Gubrak, Nyoh, dan Din- Din- Din
Gubrak!
Aku melemparkan tubuhku begitu saja ke atas sofa seperti layang-layang
putus. Hasilnya: gubrak yang sangat keras. Sofa hijau pupus ini berderak,
sepertinya ada yang patah. Aduh, aku harus memperbaikinya. Tapi, hijau pupus?
Sofa ini seharusnya merah menyala. Seingatku, aku tidak pernah membeli sofa
berwarna hijau pupus. Terlalu teduh. Orang-orang akan betah duduk berlama-lama
di sini. Bukan itu mauku. Aku punya ruang tamu untuk menerima tamu, bukan untuk
melayani tamu yang betah berlama-lama. Merah. Sofa harus berwarna merah. Dan
menyala.
Aku tidak tahu mana yang harus kurisaukan dari sofa ini, sesuatu yang
patah di dalamnya atau warnanya yang hijau pupus. Istriku pasti menggantinya
diam-diam ketika aku tidak di rumah. Ini pemberontakan, tidak bisa tidak.
Istriku yang jarang bicara itu sudah berani mengganti sofaku tanpa bertanya
padaku. Hei, aku arsiteknya di sini. Aku memang arsitek. Soal warna, soal
interior, aku lebih tahu dari siapa pun. Tapi lebih dari itu semua, aku seorang
suami. Laki-laki. Perasaan bahwa kekuasaanku sebagai suami dikangkangi mulai
menjalari tubuhku. Telingaku mulai terasa panas.
Gubrak!
Aku marah. Istriku harus tahu bahwa aku yang punya kuasa di sini. Tapi
aku terlalu lelah untuk memulai sebuah pertengkaran. Tiga hari aku tidak pulang
ke rumah. Pekerjaan di proyek mulai memasuki masa kritis. Aku terjepit di
antara tenggat waktu dan klien yang cerewet. Atasanku mengerahkan semua pekerja
untuk bekerja siang dan malam. Itu juga termasuk aku. Aku juga pekerja,
walaupun arsitek. Kuputuskan untuk menginap di proyek. Terlalu merepotkan kalau
aku harus pulang ke rumah. Tiga hari.
Hari ini barulah aku bisa pulang ke rumah. Setelah tiga hari. Aku lelah
luar biasa, tentu saja. Salah satu supir di proyek kuminta untuk mengantarku
pulang. Aku terlalu lelah untuk bisa mengendarai mobilku sendiri. Dan
benar-benar seperti layang-layang putus, setelah melewati beberapa lapangan dan
beberapa sawah, tubuhku akhirnya terhempas di sofa hijau pupus ini. Ah, sofa
hijau pupus. Kenapa harus hijau pupus? Supir yang mengantarku masih
berteriak-teriak dari dalam mobil. Sepertinya dia masih ingin mengatakan
sesuatu padaku, tapi aku sudah tidak peduli. Pintu kututup dengan keras.
Gubrak!
Setelah tiga kali gubrak, seorang perempuan akhirnya mendatangiku.
Istriku. Dia berdiri saja di sisiku. Menatapku lama dan tidak bicara. Seperti
biasanya. Istriku memang jarang bicara. Mungkin dia memang dididik seperti itu.
Dididik bahwa suami adalah segala-galanya. Raja, kalau bukan dewa. Mungkin juga
istriku bisa memahami pekerjaanku yang berat. Memahami suaminya yang seringkali
pulang larut malam dalam keadaan lelah. Bahkan tidak jarang baru pulang ke rumah
setelah beberapa hari lembur. Seperti sekarang.
“Kopi.”
Kata orang, beda antara pelacur dengan istri yang sah adalah secangkir
kopi. Secangkir di pagi hari dan secangkir lagi malamnya. Tapi aku sendiri
tidak pernah tertarik untuk mencoba seorang pelacur. Bukan karena mereka tidak
menyediakan kopi, tapi karena aku memang tidak tertarik. Selain karena mahal
juga. Bekerja sekeras ini pun aku masih harus pontang-panting untuk membiayai
kebutuhanku dan istriku. Orang bilang, aku diperbudak pekerjaan. Tapi
sebenar-benarnya, aku diperbudak oleh kebutuhan. Harga-harga terus naik.
Merambat atau meroket sama saja. Naik. Intinya, tidak ada anggaran buat melacur.
Membuat secangkir kopi tidak mungkin memakan waktu sampai satu paragraf.
Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis
satu paragraf, tapi seorang arsitek yang kelelahan butuh tidak kurang dari setengah
jam. Setengah jam untuk secangkir kopi, lama sekali.
Aku memaksa kaki-kakiku yang lelah untuk membawaku ke dapur. Istriku sedang
mengaduk kopi dengan lembut. Pinggulnya, aduh, pinggulnya. Sudah setahun kami menikah.
Ratusan kali aku sudah tidur dengan istriku. Tapi tiga hari aku tidak bertemu
dengan istriku, dan pinggulnya itu, dan pinggulnya itu. Aku memeluknya dari
belakang. Menciumi lehernya dari belakang. Istriku tersentak. Kaget. Tapi lehernya
dijulurkannya juga.
Nyoh.
Aku terus menciumi leher istriku. Lehernya begitu jenjang. Ke mana saja
aku tiga hari ini, atau setahun ini, sampai tidak menyadari begitu indahnya
leher istriku. Aku mulai merasa menjadi dewa yang mati selama tiga hari, lalu
bangkit dan menebus tiga hari yang terlewati itu. Kepala istriku menggeliat ke
sana ke mari. Istriku seperti menikmatinya. Tangannya mulai sibuk mencari-cari pegangan.
Mungkin karena takut jatuh. Mungkin juga karena tak kuat menahan sesuatu. Di dalam
hatinya, istriku mungkin juga bertanya-tanya, ke mana saja suaminya ini selama tiga
hari atau setahun belakangan?
Nyoh.
Cepat sekali istriku membalik badannya. Kami berhadap-hadapan seperti jagoan
dari film-film barat lama. Bedanya, kami sama tidak menenteng pistol di pinggang.
Sebentar saja kami sudah saling mencium. Bibir istriku begitu merah. Dan basah.
Aku membayangkan irisan tomat dengan es batu yang sering kuminum di proyek ketika
matahari begitu garang. Betapa segar meminumnya dalam beberapa tenggak. O, tiga
hari yang sungguh melelahkan. O, tiga hari. O, tiga hari. Dan aku bersyukur bibir
istriku tidak berwarna hijau pupus.
Baru setahun kami menikah. Sudah tiga hari istriku kutinggalkan. Aku
tidak pernah menyadari betapa hebat ciuman istriku. Sama seperti aku tidak
menyadari betapa indah lehernya. Tangan istriku tidak lagi mencari-cari
pegangan, tangannya menggapai-gapai. Melihatnya seperti melihat orang yang
sedang tenggelam dan berusaha minta tolong. Sepertinya, bibirku menenggelamkan
bibirnya, seperti laut menenggelamkan butir-butir pasir. Aku percaya, kalau
saat itu ada penjaga pantai, mereka pasti akan bergegas berlari menolongnya.
Aku percaya, celana mereka pasti merah. Bukan hijau pupus.
Nyoh. Nyoh. Nyoh.
Din, din, din.
Kami berdua hampir meledak. Tiga hari, gubrak, sofa hijau pupus, dan kopi
setengah jam. Tiga hari, leher yang jenjang, dan bibir-bibir yang nyoh. Istriku
pasti tidak berharap laut segera membawa butir-butir pasir terdampar di pantai.
Hampir empat paragraf lamanya kami berciuman. Seorang penulis mungkin menghabiskan
hanya beberapa menit saja untuk menulis empat paragraf, tapi seorang arsitek yang
sedang terbakar nafsu butuh tidak kurang dari satu jam. Dan aku bersyukur bahwa
aku adalah arsitek, bukan penulis. Tapi din- din-din itu sekarang mulai menggangguku.
Sebuah ingatan akan sofa hijau pupus berkelebat cepat di kepalaku. Aku
tidak berharap din- din- din itu adalah tamu yang menikmati teduhnya ruang
tamuku dengan sofa hijau pupusnya. Tapi ingatan itu mulai mengendurkan
cengkeramanku. Begitu juga istriku. Dia pasti lebih terganggu pada din- din- din
itu daripada memikirkan sofa yang dibelinya diam-diam ketika aku tidak di rumah.
Tangannya mulai pindah ke dadaku, mendorong pelan, memberi isyarat untuk menjauh.
Laut masih harus bersabar menunggu datangnya badai.
Din, din, din.
Ada alasannya kalau aku memilih warna merah untuk sofa. Di saat kami hampir
meledak seperti ini, alasan itu dan naluri arsitekku ternyata benar. Ini saatnya
menepuk dada kukira. Tapi dada yang hampir meledak ini tidak bisa ditepuk
sembarang waktu. Istriku memandangiku dengan bingung. Wajahnya pias. Aku lebih
bingung melihatnya bingung. Dari dapur, istriku berusaha mengintip asal suara yang
membatalkan badai yang kami buat selama empat paragraf.
Din, din, din.
Aku tidak meninggalkan bekas apa-apa di bibirnya, tapi istriku berusaha membersihkan
bibirnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sofa hijau pupus itu saja sudah menyinggung
kelaki-lakianku. Cukup untuk menghasilkan sebuah gubrak. Lalu sebuah bekas ciuman
yang dihapus bisa menghasilkan berapa gubrak? Hanya kebingunganlah yang
sekarang memisahkan aku dengan beberapa gubrak itu. Istriku benar-benar sedang ketakutan.
Dia seperti didatangi oleh hantu laut. Istriku memang jarang bicara, tapi aku tidak
pernah melihat wajahnya sepucat ini.
“Suamiku,” katanya.
“Hah!”
Din, din, din.
“Suamiku pulang,” katanya lagi.
Din, din, din.
Apa-apaan ini? Tiga hari kutinggalkan istriku dan dia sudah bisa menyebut
din- din- din itu sebagai suaminya. Dua juta gubrak tidak akan cukup untuk meredakan
amarahku. Terbakar. Tidak ada lagi laut, tidak ada lagi pasir, tidak ada lagi
badai. Kering. Cepat aku berlari ke ruang tamu. Sofa hijau pupus itu lagi. Dari
balik jendela aku melihat sebuah mobil dengan seorang laki-laki di dalamnya. Kepalanya
mulai terjulur keluar. Din- din- din yang tidak mendapat tanggapan memaksanya menurunkan kaca mobil dan menjulurkan kepala. Dari wajahnya yang merah aku tahu bahwa
din- din- din itu akan segera berubah menjadi gubrak.
Tapi bukan laki-laki dengan wajah merah di dalam mobil itu yang menggangguku.
Juga bukan din- din- din-nya. Di belakang mobil itu aku melihat sebuah rumah kecil.
Dari jendela rumah itu aku bisa melihat sofa merah menyala di ruang tamunya. Sofa
merah menyalaku. Di depan pintunya, seorang perempuan sedang menyapu teras kecilnya.
Istriku. Bibirnya memang tidak merah, tidak basah, tapi dia istriku. Lalu siapa
laki-laki yang din- din- din ini? Dan yang lebih penting lagi, siapa perempuan yang
nyoh- nyoh- nyoh selama empat paragraf tadi?
Gubrak!
***
Kalau Anda menyukai cerpen ini, Anda mungkin juga akan menyukai cerita pendek saya yang lain di sini; atau cerita pendek terjemahan dari penulis lain di sini.
***

Comments
Post a Comment