Hujan, Hudan, Hujan
Di depanku, seorang anak kecil jatuh tertabrak kendaraan. Sepedanya
terpelanting jauh. Entah kenapa aku tidak ingin menolongnya. Aku masih
memikirkan beberapa buku yang belum sempat kubaca. Tubuh anak itu tergeletak
begitu saja di jalan. Orang-orang juga tidak berusaha menolongnya. Sepertinya,
mereka masih takut pada hujan.
Hujan mulai bukan hujan, Hudan. Hujan mulai reda. Orang Jawa menyebutnya
kremun-kremun. Gerimis tipis-tipis. Sebenarnya enak juga menyebutnya: gerimis tipis-tipis.
Tapi aku lebih suka menyebutnya kremun-kremun. Mungkin karena aku orang Jawa.
Entah kenapa hujan turun lagi. Deras, lebih deras dari yang tadi dan
mobilku mogok di jalan. Kutinggalkan saja mobilku di sana. Di tengah jalan.
Jalanan tentu saja macet. Dan kau tahu, orang-orang mulai berteriak-teriak di
belakangku. Tapi aku terus saja. Mobilku pun kutinggalkan, apalagi cuma teriakan-teriakan.
Hujan memang deras, tapi tubuhku tidak basah. Aku bergerak di sela-sela hujan.
Ini kemampuan yang sudah kulatih lama. Orang-orang tentu saja heran melihatku
meliuk-liuk di antara hujan. Kalau saja mereka tahu bahwa aku tidak basah, mereka
akan semakin heran. Sebuah mobil yang melaju kencang melindas kubangan. Aku
basah. Bukan oleh hujan, tapi oleh kubangan. Kukejar mobil itu. Tapi bagaimana
bisa aku berlari lebih kencang dari mobil itu? Dan hujan membuatku semakin basah.
Di sebuah kafe aku berhenti. Orang-orang di sana tadi melihatku mengejar mobil
itu. Sebagian dari mereka tertawa-tawa. Oleh sebab lain, aku tahu. Seorang anak
kecil tergeletak di jalan, mobilku kutinggalkan di tengah hujan, tubuhku basah,
tentu kau berpikir aku akan menembak mereka semua bukan? Tapi tidak. Kubiarkan
saja mereka tertawa. Kalau kutembak mereka semua, ceritaku akan berakhir sama
seperti ceritaku yang lain, tentang pistol yang disimpan ayahku di dalam kulkas.
Dan kau tahu akhir cerita itu, Hudan.
Bajuku basah. Seluruh tubuhku basah. Aku memesan secangkir coklat hangat.
Duduk sendiri dengan secangkir coklat hangat, aku mulai memikirkan lagi beberapa
buku yang belum sempat kubaca. Rumahku sudah tidak terlalu jauh. Mungkin
beberapa kilometer, tapi tidak terlalu jauh. Aku bisa berlari dan sampai ke
rumah dalam beberapa menit saja. Itulah yang kulakukan sekarang, berlari beberapa
kilometer.
Aku sampai di rumah. Seorang perempuan menatapku keheranan. Istriku, Hudan.
Kau tidak akan percaya kalau istriku cantik sekali. Mungkin dia heran karena
aku tidak membawa mobil dan basah. Tapi dia diam saja. Bibir istriku begitu kering.
Aku tidak pernah meninggalkan istriku dengan bibir kering seperti ini. Tapi kau
takkan percaya, bibir istriku begitu kering. Aku sendiri pun heran. Matanya juga
kering. Nafasnya kering. Seluruh tubuhnya begitu kering.
Ah, dia bukan istriku. Sialan, Hudan, seorang anak tergeletak di jalan,
mobilku kutinggalkan di jalan, tubuhku basah, aku berlari beberapa kilometer,
dan aku salah masuk rumah. Aku salah meletakkan bibirku di bibir seorang
perempuan yang begitu kering. Aku basah, kedinginan, aku bisa apa?
Hujan, masih hujan, Hudan. Sebentar lagi malam. Beberapa anak kecil yang belum
tertabrak kendaraan mulai menerbangkan layang-layang. Berapa botol bir kita
butuhkan untuk menerbangkan layang-layang? Hujan, sebentar lagi malam, dan
tidak ada satu botol bir pun di sini, layang-layang anak-anak kecil itu tidak akan
bisa terbang.
Aku masih memikirkan beberapa buku yang belum sempat kubaca, rumahku masih beberapa kilometer lagi, dan tubuhku basah. Aku masih harus berlari beberapa kilometer lagi dengan tubuh basah. Maukah kau menemaniku berlari?
Ah, hujan, Hudan, hujan.
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment