terlalu berbeda. Isaac terkenal, kalau
tidak di dunia, pasti di dunia para ahli hukum dan sarjana. Saat ini aku
memperoleh kemitraan di sebuah toko buku kecil di ruang bawah tanah. Mitraku
menjual bagiannya kepadaku, dan aku memasang tanda baru: “Gudang Buku”; untuk
alasan yang lebih samar daripada alasan berbakti kepada orang tua (meskipun aku
berharap ayahku bisa melihatnya) aku mendirikan sebuah bagian yang dikhususkan
terutama untuk karya-karya teologis yang tidak terlalu langka, terutama dalam
bahasa Ibrani dan Aram, meskipun aku memasukkan beberapa karya berbahasa Latin
dan Yunani juga. Ketika volume kedua Isaac sampai ke rakku (aku sudah
memperluas ke tingkat jalanan), aku menulis surat untuk memberi selamat
kepadanya, dan setelah itu kami berkorespondensi, tidak dengan teratur. Dia
mulai memesan semua bukunya dariku, dan kami bertukar lelucon kecil yang
canggung. “Aku masih berbisnis jaket,” kataku padanya, “tapi sekarang aku
merasa berada di tempat aku seharusnya berada. Terakhir kali aku pergi terlalu
jauh.” “Sheindel baik-baik saja, dan Naomi dan Esther memiliki seorang saudara
perempuan,” tulisnya. Dan kemudian: “Naomi, Esther, dan Miriam memiliki seorang
saudara perempuan.” Dan kemudian lagi: “Naomi, Esther, Miriam, dan Ofra
memiliki seorang saudara perempuan.” Itu berlanjut sampai ada tujuh anak
perempuan. "Tidak ada dalam Taurat yang mencegah seorang laki-laki
terhormat memiliki anak perempuan terhormat," tulisku kepadanya ketika dia
mengatakan bahwa dia sudah putus asa untuk mendapat seorang rabi lagi dalam
keluarganya. "Tapi di mana Anda bisa menemukan tujuh suami
terhormat?" tanyanya. Setiap perintah menghasilkan lelucon lain, dan kami
bercanda bolak-balik dengan cara ini selama beberapa tahun.
Aku perhatikan
bahwa dia membaca semuanya. Dulu dia membakar semangatku, tapi aku tidak pernah
bisa mengikutinya. Begitu aku melihat kegembiraannya di Saadia Gaon10,
dia sudah melompat ke depan Yehudah Halevi11. Suatu hari dia
menangis bersama Dostoevsky dan hari berikutnya melompat ke udara di atas
Thomas Mann. Dia memperkenalkan aku pada Hegel dan Nietzsche sementara para
leluhur kami meratap. Bacaannya yang matang tidak lebih damai daripada kegilaan
masa mudanya, ketika aku menemuinya di ruang kelas yang terbengkalai saat
senja, kakinya yang berkaus kaki di ambang jendela, cahaya sudah tersapu awan
kota terendah, tampak seperti laki-laki yang setengah basah dengan cetakan. Tapi
ketika jandanya bertanya kepadaku –dengan menutupi kewaspadaan atau kejengkelan
yang berlebihan– apakah sepengetahuan aku Isaac akhir-akhir ini memesan buku
tentang hortikultura, aku heran.
“Dia membeli
banyak buku,” aku bergumam.
“Ya, ya, ya,”
katanya. “Bagaimana kau bisa mengingatnya?”
Dia menuangkan
teh dan kemudian, dengan gerakan yang hati-hati, mengangkat jas hujanku yang
basah kuyup dari kursi tempat aku melemparkannya dan membawanya keluar ruangan.
Itu adalah apartemen yang penuh sesak, tidak terlalu rapi, jauh dari jorok,
berantakan dengan boneka dan piring kecil serta deretan sepeda roda tiga. Meja
makannya sebesar gurun. Sebuah renda rajutan kuno membaginya menjadi dua
bagian, dan di ujungnya, di zona netral, bisa dibilang begitu, Sheindel
meletakkan cangkirku. Tidak ada peninggalan fisik Isaac: bahkan tidak ada buku.
Dia kembali. “Anak-anakku
sudah tidur semua, kita bisa bicara. Sungguh cobaan berat bagimu, cuaca seperti
ini dan pergi jauh ke tempat itu.”
Tidak mungkin
untuk mengatakan apakah dia marah atau tidak. Aku menyerbunya seperti hujan itu
sendiri, menyebarkan tetesan, sepatuku penuh dengan dedaunan.
“Aku mengerti
betul kenapa kau pergi ke sana. Dorongan seorang detektif,” katanya. Suaranya
mengandung ironi yang mengejutkanku. Itu sangat jelas dan beraksen, dan karena
itu sangat tepat. Seolah-olah setiap kata memancarkan benang putih cepat yang
sangat murni, seperti sutra keras, yang kemudian harus dia gigit dengan bersih.
“Kau pergi untuk menemukan sesuatu? Suasana? Kesedihan itu sendiri?”
“Tidak ada
yang bisa dilihat,” kataku, dan mengira aku gila karena menghalangi jalannya.
“Apakah kau
menggali tanah? Dia mungkin mengubur sebuah catatan selamat tinggal.”
“Apakah ada
catatan?” tanyaku, terkejut.
“Dia tidak
meninggalkan apa pun untuk manusia biasa seperti dirimu.”
Aku melihat
dia sedang mempermainkanku. “Rebbetzin12 Kornfeld,” kataku sambil
berdiri, “maafkan aku. Tolong ambilkan mantelku, dan aku akan pergi.”
“Duduklah,”
perintahnya. “Akhir-akhir ini Isaac jarang membaca, apakah kau
memperhatikannya?”
Aku tersenyum
sopan padanya. “Meskipun begitu, dia semakin banyak membeli.”
“Ingat-ingatlah,”
katanya. “Aku percaya padamu. Kaulah satu-satunya yang mungkin tahu. Aku sudah lupa.
Mungkin Tuhan yang mengirimmu.”
“Rebbetzin
Kornfeld, aku cuma seorang penjual buku.”
“Tuhan dalam
penghakimanNya mengirimku seorang penjual buku. Sudah lama sekali Isaac tidak
pernah membaca di rumah. Ingat-ingatlah! Agronomi?”
“Aku tidak
ingat apa pun seperti itu. Apa yang diinginkan seorang Profesor Sejarah Mishnah
dengan agronomi?”
“Kalau dia
memiliki buku baru di tangannya, dia akan langsung membawanya ke seminari dan
menyembunyikannya di kantornya.”
“Aku mengirim
surat ke kantornya. Kalau kau suka, aku bisa mencari beberapa judulnya-”
“Kau berada di
taman dan tidak melihat apa pun?”
“Tidak ada.”
Kemudian aku merasa malu. “Aku melihat pohon itu.”
“Dan apa itu?
Pohon itu tidak ada apa-apanya.”
“Rebbetzin
Kornfeld,” aku memohon, “adalah kebodohan bahwa aku datang ke sini. Aku sendiri
tidak tahu kenapa aku datang, maaf, aku tidak tahu-”
“Kau datang
untuk mencari tahu kenapa Isaac bunuh diri. Botani? Atau bahkan, tolong
dengarkan, bahkan mikologi? Dia tidak pernah memintamu untuk mengirim sesuatu
tentang jamur? Atau yang berhubungan dengan herba? Pupuk kandang? Bunga? Jenis
puisi pertanian tertentu? Buku tentang berkebun? Kehutanan? Sayuran? Menanam
sereal?”
“Tidak ada,
tidak ada yang seperti itu,” kataku bersemangat. “Rebbetzin Kornfeld, suamimu
seorang rabi!”
“Aku tahu
seperti apa suamiku. Ada hubungannya dengan tanaman anggur? Tanaman rambat? Padi?
Ingatl-ingatlah, ingat, ingat! Semua yang ada hubungannya dengan tanah –padang
rumput– kambing, pertanian, jerami –apa saja, apa saja yang berbau pedesaan
atau bulan-”
“Bulan! Ya
Tuhan! Apakah dia seorang guru atau tukang kebun? Kambing! Apakah dia seorang
pedagang bulu? Sheindel, kau gila? Akulah yang pedagang bulu! Apa yang kau
inginkan dari orang yang sudah mati?”
Tanpa sepatah
kata pun dia mengisi kembali cangkirku, meskipun cangkir itu sudah lebih dari
setengah penuh, dan duduk di hadapanku, di sisi lain garis batas renda. Dia
mencondongkan wajahnya ke telapak tangannya, tapi aku melihat matanya. Dia
membiarkannya terbuka lebar.
“Rebbetzin
Kornfeld,” kataku, menenangkan diri, “dengan tragedi seperti ini-”
“Kau berpikir
aku menyalahkan buku-buku itu. Aku tidak menyalahkan buku-buku itu, apa pun
itu. Kalau dia setia pada buku-bukunya, dia pasti masih hidup.”
“Dia hidup,”
teriakku, “dalam buku-buku, apa lagi?”
“Tidak,” kata
janda itu.
“Seorang
sarjana. Seorang rabi. Seorang Yahudi yang luar biasa!”
Mendengar itu,
dia tertawa terbahak-bahak. “Katakan padaku, aku selalu sangat tertarik dan
malu untuk bertanya. Ceritakan tentang istrimu.”
Aku menyela: “Sudah
bertahun-tahun aku tidak punya istri.”
“Seperti apa
mereka, orang-orang itu?”
“Mereka persis
seperti kita, kalau kau bisa membayangkan seperti apa kita kalau kita seperti
mereka.”
“Kita tidak
seperti mereka. Tubuh mereka lebih berarti bagi mereka daripada tubuh kita bagi
kita. Buku-buku kita suci, bagi mereka tubuh mereka suci.”
“Tubuh Jane
begitu suci sehingga dia hampir tidak pernah membiarkanku mendekatinya,”
gerutuku dalam hati.
“Isaac dulu
suka lari di taman, tapi napasnya cepat sekali hilang. Sebaliknya, dia membaca
buku tentang pelari dengan topi yang terbuat dari daun.”
“Sheindel,
Sheindel, apa yang kau harapkan darinya? Dia seorang terpelajar, dia duduk dan
berpikir, dia seorang Yahudi.”
Dia menepukkan
kedua tangannya. “Dia bukan.”
Aku tidak bisa
menjawab. Aku hanya menatapnya. Dia sekarang lebih kurus daripada saat dia
masih muda, dan wajahnya memiliki corak di antaranya, masih pedih di mulut dan
rahang, mulai tumbuh kasar di kedua sisi hidungnya.
“Kurasa dia
tidak pernah menjadi seorang Yahudi,” katanya.
Aku
bertanya-tanya apakah bunuh diri Isaac sudah membuatnya goyah.
“Aku akan
menceritakan sebuah kisah,” lanjutnya. “Sebuah kisah tentang kisah. Itulah
kisah-kisah sebelum tidur yang diceritakan Isaac kepada Naomi dan Esther:
tentang tikus-tikus yang menari dan anak-anak yang tertawa: Ketika Miriam
datang, dia menciptakan awan yang bisa berbicara. Dengan Ofra, awan itu adalah
kura-kura yang menikahi sehelai rumput yang layu. Pada masa Lea, batu-batu itu
menangis karena tidak memiliki kaki. Rebecca menangis karena pohon yang berubah
menjadi seorang gadis dan tidak akan pernah bisa menumbuhkan warna lagi di
musim gugur. Shiphrah, yang terkecil, percaya bahwa seekor babi memiliki jiwa.”
“Ayahku
sendiri dulu menjejaliku setiap malam dengan bacaan suci. Itu adalah masa kecil
yang mengerikan.”
“Dia
bersikeras untuk piknik. Setiap kali kami pergi semakin jauh ke pedesaan. Itu
adalah kegilaan. Isaac tidak pernah mau repot belajar mengendarai mobil, dan
selalu ada keranjang-keranjang yang harus dibawa dan kekacauan bus dan kereta
api dan tujuh gadis liar yang kelelahan. Dan dia akan mencari tempat-tempat
khusus –kita tidak bisa menetap di sini atau sana saja, harus ada sungai kecil
atau lereng atau hutan kecil. Kemudian, meskipun dia mengatakan itu semua demi
kesenangan anak-anak, dia akan meninggalkan mereka dan pergi sendiri dan tidak
pernah kembali sampai matahari terbenam, sampai semuanya tumpah dan udara
membeku dan anak-anak menangis.”
“Aku sudah
dewasa baru bisa memiliki kesempatan untuk pergi piknik,” aku mengakui.
“Aku baru bicara
tentang awalnya,” kata janda itu. “Sepertimu, bukankah aku tertipu? Aku
tertipu, aku terpesona. Pulang ke rumah dengan keranjang berisi buah beri dan
bunga, kami adalah rombongan yang romantis. Cerita-cerita Isaac pada
malam-malam itu penuh dengan rekayasa gelap. Semoga Tuhan melindungiku, aku
bahkan memintanya untuk menuliskannya. Kemudian tiba-tiba dia bergabung dengan
sebuah klub, dan pada Minggu pagi dia bangun dan pergi sebelum fajar.”
“Ke klub?
Sepagi itu? Perpustakaan mana yang buka pada jam segitu?” kataku, tercengang
bahwa orang seperti Isaac mau bersekutu dengan sesuatu yang meragukan seperti
itu.
“Ah, kau tidak
mengerti, kau tidak mengerti. Itu adalah klub pendakian, mereka bertemu di
bawah bulan. Kupikir itu sangat disayangkan, sepanjang minggu Isaac begitu
menyendiri, dia butuh udara untuk pikirannya. Dia biasa pulang ke rumah dalam
keadaan terlalu lelah untuk berdiri. Dia berkata dia pergi untuk menikmati
pemandangan alam. Aku sepertimu, aku menerima apa yang kudengar, aku mendengar
semuanya dan tidak pernah mengerti. Dia akhirnya keluar dari klub para pendaki,
dan aku percaya semua keanehan itu sudah berakhir. Dia mengatakan kepadaku
bahwa tidak masuk akal untuk berjalan dengan kecepatan seperti itu, dia adalah
seorang guru dan bukan seorang atlet. Kemudian dia mulai menulis.”
“Tapi dia
selalu menulis,” bantahku.
“Tidak seperti
itu. Yang ditulisnya cuma dongeng. Dia terus melakukannya dan untuk sementara
waktu dia mengabaikan semua hal lainnya. Itu adalah keanehan dalam bentuk lain.
Cerita-cerita itu mengejutkanku, mereka sangat buruk dan membosankan. Ide-ide cerita
itu sedikit mirip dengan ide-ide yang dia gunakan untuk menakut-nakuti
gadis-gadis, tapi penuh dengan catatan, lampiran, kata pengantar. Aku sadar
bahwa dia tampaknya tidak mengerti bahwa dia cuma mengarang cerita dongeng.
Padahal sebenarnya cerita-cerita itu sangat biasa –penuh dengan peri, bidadari,
dewa, segala sesuatu yang biasa dan kuno.”
"Bolehkah
aku melihatnya?"
"Terbakar,
semuanya terbakar."
"Isaac
membakarnya?"
"Kau
tidak berpikir aku akan melakukannya! Aku mengerti apa yang kau pikirkan."
Memang benar
aku mengagumi kebenciannya. Kurasa dia salah satu dari mereka yang terlahir
untuk takut pada imajinasi. Aku diliputi rasa dingin padanya, meskipun
pemandangan tangannya yang kecil dengan jari-jarinya yang gemetar
berputar-putar di depan wajahnya seperti gerbang pada engsel mengingatkanku
pada tempat dia dilahirkan dan siapa dia. Dia adalah seorang yatim piatu dan
diselamatkan oleh keajaiban dan merasa takut akan hal itu. Rasa dingin itu
lenyap. "Kenapa kau harus terganggu oleh cerita-cerita kecil?"
tanyaku. "Bukan cerita-cerita itu yang membunuhnya."
"Bukan, bukan,
bukan cerita-cerita itu," katanya. "Hal-hal bodoh yang korup. Aku
senang ketika dia menyerahkannya. Dia menumpuknya di bak mandi dan membakarnya
dengan korek api. Kemudian dia meletakkan buku catatan di saku mantelnya dan
berkata dia akan berjalan-jalan di taman. Minggu demi minggu dia mencoba semua
taman di kota itu. Aku tidak menyangka apa yang dia cari. Suatu hari dia naik
kereta bawah tanah dan melaju hingga ujung jalur, dan akhirnya taman itulah
yang dia cari. Dia pergi ke sana setiap hari setelah mengajar. Satu jam pergi,
satu jam kembali. Pukul dua, tiga pagi dia pulang. ‘Apa ini olahraga?’ kataku.
Kupikir dia mungkin mulai berlari lagi. Dia biasanya menggigil karena dinginnya
malam dan embun. ‘Tidak, aku cuma duduk diam saja,’ katanya. ‘Apakah lebih
banyak cerita yang kau buat di luar sana?’ ‘Tidak, aku cuma mencatat apa yang
kupikirkan.’ ‘Seorang laki-laki harus bermeditasi di rumahnya sendiri, bukan di
malam hari di dekat air yang buruk,’ kataku. Pukul enam, tujuh pagi dia pulang.
Aku bertanya apakah dia mau mencari kuburannya di tempat itu.”
Dia berhenti
dengan batuk, setengah dibuat-buat dan setengah pasrah, begitu keras hingga
membuatnya menjulurkan leher ke arah kamar tidur untuk melihat apakah dia sudah
membangunkan seorang anak. “Aku tidak tidur lagi,” katanya padaku. “Lihatlah
sekelilingmu. Lihat, lihat ke sekeliling, lihat di ambang jendela. Apakah kau
melihat tanaman, tanaman rumah yang umum? Aku turun ke bawah suatu malam dan
memberikannya kepada pengumpul sampah. Aku tidak bisa tidur di tempat yang sama
dengan tanaman. Mereka seperti pohon kecil. Apakah aku gila? Ambillah buku
catatan Isaac dan kembalikan kalau kau sudah selesai.”
Aku menurut.
Di kamarku sendiri, tempat yang sepi, tanpa hiasan apa pun kecuali beberapa
tangkai cantik dalam pot, aku tidak menunda dan mengambil buku catatan itu. Itu
adalah buku kecil, berukuran tiga inci kali lima inci, dengan halaman bergaris
yang dibuka dengan membuka kawat yang melingkar. Aku membaca dengan saksama,
berharap menemukan sesuatu yang tidak mudah terlihat. Sheindel dengan
sindirannya yang melankolis sudah membuat aku percaya bahwa dalam beberapa
lembar ini Isaac sudah mengungkapkan alasan bunuh dirinya. Tapi semuanya
mengecewakan. Tidak ada sepatah kata pun yang penting. Setelah beberapa saat aku
menyimpulkan bahwa, apa pun motifnya, Sheindel mempermainkan aku lagi. Dia
bermaksud menghukum aku karena menanyakan hal yang tidak boleh ditanyakan. Rasa
ingin tahuku menyinggung perasaannya; dia memberiku buku catatan Isaac bukan
untuk memberi pencerahan, tapi untuk menegur. Tulisan tangannya bisa dikenali tapi
bentuknya aneh, goyang dan seperti ditulis oleh orang yang sudah tua, seperti
tulisan seorang laki-laki di luar ruangan tanpa meja yang menulis dengan
telapak tangannya atau dengan lututnya yang terangkat atau bersandar pada
sebatang kulit kayu; dan tidak diragukan lagi bahwa daun-daun yang keriput,
dengan sudut-sudutnya yang kasar, sudah keluar masuk dari saku seseorang. Jadi
aku tidak meragukan anekdot gila Sheindel; sejauh ini benar: sebuah taman,
Isaac, sebuah buku catatan, semuanya sekaligus, tapi tidak lebih dari sekadar
menandakan bahwa seorang profesor yang secara harfiah sudah berubah pikiran sudah
berjalan-jalan. Bahkan ada noda hijau tepat di salah satu kutipan, seolah-olah
buku catatan itu sudah jatuh ke rerumputan dan diinjak.
Aku lupa
menyebutkan bahwa buku catatan itu, meskipun isinya sedikit, tertulis dalam
tiga bahasa. Bahasa Yunani sama sekali tidak bisa kubaca, tapi bentuknya
seperti syair. Bahasa Ibrani cuma campuran, yang sebagian besar diambil dari
Kitab Imamat dan Ulangan. Di antara semuanya itu aku temukan kutipan berikut,
yang kira-kira:
Tentu saja,
ini adalah catatan biasa tanpa hiasan, seperti yang biasa dibuat oleh seorang
dosen untuk mengingatkan dirinya sendiri tentang teks, dengan frasa yang
dipotong di sana-sini demi mempercepat pekerjaannya. Atau aku pikir mungkin
Isaac saat itu sedang mempersiapkan makalah tentang komentar Talmud untuk
bagian-bagian ini. Apa pun masalahnya, kutipan yang tersisa, terutama dari
puisi Inggris, hanya sedikit menarik bagiku. Itu adalah elegi favorit dari
seorang Romantis yang tertutup. Aku jijik dengan Alam Isaac: itu ditulis dengan
huruf kapital, dan berbau seperti Gudang Buku-ku. Jelas bagiku bahwa
akhir-akhir ini dia menjadi sangat akademis: dia tidak bisa melihat rumbai
rumput liar tanpa menemukan referensi klasik untuknya. Dia meletakkan sepotong
Byron, sedikit Keats (seperti salinan Kitab Sucinya, ini juga ringkas dan cuma
potongan saja), sepasang baris terpotong dari Tennyson, dan kwatrin yang tidak
bertanda dan kaku ini:
Tapi, tidak semuanya diambil. Masih ada satu Dryad
Melayang di antara hutan, satu Oread meluncur di atas bukit;
Putih di sungai yang berbisik masih berkilauan satu Naiad;
Keindahan bumi masih dihantui demit.
Semua ini
begitu memuakkan dan membosankan dan menggelikan, dan juga sangat bertele-tele,
sehingga aku merasa malu padanya. Tapi tidak ada yang lain, tidak ada yang
menebusnya dan tidak ada yang bersifat pribadi, hanya satu atau dua kalimat
dalam gaya orang terpelajar yang kaku dan terkendali, tidak seperti lelucon
kecil kaku dalam korespondensi kami. “Aku menulis saat senja sambil duduk di
atas batu di Taman Inlet Trilham, dalam jarak pandang Inlet Trilham, sebuah
teluk di utara kota, dan dalam jarak dua meter dari pohon ramping, Quercus velutina15, yang umurnya, kalau seseorang ingin mengukurnya, bisa
dipastikan dengan (amit-amit) menebang batangnya dan menghitung lingkarannya. Laki-laki
yang menulis ini berumur tiga puluh lima tahun dan menua terlalu cepat, yang bisa
dipastikan dengan menghitung lingkaran di bawah matanya yang rabun.” Di bawah
ini, yang disengaja dan lebih mudah dibaca daripada yang lain, muncul tiga kata
aneh:
Pan yang Agung masih hidup.
Itu saja.
Dalam sehari lebih sedikit, aku mengembalikan buku catatan itu ke Sheindel. Aku
berkata pada diri sendiri bahwa dia memiliki tujuh anak yatim yang harus
dikhawatirkan, dan menekan kemarahanku karena sudah ditipu.
Dia
menungguku. “Aku minta maaf, ada surat di buku catatan itu, surat itu terjatuh.
Aku menemukannya di karpet setelah kau pergi.”
“Terima kasih,
tidak,” kataku. “Aku sudah cukup membaca dari buku saku Isaac.”
“Lalu kenapa kau
datang menemuiku?”
“Aku datang,”
kataku, “cuma untuk menemuimu.”
“Kau datang
untuk Isaac.” Tapi itu lebih seperti mengejek daripada putus asa. “Aku memberimu
semua yang kau butuhkan untuk melihat apa yang terjadi dan kau masih tidak
mengerti. Ini.” Dia mengulurkan kertas besar seukuran buku hukum. “Baca
suratnya.”
“Aku sudah
membaca buku catatannya. Kalau semua yang aku perlukan untuk memahami Isaac ada
di buku catatan itu, aku tidak memerlukan surat itu.”
“Itu surat
yang dia tulis untuk menjelaskan dirinya sendiri,” dia bersikeras.
“Kau
mengatakan kepadaku bahwa Isaac tidak meninggalkan catatan apa pun untukmu.”
“Itu bukan
ditulis untuk aku.”
Aku duduk di
salah satu kursi ruang makan dan Sheindel meletakkan halaman itu di atas meja
di hadapanku. Halaman itu terbuka di pembatas berenda. Aku tidak melihatnya.
“Itu surat
cinta,” bisik Sheindel. “Ketika mereka menurunkannya, mereka menemukan buku
catatan di satu saku dan surat di saku lainnya.”
Aku tidak tahu
harus berkata apa.
Polisi memberiku
semuanya,” kata Sheindel. “Semuanya untuk disimpan.”
“Surat cinta?”
ulangku.
“Itulah
sebutan umum untuk surat-surat seperti itu.”
“Dan polisi
–mereka memberikannya kepadamu, dan saat itulah pertama kali kau menyadari apa”
–aku terbata-bata setelah sesuatu yang tak terbayangkan– “apa yang mungkin
sedang mengganggunya?”
“Apa yang
mungkin sedang mengganggunya,” dia meniru. “Ya. Tidak sampai mereka
mengeluarkan surat dan buku catatan dari sakunya.”
“Ya Tuhan.
Kebiasaan hidupnya, pikirannya.... aku tidak bisa membayangkannya. Kau tidak
pernah menduganya?”
“Tidak.”
Perjalanan ke
taman itu-”
“Dia sudah
menyimpang dalam banyak hal. Aku sudah menggambarkannya kepadamu.”
“Tapi taman
itu! Pergi seperti itu, sendirian –kau tidak mengira dia mungkin bertemu
seorang perempuan?”
“Itu bukan
seorang perempuan.”
Rasa jijik
seperti bedak menggumpal di hidungku. “Sheindel, kau gila.”
“Aku gila,
begitu? Baca pengakuannya! Baca itu! Berapa lama lagi aku bisa menjadi
satu-satunya yang tahu hal ini? Kau ingin otakku meleleh? Jadilah orang
kepercayaanku,” pintanya begitu tiba-tiba hingga aku menahan napas.
"Kau
tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun?"
"Apakah
mereka akan membacakan pidato pujian seperti itu kalau aku melakukannya? Baca
surat itu!"
"Aku
tidak tertarik pada yang tidak normal," kataku dingin.
Dia mengangkat
matanya dan menatapku sebentar. Tanpa mengubah postur kepalanya yang patuh,
tawanya mulai terdengar; aku tidak pernah mendengar suara seperti itu —hampir
seperti tikus karena takut membangunkan putrinya yang sedang tidur, tapi begitu
rasional dalam maksudnya sehingga seperti mendengarkan kewarasan yang
tercengang yang berubah menjadi tawa cekikikan. Dia terus bicara selama satu
menit kemudian menenangkan dirinya. "Silakan duduk di tempatmu. Harap
perhatikan. Aku akan membacakan surat itu untukmu sendiri."
Dia mengambil
halaman itu dari meja dengan gerakan teratur. Aku melihat bahwa surat ini
dipersiapkan dengan cermat; ditulis dengan cermat. Nada suaranya diisi dengan
cemoohan.
"’Nenek
moyangku dibawa keluar dari Mesir oleh tangan Tuhan,’" bacanya.
"Apakah
seperti ini surat cinta dimulai?"
Dia
melanjutkan dengan tegas. "’Kami bersalah atas apa yang disebut kekejian
yang dijelaskan dengan baik di tempat lain. Bangsa lain dibesarkan dengan
mitologi mereka. Selama berabad-abad kami disapih dari semua jejak yang sama.’"
Aku merasa
diriku menjadi tidak sabar. Faktanya adalah aku kembali dengan satu ide: Aku
bermaksud menikahi janda Isaac ketika sudah cukup waktu untuk membuatnya
pantas. Awalnya aku bermaksud untuk merayunya dengan sangat halus, sehingga aku
tidak akan tampak menganggap remeh kesedihannya. Tapi dia kerasukan. “Sheindel,
kenapa kau ingin menjejalkan risalah ini kepada aku? Berikan ke seminari,
sumbangkan ke simposium profesor.”
“Aku lebih
baik mati.”
Pada saat ini aku
mulai memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
“’Aku akan
mengesampingkan posisi yang sepenuhnya masuk akal dari apa yang disebut
animisme dalam konsep Tuhan Yang Maha Esa. Aku akan menghilangkan pencerahan
historis dari ekspresinya yang terus-menerus tapi terselubung bahkan dalam
Pagar Hukum. Makhluk, aku kesampingkan hal ini-“
“Apa?”
teriakku.
"’Makhluk’,"
ulangnya sambil melebarkan cuping hidungnya. "Apa itu sejarah manusia? Apa
filosofi kita? Apa agama kita? Tak satu pun dari semua ini mengajarkan kepada kita
manusia malang ini bahwa kita sendirian di alam semesta, dan bahkan tanpa semua
itu kita akan tahu bahwa kita tidak sendirian. Di usia yang sangat muda, aku
mengerti bahwa orang bodoh tidak akan percaya pada seekor ikan kalau dia tidak
pernah melihatnya. Bentuk yang tak terhitung jumlahnya ada dan sudah muncul di
mata kita, dan bahkan di mata lensa instrumen kita yang lebih dalam; dari
persepsi yang sangat kecil ini tentang apa yang sudah ada, mudah untuk
menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk lain mungkin, bahwa semua bentuk itu mungkin.
Tuhan menciptakan dunia bukan untuk diriNya sendiri, atau sekarang aku tidak
akan memiliki kesadaran ini yang memungkinkan aku untuk menyapa Engkau,
Kekasihku."
"Engkau,"
ulangku, dan menelan kebingungan yang menyedihkan.
"Kau
harus membiarkanku melanjutkan," kata Sheindel, dan melanjutkan dengan
muram. "’Sejarah palsu, filosofi palsu, dan agama palsulah yang menyatakan
kepada kita manusia bahwa kita hidup di antara Segala Sesuatu. Seni fisika dan
kimia mulai mengajarkan kita secara berbeda, tapi cara mereka berbelas kasih
itu baru, dan hanya sedikit yang setia pada tujuan yang logis dan indah.
Molekul-molekul menari di dalam semua bentuk, dan di dalam molekul-molekul
menari atom-atom, dan di dalam atom-atom menari sumber-sumber vitalitas ilahi
yang lebih dalam lagi. Tidak ada yang Mati. Tidak ada yang Tidak Hidup.
Kehidupan suci tetap ada bahkan di dalam batu, bahkan di tulang-tulang anjing
dan manusia yang mati. Oleh karena itu, dalam Ciptaan Tuhan yang dibuahi tidak
ada kemungkinan Penyembahan Berhala, dan karena itu tidak ada kemungkinan
melakukan apa yang disebut kekejian ini.’“
“Ya Tuhan, ya
Tuhan,” ratapku. “Cukup, Sheindel, ini lebih dari cukup, jangan lagi-”
Masih ada
lagi,” katanya.
“Aku tidak mau
mendengarnya.”
“Dia menodai
karakternya bagimu? Sebuah noda, menurutmu? Kau akan mendengarnya.” Dia
berbicara dengan suara yang tiba-tiba mengingatkanku pada ayahku: tidak kenal
ampun. “’Makhluk, aku mengingat hal-hal ini meskipun semua bahasa kita bagaikan
napas bagimu; bagaikan pernak-pernik bagi pemain sulap. Yang kita berjuang
untuk memahaminya dari hari ke hari, dan merenungkan kuburan untuk
teka-tekinya, ras lain terlahir penuh dengan kebijaksanaan. Ras hewan
berperilaku tanpa penyelidikan diri; naluri adalah hal yang lebih tinggi dan
bukan yang lebih rendah. Sayang sekali bahwa kita manusia –kecuali untuk
perkiraan primitif yang menyedihkan dalam beberapa refleks dan tindakan tak
sadar yang tersisa pada tubuh kita– terlahir tanpa naluri! Semua yang harus
kita lakukan melalui sains, seni, filsafat, agama, semua imajinasi dan usaha
keras kita, semua meditasi dan pertanyaan sia-sia kita, semuanya!
–diekspresikan secara alami dan tepat dalam binatang, tumbuhan, sungai, batu.
Alasannya sederhana, itu adalah tragedi kita: jiwa kita termasuk dalam diri
kita, dia menghuni kita, kita menampungnya, ketika kita mencari jiwa kita, kita
harus mencari ke dalam diri kita sendiri. Untuk melihat jiwa, untuk
menghadapinya –itulah kebijaksanaan ilahi. Tapi, bagaimana kita bisa melihat ke
dalam diri kita yang gelap? Berbeda dengan ras makhluk lainnya. Jiwa tumbuhan
tidak tinggal di dalam klorofil, dia bisa menjelajah kalau dia mau, dia bisa
memilih bentuk atau rupa apa pun yang dia suka. Oleh karena itu, ras lainnya,
yang sebagian besar bebas dari jiwa mereka dan mampu menyaksikannya, bisa hidup
dengan damai. Melihat jiwa seseorang berarti mengetahui segalanya, mengetahui
segalanya berarti memiliki kedamaian yang dibayangkan oleh filosofi kita dengan
sia-sia. Bumi memperlihatkan dua kategori jiwa: yang bebas dan yang berdiam di
dalam diri. Kita manusia dikutuk dengan yang berdiam di dalam diri-‘“
“Berhenti!”
teriakku.
“Tidak akan,”
kata janda itu.
“Tolong, kau
mengatakan kepadaku bahwa dia membakar dongeng-dongengnya.”
“Apakah aku
berbohong kepadamu? Apakah kau mengatakan aku berbohong?”
“Lalu demi Isaac,
kenapa kau tidak melakukannya? Kalau ini bukan dongeng, menurutmu apa yang bisa
kupikirkan?”
“Pikirkan apa
yang kau suka.”
“Sheindel,”
kataku, “aku mohon padamu, jangan hancurkan kehormatan orang yang sudah mati.
Jangan lihat benda itu lagi, hancurkan, jangan lanjutkan.”
“Aku tidak
menghancurkan kehormatannya. Dia tidak punya kehormatan.”
“Tolong!
Dengarkan dirimu sendiri! Ya Tuhan, siapakah orang itu? Rabi Isaac Kornfeld!
Sungguh terhormat! Bukankah dia seorang dosen? Bukankah dia seorang terpelajar?”
“Dia penyembah
berhala.”
Matanya
kembali tanpa ragu-ragu untuk mengerjakan tugasnya. Dia melanjutkan: “’Semua
kebenaran ini aku pelajari secara bertahap, bertentangan dengan keinginan dan
hasratku. Guru kita, Musa, tidak membicarakannya; banyak yang bisa dikatakan di
bawah judul ini. Bukan karena ketidaktahuan Musa gagal mengajarkan tentang
jiwa-jiwa yang bebas. Kalau aku mempelajari apa yang diketahui Musa, bukankah
ini karena kami berdua manusia? Dia adalah seorang manusia, tapi Tuhan
berbicara kepadanya; adalah kehendak Tuhan bahwa nenek moyang kita tidak lagi
menjadi budak. Tapi nenek moyang kita, yang keras kepala, tidak akan
meninggalkan perbudakan mereka di Mesir kalau mereka diajari tentang jiwa-jiwa
yang bebas. Mereka akan berkata: ‘Biarkan kami tinggal, tubuh kami akan tetap
diperbudak di Mesir, tapi jiwa kami akan mengembara sesuka hati di Sion. Kalau
tanaman kaktus tetap berakar sementara jiwanya mengembara, kenapa manusia
tidak?’ Dan kalau Musa menjawab bahwa cuma alam semesta yang memiliki karunia
jiwa yang bebas, sementara manusia terikat padanya, dan bahwa manusia, untuk
membebaskan jiwanya, juga harus membebaskan tubuh yang merupakan wadahnya,
mereka pasti akan mengejeknya. ‘Bagaimana mungkin manusia, dan cuma manusia
saja, berbeda dari alam semesta? Kalau demikian, maka kondisi manusia jahat dan
tidak adil, dan kalau kondisi kita ini jahat dan tidak adil secara umum, apa
pentingnya apakah kita budak di Mesir atau warga negara bebas di Sion?’ Dan
mereka tidak akan melakukan kehendak Tuhan dan meninggalkan perbudakan mereka.
Oleh karena itu Musa tidak pernah berbicara kepada mereka tentang jiwa-jiwa
yang bebas, agar orang-orang tidak melakukan kehendak Tuhan dan keluar dari
Mesir.’”
Dalam sekejap,
sebuah sensasi muncul dalam diriku –sensasi itu tidak jelas, tidak ada yang bisa
kubandingkan dengannya, tapi aku yakin aku mengenalinya. Kemudian aku
mengenalinya. Sensasi itu membawaku ke masa kanak-kanak– itu adalah krisis
wawasan yang dialami seseorang ketika baru saja membaca, untuk pertama kalinya,
kumpulan figur-figur yang membentuk sebuah kata. Pada saat itu aku menembus
alfabet Isaac ke dalam bahasanya. Aku melihat bahwa dia berada di pihak
kemungkinan: dia waras sekaligus terinspirasi. Tujuannya bukanlah untuk
mengumpulkan misteri tapi untuk menghilangkannya.
“Semua bagian
itu brilian,” kataku.
Sementara itu
Sheindel pergi ke bufet untuk menyesap teh dingin yang ada di sana. “Sebentar,”
katanya, dan memuaskan dahaganya. “Aku pernah mendengar tentang gambar-gambar
yang melampaui Rembrandt yang dicoret-coret oleh orang gila yang ketika lepas
dari kejang tidak bisa memegang kapur. Apa yang terjadi selanjutnya indah, aku memperingatkanmu.”
“Laki-laki itu
jenius.”
“Ya.”
“Teruskan,”
desakku.
Dia
menunjukkan senyum mengejek seperti badut. Dia membaca: "’Kadang-kadang
dalam perjalanan di padang pasir, mereka akan tiba di tempat minum, dan seorang
anak laki-laki yang lincah akan melihat sekilas jiwa mata air (yang kemudian
disebut naiad16 oleh orang-orang Yunani liar), tapi karena
tidak mengetahui keberadaan jiwa-jiwa yang bebas, dia hanya akan mengira bahwa
bulan sudah memancarkan sinar sesaat di atas air. Keindahan, dengan kepolosan
yang sama seperti kebetulan, aku menemukanmu. Keindahan, Keindahan.’"
Dia berhenti.
"Cuma
itu?"
Masih ada
lagi.
"Bacalah."
“Sisanya
adalah surat cinta.”
"Apakah
sulit bagimu?" Aku bertanya dengan nada memaksa daripada kasihan.
"Aku
adalah istri laki-laki itu, dia memanjat Pagar Hukum. Karena ini Tuhan
menyelamatkanku dari pagar listrik. Bacalah sendiri."
Tanpa sadar
aku menyambar halaman yang penuh sesak itu.
“’Keindahan,
dalam dirimu kegembiraan, pembuktian, dan dukungan surgawi bagi teoremaku.
Berapa jam selama bertahun-tahun aku berjalan di atas hutan silia bintang sayur
kita yang sangat besar yang sedang berhasrat, benih tanpa akar yang ringan ini
yang merangkak di alurnya yang tunggal, kepala kubis yang kusut, tidak tertanam
di bumi kita! –tidak pernah, sepanjang waktu itu, sepanjang hari-hari yang
tidak terpenuhi itu, ruang putih seperti dahaga gurun, tidak pernah, tidak
pernah diraih. Aku pikir diriku diserahkan kepada intrik kebodohanku. Saat
fajar, di sebuah bukit kecil, apa yang tampak seperti bentuk dan cengkeraman
sifat gundukan itu –apakah itu? Hanya kabut bola matahari yang tumbuh besar
melalui embun beku. Oread17 terlepas dariku, meninggalkan
ilusinya; atau tidak pernah ada sama sekali; atau hanya ada sesaat, dan lari.
Betapa liciknya jiwa-jiwa yang bebas itu! Mereka punya komedi yang tidak bisa
kita bayangkan: pemabuk yang tertawa merasakan bayangan dari bayangan dari bayangan
kecerdasan mereka, dan itu hanya karena dia sudah menjadikan dirinya sebuah
wadah, seperti dua tepian dan dasar sungai kecil adalah wadah naiad.
Seorang naiad mungkin memang pernah kulihat secara utuh: ketujuh putriku
pernah mengarungi sungai di taman yang padat tapi indah, yang sangat
kuharapkan. Yang termuda belum berusia dua tahun, dan rewel, yang lebih tua
disuruh untuk selalu memegang tangannya, tapi mereka tidak menurut. Aku,
setelah berjalan agak jauh ke dalam hutan di belakang, tiba-tiba mendengar
jeritan dan suara percikan, dan melihat tubuh mungil terjun ke dalam air.
Berlari kembali melewati pepohonan, aku bisa melihat yang lain berkumpul
bersama, takut, saat bayi itu tenggelam tanpa daya, semua gadis kecil ini
membeku dalam karangan bunga di kepala mereka –ketika tiba-tiba salah satu dari
mereka (gerakannya terlalu cepat bagiku untuk mengenali yang mana) melesat ke bocah
yang sedang berjuang, yang sedang berada di bawah air, dan menariknya ke atas,
dan melingkarkan lengan di sekeliling tubuhnya untuk menenangkannya. Lengannya
biru –biru. Sebiru danau. Dan dengan garang, dari tempatku di tepi sungai,
terengah-engah, aku mulai menghitung gadis-gadis kecil itu. Aku menghitung
delapan, mengira diriku tidak gila tapi tercerahkan, menghitung lagi,
menghitung tujuh, tahu aku pernah menghitung dengan baik sebelumnya, tahu aku
menghitung dengan baik sekarang. Seorang gadis berlengan biru sudah datang
untuk mengarungi air di antara mereka. Bisa dikatakan dalam bentuk seorang
gadis. Aku menanyai putri-putriku: masing-masing dalam ketakutannya percaya
salah satu makhluk yang lain pergi untuk mengangkat bayi yang kelelahan itu.
Tidak ada yang mengenakan gaun dengan lengan berwarna biru.”“
“Bukti,” kata
janda itu. “Isaac sangat teliti, dia selalu mencatat semua buktinya.”
“Bagaimana?”
Tanganku gemetar menggoyang-goyangkan surat Isaac; kertasnya berdesis seolah
dicambuk.
“Dengan
akhirnya menemukan prinsip untuk menutupinya,” dia mengakhiri dengan jahat. “Yah,
jangan berhenti bahkan untukku, kau tidak menurutiku. Kau punya cerita yang panjang,
cukup panjang untuk membuatmu demam.”
“Teh,” kataku
serak.
Dia membawakan
cangkirnya sendiri dari bufet, dan aku percaya saat aku minum bahwa aku menelan
sebagian ejekan dan amarahnya.
“Sheindel,
untuk seorang perempuan yang begitu saleh, kau adalah seorang skeptis yang
hebat.” Dan sekarang gemetar menguasai tenggorokanku.
“Pernyataan
seorang ateis,” dia menimpali. “Semakin saleh, semakin skeptis. Seorang laki-laki
religius memahami ini. Kemewahan, adat istiadat yang berlebihan, dan takhayul
akan merambat seperti tanaman merambat yang mencekik di Pagar Hukum kalau
skeptisisme tidak terus-menerus menebasnya untuk menciptakan kebebasan bagi
kemurnian.”
Aku kemudian
menganggapnya sepenuhnya layak bagi Isaac. Apakah aku layak baginya, aku
menghindar untuk bertanya kepada diri sendiri; sebagai gantinya aku berkumur
dengan teh dan kembali ke surat itu.
“’Menyakitkan
bagiku untuk mengakuinya,’“ aku membaca, “’bagaimana setelah itu aku beralih
dari kepastian ke keraguan dan kembali lagi. Aku tidak percaya pada kesimpulanku
karena semua pengalamanku bersifat sementara. Segala sesuatu yang pasti aku
kaitkan dengan penyebab lain yang kurang pasti. Setiap suara dari lumut aku tuduhkan
pada kelinci dan tupai. Setiap gerakan di antara dedaunan aku sebut burung,
meskipun sebenarnya tidak ada burung. Pandangan pertamaku terhadap Orang-Orang
Kecil membuat aku tidak lebih dari sekadar secara harfiah delusi yang
menggigil, dan aku memutuskan bahwa mereka cuma panen jamur yang instan. Tapi
suatu malam, sedikit setelah pukul sepuluh di puncak musim panas –langit masih
memperlihatkan untaian cahayanya– aku berjalan-jalan di tempat ini, tempat
mereka akan menemukan mayatku-‘“
“Bukan buat
aku,” kata Sheindel saat aku ragu.
“Ini mengerikan,”
kataku serak, “sangat mengerikan.”
“Layu seperti cangkang,”
katanya, seolah berbicara tentang kosmos; dan dari sikapnya aku mengerti bahwa
dia sangat tahu surat ini, dan hafal hampir seluruh isinya. Dia tampak
memikirkan kata-kata itu lebih cepat daripada yang bisa kuucapkan, dan entah kenapa
aku terpaksa mempercepat laju bacaanku.
“’--tempat
mereka akan menemukan mayatku layu seperti cangkang serangga,’” aku bergegas
melanjutkan. “’Bau pembusukan tercium jelas dari teluk. Aku mulai berspekulasi
tentang tubuhku sendiri setelah aku mati –apakah jiwa akan terbebas segera
setelah kematian; atau apakah secara bertahap, seiring dengan pembusukan yang
terjadi dan semakin banyak jiwa yang berdiam di dalam diri dibebaskan menuju
kebebasan. Tapi ketika aku mempertimbangkan bagaimana tubuh manusia tidak lebih
baik dari pot tanah liat, sebuah fakta yang tidak pernah dibantah oleh para
bijak kita, tampak bagiku saat itu bahwa jiwa yang berdiam di dalam diri
sendiri pada hakikatnya akan dipaksa untuk berpegang teguh pada sedikit bentuk tembikarnya
sampai remah dan biji terakhir menghilang ke dalam tanah. Aku berjalan melalui
parit padang rumput hitam itu sambil berduka dan mengasihani diri sendiri. Aku
tersadar bahwa sementara tulang-tulangku yang malang terus membusuk dengan
mudah, jiwaku harus berlama-lama di dalamnya, menunggu, putus asa, dan rindu
untuk bergabung dengan yang bebas. Aku mengutuknya karena kantung dagingnya
yang dirusak oleh gravitasi, lambat, dan tak henti-hentinya merana; lebih baik
terbungkus dalam uap, angin, dalam sehelai rambut kelapa! Siapa yang tahu
berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuh manusia untuk menyusut menjadi kerikil,
dan kerikil menjadi pasir, dan pasir menjadi mineral? Seratus tahun? Dua ratus,
tiga ratus? Mungkin seribu! Bukankah benar bahwa tulang-tulang yang hampir utuh
terus-menerus digali oleh para ahli paleontologi dua juta tahun setelah terkubur?’
Sheindel,” aku menyela, “ini adalah kematian, bukan cinta. Di mana surat cinta
yang harus ditakuti di sini? Aku tidak menemukannya.”
“Lanjutkan,”
perintahnya. Dan kemudian: “Kau lihat aku tidak takut.”
“Pada cinta?”
“Tidak. Tapi kau
membaca terlalu lambat. Mulutmu gemetar. Apakah kau takut mati?”
Aku tidak
menjawab.
“Lanjutkan,”
katanya lagi. “Cepat lanjutkan. Kalimat berikutnya dimulai dengan sebuah
pemikiran yang luar biasa.”
“Sebuah
pemikiran yang luar biasa muncul dalam diriku. Itu cemerlang, mendalam, dan
praktis. Lebih dari itu, dia memiliki banyak preseden; mitologi sudah
mendokumentasikannya belasan kali. Aku teringat semua manusia yang konon sudah
menikah dengan dewa-dewi (kata kolektif, yang menunjukkan banyak akal sehat,
menandakan apa yang secara lebih abstrak disebut Shekhina18
oleh filsafat kita), dan semua perkawinan campur yang memilukan yang diwakili
oleh kentaur, satir, putri duyung, faun, dan sebagainya, belum lagi percampuran
yang bahkan lebih terkenal dalam Kitab Kejadian, ketika anak-anak Tuhan
mengambil anak-anak perempuan manusia sebagai pengantin, menghasilkan raksasa
dan mungkin juga aborsi, leviathan19 dan behemoth20,
yang kita baca dalam Kitab Ayub, bersama dengan unicorn dan chimera
dan monster lain yang banyak terdapat dalam Kitab Suci, karenanya jauh dari
khayalan. Ada juga contoh iblis perempuan Lilith21, yang sering
dikenal menikah di ghetto abad pertengahan bahkan dengan anak laki-laki
pra-puber. Dengan semua bukti ini, aku semakin yakin bahwa aku pasti bukan
orang pertama yang memiliki keinginan seperti itu dalam sejarah bumi kita.
Makhluk, pikiran yang menguasai diriku adalah ini: kalau saja aku bisa
berpasangan dengan salah satu jiwa yang bebas, kekuatan hubungan itu
kemungkinan akan merenggut jiwaku sendiri dari tubuhku –merebutnya, seolah-olah
dengan penjepit, menariknya keluar, dengan kata lain, menuju kebebasannya
sendiri. Intensitas dan kekuatan hasratku untuk menangkap salah satu makhluk
ini sekarang menjadi luar biasa. Aku menghindari istriku—'“
Di sini janda
itu mendengar suaraku gemetar.
“Silahkan,”
perintahnya, dan kulihat merayap di wajahnya sebuah seringai.
“’--jangan
sampai potensiku terkuras pada saat itu (yang mungkin terjadi dalam interval
apa pun, bahkan, aku berasumsi, di kamar tidurku sendiri) ketika aku harus
bertemu dengan salah satu jiwa yang bebas. Aku dibawa kembali lagi dan lagi ke kekentalan
busuk Inlet, dibawa ke sana seolah-olah pada bau busuk yang meningkat dari
pembusukanku sendiri yang bertahan dan membosankan, gagasan yang tidak bisa
lagi aku singkirkan –aku membayangkan jiwaku terperangkap dalam butiran
terakhirku, dan butiran terakhir itu sendiri mungkin membatu, tidak pernah
larut, dan jiwaku dikutuk untuk melayani sepanjang masa! Bagiku, jiwaku harus
dilepaskan segera atau hilang ke udara bebas selamanya. Dalam kegelapan yang
tidak berkilau, berjuang dengan kepanikan tunggal ini, aku tersandung dari
parit ke parit, tegang seperti anjing buta untuk mendapatkan dukungan
vertikalitas yang kokoh; dan membenturkan telapak tanganku ke kulit kayu. Aku
mendongak dan dalam kegelapan tak bisa membayangkan ukuran pohon itu –kepalaku
terkulai ke depan, alisku bertemu batang pohon dengan semua ukirannya. Aku
menyibukkan jari-jariku di celah-celah kulit pohon yang berhuruf paku. Kemudian
dengan dahi menempel di pohon, aku memeluknya dengan kedua tangan untuk
mengukurnya. Tanganku bersatu di sisi yang lain. Itu adalah rumput liar muda
yang sempit, aku tidak tahu dari jenis apa. Aku meraih cabang terendah dan
memetik sehelai daun dan membuat lidahku bergerak dengan penuh perenungan di
sepanjang pinggirannya untuk menilai bentuknya: pohon ek. Rasanya lengket dan
sangat pahit. Kegembiraan menyelimuti selangkanganku dengan lembut. Kemudian
aku meletakkan satu tangan (yang lainnya kupegang di pinggang pohon,
seolah-olah) di percabangan (yang secara menjijikkan disebut selangkangan) dari
dahan terendah itu dan tubuh yang anggun dan sangat kokoh, dan membelai
persimpangan ajaib itu dengan kelesuan tertentu, yang secara bertahap berubah
menjadi kekuatan. Aku tiba-tiba menjadi sangat waspada dan sangat berani: Aku
memilih pohon tunggal itu bersama dengan tanah di dekatnya untuk musuh yang
dalam dua pengertian tidak akan mundur: tidak mau menyerah atau mengalah. “Ayo,
ayo,” aku memanggil Alam dengan keras. Angin meniupkan bau kotoran yang
menyengat ke udara yang panas. “Ayo,” aku memanggil, “berpasanganlah denganku,
seperti yang kau lakukan dengan Cadmus, Rhoecus, Tithonus, Endymion, dan raja
Numa Pompilius yang kepadanya kau beri rahasia. Seperti Lilith datang tanpa
tanda, begitulah kau datang. Seperti anak-anak Tuhan datang untuk bersetubuh
dengan perempuan, jadi sekarang biarkan seorang putri Shekhina Sang Emanasi22
menampakkan dirinya kepadaku. Nymph, ayo sekarang, ayo sekarang.”
"’Tanpa
peringatan aku terlempar ke tanah. Wajahku membentur tanah, dan gumpalan tanah
yang mengelupas tersangkut di mulutku yang terbuka. Selebihnya, aku berlutut,
menekan tanganku, dengan kuku-kuku mencengkeram tanah. Rasa sakit yang luar
biasa melapisi pahaku. Aku mulai menangis karena aku yakin sudah diperkosa oleh
beberapa binatang berotot. Aku memuntahkan tanah yang sudah kutelan dan percaya
bahwa aku sudah dinajiskan, seperti tertulis: “Jangan tidur dengan binatang apa
pun.” Aku berbaring tenggelam di rumput, takut mengangkat kepalaku untuk
melihat apakah binatang itu masih mengintai. Melalui beberapa cara yang aneh
aku sepenuhnya diposisikan dan terangsang dan sangat puas, semuanya dalam
setengah detik, dengan cara yang tidak mungkin dijelaskan, yang, meskipun aku
bersikap seperti dengan istriku sendiri, aku merasa seolah-olah perkosaan gaib
dilakukan padaku. Aku terus tengkurap, mendengarkan napas binatang itu.
Sementara itu, meskipun setiap jaringan dagingku terpuaskan dalam kesadaran
terdalamnya, kenikmatan yang luar biasa tidak meninggalkan tubuhku; kegembiraan
sensual dari tatanan yang sepenuhnya agung dan surgawi, tidak seperti apa pun
yang pernah didefinisikan oleh penyair kita, keduanya berkobar dan sangat
terpuaskan pada saat yang sama. Kepekaan yang menyehatkan dan menyenangkan ini
menggairahkan keberadaanku untuk beberapa saat: suatu penggabungan yang tidak
berbeda (cuma dalam metafora; dalam kenyataannya tidak bisa dijelaskan) dari
kontradiksi magis pohon dan cabangnya yang keluar pada titik percabangan. Dalam
diriku terhubung, pada saat yang sama, rassa lapar dan kenyang, kelembutan dan
kekuatan, penguasaan dan kepatuhan, dan paradoks lain yang sepenuhnya memiliki
makna emosional yang luar biasa.’”
“’Lalu aku
mendengar suara yang kukira binatang berjalan di rerumputan di dekat kepalaku,
dengan sangat licik; dia menahan napas, lalu mendengkur dengan suara menderu
pelan seperti angin sepoi-sepoi yang bertiup melalui alang-alang. Dengan energi
yang besar (kekuatan ototku tampaknya meningkat) aku melompat ketakutan akan keselamatanku;
aku tidak punya senjata apa pun kecuali –oh, menggelikan!– pena yang kugunakan
untuk menulis di buku catatan kecil yang selalu kubawa saat itu (dan masih
kusimpan di tubuhku sebagai kenang-kenangan memalukan atas kebodohanku, sifat
kutu bukuku, dugaan dan keinginanku yang menyedihkan di masa ketika, karena
belum mengenalmu, aku tidak tahu apa-apa). Yang kulihat bukanlah seekor
binatang, melainkan seorang gadis yang tidak lebih tua dari putri tertuaku,
yang saat itu berusia empat belas tahun. Kulitnya sesempurna kulit terong dan warnanya
hampir sama. Tingginya setengah dari tinggiku. Jari kedua dan ketiga tangannya
–ini langsung aku perhatikan– menyatu dengan aneh, satu masuk ke dalam yang
lain, seperti ligula daun. Dia sepenuhnya botak dan tidak punya telinga, tapi
hanya memiliki satu insang atau pelapis, di sisi kiri. Jari-jari kakinya
memperlihatkan keanehan yang sama seperti yang kulihat pada jari-jarinya. Dia
tidak telanjang atau berpakaian –maksudnya, meskipun sebagian tubuhnya, dari
pinggul hingga tepat di bawah payudara (yang masing-masing tampak seperti buah
pir yang lembut dan tidak berwarna, tergantung pada tangkai yang sangat pendek
dan hampir tidak terlihat), ditutupi dengan bahan yang lembut atau seperti
spora, ini adalah perkembangan alami seperti rambut pada umumnya. Semua bagian
seksualnya terlihat jelas, seperti pada bunga di ladang. Selain penyimpangan
yang jelas ini, dia tampak sangat manusiawi, meskipun tidak salah lagi seperti
bunga. Dia, pada kenyataannya, adalah kebalikan dari eufemisme klise kita,
seperti ketika kita mengatakan seorang gadis muda mekar seperti bunga –dia,
sebaliknya, tampak seperti bunga yang berubah menjadi bentuk anak-anak yang
paling luar biasa cantik yang pernah kulihat. Di bawah hembusan angin dia
membungkuk di pinggangnya yang luar biasa; ini, aku mengenalinya, bukan
hembusan napas dari beberapa binatang bejat, adalah suara seperti napas yang
membuatku khawatir saat dia mendekat: gerakan-gerakannya ini membuat
bilah-bilah rumput bertabrakan. (Dia sendiri, yang tidak memiliki paru-paru,
tidak “bernapas”.) Dia berdiri bergoyang-goyang dengan gembira di hadapanku,
dengan wajah selembut bunga morning-glory, anehnya berpendar: dia
memancarkan cahayanya sendiri, dan aku
tidak kesulitan menghadapi kecantikannya.’”
"’Selain
itu, melalui percobaan aku segera mengetahui bahwa dia bukan hanya mampu
berbahasa, tapi dia senang bermain-main dengannya. Ini benar-benar bisa dia
lakukan –kalau aku sudah membedakan tangannya dengan hal lain, itu karena dia
mengulurkannya untuk menangkap teriakan kagum pertamaku. Dia menangkap
kata-kataku seperti bola atau membiarkannya menggelinding, atau menangkapnya
dan kemudian melesat pergi untuk melemparkannya ke Inlet. Aku menemukan bahwa
setiap kali aku bicara aku seperti melemparinya; tapi dia menyukainya, dan
mengatakan kepadaku bahwa ucapan manusia biasa cuma menggelitik dan menghibur,
sedangkan tawa, yang sangat meledak-ledak, merupakan semacam serangan. Aku
kemudian berusaha untuk berpura-pura sangat serius, meskipun aku pusing karena
kegembiraan. “Suaranya” sendiri aku pahami daripada dengar –yang menurutnya
sulit untuk dipahami, karena tidak bisa membayangkan bagaimana kita manusia
dipenjara dalam persepsi sensorik. Kalimat-kalimatnya datang kepadaku bukan
sebagai serangkaian frekuensi yang dibedakan tapi (tidak mungkin untuk
mengembangkan gagasan ini dalam bahasa) sebagai awan aroma ladang yang
menyebar; tapi untuk mengatakan bahwa aku mengasimilasi pikirannya melalui
saraf penciuman akan menjadi distorsi pejalan kaki23. Tapi, jelas
bahwa apa pun yang dikatakannya sampai kepadaku dalam kilauan parfum bening,
dan aku memahami maksudnya dengan kegembiraan yang langsung dan tanpa
ambiguitas dan kecurigaan motif yang melingkupi komunikasi manusia kita.’”
"’Melalui
media ini, dia menjelaskan bahwa dia adalah seorang dryad24
dan namanya adalah Iripomonoeia (sedekat yang dapat kusampaikan dalam ortografi
kita yang sangat terbatas, dan dalam alfabet bodoh kita yang terkenal tidak
bisa mendeskripsikan kategori-kategori yang berbau). Dia memberi tahuku apa
yang sudah kupahami: bahwa dia memberiku cintanya sebagai tanggapan atas
panggilanku.’”
"’Akankah
engkau datang kepada setiap laki-laki yang memanggil?’ tanyaku.’”
"’Semua laki-laki
memanggil, entah menyadarinya atau tidak. Aku dan saudara perempuanku terkadang
datang kepada mereka yang tidak menyadarinya. Hampir tidak pernah, kecuali
untuk iseng, kami mendatangi orang yang memanggil dengan sengaja –dia cuma
ingin menghuni kita karena kejahatan atau kesombongan atau untuk memuaskan rasa
jijik yang diimpikan.’”
“’Kitab Suci
tidak melarang sodomi dengan tanaman,’ seruku, tapi dia tidak memahami semua
ini dan menurunkan tangannya sehingga kata-kataku akan berlalu begitu saja
tanpa diketahuinya. ‘Aku juga memanggilmu dengan sengaja, bukan karena
kejahatan tapi karena cinta pada Alam.’”
“’Aku pernah
mendengar kata-kata orang ketika mereka berbicara tentang Alam, kau bukan yang
pertama. Bukan Alam yang mereka cintai melainkan Kematian yang mereka takuti.
Jadi Corylylyb sepupuku menerimanya di musim yang belum lama ini saat
berpasangan di sebuah pelabuhan dengan salah satu dari jenismu, yang bernama
Spinoza, yang menderita paru-paru basah. Aku berasal dari Alam dan abadi, jadi aku
tidak bisa mengasihani kematianmu. Tapi, kembalilah besok dan ucapkan
Iripomoneia.’ Kemudian dia mengejar kata terakhirku ke tempat dia menendangnya,
di balik pohon. Dia tidak kembali. Aku berlari ke pohon dan mengitarinya dengan
teliti, tapi dia sudah hilang malam itu.’”
“’Keindahan,
semua hal di atas, yang menceritakan kehidupan dan meditasiku sampai sekarang,
belum pernah aku ceritakan kepadamu atau siapa pun. Sisanya lebih dari sekadar
cerita: kegembiraan dari tengah malam hingga fajar, ketika pendar cahaya yang
lebih besar dari seluruh langit yang berteriak membuatmu takut pulang! Betapa
dalam trans kebahagiaan kami berpasangan di selokan, di rerumputan tinggi, di
balik air mancur, di bawah tembok yang rusak, sekali dengan gegabah di trotoar,
dengan bangku sebagai atap dan teralis! Betapa aku diajari oleh seni alam untuk
memengaruhi kimia tertentu yang menghasilkan keajaiban, kebahagiaan, dan
kegembiraan yang nyata yang belum pernah dipuaskan oleh siapa pun sejak Bapa
Adam mengeluarkan klorofil terlarang dari Eden! Keindahan, Keindahan, tak ada
yang seperti dirimu. Tak ada alis yang begitu ramping, tak ada lekukan siku
yang begitu halus, tak ada mata yang begitu hijau, tak ada pinggang yang begitu
lentur, tak ada anggota tubuh yang begitu menyenangkan dan jenjang. Tak ada
yang seperti Iripomoneia yang abadi.’”
“’Makhluk,
bulan terisi dan kelaparan dua kali, dan masih belum ada akhir bagi kebaruan
kuno yang agung dari Iripomoneia.’”
“’Lalu tadi
malam. Tadi malam! Aku akan mencatat semuanya dengan sederhana.’”
“’Kami
memasuki selokan dangkal. Dengan suara yang manis dan sangat harum –begitu kuat
dalam kemanisannya sehingga bau busuk yang biadab dan busuk yang tertiup angin
dari Inlet pun kalah– Iripomoneia bertanya kepadaku bagaimana perasaanku tanpa
jiwaku. Aku menjawab bahwa aku tidak tahu ini adalah kondisiku. ‘Oh ya, tubuhmu
sekarang adalah bungkusan kosong, itulah sebabnya dia begitu ringan. Musim
semi.’ Aku melompat ke udara dan mengambang dengan mudah. ‘Kau sudah
memanjakan dirimu sendiri, memanjakan dirimu dengan kebingungan,’ keluhnya, ‘sekarang
pada pagi hari tubuhmu akan kusut dan layu dan jelek, seperti daun di saat-saat
suramnya, dan tidak akan pernah lagi setelah malam ini tempat ini akan
melihatmu.’ ‘Nymph!’ aku meraung, kagum dengan levitasi ini. ‘Oh, oh, itu bahaya,’
teriaknya, ‘kau mengenai mataku dengan suara itu,’ dan dia mengembuskan aroma
yang lebih dalam, kabut seperti daun bawang, yang menyengat selaput lendir.
Memar putih merusak kelopak matanya. Aku menyesal dan mendesah sangat dalam
atas cederanya. ‘Kecantikan yang rusak bagi kaum kami sama seperti luka fisik
bagi kaummu,’ dia menegurku. ‘Ketika kalian merasakan sakit, kami merasakan
keburukan. Ketika kalian menodai diri sendiri dengan amoralitas, kami dinodai
oleh keburukan. Jiwa kalian sudah meninggalkan kalian dan merusak permainan
cantik kami.’ ‘Nymph!’ bisikku, ‘kekasihku, harta karunku, kalau jiwaku
terpisah bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya?’”
“’Orang
malang,’ jawabnya, ‘kau cuma perlu melihat dan kau akan menemukan.’ Ucapannya
sekarang berubah menjadi tajam seperti herba, dan seluruh tempat itu berbau
sangat busuk. ‘Kau tahu aku adalah roh. Kau tahu aku harus bergerak cepat dan
melesat. Semua saudara perempuanku cepat dan melesat. Dari semua ras, kami
adalah yang tercepat. Agama kami adalah ke-tiba-tiba-an. Tidak seorang pun bisa
menghalangi kami, tidak seorang pun bisa menahan kami. Tapi kemarin kau
berjanji untuk menahanku dalam pelukanmu, kau memperpanjang ciumanmu hingga
bertahun-tahun, kau memanggilku harta karunmu dan kekasihmu tanpa henti, jiwamu
dalam keserakahannya yang lambat membuatku tetap dekat dan tertawan, sepanjang
waktu tahu betul bagaimana roh tidak bisa tinggal dan tidak akan tetap. Aku
berusaha melompat darimu, tapi jiwamu yang keras kepala bertahan sampai dia
direnggut langsung dari tubuhmu dan melarikan diri bersamaku. Aku melihatnya
terlempar ke trotoar, awal hari yang biru sudah merembes turun, jadi aku
melarikan diri dan tidak bisa mengatakan apa pun sampai saat ini.’”
“’Jiwaku
bebas? Bebas sepenuhnya? Dan bisa dilihat?’”
“’Bebas. Kalau
aku bisa mengasihani makhluk hidup apa pun di bawah langit, aku akan
mengasihanimu karena melihat jiwamu. Aku tidak menyukainya, dia menyihirku.’”
“’Jiwaku
mencintaimu,’ aku mendesak dengan segala kemenanganku, ‘dia terbebas dari
kuburan seribu tahun!’ Aku melompat keluar dari parit seperti katak, kakiku
tidak memiliki beban; tapi dryad itu merajuk di tanah, membelai matanya
yang jelek dan terluka. ‘Iripomonoeia, jiwaku akan mengikutimu dengan rasa
terima kasih ke dalam keabadian.’”
“’Aku lebih
suka diikuti oleh kabut kotor. Aku tidak suka jiwamu. Dia menyihirku. Dia
mengingkariku, dia mengingkari setiap roh dan semua saudariku dan setiap nereid25
di pelabuhan, dia mengingkari semua keragaman kita, dan semua dewa yang
beraneka ragam, dia bahkan membenci Tuan Pan26, dia adalah musuh,
dan kau, orang malang, tidak mengenal jiwamu sendiri. Pergi, lihatlah, itu dia
di jalan.’”
“’Aku berjalan
mondar-mandir di bawah cahaya bulan.’”
“’Hanya
seorang laki-laki tua berdebu yang berjalan dengan susah payah di sana.’”
“’Seorang
lelaki tua yang sangat jelek?’”
“’Ya, hanya itu.
Jiwaku tidak ada di sana.’”
“’Dengan
janggut kusut dan alis yang besar dan tajam?’”
“’Ya, ya,
orang seperti itu sedang berjalan di jalan. Dia setengah membungkuk di bawah
beban tas tua yang berdebu. Tas itu penuh dengan buku –aku bisa melihat
jilidannya yang kusut mencuat keluar.’”
“’Dan dia
membaca sambil berjalan?’”
“’Ya, dia
membaca sambil berjalan.’”
“’Apa yang dia
baca?’”
“’Sebuah buku
yang besar dan mengerikan, seberat batu.’ Aku mengintip ke depan di bawah sinar
bulan. ‘Sebuah Traktat. Sebuah Traktat Mishnah. Lembarannya sangat usang
sehingga patah saat dia membaliknya, tapi dia tidak sering membaliknya karena
ada banyak materi dalam satu halaman. Dia sangat sedih! Kelelahan kuno seperti
itu tampak di wajahnya! Tenggorokannya terkelupas karena cambuk. Pipinya
terlipat seperti bendera kuno, dia membaca Hukum dan menghirup debu.’”
“’Dan apakah
ada bunga di kedua sisi jalan?’”
“’Bunga-bunga
yang luar biasa! Dari setiap warna! Dan semak-semak yang indah seperti gundukan
lumut hijau! Dan jangkrik berderik di ladang. Dia berjalan acuh tak acuh
melalui keindahan ladang. Lubang hidungnya mengendus bukunya seolah-olah
bunga-bunga tergeletak di halaman yang menggumpal, tapi bunga-bunga itu
menjilati kakinya. Kakinya diperban, kuku kakinya yang berlekuk menancap di
jalan. Selendang doanya terkulai di punggungnya yang tekun belajar. Dia membaca
Hukum dan menghirup debu dan tidak melihat bunga-bunga dan tidak menghiraukan
jangkrik yang meludah di ladang.’”
“’Itu,’ kata dryad,
‘adalah jiwamu.’ Dan hilang bersama semua baunya.’”
“’Tubuhku
melayang ke jalan dalam satu lompatan. Aku hinggap di dekat sosok laki-laki tua
itu dan bertanya apakah dia benar-benar jiwa Rabi Isaac Kornfeld. Dia gemetar tapi
mengaku. Aku bertanya apakah dia bermaksud untuk terus membawa buku-bukunya
sepanjang masa depan tanpa perubahan, selalu dengan Traktat di tangannya, dan
dia menjawab bahwa dia tidak bisa melakukan hal lain.’”
“’Tidak ada
yang lain! Kau, yang aku pikir merindukan bumi! Kau, yang abadi, bebas, dan
hanya peduli untuk terikat pada Hukum!’”
“’Dia memegang
lengannya yang kering dengan takut di depan wajahnya, dan dengan lengan lainnya
mengangkat tasnya yang kejam di bahunya. ‘Tuan,’ katanya, masih gemetar, ‘tidakkah
kau ingin melihatku dengan mata kepalamu sendiri?’”
“’Aku tahu
sosokmu!” aku menjerit. “Bukankah aku sudah melihat sosok itu seratus kali
sebelumnya? Di seratus jalan? Itu bukan milikku! Aku tidak akan membiarkannya
menjadi milikku!’”
“’Kalau kau
tidak berusaha menyingkirkan aku, aku akan tetap bersamamu sampai akhir. Dryad,
yang tidak ada, berbohong. Bukan aku yang menempel padanya, melainkan kau,
tubuhku. Tuan, semua yang tidak memiliki keberadaan berbohong. Di kuburanmu di
sampingmu, aku akan menyanyikan lagu-lagu Daud, aku akan membisikkan suara
Sulaiman hingga ke tulang-tulangmu yang terakhir. Tapi, kau mengusirku, tulang
rusukmu mengusirku dari takdir mereka, dan aku akan selalu berjalan di sini
sendirian, di tamanku’ –dia menggores halamannya– ‘dengan burung-burung kesayanganku’
–dia menggores huruf-hurufnya– ‘dan pohon-pohon kesayanganku’ –dia menggores
kolom komentar yang tinggi di samping.’”
“’Dia begitu
kurang ajar dalam keberaniannya –karena aku adalah seluruh kedagingan dan dia
adalah seluruh roh jahat yang lemah– sehingga aku mencengkeram kerahnya dan
mengguncangnya ke atas dan ke bawah, sementara buku-buku di punggungnya saling
bergesekan, dan potongan-potongan kulit yang tercabik beterbangan seperti
hujan.’”
“’Suara Hukum,’
katanya, ‘lebih indah daripada jangkrik. Bau Hukum lebih cemerlang dari lumut.
Rasa Hukum melebihi air yang jernih.’”
“’Atas
provokasi yang menegangkan ini –dia tahu lebih dari siapa pun soal
keputusasaanku– aku meraih selendang doanya dengan rumbai-rumbainya dan
berputar di sekelilingnya sekali atau dua kali sampai aku melepaskannya
sepenuhnya, dan melilitkannya di leherku sendiri dan dalam satu lompatan datang
ke pohon.’”
“Nymph!’ aku
memanggilnya. ‘Roh dan orang suci! Iripomoneia, kemari! Tidak ada yang
sepertimu, tidak ada alis yang begitu ramping, tidak ada lekukan siku yang
begitu halus, tidak ada mata yang begitu hijau, tidak ada pinggang yang begitu
lentur, tidak ada anggota tubuh yang begitu menyenangkan dan lincah. Kasihanilah
aku, datanglah, datanglah.’”
“’Tapi dia
tidak datang.’”
“’Kecantikan,
datanglah.’”
“’Dia tidak
datang.’”
“’Makhluk,
lihatlah bagaimana aku melingkar dalam selendang siput ini seolah-olah berada
di dalam daun. Aku berjongkok untuk menulis kata-kataku. Biarkan jiwa menyebutmu
pembohong, tapi tubuh….’”
“’. . . tubuh…’”
“’. . .
jari-jari terpelintir, buku-buku jari gelap seperti kayu, lidah mengering
seperti rumput, sekarang lebih dalam ke sutra…’”
“’. . . sutra
dari selendang, lutut layu, buku-buku jari layu, leher…’“
Di sini surat
itu tiba-tiba berakhir.
“Kau lihat?
Seorang penyembah berhala!” kata Sheindel, dan mempertahankan senyumnya yang
penuh kebencian. Senyum itu tebal dengan keberanian.
“Kau tidak
mengasihaninya,” kataku, memperhatikan penghinaan yang berkilauan di giginya.
“Bahkan
sekarang kau tidak melihatnya? Kau tidak mengikuti?”
“Kasihanilah
dia,” kataku.
“Orang yang
bunuh diri melakukan kekejian.”
Untuk beberapa
saat aku memperhatikannya. “Kau tidak mengasihaninya? Kau sama sekali tidak
mengasihaninya?”
“Biarkan dunia
mengasihaniku.”
“Selamat
tinggal,” kataku kepada janda itu.
“Kau tidak
akan kembali?”
Aku
membungkukkan badanku dengan sedikit penyesalan.
“Sudah
kubilang kau datang hanya untuk Isaac! Tapi Isaac” –aku takut dengan batuknya,
yang jelas-jelas adalah tawa– “Isaac mengecewakan. ‘Seorang terpelajar. Seorang
rabi. Seorang Yahudi yang luar biasa!’ Ha! Dia mengecewakanmu?”
“Dia selalu
menjadi laki-laki yang menakjubkan.”
“Tapi tidak
seperti yang kau kira,” dia bersikeras. “Sebuah ilusi.”
“Cuma orang
yang tidak berperasaan yang ilusi. Kembalilah ke taman itu, Rebbetzin,” aku
menasihatinya.
“Dan apa yang
kau ingin aku lakukan di sana? Menari di sekitar pohon dan menyebut nama-nama
Yunani pada rumput liar?”
“Jiwa suamimu
ada di taman itu. Bicaralah dengannya.” Tapi batuknya yang rendah dan mengejek menemaniku
pulang: kemudian aku teringat kata-katanya sebelumnya dan menjatuhkan tiga
tanaman ke dalam toilet; setelah menempuh perjalanan beberapa mil melalui
saluran air, tanaman-tanaman itu langsung masuk ke Inlet Trilham, tempat
tanaman-tanaman itu membusuk di tengah kotoran warga.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek terjemahan dari penulis yang lain di sini.
***
Catatan kaki:
1 The Ethics of the Fathers: Pirkei Avot;
kumpulan ajaran dan pepatah etika dari tradisi Rabinik Yahudi.
2 Scholia:
teks yang ditulis di sisi halaman sebagai penafsiran, ulasan, sanggahan, atau
penjelasan.
3 Serif: garis
kecil yang menempel di akhir guratan huruf atau simbol.
4 Ipso
facto: "berdasarkan fakta itu sendiri" atau "karena faktanya
sendiri".
5 Griffin:
makhluk mitologis bertubuh singa, bersayap dan berkepala rajawali. Selayaknya
singa, makhluk ini menjadi "raja hewan buas" dan sebagai burung
rajawali, dia menjadi "raja di udara".
6 Talmud:
catatan tentang diskusi para rabi yang berkaitan dengan hukum Yahudi, etika,
kebiasaan dan sejarah.
7 Sitzfleisch:
kata Jerman yang mengacu pada kemampuan untuk duduk dalam jangka waktu yang
lama.
8 Responsa:
jawaban tertulis atas pertanyaan tentang hukum Yahudi yang diberikan oleh para
rabi.
9 Mishnah:
catatan tulisan dari Hukum Lisan Taurat dari orang-orang Yahudi dari generasi
ke generasi.
10 Saʿadia
ben Yosef Gaon (892 – 942): seorang rabi, gaon (presiden dari dua
Akademi Talmud Babilonia yang besar yaitu Sura dan Pumbedita),
filsuf Yahudi, dan penafsir terkemuka yang aktif di Kekhalifahan Abbasiyah.
Saadia adalah tokoh rabi pertama yang menulis secara ekstensif dalam bahasa
Yahudi-Arab. Dikenal karena karya-karyanya tentang linguistik Ibrani, halakha,
dan filsafat Yahudi, dia adalah seorang praktisi aliran filsafat yang dikenal
sebagai "Kalam Yahudi".
11 Yehuda
Halevi (1075-1141): seorang penyair, dokter, dan filsuf Yahudi Sephardic.
Halevi dianggap sebagai salah satu penyair Ibrani terbesar, yang terkenal
karena puisi-puisi sekuler dan religiusnya, yang banyak di antaranya muncul
dalam liturgi masa kini. Karya filosofisnya yang paling terkenal adalah Kuzari.
12 Rebbetzin:
istri rabi.
13 Ulangan
12:2.
14 Imamat
20:6.
15 Quercus
velutina: pohon ek hitam.
16 Naiad:
nymph yang menempati daerah-daerah yang berair, seperti sungai, air mancur,
mata air, dan sebagainya (kecuali air laut). Naiad tinggal di tempat
yang berair tawar dan segar, sedangkan Okeanid tinggal di air laut.
17 Oread:
peri gunung.
18 Shekhinah:
transliterasi bahasa Inggris dari kata Ibrani yang berarti "tinggal"
atau "menetap" dan menunjukkan kehadiran Tuhan di suatu tempat.
Konsep ini ditemukan dalam Yudaisme dari literatur Talmud.
19 Leviathan:
setan ular laut yang terkenal dalam teologi dan mitologi. Dia disebutkan dalam
beberapa kitab dalam Alkitab Ibrani, termasuk Kitab Mazmur, Kitab Ayub, Kitab
Yesaya, dan Kitab Henokh yang ditulis dengan huruf kapital. Leviathan sering
kali merupakan perwujudan kekacauan, yang mengancam akan memakan orang-orang
terkutuk ketika hidup mereka berakhir.
20 Behemoth:
seekor binatang dari Kitab Ayub, merupakan bentuk monster kekacauan purba yang
diciptakan oleh Tuhan pada awal penciptaan; dia dipasangkan dengan monster
kekacauan lainnya, Leviathan, dan menurut tradisi Yahudi keduanya akan menjadi
makanan bagi orang-orang benar di akhir zaman.
21 Lilith:
sosok perempuan dalam mitologi Mesopotamia dan Yahudi, yang diyakini sebagai
istri pertama Adam dan iblis perempuan purba. Lilith disebut-sebut sudah
"diusir" dari Taman Eden karena tidak mematuhi dan menaati Adam.
22 Emanasi:
sebuah ajaran yang menyatakan bahwa dunia terjadi melalui pancaran yang berasal
dari "prinsip pertama" atau "realitas pertama", biasanya
disebut "Sang Absolut" atau "Tuhan". Plotinus (abad ke-3 M)
adalah tokoh zaman klasik yang dikenal sebagai salah satu pengusung teori ini.
23 Distorsi
pejalan kaki: adalah efek visual yang terjadi ketika penampilan seseorang
berubah saat mereka bergerak mendekati atau menjauh dari kamera.
24 Dryad:
nymph pohon ek atau roh pohon ek dalam mitologi Yunani.
25 Nereid:
nymph laut (roh perempuan dari perairan laut).
26 Pan:
dewa alam liar, gembala dan kawanan ternak, musik pedesaan dan impromptu,
dan teman para nymph.

Comments
Post a Comment